Cerpen Dewi Kharisma Michellia
Terbit di Jawa Pos, 21 Oktober 2012
21 APRIL 1978.
Bahan Referensi Cerpen - BEGITU tertera pada dua kayu nisan yang tertancap di puncak
bukit pagi itu. Dengan cuaca yang sama, dua puluh tahun lalu, aku ingat
betul, aku hampir tak mengenali separuh orang yang berdiri
mengelilingiku di bawah payung-payung gelap mereka.
Melintasi sepanjang jalan setapak kembali ke rumah, aku ingat
bagaimana aku dibawa pergi oleh mobil-mobil panjang besar, oleh
orang-orang yang belum genap sehari kukenal. Tengah malam di waktu
sebelumnya, keluarga bibi yang tinggal di sebelah rumah—satu-satunya
tetangga yang ketika itu dekat dengan keluargaku—mengantarkan mereka
kepadaku. Masih separuh terjaga di sebelah peti mati kedua orang tuaku,
aku mendengar percakapan mereka, namun tidak kuteruskan.
Mereka menghampiriku dan memperkenalkan diri sebagai kerabat dari
pihak ayah, tempatku berlindung setelah segala prosesi pemakaman
orangtuaku berakhir. Saat itu aku sungguh takut.
Masih kuingat betul apa yang menyebabkan kedua orangtuaku berpulang.
Saat mendapat kabar, sepulang dari berburu kelinci bersama teman-teman
sebaya, aku berlari menyusuri jalan setapak berkilo-kilometer jauhnya,
hanya untuk memastikan aku masih bisa menyelamatkan kedua orangtuaku.
Saat aku datang, api telah melahap gudang tempat ayahku biasa
bekerja. Aku berkeliling ke dalam rumah, mencari ibu. Kudapati, para
tetanggaku berusaha memadamkan api dengan baskom-baskom kayu berisi air.
Beberapa dari mereka bilang ibuku juga terperangkap di dalam rumah.
Segala upayaku untuk dapat mencapai gudang digagalkan. Mereka
berbondong-bondong memelukku dan menghentikan niatku menerobos api.
Mereka menghentikan segala teriakanku dan mendekapku seerat mungkin.
Api akhirnya padam berjam-jam kemudian, dan yang kudapati sesudahnya
hanyalah tengkorak ayah dan ibuku dengan sedikit sisa daging dan kulit
yang terbakar, mereka terikat saling memunggungi pada tiang besi yang
sebelumnya tak pernah kulihat. Satu yang kutahu. Pastilah Tuhan tidak
dengan sengaja meletakkan besi di sana dan memanggang kedua orang tuaku
di gudang itu. Pasti ada orang lain yang melakukannya.
Kurasa pekerjaan ayahkulah yang menyebabkan hal itu terjadi. Hingga
kini, aku tak mengerti apa yang dilakukan ayah di ruang kerjanya,
padahal dulu ibu pernah bilang suatu saat aku akan tahu.
Hari ini, memasuki ruang tengah, sepenjuru rumah kayu itu telah
dipenuhi tumbuhan merambat. Padahal dulu di sana aku pernah duduk,
menantang dengan dada membusung, berhadapan dengan orang-orang yang tak
kukenali siapa.
“Kami akan mengajakmu kembali.” Masih kuingat seorang pria jangkung
berkulit bersih dengan kacamata bergagang bulat duduk di tengah-tengah,
berhadap-hadapan denganku. “Di sana kakek dan nenekmu menunggu. Keluarga
besar akan menghidupimu.”
Aku tak pernah tahu kakek-nenekku masih hidup. Ayah dan ibu tidak
pernah menceritakan apa pun tentang masa lalu mereka, selama belasan
tahun di awal hidupku, aku menerima kenyataan itu begitu saja; seolah
orangtuaku benar terlahir dari batu.
“Saya adik ayahmu.”
“Saya tidak percaya.”
