Dihyang

Cerpen Wi Noya

Terbit di Jawa Pos, 17 Februari 2013




Bahan Referensi Cerpen - 
Mugi
Percaya tidak, jika kukatakan bahwa istriku, yang tersohor dengan kecantikannya itu punya dua sisi. Banyak yang terkecoh dengan paras ayu, sikap lugu, dan lenggoknya yang kemayu. Tetapi sekali lagi aku bilang, istriku berkepribadian ganda.

Awal perjumpaanku dengannya adalah saat pesta rakyat digelar setengah dasawarsa silam. Masa kegemilanganku sebagai seorang penari lengger. Kala itu, ia menghampiriku usai pentas tahunan.

“Oh… jadi ini to rupa Raden Panji Asmoro Bangun tanpa topeng.”

Bagaikan adegan sinetron, mataku nyaris tak berkedip, ekspresiku barangkali mirip keledai dungu. Sebatang rokok yang sudah menampang di bibir jatuh seketika.

“Jatuh Mas, rokoknya.” Ia membuatku tergeragap ketika jemari lentiknya menyodorkan lintingan tembakau yang jatuh barusan.

Sungguh, aku bukan orang yang pandai menutupi rasa kagum. Aku juga terbiasa beradu pandang dengan para penari rupawan. Tetapi belum pernah aku merasa sekelu ini berhadapan dengan seorang perempuan. Konyolnya, aku malah memastikan itu benar rokokku sambil merogoh saku dan meraba bibir.

“Ah… iya. Rokokku, ya? Matur nuwun, Mbak….”

“Sekar.”

“Eh?” Aku mengernyitkan dahi. “Sekartaji? Sekararum? Sekarang?”

Ia memamerkan gingsul dan lesung pipinya. “Sekar Savitri.”

***

Di tepi Telaga Warna, kuhimpun nyali untuk melamar Sekar. Berbekal bunga di tangan, kuutarakan niatku mempersunting bidadari yang sudah tiga bulan kuincar. Siapa sangka, gadis kota yang semula hanya berlibur dan mengunjungi sanak di tanah kelahiran, malah bertemu jodohnya. Aku sukses memboyongnya ke gubukku di negeri para dewa.

Tahun pertama, tiada kata lain yang mewakili pernikahan kami kecuali ‘manis’. Sesiapa yang memandang kemesraan kami, pasti iri bukan kepalang. Menggandeng Sekar ibarat mendampingi dewi kahyangan. Sayang, romantisme itu hangus dalam kobaran emosi. Lambat laun watak sejati sang bidadari tersingkap.

Sekar yang kukenal anggun lenyap seketika, berganti sesosok algojo saat ia terbakar cemburu. Puncaknya, kejadian yang menyebabkan aku pisah ranjang dan nyaris bercerai dengannya. Aku bertemu Dewi, mantan kekasihku ketika masa putih abu-abu. Tak sengaja, tanpa terencana, ia menjadi pendampingku dalam sebuah pagelaran tari budaya. Jujur kuakui, Dewi kalah cantik ketimbang Sekar, tapi ia jauh lebih memikat dengan karisma dan kesederhanaan. Betapa bersemangat ia menceritakan keluarga kecilnya, seorang suami dan sepasang anak kembar.

Duh Gusti, sepulang dari reuni singkat itu, Sekar menyambutku dengan sebuah tembikar. Asbak bundar tersebut tepat membentur dada kiriku. Nyeri luar biasa langsung menjalari jantungku. Belum sempat kutanyakan musabab kebrutalannya, ia mendaratkan tangannya yang halus ke pipiku. Tamparan. Pukulan. Cakaran. Aku hanya bisa menatap lekat retinanya yang berderai airmata. Sungguh, tak terbersit secuil pun hasrat untuk membalasnya.

Entah bisikan apa yang mampir ke telinga istriku hingga ia menjelma sebengis siluman. Semalaman Sekar hanya menangis sambil mengoyak pakaianku. Aku semakin tak tahan dengan sikap temperamennya. Esok paginya, kata cerai betul-betul kulontarkan. Usai berkemas, aku meninggalkannya berkalang duka mendalam. Ini bukan semata ganjaran untuknya, melainkan kegagalanku membina seorang istri sebagaimana mestinya. Ternyata cinta saja tak cukup menjaga keutuhan bahtera kami.

Oh, nasib baik tak berpihak padaku. Aku mengutuki kebodohanku yang tergesa mengambil langkah. Begitu mendengar berita kehamilan Sekar, segala upaya kekerahkan untuk memohon maafnya. Sungguh terlalu, ia langsung menyodorkanku buah simalakama, aku dipaksanya memilih jadi seorang ayah atau lengger. Dengan berat hati, aku rela menanggalkan ‘gelar’ kebangsawananku. Belum lagi acara ngidamnya yang mesti kuturuti, termasuk satu permintaan aneh untuk si jabang bayi.

***

Sekar

Siapa tak kenal suamiku, Mugi alias Raden Panji Asmoro Bangun. Semua warga dataran tinggi ini tahu lakon lengger lanang itu. Tak di pentas, tak di alas, ke mana-mana selalu memburu dewi-dewi. Menebar panah asmara, menjala galuh kirana. Aku curiga, ia mempersuntingku hanya karena namaku persis lawan mainnya, Dewi Sekartaji.

Kutanggalkan status lajang di tempat yang kusebut nirwana. Aku jatuh cinta pada kawah dan telaga, hortensia, serta sang arjuna. Ia melamarku dengan sebuket hortensia dan randa tapak. Terdengar murahan, tetapi caranya bersimpuh seraya mengidungkan syair membuatku tak kuasa menolak. Alasan mengapa kuterima pinangannya tak lain karena wajahnya yang tampan. Ia diwarisi bibir manis nan pandai merayu berikut hidup yang cukup mapan.

Dengan bangga kusanggupi ajakannya menetap di perkampungan yang konon dijuluki negeri atas awan. Sepenuh jiwa raga kuabdikan hayatku untuk sang suami. Namun agaknya aku keliru, tak jauh berbeda dengan drama pewayangan, Raden Panji Asmoro Bangun memang bukan milik Sekartaji seorang.

Suamiku memang berbakat meliukkan tubuh, namun ia lebih gemar bersilat lidah. Meski kerap mengelak, aku yakin ia ada sesuatu dengan mantan kekasihnya sesama penari. Maka kuputuskan untuk memberinya pelajaran. Sebulan setelah ia menjatuhkan talak, baru kusadari bahwa dalam perutku bersemayam sepenggal nyawa. Kesempatan itu kugunakan untuk menjeratnya kembali ke pelukan. Setelah ia bertekuk lutut, aku ajukan beberapa syarat yang mutlak dipenuhi. Salah satunya, kelak bila anak ini lahir, aku berhak menamainya Dihyang.

***

Menginjak tahun ketiga, Dihyang mulai sakit-sakitan. Berbagai pengobatan, mulai dari alternatif, dokter hingga mantri telah ditempuh, namun tak jua membuahkan hasil. Ia kerap mengigau dalam tidurnya. Terkadang ia terserang demam tinggi. Seluruh tubuhnya mengejang. Bola matanya mendelik ke atas. Giginya gemeletuk. Jemarinya mengepal kuat. Bintik-bintik kecil mulai merambati kepalanya, berangsur-angsur tumbuh seperti bisul. Ibu mana yang tak cemas menyaksikan anaknya menderita separah itu. Anehnya, ketika kami pasrah dan hampir menyerah, Dihyang justru pulih dengan sendirinya.

Agaknya aku mulai mengerti pertanda ini. Terbukti, benjolan sebesar pelor di kepalanya kian menggumpal serupa rambut yang dipilin. Dugaanku tepat. Lambat laun rambut gimbal Dihyang sempurna dan memanjang hingga sebahu. Tiap kali ditanya kapan bocah lucuku ingin dipangkas rambutnya, jawabannya selalu sama, gelengan kepala disertai muka cemberut.

“Mas, kita langsung potong saja rambutnya.” Suatu hari kucetuskan sebuah ide.

“Hush. Ngawur kamu. Percuma, pasti bakal tumbuh lagi. Kamu mau Dihyang tambah parah sakitnya?” sanggah suamiku.

Sebetulnya aku tahu, rambut gimbal dadakan itu pantang dicukur paksa. Namun aku hanya ingin Dihyang menjadi anak sewajarnya. Tak dapat kubayangkan jika ia bernasib sama seperti warga dukuh sebelah yang gila karena gimbalnya tak jua dipangkas hingga dewasa.

Aku hanya bisa pasrah menerima takdir, menanti kerelaan Dihyang kehilangan gimbalnya. Entah mengapa leluhur menitiskan rambut tersebut pada anak semata wayangku. Memiliki keturunan berambut gimbal berarti siap untuk menjalani tradisi ruwat dan mengabulkan keinginan apa pun yang bakal dimintanya.

***

BAGI Mugi, rambut gimbal Dihyang merupakan anugerah yang patut disyukuri. Tidak sembarang anak memiliki keunikan demikian. Sayang, Sekar tak sepaham dengannya. Istrinya masih menganggap itu sebuah petaka sampai Dihyang bersedia melakukan ruwat. Pasalnya, belakangan Dihyang makin tenar karena kenakalannya. Ia gemar menjahili teman sebayanya. Parahnya lagi, tanaman kesayangan ibunya dirusak tanpa ampun ketika ia dimarahi.

“Betul kan aku bilang? Anak kita kena kutukan.”