“Kami tahu kamu perlu bukti. Ayahmu dan istrinya mengasingkan diri
mereka kemari segera setelah ayahmu menamatkan kuliah di Belanda. Dalam
dokumen ini kamu bisa menemukan segala hal tentangnya.”
Saat itu ia menjetikkan jari dan beberapa orang pesuruh masuk ke
dalam ruangan dengan mengangkat peti-peti besi di pundak mereka.
Semuanya kemudian diletakkan di hadapanku.
Pria itu sedikit memundurkan badannya dan membukakan gembok yang
mengunci peti dengan kunci kecil dari dalam sakunya, menunjukkan semua
dokumen tentang kehidupan ayahku.
Aku terkesima. Ayahku bukan orang biasa.
Aku membaca beberapa potongan kliping koran yang bercampur dengan
dokumen pribadi ayahku, aku membaca pemberitaan mengenai orang tuaku.
Tentang hilangnya dua tokoh penting dalam sejarah kemerdekaan. Mereka.
Mereka mengasingkan diri ke tengah hutan segera setelah peristiwa
gestapo terjadi. Dua tahun setelahnya, aku lahir. Bahkan ketika itu aku
bisa mengerti, mulai bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya
dikerjakan ayah? Ibu seperti apa yang melahirkanku dari rahimnya? Mereka
melakukan…. Hal-hal yang, aku tak tahu apa dasarnya.
Segalanya seolah benar-benar menjadi mimpi ketika pria itu berkata,
“Kami rasa kamu tidak akan punya pilihan lain, selain ikut bersama
kami.”
***
MULAILAH aku didandani selayaknya perempuan pada umumnya. Gaun
berpita, sepatu balet warna hitam, dan kalung mutiara. Rambutku yang
biasanya kugelung lantas disisir dan diikat pita. Aku dibedaki dan
bibirku diberi gincu, pipiku merona merah akibat sapuan pewarna pipi,
dan alisku dibentuk.
Setiap hari aku mendapatkan materi tambahan di rumah. Diajari cara
memanah, bertata krama, dan ekonomi serta politik negara. Terkadang, aku
juga bermain-main dengan tabung dan botol-botol berisi zat kimia.
Sesuatu yang orang-orang pikir pastilah dapat saja menurun dari kedua
orang tuaku. Baru kutahu, kedua orang tuaku adalah Kimiawan. Senyatanya,
hingga berminggu-minggu setelah mereka memberikan pendidikan itu
padaku, aku tetap tak menunjukkan bakat apa pun.
Selain pendidikan yang diberikan di rumah, aku tidak lagi bersekolah
di HIS, di mana para bumiputera biasa duduk belajar bersama keturunan
Belanda, kali ini aku pergi ke ELS, tempat di mana peranakan Cina
sepertiku, menurut keluargaku—aku tak lagi asing terhadap mereka, patut
pergi menapasi ilmu. Di depan cermin kuamini pernyataan mereka, kulitku
memang kuning langsat dan mataku sipit, baru kusadari setelah aku
tinggal bersama mereka.
***
21 APRIL 1981.
TAHUN demi tahun berlalu. Melewati tiga tahun masa bersekolah
di MULO, di AMS kini, ‘Apalah yang dapat kita lakukan atas negara ini’
adalah retorika yang selalu kudengar dari anak-anak seusiaku. Banyak hal
kami bicarakan di kelas-kelas. Tentang tulisan-tulisan perjuangan,
revolusi yang terjadi di negara-negara barat, hingga aufklarung, hingga
okultisme, hingga semesta alam. Bagaimanapun bentuknya, kawan-kawanku
itu selalu memperjuangkan sesuatu.
Selama tiga tahun selanjutnya, kami belajar begitu keras untuk tes
masuk universitas. Aku bercita-cita pergi sekolah ke Belanda, mengikuti
jejak ayah.
Tetapi sekian waktu berlalu, semuanya jauh berubah. Aku tak lagi
mengenali siapa diriku. Aku melebur bersama orang-orang baru yang
kukenali. Kalaupun aku bertujuan pergi sekolah ke tempat dulu ayah
bersekolah, tujuanku bukanlah apa pun yang berkaitan dengan masa laluku,
tetapi sesuatu yang lebih kucita-citakan; negara ideal. Tetapi, apa
yang kami harapkan dari negara kami? Ketika itu aku masih belum
mengerti, namun aku mengikuti arus.
***
SETELAH memaksa keluarga agar aku diperbolehkan membakar
sebagian tulang tengkorak kedua orang tuaku dan membawa abunya ke
Belanda bersamaku, akhirnya dengan berbekal itu aku pergi ke negeri
kincir angin itu. Aku meletakkan guci abu orangtuaku di apartemen.
Di Belanda aku seringkali mengunjungi rumah bibiku, yang adalah adik
ayah, di wilayah Groningen, dari merekalah aku selalu mendapatkan bekal
yang cukup untuk hidup. Keseharianku sangat biasa, setiap pulang kuliah
aku selalu duduk di Sneltrein membawa serangkai tulip, aku melakukannya
sepanjang bulan April selama lima tahun aku menetap di sana. Dan meski
segalanya terjamin, aku tetap mendaftar ke kedutaan untuk bekerja paruh
waktu, di sana aku bertemu seseorang yang kelak menghancurkan hatiku.
“Sekalipun kau patah hati karenaku, tolong jangan pulang ke
Indonesia. Jadilah warga Belanda.” Setelah meniduriku bermalam-malam,
setelah mencekokiku dengan segala pengetahuannya tentang kepalsuan
dunia, laki-laki itu mengatakan itu. Sekian minggu selanjutnya, aku
hancur di apartemen sewaanku; mendengar kabar pria itu telah menikah
dengan wanita yang dihamilinya.
Kekasihku selanjutnya adalah seorang seniman. Karena itu, di kota
yang sama, setelah aku menamatkan kuliahku di Utrecht, aku menetap dan
berkarir sebagai pelukis; terkadang aku menulis. Aku sama sekali tidak
meneruskan praktik sains yang kupelajari selama empat tahun di sana. Aku
lebih terbiasa bertualang di kanal-kanal, berdiskusi tentang teologi
ataupun tokoh-tokoh filsafat, ketimbang berdiam diri di laboratorium dan
menganalisa molekul.
Tapi takdir berlalu tanpa kendaliku, seorang profesor yang melihat
bakatku dan membimbing tesisku selama paruh akhir masa kuliah memaksaku
ikut bekerja di laboratoriumnya. Sambil melukis, sambil mempelajari
kebudayaan Eropa, sambil menikmati hidup di usia 20-an, aku menyetujui
menjadi asistennya dalam beberapa penelitian rumit yang bekerja sama
dengan beberapa negara lain di wilayah Indo-European.
Beberapa orang yang kutemui selama penelitian itu, yang memaksaku
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, yang juga membuatku
berpisah dari kekasihku yang seniman, ternyata mengenal ayah dan ibuku.
Tetapi ketika kutanyai lebih jauh, mereka hanya bilang mereka tahu
sebatas nama. Dan segera setelah kejadian itu, aku diberhentikan bekerja
mendampingi profesorku.
Seminggu kemudian, aku kembali ke Utrecht, mendapati kekasihku telah
menikah dengan laki-laki lain. Aku dibuat terkaget-kaget oleh orientasi
seksualnya yang berganti hanya dalam waktu beberapa bulan. Setelah
memaki-maki sekian jam dan melemparkan barang pecah-belah ke segala
sudut ruangan, aku mengemasi barangku, dan memutuskan pergi untuk
selamanya dari negara itu.
Aku pindah ke negara tujuan lain, yang bahasanya selama sekian tahun kupelajari secara otodidak.
***
ZURICH memanglah kota beraura magis. Bahasa Prancis dan Jerman
yang kupelajari mulai kupraktikkan di hari pertama, dan sempurna,
kurasa aku memang memiliki bakat menjadi poliglot.