“Kutukan? Ngawur kamu! Hati-hati kalau bicara.” Mugi bangkit dari kursi, menatap nanar wajah masam istrinya. “Rambut itu berkah, ngerti kamu?!”

“Anak nakal kamu bilang berkah?” tampik Sekar.

“Salah siapa kamu kasih nama aneh. Kalau bukan karena kasihan dan tanggung jawabku, sudah aku tinggal dari dulu.”

“Terus kenapa mau rujuk lagi sama aku? Aku bisa urus Dihyang sendiri. Sana cari sekar lain sesukamu!”
Sekonyong-konyong Sekar berlari ke arah dapur.

Praang!

Dua buah piring dipaksa menemui ajalnya di tangan Sekar. Serpihan belingnya berserak usai menghantam tembok.

“Pecahkan semua! Ini!” Mugi meraih cangkir kopinya yang baru setengah surut. Ia mengempaskannya jauh ke belakang agar tak melukai istrinya. “Ayo, kamu mau banting apa lagi?! Sekalian lempar aku. Kamu tidak puas kalau belum menghajarku, kan?!”

Sekar mengepalkan kedua tangannya. Wajahnya semakin memanas. Ia menggigit bibirnya yang bergetar.

Samar-samar terdengar suara ketuk dan salam dari luar pintu. Percekcokan hebat sepasang suami istri terhenti seketika. Mereka segera menenangkan diri, berlagak seolah tak terjadi apa-apa.

Rupanya tamu sore itu adalah Mbah Yono, seorang pemangku adat yang telah sepuh. Kehadirannya lumrah dan dinanti anak-anak gimbal yang belum diruwat. Mugi lekas mempersilakan tetua kampung tersebut masuk. Sekar menyusul sesaat di belakangnya. Keduanya langsung paham, mungkin tahun ini giliran anak mereka yang akan disertakan dalam tradisi ruwat bocah gimbal.

***

Gembele njaluk opo toh, Le?” Sekali lagi Mbah Yono bertanya. Pertanyaan yang sebetulnya ditujukan pada makhluk tak kasat mata yang konon menyertai tiap bocah gimbal.

Dihyang membisu. Mata bulatnya bergantian menatap wajah Mugi dan Mbah Yono. Mulutnya tampak sibuk menggigiti ujung kuku yang baru tumbuh. Ia turut melirik Sekar yang duduk di sampingnya. Ketiga orang dewasa yang tengah memandanginya semakin penasaran dengan permintaan bocah enam tahun itu. Sekar mulai gelisah. Sempat didengarnya anak gimbal tetangga sebelah meminta mahar yang sulit, yaitu tujuh ekor kambing jantan hitam.

“Aku mau…,” Dihyang menunduk, memandangi kausnya yang merah beranang. Tangan mungilnya mulai menarik-narik tepi kaus. “Tiga mangkuk mi ongklok,” sambungnya kemudian.

Mbah Yono menganggukkan kepala seraya mengelus janggut putihnya. Mugi menghela napas, merasa lega. Sekar mengusap pipi kenyal anak kesayangannya, pun rambut kaku yang seperti tak pernah dikeramas. Semuanya tampak sumringah mendengar mahar yang Dihyang ajukan.

Tiba-tiba si gimbal mendongak. “Aku mau tiga mangkuk mi ongklok dan adik perempuan.”

Kontan raut kedua orangtua Dihyang berubah pasi. Empat pasang mata mereka terbelalak menatap anak polos yang hendak dicukur itu. Mbah Yono mengerjapkan matanya yang telah lamur berulang kali. Sementara, dengan wajah tanpa dosa, Dihyang asyik ongkang-ongkang kaki sembari menjulurkan lidahnya. (*)


Wi Noya, lahir di Jakarta 14 November 1988. Juara 1 Lomba Menulis Cerpen FLP Wilayah Jakarta Raya (2011). Salah satu penulis antologi cerpen Banten; Suatu Ketika (2012).


Catatan :
Dihyang: berasal dari bahasa Kawi, Di artinya gunung, sedang Hyang artinya dewa.
Lengger: tari topeng Dieng
Randa tapak: bunga dandelion
Gembele njaluk opo toh, Le?: Gimbalnya minta apa sih, Nak?

Sumpah Serapah Bangsawan

Cerpen Gde Aryantha Soethama

Terbit di Kompas, 3 Maret 2013




Bahan Referensi Cerpen - USAI pendeta melantunkan mantra, segelintir kerabat itu pun tergopoh-gopoh pulang. Hanya sanak saudara dekat yang hadir, tak ada tamu undangan, suasana lengang mengambang. Upacara pernikahan itu pun benar-benar ala kadarnya. Tapi, bagi Ayu Meriki ini hari paling mencekam, sangat ia benci, amat menyakitkan, membelit dan mendesak perasaan. Sepanjang upacara tubuhnya menggigil karena tak kuasa melawan.

Mustahil Ayu Meriki menolak keinginan Biang Buni, bundanya yang paling berkuasa di puri. Dua kakaknya harus menikah dengan bangsawan. Meriki melawan, memilih Anuraga, laki-laki biasa. Mereka menikah, Ayu menjadi perempuan biasa, tak ada lagi yang mengakuinya sebagai wanita ningrat. Mereka berharap, kehadiran seorang cucu akan meluluhkan hati Biang. Ternyata tidak. Puri tidak mengakui pernikahan itu. Biang gigih memisahkan Meriki dari suaminya, menakut-nakuti, menebar teror Meriki akan ditimpa kutukan jika mempertahankan perkawinan dengan laki-laki biasa.

Tak henti-henti Biang melontarkan sumpah serapah kepada Anuraga. “Kamu sebut dirimu pemberani dengan menikahi perempuan ningrat, sesungguhnya kamu manusia picisan!” teror Biang berkali-kali lewat SMS. Saat lain Biang melontarkan sumpah serapah disertai hardikan melalui telepon, “Kamu itu makhluk remeh temeh, lebih nista dibanding seekor kodok!” Atau Biang akan mengumpat-umpat, “Pernahkah kamu berpikir, kamu tak lebih dari tikus comberan?” Sumpah serapah itu dilontarkan berhari-hari, berbulan-bulan, sepanjang tahun.

Keluarga muda itu akhirnya mengalah, menyerah. Mereka berpisah, sembari berharap pada cinta, jodoh dan takdir akan mempersatukan mereka kembali. Biang Buni pun sibuk mengurus perceraian pasangan itu di pengadilan, kemudian gesit berupaya mengembalikan kebangsawanan Ayu Meriki.

“Kamu nikahi laki-laki biasa, maka kamu bukan lagi bangsawan! Saatnya sekarang menikahi laki-laki ningrat, untuk mengembalikan kebangsawananmu, Ayu!” jelas Biang.

Ayu Meriki diam, apa guna bicara? Ia sadar Biang menjadi picik karena terlalu fanatik, menganggap puri dan ningrat segala-galanya. Berkali-kali Biang mendesak Meriki agar segera mencari pasangan laki-laki bangsawan. Sekian kali didesak, sekian kali Meriki diam.

“Kalau begitu biar Ibu yang memilihkan lelaki untukmu!” teriak Biang. Pilihan pun jatuh pada Agung Kosala, sepupu Ayu yang sehari-hari menjadi pramuwisata di Tanah Lot.

“Bagaimana mungkin saya menikahi laki-laki yang tidak saya cintai, Biang?” jerit Meriki berulang-ulang.
“Ini bukan masalah cinta. Ini urusan kebangsawanan yang hilang, dan harus direbut kembali.”

“Tak mungkin saya hidup dengan Agung, tak bisa!”

“Ini pernikahan sekadarnya. Hanya dengan menikahi bangsawan, kebangsawanan bisa dikembalikan. Setelah itu terserah kalian, silakan bersama atau hidup terpisah. Ini pernikahan karang-karangan.”

“Tapi, Agung….”

“Sudah Biang jelaskan ini pernikahan asal-asalan, demi martabat puri. Agung mengerti, ia siap tulus membantu.”

Ayu Meriki tak yakin, mana mungkin laki-laki tidak menuntut pada perempuan yang dinikahinya secara sah? Ia datangi Agung Kosala, bicara baik-baik, pelan-pelan memohon pengertian, bahwa mereka akan melangsungkan pernikahan ala kadarnya. Mereka cuma bersama di hari pernikahan, setelah itu tidak ada lagi ikatan.

Agung Kosala mengerti dan menerima tawaran Ayu Meriki. Tapi satu jam menjelang upacara, Agung melontarkan permintaan yang membuat Meriki gemetar. “Sebentar lagi kamu istriku, Ayu. Sah, istri sah. Tentu kita harus melewatkan malam pertama bersama.”

“Kamu sudah berjanji, usai upacara kita tak ada ikatan.”

“Aku cuma minta sekali, hanya malam ini.”

Meriki menolak, mendatangi Biang, mengatakan kalau Biang dan Agung Kosala menjebaknya. “Ini melanggar kesepakatan, Biang,” jeritnya mengiba.

Biang Buni tersenyum, menggenggam jemari Ayu Meriki. “Agung cuma meminta sekali. Berikanlah, hanya sekali. Tubuhmu tak akan binasa jika kau tidur sekali saja dengan laki-laki yang tidak kamu cintai.”

Ayu Meriki geram, tubuhnya menggigil, tak kuasa berbuat apa pun karena pendeta keburu datang dan merestui pernikahan itu dengan mantra pendek-pendek. Tak ada guna memohon apa pun pada Biang yang selepas siang itu terus tersenyum-senyum riang karena putrinya kini telah menjadi bangsawan kembali. Ayu muak, dengki, tidak hanya pada Biang dan Agung Kosala, tapi juga pada puri dan seluruh isinya. Ia heran mengapa tak ada sesuatu pun yang bisa ia jadikan tempat mengadu dan berlindung. Ayah, jika ayah masih hidup, mungkin bisa menolong, boleh jadi juga tidak. Mereka orang-orang fanatik yang sangat kolot, berlindung di balik topeng martabat, dan merasa sebagai manusia paling bertanggung jawab akan kelanggengan tata hidup kaum priayi.

Muak dan dengki itu meliuk-liuk dalam diri Ayu Meriki, berlipat-lipat, beranak pinak cepat, menjadi gemuruh keberanian, memantul-mantulkan perlawanan. “Aku harus menolong diri sendiri, tak ada yang bisa diharap,” kata hatinya. Maka Ayu pun mengangguk pelan ketika Agung Kosala memastikan akan berkunjung ke kamarnya nanti malam. “Tutup saja pintu, tapi jangan dikunci. Tidur juga Ayu tak apa-apa. Aku akan membangunkan kamu dengan elusan,” ujar Agung mencoba merayu manja. Rayuan yang membuat Meriki nyaris muntah, dan semakin meyakinkan dirinya harus melindungi diri sendiri. “Hanya sekali, Ayu, cuma malam ini,” ujar Agung berulang-ulang, sehingga permintaan itu menjadi rengekan dan celotehan.

Menjelang petang Meriki mencari sepotong bambu di sebelah dapur, dan menyimpannya di kolong dipan. Dengan bambu itu ia akan membela diri dari sergapan Agung, memukul kepala atau tengkuk laki-laki itu sekuat ia sanggup. Ia bayangkan Agung melolong-lolong sebelum terkapar, membelah hening malam di sebuah puri yang luas dan rimbun oleh pohon sawo, mangga, jambu dan belimbing.

Ketika berbaring, Ayu Meriki bisa merasakan sendiri gemuruh dadanya oleh guncangan penantian yang mencekam. Lampu ia padamkan, dan sekali-sekali ia meraba bambu di kolong dipan, untuk meyakinkan benda itu tidak bergeser dari tempatnya. Alangkah senyap malam, betapa panjang penantian. Ia seperti penjahat yang sebentar lagi dipancung oleh seorang jagal bernama Agung Kosala. Jika ingin selamat ia harus melawan algojo itu. Kuat, ia harus melakukannya sekuat tenaga dan perasaan. Ia harus memanfaatkan sebuah kesempatan yang ia rancang sendiri.

Perlahan-lahan ia teringat Anuraga. Di manakah laki-laki yang sangat ia cintai itu kini?

Langkah-langkah halus mulai terdengar di luar menuju teras kamar. Ayu Meriki menahan napas ketika pintu dikuak perlahan. Cahaya seperti kabut tipis memaksakan diri masuk melalui celah pintu. Halus, sangat halus langkah laki-laki yang akan menggumulinya.

Ayu biarkan laki-laki itu merebahkan diri dengan lembut di atas tubuhnya. Sudah ia rencanakan sebuah gerakan mematikan tanpa diduga-duga. Akan ia lakukan gerakan mendorong pada saat yang tepat, kemudian mengambil bambu di bawah dipan dan menghantamkannya sekuat tenaga. Maka ia biarkan tubuh dan wajah yang menindih itu mulai liar menggerayangi lehernya. Meriki menahan napas. “Sabar, sabar, sedikit lagi, sebentar lagi, semua akan selesai,” kata hatinya.

Ketika detik yang ia rencanakan tiba, Ayu Meriki memegang kepala tubuh yang menindihnya. Ia terkesima, rambut laki-laki itu gondrong, Agung Kosala berambut pendek. Ayu membatalkan meraih bambu. Kini ia mencoba menduga siapa laki-laki yang menggumulinya. Ia semakin kaget ketika meraba kedua telinga laki-laki itu yang tak sama. Ayu meraba tengkuk laki-laki itu, dan merasakan guratan bekas luka yang sangat dikenalnya.

Ayu Meriki menarik napas dalam-dalam, menghelanya dalam satu sentakan, dan membiarkan laki-laki itu terus menggerakkan tubuhnya. Dari gerakan-gerakan itu Meriki tahu dengan siapa dia berhadapan. Gerak dada dan pinggul memutar yang sangat disukainya, yang dengan mudah meletupkan berahi. Yakin, Ayu Meriki sangat yakin siapa laki-laki yang menggerayanginya dengan pelan dan sepenuh hati.

Ayu Meriki mendorong halus tubuh laki-laki itu. Tangannya tidak meraih bambu di bawah dipan, tapi segera meraba saklar lampu di atas meja. Dalam satu sentakan ruangan itu terang benderang. Seorang laki-laki berdiri di ujung dipan.

“Nur… Nur… oh, Nur…!” seru Ayu berulang-ulang. Ia peluk erat-erat laki-laki yang sangat dicintainya. “Nur…. Nur….!” isaknya.

“Mer… Mer….!”

Ayu Meriki mencubit berkali-kali pipi laki-laki itu, sebelum mengulum bibirnya dengan sepuas-puasnya, sekuat ia mampu.

“Agung yang mengatur semua ini. Kita harus pergi sekarang. Keluar, kita harus cepat keluar. Ayo!” ujar Anuraga menarik tangan Meriki.

Mereka melewati gerbang puri berpintu tinggi dengan mudah, karena Agung tak menguncinya. Dengan langkah seringan mungkin mereka menelusuri jalan desa yang senyap.

“Cepat Mer! Ayo… cepat!” bisik Anuraga berulang-ulang sembari menarik jemari Meriki.

Anuraga merasa ada yang membuntuti. Ia mendekap Meriki, mendorongnya ke tepi jalan, sehingga mereka terlindung oleh gelap bayang pohon kamboja. Anuraga melihat sosok bayangan bergerak-gerak di bawah pohon sukun dekat gerbang puri. Bayang itu bergerak-gerak lambat di tempat, melambai-lambai seperti memanggil-manggil. “Ah, ini pasti bayang-bayang ketakutan yang dialami oleh siapa saja yang sedang melarikan diri,” bisik hati Anuraga, kemudian menggamit jemari Meriki untuk meneruskan langkah. Butuh lebih kurang lima belas menit menembus tengah malam sebelum mereka sampai di ujung desa, tempat seorang kawan bersiaga dengan mobil untuk membawa mereka kabur.

Agung Kosala menyaksikan pasangan itu dari bawah pohon belimbing dengan gundah dan berdebar-debar. Ia masuk kamar dengan gontai. Perasaannya campur aduk antara kebanggaan menolong seorang sepupu untuk menemukan pasangan dan kasih sejati, dengan penyesalan atas dirinya yang selalu gamang setiap berhadapan dengan cinta dan libido.

Di depan cermin Agung Kosala menatap sekujur tubuhnya lama-lama sembari menggeleng-gelengkan kepala. Matanya basah oleh kesedihan yang menimpa, sesuatu yang pasti terjadi setiap ia mencoba bersungguh-sungguh dengan perempuan-perempuan yang pernah ia kenal dekat. Pada akhirnya ia terpaksa dengan dada sesak melepas wanita-wanita itu, melarang mereka meneruskan hubungan dan menjalin ikatan. “Beginilah nasib laki-laki loyo!” teriaknya menghantamkan jidat ke cermin. Tangannya meremas kelamin yang tak pernah tegak sepanjang hidup. Sumpah serapah berhamburan dari mulutnya, mengutuki diri sendiri hidup dengan kejantanan yang rapuh, tanpa gairah, tanpa petualangan berahi.

Dari kamar berjarak enam ruang, Biang Buni terjaga oleh derak pecahan kaca itu jatuh ke lantai. Biang tersenyum, karena ia menduga pasti terjadi pergumulan kecil oleh penolakan Meriki ketika didekap Agung Kosala. “Perempuan memang kadang perlu sedikit paksaan untuk merasakan kehangatan dan kenikmatan,” kata hati Biang.

Tapi, ketika pagi ia menerima laporan Ayu Meriki melarikan diri, alangkah berang Biang. “Sudahlah, biarkan saja, tak usah dicari! Ia minggat sebagai bangsawan, itu yang penting!” teriaknya sengit.

Sejak pelarian Ayu Meriki, Biang Buni kian kerap melontarkan sumpah serapah. Para pelayan dan abdi puri berkali-kali disemprotnya dengan caci maki. Kata-kata kotor berhamburan saban hari melayang-layang di semua sudut-sudut puri. Orang-orang desa sangat yakin, sumpah serapah itu akan bertengger di pucuk-pucuk pohon sawo yang menjulang, mendekam lama, berbiak menjadi kutukan. Pada saatnya kutukan-kutukan itu akan beranak pinak menimpa warga puri dan keturunannya. Orang-orang sadar dan yakin, alangkah berbahaya melontarkan sumpah serapah. (*)


Denpasar, 2012

Takdir

Cerpen AS Sidqon

Terbit di Republika, 3 Maret 2013




Bahan Referensi Cerpen - “JADI, … kamu ingin Tuhan menghidupkan kekasihmu kembali?”
 
“Iya!”

Aku sedang berlari dan itu hari kelima aku berlari. Dengan dada yang sesak. Kesedihan yang menikam. Juga marah semarah-marahnya kepada Tuhan!

Lalu aku sampai di hadapan laki-laki ini. Laki-laki berserban putih dan berpakaian serba putih. Dia tentu bukan Tuhan yang sedang aku cari, tetapi aku rasa dia wakil-Nya. Bukankah orang yang saleh itu dekat dengan Tuhan? Orang yang dekat dengan Tuhan tentu boleh berbicara mengatasnamakan Tuhan.

“Permintaanmu aneh! Mustahil bagi-Nya menghidupkannya kembali di dunia ini.”

“Mustahil? Adakah sesuatu yang mustahil bagi Allah?”

“Maksudku, suamimu itu mustahil hidup kembali.”

“Begitu lemahkah Allah sehingga untuk menghidupkan satu nyawa saja Dia tidak sanggup? Allah tentunya Maha Kuasa, bukan, Kek?”

“Bukan begitu masalahnya, cucuku!”

“Sudahlah, kumohon Kakek tidak menolak permintaanku. Aku hanya ingin Kakek berdoa kepada-Nya agar kekasihku itu hidup kembali. Hanya berdoa, Kek!”

“Kamu depressi, cucuku! Kamu terlalu sedih dengan musibah yang menimpamu.”

“Iya, Kakek. Aku memang depressi, aku memang sedang kurang waras! Aku mengerti, Kek. Tetapi, apakah Kakek tidak mau berdoa untukku? Andai aku selama ini dekat dengan- Nya aku bisa meminta sendiri, tidak perlu meminta bantuan Kakek.”

Kulihat orang yang kupanggil dengan sebutan kakek itu terdiam. Mungkin dia sedang mempertimbangkan permintaanku yang sepele itu.

“Tidak bisa, cucuku!”

“Tidak bisa? Mengapa tidak bisa? Bukankah Kakek selalu berdoa kepada Tuhan?”

“Tapi, aku tidak pernah berdoa kepada Allah untuk menghidupkan orang yang telah mati. Aku orang biasa, bukan nabi. Lagi pula apa perlunya aku berdoa— maaf ya, cucuku—konyol demikian!”

“Jangan salah, Kakek. Ini sangat perlu dan ini juga bukan konyol. Aku sangat mencintai lelakiku itu. Dia adalah kebahagianku, Kek. Kami baru menikah, kami baru merayakan cinta kami yang suci! Jadi, jika dia tidak bisa hidup kembali, sebaiknya aku mati saja!”

“Sabarlah, cucuku! Jangan berkata begitu….”

“Kakek, apa bedanya berdoa untuk meminta rezeki dengan berdoa untuk menghidupkan lelakiku itu?”

Kakek tersenyum, entah apa maksudnya.

“Sudahlah, cucuku! Saat ini aku tidak bisa menjelaskan kepadamu panjang lebar. Yang pokok, kamu harus sabar. Kamu harus terima kematian lelakimu itu. Sebab, semua orang akan mati. Semuanya telah ditentukan oleh Allah!”

“Begitukah? Apakah rezeki manusia belum ditentukan oleh Allah sehingga kita masih patut berdoa untuk memintanya?”

“Rezeki dan kematian manusia sudah ditentukan oleh-Nya.”

“O, jika benar demikian, tidak perlu lagi kita berdoa dan berusaha?”

“Tidak demikian. Rezeki dan kematian sudah ditentukan oleh-Nya, tetapi kita tak tahu ketentuan-Nya itu seperti apa. Karena itu, rezeki harus dikejar dan kematian harus dihindari.”

Aku mengernyitkan dahi. Ada yang kurasa masih samar. Mungkin karena jiwaku masih lelah, kejernihan pikiranku tidaklah sempurna.

“Jadi, apa perlunya kita menyakini ketentuan Tuhan atas kematian atau rezeki itu, Kakek?”

“Pertanyaan yang bagus, cucuku. Sungguh tak dapat dimungkiri bahwa soal kelahiran, soal kematian, soal rezeki, soal jodoh, dan banyak hal lainnya adalah hal-hal penting dalam hidup manusia. Sementara, manusia tidak dapat mengendalikan banyak aspek dari hal-hal itu secara mutlak. Kita berusaha terhindar dari kematian mendadak, tetapi bisa saja kecelakaan menimpa kita dan tewaslah kita seketika. Ini seperti yang dialami lelakimu.”

Aku mulai mengerti. Aku merasakan ada seberkas cahaya menyinari pikiranku.

“Cucuku, kau terlalu lelah lahir dan batin. Istirahatlah dulu. Kita teruskan diskusi ini lain waktu.”

“Baiklah, kakek, kalau begitu. Aku akan datang kembali ke tempat ini bila aku telah waras dan aku akan siapkan waktu hingga tuntas Kakek menjelaskan kepadaku.”

***

Seminggu kemudian, aku kembali ke tempat kakek berada. Syukur, tidak sulit menemukannya kembali. Kali ini dia tidak serba putih. Dia memakai kaos oblong warna hitam dan celana komprang pendekar. Bagiku tak penting benar apa yang dikenakan kakek ini sebab yang penting bagiku adalah kata-katanya!

“Cucuku, selembar daun kering yang jatuh di malam yang gelap Allah Tahu dan Allah Berkuasa atasnya. Daun itu mula-mula layu lalu kering karena sebuah proses alamiah, setelah itu ia luruh dari batang pohon dan melayang di udara, ia akan jatuh di mana itu adalah terserah angin yang menghembusnya. Tetapi, kalau Allah menghendaki, bisa saja daun itu tertahan di udara. Tetapi, jika daun itu jatuh ke tanah secara alamiah maka itu adalah kehendak Allah juga. Hanya saja, ini adalah kehendak Allah yang tidak ajaib menurut mata manusia.”

“Teruskan, Kek. Aku mulai paham.”

“Daun tidak bisa memilih tindakannya karena memang demikianlah takdir untuknya. Sementara, manusia dapat memilih tindakannya. Manusia memiliki akal dan hati. Kemampuan manusia ini adalah takdir Allah untuk manusia. Atau, dengan kata lain, kebebasan memilih itu adalah takdir Allah atas penciptaan manusia. Namanya ‘sudah takdir’ maka manusia tidak bisa mengelak dari hukum kebebasan berkehendak dalam dirinya, sekuat apa pun dia menolaknya.”

Emm… Teruskan, kakek!”

“Allah tetap memiliki kekuasaan-Nya pada perbuatan manusia yang dihasilkan dari kebebasannya untuk bertindak itu. Ketika suatu perbuatan terjadi atas keinginan manusia maka Allah berkuasa untuk ‘membiarkan’ perbuatan itu secara seharusnya. Pembiaran ini adalah kehendak-Nya juga yang berasal dari kekuasaan Mutlak-Nya. Jadi, jika sesuatu terjadi, maka itu adalah atas kehendak Allah, sama juga bila sesuatu itu tidak terjadi maka itu juga atas kehendak Allah.”

“Dalam kata lain, kekuasaan Allah itu mutlak atas segala sesuatu. Kekuasaan mutlak itu dicirikan dengan bahwa kekuasaan-Nya itu meliputi segala sesuatu tanpa kecuali, begitu ya, Kakek?”

“Benar. Kau sudah bisa menyimpulkan. Bagus-bagus. Apa ini berarti kamu sudah mulai melupakan kesedihanmu itu? Cepat sekali. Satu minggu kau sudah dapat menguasai diri.”

“Alhamdulillah, Kakek. Pertemuan dengan Kakek minggu kemarin sangat berarti bagi ketenangan jiwaku. Tetapi, Kakek, bolehkah diskusi ini kita lanjutkan? Bagaimana dengan orang yang mati membunuh dirinya? Apakah kematiannya itu telah ditentukan oleh-Nya atau karena pilihan bebasnya?”

“Begini, dalam pandangan mata manusia tentu saja orang itu berkehendak bebas sehingga bunuh diri itu terjadi karena kehendaknya. Tetapi, tentu saja bahwa hal itu sudah merupakan ‘ketentuan atau takdir- Nya’. Ketentuan itu telah ditetapkan zaman asal atau, sering disebut zaman azali. Nah, di sini otak manusia tak mampu memahami hakikat zaman azali.”

“Mengapa tak mampu, Kek?”

Ketahuilah bahwa Allah SWT itu bersifat Awal dan Akhir. Otak manusia hanya memahami bahwa yang awal pasti bukan yang akhir. Yang akhir pasti bukan yang awal. Bagaimana sesuatu yang awal itu menjadi yang akhir atau sebaliknya? Sampai kapan pun akal manusia tak dapat memahaminya. Otak manusia berjalan pada ruang logis dan kronologis.”

“Ini menarik, Kek.”

“Contoh lain, Allah itu Dhohir (tampak) dan Bathin (tak tampak). Dua hal yang bertentangan dalam satu hakikat tentu saja tidak masuk akal atau mustahil menurut akal. Tetapi, Allah yang Mahatinggi mutlak memiliki sifat atau kualitas demikian. Jadi, tidak bisa dipahami hakikat keilahian Allah jika yang kita gunakan adalah akal kita an sich. Otak kita tidak dalam kapasitas untuk itu. Dalam sebuah sabdanya, Nabi Muhammad melarang kita berpikir tentang Zat Allah, dia menganjurkan kita untuk berpikir tentang ciptaan-ciptaan-Nya saja.”

“O begitu ya, Kek. Kalau begitu, Nabi kita itu sangat bijak ya, Kakek. Dia tahu bahwa sebagian manusia akan mengarahkan pikirannya ke sana sehingga dia perlu memberi warning.”

Nah, aku jadi ingat, bijaksana! Al-Hakim! Allah SWT Mahabijaksana. Tadi aku jelaskan bagaimana Allah itu berkuasa mutlak. Tetapi, ingatlah bahwa Allah SWT juga Mahabijaksana atau al-Hakim. Sehingga kehendak-Nya atau kekuasaan-Nya yang mutlak itu sejalan dengan hikmah kebijaksanaan-Nya. Hikmah kebijaksanaan-Nya itu yang pertama merupakan hukum keadilan (sebab-akibat). ”

“Kakek, berhentilah dulu. Jangan panjang-panjang. Aku perlu mencernanya pelan-pelan.”

Dia menghentikan kata-katanya, memberiku kesempatan untuk bernapas sejenak tanpa beban berpikir.

“Cukup? Aku lanjutkan. Dari pengertian ini, maka perbuatan atau kehendak bebas manusia dijamin oleh Allah SWT. Aku ingin menyatakan di sini bahwa Allah SWT hanya sesekali ikut campur sehingga tidak mengikuti hukum sebab-akibat ini—setidaknya menurut pengamatan manusia. Contohnya, ketika Dia membuat api menjadi dingin bagi Nabi Ibrahim. Laut yang tenang tiba-tiba terbelah memberi jalan untuk Musa dan pengikutnya.”

“Kalau begitu kita cukup mengandalkan kemampuan diri sendiri dan apa yang telah diberikan Allah dalam alam raya ini. Kita tidak perlu memohon bantuan dan pertolongan-Nya sebab segala sesuatu umumnya hanya bertumpu pada hukum keadilan Allah alias hukum sebab-akibat?”

“Ya dan tidak!”
 
“Ya dan tidak? Jangan Kakek membuatku bingung.”

“Orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula yakin akan adanya bantuan dan campur tangan Allah, bolehlah dia menganggap sepi Allah. Bolehlah dia bertindak hanya dengan percaya kepada kemampuannya, percaya pada hukum sebab-akibat saja. Tetapi manusia yang beriman tidak boleh demikian. Dia, sebaliknya, diperintahkan untuk berdoa, diperintahkan untuk percaya pada bantuan Allah, diperintahkan untuk yakin adanya campur tangan Allah dalam kehidupannya.”

“Bagaimana cara Dia membantu urusan kita, Kek?”

“Dia Mahacanggih sehingga Dia bisa bantu kita dengan berbagai cara yang kita sendiri mungkin tidak menyadarinya. Dan, salah satunya ialah melalui hati. Allah senantiasa berkuasa atas hati kita.”

“Maksud Kakek, Allah membisiki hati manusia atau ada makhluk lain yang ditugaskan, malaikat, misalnya?”
“Benar kamu.”

***

“Kakek, sekarang ini sudah jam satu siang. Aku belum makan sejak pagi. Seandainya sekarang ini aku berdoa kepada Allah agar Dia mendatangkan dua piring nasi gudek— yang sepiring untuk aku dan yang sepiring lagi untuk Kakek—apakah, satu, Dia akan memenuhi permintaanku itu dan dua, apakah aku patut berbuat demikian?”

“Dia pasti insya Allah tidak akan mendatangkan dua piring nasi gudek itu.”

“Mengapa begitu, Kek?”

“Allah bertindak dengan kebijaksanaan. Bukan dengan kesembronoan. Ini adalah kepastian.”

“Oke! Ini berarti aku tidak patut melakukan doa yang semacam itu ya, Kek. Tetapi, seandainya aku benar-benar haus akan bukti yang bisa membuat hatiku mantap terhadap perkara bantuan Allah ini, bolehkah aku berdoa yang semacam itu?”

“Boleh saja. Tetapi, Allah-lah yang mempertimbangkan kepatutanmu untuk mendapatkan keajaiban itu. Dan, yang penting bahwa kamu juga siap menerima risikonya.”

“Risiko, apa maksudnya, Kakek?”

“Bagaimana seandainya Allah SWT tidak kunjung menunjukkan keajaiban yang kamu minta itu, apakah kamu sanggup menderita batin sebab menunggu-nunggu dan menduga-duga?”

“O… gitu ya, Kek?”

“Dan, bila akhirnya Dia tidak berkenan, apakah kamu mau menjadi orang kafir? Siapkah kamu menjadi orang kafir?”

“He..he…he… kok jadinya bisa begitu!”

“Orang-orang dahulu di zaman Nabi meminta keajaiban. Bahkan, ketika keajaiban itu benar-benar ditunjukkan, orang-orang tersebut tetap dalam kekafiran.”

“Bagaimana dengan orang-orang sesudah nabi, aku dengar mereka juga mengalami keajaiban-keajaiban. Benarkah ini, Kakek?”

“Benar sekali. Mereka adalah para waliyullah. Mereka adalah orang-orang yang berada di garis depan dalam bertaat kepada Allah. Mereka tidak meminta keajaiban seperti kamu—maksudku, seperti yang kamu rencanakan dan omongkan tadi. Mereka mendapatkan keajaiban adalah tanpa mereka minta.”

Wah, hebat sekali mereka. Aku ingin menjadi waliyullah seperti mereka. Kenalkan aku kepada mereka, Kek?”

“Tetapi, apa kamu yakin bahwa kamu bisa menjadi waliyullah?”

“Bukankah kita bebas untuk menjadi apa, sesuai dengan keinginan kita? Dan, bahwa Allah yang Mahabijaksana menjamin kebebasan kita itu. Sehingga, jika aku sungguh-sungguh menempuh jalan ini maka Dia pasti akan menolongku dan membantuku. Begitu kan, Kek? Kakek ini pasti menguji aku, iya kan?”

“Kamu lulus, cucuku!”

Aku merasa senang mendengar predikat “lulus” itu. Kini hatiku serasa seluas samudera. Tidak ada lagi dalam hatiku kesedihan sebab lelakiku yang telah tiada. Aku rasa yang terpenting buatku sekarang adalah mejalani hidup ini penuh optimisme sebab kini aku tahu secara pasti bagaimana menempatkan kebebasanku berbuat dalam kerangka ikhtiar dan bagaimana aku sangat yakin bahwa Allah akan mengulurkan tangan-Nya untukku.

“Kamu melamun, cucuku?”

“Oh ya…!” (*)



Subah, 22 Januari 2013
Penulis lahir di Batang, 6 Januari 1970. Saat ini tinggal di Kompleks Ponpes Subhanah, Subah, Batang, Jawa Tengah.

Kebusukan

Cerpen Benny Arnas

Terbit di Suara Merdeka, 3 Maret 2013




Bahan Referensi Cerpen - KEPALANYA lengkung pisang tanduk, kedua bola matanya berwarna magenta, telinganya adalah daun sirih yang sudah tua, mulutnya yang berlumur darah akan menampakkan taring yang menyerupai belalai gajah yang baru tumbuh.

Anak itu melihat hantu.

Katanya, jumlah hantunya banyak sekali. Herannya ia melihat hantu-hantu itu justru bukan di rumah kosong, gedung yang tak terawat, atau di pemakaman umum. Ia melihatnya di Hotel Permata, hotel bintang lima di kota kami. Akulah yang mengajaknya ke sana. Aku pun tak tahu kalau sebenarnya anak itu memiliki kelebihan.

“Dia bukan anak indigo. Dia hanya diberi Tuhan untuk mengungkapkan kebusukan,” ujar Maliki, ayahnya ketika mendengar simpulanku tentang kemampuan anaknya. “Dia bahkan tidak bisa melihat hantu!” lanjutnya.

Ah, jawab laki-laki yang sehari-harinya berprofesi sebagai kontraktor itu terdengar ngawur, menurutku.

Aku mendatangi rumah Maliki untuk sama-sama pergi ke pertemuan para anggota DPRD kota kami. Kami sendiri bukan anggota DPRD. Tapi kami tertarik untuk mencoba mencalonkan diri karena beberapa teman yang sudah menduduki jabatan itu mengalami perubahan hidup, khususnya di bidang ekonomi, yang grafiknya meningkat tajam. Andre yang dulunya seorang aktivis LSM yang masih numpang dengan mertua, kini sudah punya sebuah rumah mewah dengan Alphard dan Grand Livina yang menghuni garasinya; Maria, anak pengusaha sawit di kabupaten yang sering kami juluki otak udang ketika SMA dulu, justru kerap diundang ke sana-sini menjadi narasumber dalam seminar tentang perempuan—tentu karena ia adalah satu dari segelintir perempuan yang jadi anggota DPRD; Agung yang dulunya hanya pelukis yang sempat membuka penyewaan tenda, kini selalu wara-wiri dengan beberapa ajudan yang selalu mengawal—ia benar-benar tidak lagi tampak sebagai seorang pelukis pinggiran; lalu Nui, Aliakib, dan Arwin….

Mengapa orang-orang yang sangat kukenal -beberapa bahkan teman SMA- justru yang menjadi orang berhasil. Wakil rakyat. Ah, sungguh jabatan yang bersahaja dengan konsekuensi yang mewah. Adakah yang lebih membanggakan sekaligus membahagiakan selain menjadi wakil rakyat?

Ah, aku dan Maliki tentu punya tujuan yang berbeda. Maklum dia termasuk orang berada, sementara aku hanya pengajar honorer di beberapa sekolah swasta sambil sesekali nulis di koran lokal.

O ya, aku kembali lagi pada ceritaku tadi.

Ketika aku baru saja hendak memencet bel rumah Maliki, anaknya yang kutaksir berusia tujuh tahun merengek-rengek kepadaku. Ia minta diajak ke Hotel Permata. Ternyata Maliki telah pergi ke hotel itu tanpa menungguku (atau aku yang telat datang?) dengan meninggalkan putra semata wayangnya yang sangat ingin ikut. Anaknya menangis, benar-benar menangis. Sesekali histeris. Sesekali sesenggukan. Aku tak tega. Meskipun dilarang pembantu, aku berkeras membawa anak itu masuk ke mobilku. Tentu saja pembantunya tidak perlu curiga karena tentu dia mengenalku sebagai kolumnis di surat kabar lokal. Lagi pula aku pernah dua kali bertandang ke rumah Maliki ketika anaknya sedang tidak ada.

“Nanti dia malah membuat gaduh, Pak,” ujar pembantunya dengan nada khawatir.

“Insya Allah kalau sudah ketemu papanya, dia akan tenang,” ujarku sok tahu.

***

SANG anak masih belum sadarkan diri ketika dibawa ke rumahnya. Tapi syukurlah ia sudah sempat meneguk setengah gelas air putih ketika sempat siuman sebentar dalam perjalanan tadi.

“Aku minta maaf sudah lancang mengajak anakmu ke hotel tadi, Lik,” ujarku sembari memijit-mijit kaki kanan putranya. “Aku memang tidak tegaan melihat anak-anak menangis. Apalagi nangisnya keras banget. Maaf, istrimu ke mana ya, Lik?”

“Kebetulan akhir-akhir ini istriku sibuk penyuluhan antinarkoba ke beberapa pusat rehabilitasi di luar kota. Dia dikontrak sebuah perusahaan produk kesehatan untuk tugas itu. Sudah ku-BBM. Kebetulan dia baru landing tadi. Dia langsung ke sini. Mungkin sebentar lagi tiba,” jawab Maliki. Aku tidak melihat ada raut ketegangan di wajahnya karena peristiwa memalukan di hotel siang tadi: putranya menceracau karena melihat banyak hantu dalam ruangan hotel, sebelum kemudian pingsan.

“Sekali lagi anakku bukan indigo,” ujarnya.

Memangnya indigo itu sebagai keburukan, pikirku.

“Dia paling takut kalau ke tempat ibadah. Aku kan Islam dan istriku Kristen. Katanya di masjid dan gereja banyak orang nyunggi.”

“Maksudnya?” aku penasaran.

Banyak imam masjid, pendeta, dan para jamaah yang membawa macam-macam makhluk dan benda di atas kepala mereka. Istilahnya nyunggi. Ada yang nyunggi artis perempuan telanjang, uang segepok, mobil mewah, bahkan dua ekor ayam yang tengah disabung.

Aku terenyak. “Jadi, jangan-jangan tadi…?”

“Ayooo, kamu mulai berprasangka buruk sama kawan-kawan kita di hotel tadi,” potong Maliki sembari tersenyum ganjil.

“Ya, jangan-jangan tadi dia melihat hal serupa di kepala teman-teman kita yang anggota DPRD itu, Lik.” Entah mengapa, aku mengutarakan hal itu dengan sedikit gembira.

“Tidak, tampaknya tidak seperti itu,” kilah Maliki. “Tidakkah kaudengar kalau dia melihat banyak hantu tadi?”

Aku manggut-manggut sambil berpikir.

“Anakku tadi menceracau kalau banyak hantu berkepala kayak pisang, bermata merah, telinga kayak daun, dan mulut bertaring dan penuh darah.”

Aku bergidik. “Menyeramkan ya, Lik? Apa mungkin teman-teman kita yang berhasil itu sebejat itu, ya? Penglihatan anak-anak kan masih bersih.”

Seorang wanita memasuki kamar dengan langkah tergesa. Aku kenal wanita cantik dengan stiletto, blazer, dan rok selutut itu. Walau lupa namanya—sebagaimana aku yang juga lupa nama anaknya, tapi aku masih ingat kalau dia adalah istri Maliki. Dia mencium berkali-kali kening putranya yang masih terbaring.

“Besok-besok Bibi harus bener-bener dibilangin. Anak kita harus benar-benar dijaga,’’ ujarnya tanpa menoleh.

Maliki melirikku yang merasa tak enak hati. “Tadi memang salah Papa. Papa yang minta teman Papa jemput dia. Papa kasihan saja setelah dapat telepon dari Bibi kalau dia nangisnya keras banget.” Ah, Maliki rela pasang badan untuk temannya.

“Alhamdulillah!” seru perempuan itu—seolah tak memedulikan penjelasan suaminya—begitu mendapati putranya perlahan-lahan membuka matanya.

Setelah minum air hangat, wajah anak itu kembali seperti tidak terjadi apa-apa.

“Apa yang kamu lihat tadi hanya perasaanmu, Sayang,” ujar perempuan itu seperti sudah hapal tabiat anaknya yang memiliki kemampuan lebih.

“Tidak, Ma. Aku kan sering melihat hantu-hantu seperti yang ada di hotel tadi.”

“O ya?” seru wanita itu sembari memandang Maliki. “Di mana itu, Nak?” Ia kembali memutar leher ke arah anaknya.

“Di rumah.”

“Jadi, di rumah kita banyak hantunya?” tanya mamanya.

“Di sini juga ada, Ma,” jawab putranya. “Kepala Mama kayak pisang, gigi Mama bertaring, telinga Mama lebar, mata Mama ungu, hidung Mama tajam, Mama abis ngisap darah ya? Papa juga. Sama kayak Mama. Aneh-aneh sekali….”

Maliki dan istrinya bersipandang. Ada raut kecemasan yang mengerubungi wajah mereka.

Tiba-tiba putranya menoleh ke arahku.

Aku ingin berlari keluar tapi kedua kakiku seperti dipaku. Kini anak itu mengangkat sebelah tangannya, menunjuk ke arahku. Aku sertamerta merasa menjadi manusia penuh dosa. (*)


Lubuklinggau, 8-9 Januari 2013

Sakura Gugur di Kyoto

Cerpen Yusri Fajar

Terbit di Media Indonesia, 3 Maret 2013



Bahan Referensi Cerpen - AKU dan kau duduk di bawah pohon sakura di tepi Sungai Kamo, Kyoto. Ratusan hari kita berdua menanti sakura yang hanya bisa disaksikan tak lebih dari lima belas hari.

“Jika tak memesona ketika mekar sehingga membuat orang-orang yang telah menunggunya kecewa, sakura pasti bunuh diri, andai bisa. Untuk apa berkembang jika memalukan dan tak memancarkan keindahan,” katamu. Mendengar m kalimatmu, aku teringat banyak orang di negerimu yang menjemput maut dengan menusukkan katana ke perut setelah gagal menjaga amanat dan harga diri.
 
Sambil menikmati hanami dan menyandarkan kepala di bahuku, kau berbisik takut jika aku melakukan harakiri. Padahal sejak meninggalkan Indonesia, tak pernah terlintas dalam pikiranku untuk bunuh diri di Jepang.

Seandainya aku gagal meraih gelar, aku tak akan memilih jalan yang bagiku laknat itu. Mengapa kau tiba-tiba menyinggung bunuh diri dan takut aku melakukannya? Kau diam, lalu mengalihkan pandanganmu pada sakura yang jatuh di permukaan sungai.

Beberapa saat kemudian, kau bercerita tentang kekasihmu yang mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di tepi Sungai Kamo. Ia malu dan harga dirinya hancur karena gagal menyelesaikan instalasi listrik di Stasiun Kyoto.

Padahal, ia dikenal sebagai lulusan terbaik Fakultas Teknik Universitas Ritsumeikan. Matanya melotot dan lidahnya menjulur setelah seutas tali yang ia ikatkan di pohon sakura menjerat lehernya. Kematian terhormat dan heroik baginya, namun tragis bagimu.

Apakah kau ingin mati menyusul kekasihmu untuk membuktikan cintamu? Hatiku yang dibakar cemburu. Aku menenggak sake dari botol ungu dan menyantap sushi yang kita beli di restoran Keiten Sushi.
Hanami yang kita lakukan pertama kali di tepi Sungai Kamo ini menjadi tegang. Aku sadar kau masih terkenang orang yang nyawanya telah melayang.

***
 
Pertemuan pertamaku denganmu terjadi beberapa bulan lalu di lantai dua gedung Konshikan kampus Kinugasa Universitas Ritsumeikan. Kau memperkenalkan diri, Kaori Hasegawa, mahasiswi doktor program studi perdamaian.

Setelah pertemuan itu, kau dan aku makin akrab. Kau sedang memasuki tahap akhir penyelesaian disertasi doktormu. Dari ceritamu, aku tahu kau telah beberapa kali pergi ke Indonesia, meneliti konflik yang mengakibatkan ratusan manusia meregang nyawa.

Ketika mengunjungi Poso, kau bertemu orang yang mengeluarkan senjata tajam, juga senjata api rakitan. Jantungmu berdegup kencang, maut membayang dalam pikiranmu. Dia bilang harus selalu waspada, siapa tahu musuh datang menyerang.

Dari wawancara dengannya, kau tahu ia berani dan rela mempertaruhkan nyawa demi harga diri dan menjunjung tinggi martabatnya. Apakah kau tak takut menelusuri daerah-daerah konflik di Indonesia? Kau bilang, itulah tantangan menjadi peneliti di daerah konflik, tantangan yang bagimu belum sebanding dengan tantangan kakekmu ketika melakukan kamikaze dalam perang dunia kedua yang kejam dan mengerikan.

***

Menjelang senja, aku dan kau meninggalkan tepian Sungai Kamo menuju kampus. Kau menggenggam tanganku. Kuharap bayang kekasihmu tak lagi menghantuimu. Tiba di halaman kampus kita duduk di bangku warna merah sambil menikmati teh hijau panas.

Di pojok halaman berdiri panggung kayu setinggi setengah meter, tempat kau pernah berorasi mengkritik pemerintah Jepang yang kau nilai gagal menekan angka bunuh diri.

Harakiri kini tak lagi dengan merobek perut dengan katana, tetapi juga gantung diri (seperti mantan kekasihmu), minum racun, menabrakkan diri ke kereta, hingga terjun dari ketinggian. Temanmu dari Tokyo menulis disertasi tentang harakiri. Sementara kau lebih tertarik meneliti konflik etnik.

“Cokro,” kau memanggilku dengan rona wajah muram. “Sensei Nakata tidak puas dengan hasil penelitianku di Indonesia. Disertasiku belum seperti yang dia harapkan. Aku masih butuh data tambahan agar analisisku makin tajam. Menurutnya, penelitianku kurang mendalam dan tidak maksimal,” tuturmu menceritakan Profesor Nakata, pembimbing disertasimu, yang perfeksionis.

“Apakah kau masih punya waktu untuk merevisi dan melakukan investigasi?”

“Tidak. Tiga minggu lagi aku harus mengumpulkan disertasiku.”

“Kau masih punya cukup waktu,” kataku membesarkan hatimu karena aku tak ingin kau menyerah. Kau tahu, Kaori, kegigihanmu dalam mengerjakan berbagai tugas kuliah membuatku kagum. Kau tak hanya cantik, tapi juga pandai beropini. Aku tak rela jika kau gagal meraih gelar.

“Setelah membaca disertasimu, kurasa kau layak menyerahkannya untuk diuji.”

Sensei Nakata menilai belum layak. Dia sangat kecewa dengan hasil penelitianku. Jika nilaiku jatuh dan aku tak lulus, mau aku taruh di mana mukaku.”

“Kau pasti lulus. Kita akan diwisuda bersama.”

“Aku tidak yakin. Komentar sinis sensei Nakata membuatku pesimis.” Aku diam menyelami gelombang putus asa yang menerpamu bertubi-tubi.

“Cobalah memohon pada sensei Nakata untuk memberimu tambahan waktu. Jika kau perlu pergi ke Indonesia lagi, aku akan menemani dan membantumu.”

“Tambahan waktu tak akan berarti. Sensei Nakata sudah menganggap tulisanku sampah dan tak bermutu. Seminggu lalu, ia bahkan membanting draf disertasiku. Kesabaran dan kepercayaannya padaku telah remuk. Tak ada lagi yang bisa kubanggakan di hadapannya. Harapanku untuk menjadi lulusan terbaik segera terkubur.”

“Kau belum gagal. Kuyakin kau bisa melewati tantangan ini.”

“Aku sudah gagal mempersembahkan yang terbaik, Cokro. Tantangan penelitian ternyata tak bisa kutaklukkan. Aku bukan lagi mahasiswi yang layak dipuji. Bagaimana aku menjelaskan kegagalanku kepada orangtuaku dan teman-teman di Nagasaki? Mereka begitu berharap padaku, sebagaimana sensei Nakata.”

Kau tertunduk dan menyingkapkan rambutmu. Bola matamu mulai dibanjiri air mata. “Apa gunanya hidup dalam kegagalan, rasa malu dan kehampaan? Tak ada lagi kehormatan,” ungkapmu, lalu membenamkan wajah di dadaku. Pilu telah menjadi mata pedang samurai yang menyerangmu dari berbagai penjuru.

Melihatmu ditikam kesedihan begitu nyeri, aku mengajakmu meninggalkan kampus Kinugasa yang mulai gelap dan lengang. Di jalan kau terus dirundung murung. Sampai di apato-mu, kau ingin aku menemanimu melewati malam.

Tapi, seperti kau tahu, ada perempuan yang setia menungguku di apato-ku. Perempuan lemah lembut yang pernah bertemu denganmu ketika kau berkunjung.

Ketika aku pamit pulang dan berjanji untuk datang esok hari, kulihat kegalauan makin pekat menggantung di wajahmu. Dengan berat hati kau melepaskan pelukanmu setelah kecupan hambar kau sarangkan ke bibirku.

***

Langit muram ketika aku menyusuri kawasan Taniguchikarata. Kukayuh sepeda menuju apato-mu di Omurashibasicho. Kupencet bel berwarna merah, tapi tak kudengar langkahmu mengarah ke pintu. Mungkin kau masih terlelap setelah semalam suntuk merevisi disertasi. Mungkin kau tengah berendam air hangat sambil mendengarkan lagu. Aku menunggu.

Sepuluh menit kemudian aku menekan bel kembali. Tetap tak ada jawaban. Apakah kau tak berkenan lagi dengan kehadiranku, Kaori?

Dalam gelisah aku menghubungi ponselmu. Nada panggil berbunyi, tapi tak ada jawaban. Didera penasaran, aku berjalan mendekat jendela apato-mu yang dihiasi kelambu dan ornamen bambu. Dari jendela aku melihat lantai ruang depan dipenuhi kertas-kertas berserakan. Buku-buku terbuka halamannya dan letaknya tak beraturan.

Tubuhmu rebah setengah melingkar di atas tatami. Beberapa helai rambutmu yang panjang dan hitam terurai menyapu wajahmu yang pucat. Laptopmu masih menyala di atas meja. Terpampang fotoku di layarnya.

Aku memanggil namamu dengan suara keras, tapi kau seperti tak mendengar. Aku berlari meninggalkan jendela lalu menggedor pintu dan berusaha membuka paksa, tapi tak bisa. Para tetangga berhamburan keluar dari apato mereka, mengerubutiku dan bertanya apa yang telah terjadi pada dirimu.

Aku tak bisa memberi jawaban pasti. Mereka kemudian mendobrak pintu dengan wajah-wajah tegang dan muram. Begitu pintu terbuka, kami berhamburan masuk.

Di dalam kau tetap diam, bibirmu terkunci, matamu terpejam. Dari jendela kulihat bunga sakura berguguran. (*)


Kyoto, 2012
Yusri Fajar, menetap di Malang. Menyelesaikan studi sastra di Uni Bayreuth, Bayern, Jerman

Rumah Tuhan

Cerpen AK Basuki

Terbit di Kompas, 10 Maret 2013



Bahan Referensi Cerpen - IBUKU adalah perempuan pemilik jiwa yang hangat. Rasa cinta pada sesama telah dibungkusnya dengan rapat, ikhlas, tanpa ada sebuah cela bernama pamrih yang bisa mendesak dan merobeknya. Dia perempuan yang pernah menikmati bahagia bagi dirinya sendiri dan telah merasa puas. Kini bahagianya sudah mencapai tingkat sempurna, merasa tanpa merasa. Kebahagiaan orang lain adalah pula miliknya, begitu juga dengan kesedihan dan kesakitan mereka.

“Mari bertandang. Soalnya, Tuhan selalu berada di sana, dekat pada yang sakit. Di sanalah rumah-Nya.” Itu kata-kata ajaibnya untuk menggugah semangatku, agar bersedia mengantarnya selalu, bertandang ke rumah Tuhan. Seperti ada radar di kepalanya yang akan mengirimkan impuls untuk menggoyangkan sebuah lonceng sehingga seisi rumah akan segera terjaga jika ada seorang sakit yang harus dijenguk. Tak peduli di siang hari yang panas maupun malam dengan kegelapan yang nyata. Memang terkadang membuatku menggerutu, tapi rasa hormat dan sayangku melebihi keinginan membantahnya. Lagipula, rasa penasaran akan Tuhan selalu berhasil dimunculkannya kemudian lewat kalimat bertubi-tubi yang lebih berupa bujukan untukku. Itu membuatku tak hendak melepaskannya sendiri. Semua toh pada akhirnya akan kulakukan demi Ibu.

Selama dalam perjalanan, Ibu akan lebih banyak diam. Seakan-akan doa telah dirapalkan dalam hati sejak kakinya menjejak heksagon paving block terakhir halaman rumah kami. Kadang aku iseng menggodanya dengan menyanyikan lagu-lagu yang kocak, tapi desis dari bibirnya akan mencegahku. Jika itu dirasa tak cukup, sebuah jeweran pada telingaku akan menjadi lebih ampuh.

“Kau tahu, ada hikmat yang harus disiapkan sejak kita bertolak untuk melakukan ini. Sebuah keheningan yang maha, dimulai dari hati kita. Itulah sebutan lain dari sebuah doa. Setiap jengkal jarak yang kita tempuh akan dikumpulkan oleh malaikat untuk ditaburkan di ranjang si sakit. Memberikan mereka kekuatan. Sakit seseorang juga merupakan sebuah peringatan Tuhan agar kita makin merasa dekat dengan-Nya. Bukankah kita beruntung?”

Baiklah. Amin.

Tanpa bermaksud memungkiri bahwa aku adalah anak kurang ajar ketika harus menahan hati dari memaki diri sendiri pada saat menemaninya ke rumah-rumah orang yang bahkan sama sekali tak pernah kukenal, lama kelamaan aku terbiasa. Tapi rasa terbiasa itu tidak bisa mencegahku semakin berani pula untuk beralasan sekali waktu. Apakah jika separuh penduduk bumi dikenalnya, akan semua didatangi jika sedang menderita sakit?

“Kenapa rumah Tuhan tak satu saja? Akan lebih mudah,” kataku suatu hari saat dia memintaku mengantarnya untuk kesekian kali. Itu waktu pertama di mana gejolak darah mudaku tengah menepikan semua kepentingan selainnya hingga berani menolak dan membantah. Ibu mengernyitkan alis.

“Kau tak mau mengantar Ibu?”

“Aku sedang tak ingin pergi kemana-mana, Bu. Ke rumah Tuhan sekalipun.”

“Lancang! Tuhan mendengar perkataanmu dan malaikat mencatatnya. Sebagai ganjaran, kelak jika waktumu tiba, kau akan tertunda di muka gerbang surga menunggu kepastian-Nya. Kepanasan dan sendirian!”

Ngeri mendengar kata-katanya, tapi aku masih mengeyel, “Bekalku sudah banyak, Bu. Sambil menunggu gerbang dibukakan, akan kuhabiskan bekalku itu.”

“Sudah berapa banyak bekalmu?”

“Sebanyak yang Ibu pernah berikan.”

“Kalau demikian, pastilah belum cukup.”

Lalu begitu saja disiapkannya sendiri barang-barang bawaan yang hendak dipersembahkan pada si sakit tanpa mencoba memaksaku lebih jauh. Mungkin dalam pikiran Ibu, aku sudah terlalu besar untuk dimuntahi kata- kata yang hanya mempan pada anak-anak ingusan. Seingatku, itu satu-satunya pembangkanganku, tapi tak lama.

“Kenapa rumah Tuhan tak hanya satu?” tanyaku sedikit berteriak mencoba sedikit menyamarkan perasaan sesalku sewaktu punggung Ibu telah lenyap di balik pagar.

Terdengar jawabannya, “Di mana si sakit berbaring, di situlah rumah-Nya. Jika Dia hanya berumah satu, tentu kau hapali jalan ke rumah itu lalu kau akan menjadi sombong dan jauh lebih bosan dari sekarang.”
Bertambah besar penyesalan, aku berlari mengejarnya, “Ibu! Ibu!”

Tapi dia sudah lenyap di belokan pertama. Padahal ingin sekali aku mendengar apa pun lagi dari perkataannya tentang rumah Tuhan agar kemalasanku hari itu bertemu upasnya. Bergegas kunyalakan mesin sepeda motor, berharap masih tercium aroma tubuhnya di jalanan kecil yang dilewati agar bisa kudapatkan dia, lalu kuantarkan kemana saja dia mau. Pikirku, jika kaki-kaki Ibu lelah, itu sungguh karena kesalahanku. Jika Tuhan tiada di tempat yang dituju karena telah pergi ke rumah lain yang tiada diketahuinya, itu juga karena salahku. Ibu tak ingin terlambat, tapi aku malah memperlambatnya. Maka legalah hatiku saat kutemukan dia beberapa ratus meter kemudian, berdiri di seberang rumah Ayah.

“Tuhan di sini?” tanyaku berdebar. Mungkin Ayah sakit. Tapi Ibu hanya memandangi rumah bercat kuning itu dengan tatapan sarat makna yang sedikit banyak bisa kumengerti.

“Untuk apa aku menyusul Ibu jika hanya untuk mencari Tuhan di tempat ini?”

“Ssh… tak baik berkata begitu. Ibu hanya tiba-tiba ingin melalui jalan ini. Lihatlah, rumahnya yang sekarang tak ada bedanya dengan rumah kita, hanya saja….”

Ya, aku tahu. Sudah jelas rumah Ayah sonder cinta. Dingin tanpa kemungkinan menjadi hangat seperti jika paparan cahaya matahari mampu menyusup lewat setiap celah yang ada pada dinding atau gentingnya. Tak seperti haru-biru Ibu yang bertahan dengan harga diri dan cintanya, Ayah justru senantiasa goyah dan berkali-kali ingin kembali. Tapi pertahanan Ibu memang telah solid melindungi dirinya dari kuasa cinta Ayah. Rumah tangga Ayah yang baru sama bobroknya dengan yang lama. Bedanya, kesalahan bukan dari sudutnya lagi seperti yang terjadi antara dirinya dan Ibu. Ayah sudah mengkhianati Ibu, begitu pula nasib yang didapatnya kemudian.

“Marilah, Bu,” ajakku. Tak sudi aku berlama-lama di tempat itu. Lebih tak sudi lagi melihat cinta yang kadang masih berkobar di matanya. Aku tahu, sudah beberapa kali Ayah datang untuk meminta maaf dan ingin kembali kepada Ibu. Tapi Ibu tak merasa harus memaafkan atau tak memaafkan siapa-siapa, dia hanya tak hendak mempergunakan haknya. Selepas Ayah pergi, satu-satu pintu memang telah ditutupnya walaupun cinta tentu saja tak pernah mati.

Ketika kami telah sampai di satu kompleks perumahan, Ibu turun dari boncengan dan tertegun.

“Di sanalah rumah Tuhan,” tunjuknya ke satu rumah dengan orang-orang yang sibuk. Kami memang telah terlambat, tapi sejak itu hatiku bersumpah untuk tak akan pernah lagi menunda-nunda ajakannya.

***

Hingga akhirnya tiba juga saat-saat yang mungkin paling ditakutkan Ibu. Tuhan menyambangi rumah Ayah.

“Ayahmu sakit. Kita harus bertandang,” katanya pagi ini. Kulihat matanya telah basah seperti baskara terhembalang hujan. Raut wajahnya terlihat lebih bingung dari biasa. Seakan-akan sakit seorang ini merupakan kumulasi dari sakit belasan orang yang pernah dijenguknya. Aku tak sependapat. Ayahku itu toh orang khianat.

“Parahkah?” Ibu mengangguk.

“Kudoakan Tuhan tak ada di sana.”

Tangan Ibu tangkas terangkat hendak memberikan dera pada pipiku, tapi urung. Wajahnya jadi kelabu. Sangatlah tak layak baginya mempertunjukkan ekspresi wajah itu bagi kemalangan Ayah. Bagiku, seribu kali orang itu mengaduh kesakitan atau mengharapkan pertolongan, tak lagi aku akan memperhatikannya. Sebaliknya, tentu saja Ibu berbeda.

“Dengan begini apakah Ibu meninggikan derajat ayahmu dibanding yang lain? Bukankah dia sama saja dengan siapa pun yang tengah menderita sakit?” dia bertanya. Itu seperti sebuah pertanyaan pula bagi dirinya sendiri untuk meyakinkan kembali keyakinannya. Aku tak mau menjawab.

“Gegaslah, Ibu salah telah membiarkan dogma mengeram hampir abadi di kepalamu. Dulu kau masih terlalu muda untuk mengerti dan Ibu meminta maaf untuk itu.”

Hatiku menyangkal. Saat Ayah khianat, aku memang masih terlalu muda, tapi telah mengerti sebuah daya tarik dari sebentuk makhluk bernama perempuan. Daya tarik yang mengisap ayahku ke dalamnya seperti binatang hina tersesat ke dalam lumpur pengisap karena kerakusannya. Dari sana aku tahu, Ibu menjadi seorang perempuan yang tak menarik lagi bagi Ayah walaupun bagiku dia adalah secantik-cantiknya perempuan. Ayah lupa diri.

Akhir-akhir ini dia memang sering bertandang kemari, tapi aku tetap tak bisa melupakan kesalahannya. Enak saja dia berkeinginan pulang setelah merasa puas dan ketuaan mulai menggerogoti tubuhnya. Mungkin dia telah berfirasat, kematian sewaktu-waktu akan menjemputnya. Dan bila saat itu datang dia ingin berada di samping perempuan pertamanya.

“Gegaslah,” bisik Ibu. Tak memaksa, tapi memohon. Setengah enggan aku menuruti hanya untuk menjadi sadar setelahnya bahwa rumah Ayah tak begitu jauh. Ibu memang mengharuskanku untuk ikut, bukan untuk sekadar mengantarnya seperti waktu-waktu biasa. Semoga Tuhan tak di sana, gerutuku dalam hati.

Sepanjang perjalanan kaki-kaki kami, doa Ibu bertebaran. Bagaikan dapat kulihat setiap huruf dalam doa yang keluar dari mulutnya dan memudahkanku mengeja. Tanpa terasa, aku turut berdoa. Tapi itu kulakukan untuk Ibu, bukan untuk Ayah.

Di gerbang rumah Ayah, beberapa orang yang mengetahui hubungan kami dengan si sakit tergopoh-gopoh menyambut. Nyawa Ayah hanya akan lepas jika telah bertemu kami, kata salah satu dari mereka. Terdengar kasar dan tak pantas di telingaku, tapi tak mengapa. Ayah patut mendapatkannya. Ibu pun tak merasa akan membuka jalan kematian bagi Ayah. Hatinya hanya berduka, lain tidak.

Di depan pintu kamar Ayah, Ibu berhenti sejenak. Lengannya merangkul leherku dan didekatkan bibirnya pada telingaku, berbisik, “Pasang senyuman terbaikmu.”

Seketika, pintu rumah Tuhan terbuka. (*)