Segalanya berangsur membaik, termasuk kondisi batinku. Beberapa
minggu kemudian, kudapati kabar tentang kematian keluarga paman-bibiku
di Groningen, pembunuhan berantai. Selama seminggu aku kembali ke sana
untuk melayat dan mengemasi barang-barang bibi yang diwasiatkan padaku.
Cukup mengerikan melihat sepupu-sepupuku yang masih balita menjadi
yatim-piatu seketika itu juga. Tetapi apa daya, tak ada yang bisa
kulakukan ketika kemudian mereka justru diajak ke Indonesia oleh
paman-bibiku. Aku pun turut dipaksa pulang, tetapi aku menolak dan
justru memutuskan untuk kembali ke Zurich.
Berniat mengasingkan diri sepenuhnya akibat guncangan yang berasal
dari dalam diriku, setelah kembali ke apartemenku di Zurich, aku mulai
mendonasikan semua barangku ke beberapa yayasan, dengan tabunganku dan
sedikit bekal lainnya, aku memutuskan untuk bertualang mengelilingi
dunia. Dulu di bangku kuliah, aku cukup menggemari paham transendental
dan, meskipun tidak begitu menarik, aku juga menamatkan jurnal Thoreau.
***
21 APRIL 1998.
USIAKU 31 tahun, telah mengelilingi seluruh dunia, namun
setelah kembali ke tanah kelahiran, aku terpaksa ikut menjadi otak
penggagas reformasi. Aku melakukannya bersama teman-temanku dulu yang
selalu mencita-citakan negara ideal yang sama.
Sementara itu, paman-bibiku pindah ke Belanda, mengajak juga sepupu-sepupu Belandaku kembali ke tanah kelahiran mereka.
Ketika itu, aku merasa dikhianati. Aku masih belum tahu mengapa ayah
dan ibuku terlalap api dua puluh tahun lalu. Apakah hal yang sama, yang
memaksa mereka mengasingkan diri ke tengah hutan? Namun mengapa hanya
mereka berdua?
Orang-orang di sekitarku merasa hebat dengan diri mereka. Sementara
aku terus mengikuti gerakan mereka, aku masih merasa aku telah
mengacaukan hidupku.
Pada Mei di tahun itu, aku melihat hasil dari apa yang kami
cita-citakan sebelumnya di tahun 70’an. Hanya saja, orang-orang itu kini
bukanlah teman-teman sekolah yang dua puluh tahun lalu kupuja
pemikirannya. Manusia berubah.
***
TUNTAS berpesta dan berbahagia atas kejatuhan musuh, selama
sekian bulan berikutnya aku seorang diri menempati rumah kosong
keluargaku di bilangan Jakarta. Semua anggota keluargaku, entah dengan
cara apa, telah mengganti kewarganegaraan dan sepakat tidak akan kembali
ke Indonesia, apa pun yang terjadi.
Aku merasa dikhianati oleh takdir, oleh waktu, oleh orang-orang yang
pernah kukenal. Dengan demikian, mungkin hanya orang-orang yang punya
waktu untuk berpikir tentang diri mereka sendiri, yang sama merasa
sepertiku bahwa kami telah menghidupi mimpi yang demikian panjang.
Tempat di mana aku berada sekarang, bukanlah tempat yang puluhan tahun
lalu aku harapkan.
Meneguk habis segelas kecil tequila yang tersisa, sambil masih
sedikit-sedikit mengingat bagaimana tanganku mengarsir tipis lukisanku
tentang seorang gadis dengan topi sombrero ketika di Meksiko, aku
memutuskan untuk kembali ke tempat di mana semuanya berawal. Kurasa
sebaiknya, sebelum mati, aku harus mengetahui sebab kematian orang
tuaku. Bisa saja, dulu, bukan mereka yang mati. Bisa saja akulah yang
mati, dan pergi ke tempat berbeda, dan bertemu dengan orang-orang yang
sepenuhnya berlainan, dan menghidupi kematianku selama dua puluh tahun.
(*)
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar