Cerpen Dahlia Rasyad
Terbit di Jawa Pos, 30 Desember 2012
: untuk Syamsu Indra Usman Hs
Bahan Referensi Cerpen - APA yang kau tahu tentang kopi
sampai-sampai seorang Homer melegendakan kopi sebagai minuman misterius
yang punya kekuatan luar biasa tak terjelaskan? Apa yang kau tahu
tentang kopi jika Raja Louis XIV menemukan rumah kaca untuk pertama
kalinya demi melawan ketidaksanggupan tanahnya menanam kopi? O, apa yang
akan tercetuskan andai saja Newton bukan bertemu dengan buah apel,
melainkan kopi?
***
AH, ketika kopi masuk ke kehidupan Eropa, katamu, dengan jalan
dari Turki ke Venezia, sedikit cengkih dan kayu manis saja, maka para
Imam dari kota Makkah akan menuntut larangan sebar dengan alasan bid’ah.
Hanya saja setelah mencicipi, Paus Clement VIII menyebut bahwa Tuhan
telah memberkati kopi. Lalu dari Itali kopi beranjak ke Perancis, masuk
ke Inggris, seterusnya hingga ke belahan Mediterania.
Tahukah engkau Nun, ada seorang India yang nekad membawa diam-diam
benih kopi keluar dari Arab, menyembunyikannya dalam perut lalu
sesampainya di India ia simpan dan ia tanam di sebuah gua dekat
perbukitan Chikmagalgur hingga akhirnya tersebutlah ‘Old Chick’ itu?
Juga tentang seorang Wina yang mendapatkan kopi setelah ia berjuang
mati-matian mengalahkan pasukan Turki yang menyerang kotanya, lalu hanya
dengan menambahkan gula dan susu saja ia lupa dengan lelahnya
pertempuran itu?
Katamu—seperti yang kau dengar dari si tuan kebun bertahun
lalu—orang-orang Eropa itu membunuhi awak-awak kapal pedagang untuk
membajak kopi karena orang-orang Arab terlalu sulit untuk memberi
kopi-kopinya. Ya, kau masih sangat mengingat itu. Cerita-cerita dari
tuan kebun yang membuatmu terkagum-kagum di ranjang pengantin,
cerita-cerita selepas malam pertama, bahagia, seperti aroma kopi yang
menyesap di ingatan tatkala butir-butir hitam garingnya pecah di lumpang
batu.
Kau mengingat-ingat lagi cerita Nek Muna, inang pengasuhmu dari dusun Pagaralam dekat pegunungan Bukit Barisan sewaktu mandi bekasai
[1] di sungai. Nek Muna menceritakan tentang sultan Ottoman dari Turki
yang sengaja melarang kopi disebarkan di negerinya sendiri, juga
petinggi-petinggi gereja di Afrika dan Yaman yang melarang rakyatnya
meminum air pahit nan candu itu hingga Menelik II dari Ethiopia
memerintah. Ai, biji-biji yang banyak membuat gadis-gadis Ulumusi
dipinang menjadi istri….
Kau tidak memulai cerita apa-apa. Seperti biasa, diam mendengarkan
cerita kawan-kawan pemetik menyampaikan apa yang ia dengar dari
orang-orang kota kalau di sana, di Turki, seorang istri wajib
menceraikan suami jika saja tidak bisa memenuhi kebutuhan kopi
sehari-hari, juga cerita ketakutan gubernur Khair Beg di Makkah yang
mengira kalau kopi akan bisa membuat rakyatnya memberontak pada
kekuasaannya. Cerita-cerita itu bergemerisik seperti dedaunan kopi dalam
lambaian lembut pohon-pohon tak ubahnya bunyi kunyahan para pemetik
saat beristirahat siang di bawah rerimbunan.
Bahkan kau sendiri pun tak tahu mengapa kau bisa menjadi petani kopi
di lereng itu. Setahumu, kau sudah menjadi petani kopi sejak kau melihat
keringat Ayahmu memercik-mercik hangat tatkala ia menghempas
karung-karung berisi buah kopi di dapur talang [2] dengan pundak
melengkung seperti bambu tua yang kasap. Tinggal berbulan-bulan dalam
hutan, memungut sisa-sisa buah kopi di tanah setelah petik racutan usai.
Lalu kau jadikan bubuk sama seperti memanggang daging anak kijang:
menggali lubang, menyalakan api, memasukkan kopi ke dalam lubang, lalu
ditutup untuk kemudian ditunggu hingga butiran-butiran manis kepahitan
itu meletup-letup keluar dari dalam.
Kau tidak punya kisah kopi untuk diceritakan. Saat ada orang
mengatakan bahwa Brazil adalah penghasil kopi terbesar di dunia kau
hanya minder karena biji kopimu hanya asalan. Saat kau mendengar
orang-orang kampungmu yang baru pulang haji mengatakan bahwa Makkah
adalah rumah bagi para penikmat kopi, kau mulai terkenang dengan
hektaran kebun kopi yang dulu pernah menjadi milikmu. Oh, apakah lelaki
itu yang masih menyelinap masuk dalam ingatanmu setiap kali daging kopi
kau gigit di ujung lidahmu? Memberi rasa manis kepahit-pahitan….
Ya, lantas apakah bagimu kopi itu, Nun? Apakah itu rendahan, minuman
memabukkan yang hanya layak untuk para budak? Atau air kiriman dari
malaikat di surga hanya untuk mereka yang beriman? Atau mungkin air
hitam nan elegan yang hanya pantas ada di cangkir-cangkir keemasan kaum
bangsawan? Kau pun mulai menceritakan tentang Kesultanan Usmaniyah yang
menghukum cambuk rakyatnya yang peminum kopi. Kau ceritakan itu lagi,
tentang Raja Gustaff II di Swedia yang menentukan benar salahnya seorang
terdakwa hanya dari minum kopi. Dan akhirnya kau bisa sedikit berani
mengatakan bahwa orang-orang di kerajaan Gustaff itu kini adalah
orang-orang peminum kopi yang paling fanatik di muka bumi!
Tentu saja, tentu saja. Meski kau tidak tahu kalau Beethoven
sampai-sampai perlu menghitung biji kopi yang akan dinikmatinya sebanyak
60 buah, atau Bach yang menyanyikan kopi lebih nikmat dari ribuan
ciuman dalam melodi Kaffee-Kantate-nya.
Telingamu yang mengkerut dan berbulu halus itu sudah banyak mendengar
anak-anak remaja mengelu-elukan Espresso khas Italia yang konon lembut
dan kentalnya tak terkatakan karena canggihnya alat penyeduh yang mampu
hanya mengeluarkan sari kopi saja dengan busa cokelat kemerahan di atas
permukaannya. Hm, kau juga sudah mendengar tentang kopi Hawaii
yang tersohor laiknya candu itu, bukan? Kopi Costa Rica yang mampu
memberikan sensasi seperti menghisap rokok, dan kopi Kenya yang diakui
seantero penjuru terlezat di dunia karena aroma dan rasanya yang seperti
buah berry. Tapi tahukah kau kalau kopi-kopi itu ditanam di Indonesia,
dibawa Belanda ke Perancis, dari Perancis ke Amerika, hingga tersebar ke
pelosok dunia yang namanya mungkin tak pernah kau dengar sama sekali?
Ai, kau hanya terkekeh kecil mendengar itu, tak tahu-menahu apa
pentingnya bagimu. Kau menganggap itu hanya seperti cerita perjalanan
yang sangat menghibur untuk orang-orang sepertimu, para pemetik kopi
yang menghabiskan tenggat umur, turun-temurun, hanya di dalam kebun.
Lalu kau ceritakan tentang kakek buyutmu yang seorang petani kopi
paksaan Belanda di tanah Jawa pada tahun 1696. Oh ternyata…ternyata,
oleh sebab itulah kau hanya diam tak bisa bercerita apa-apa setiap kali
mendengar cerita-cerita tentang kopi?
Tapi ai, mungkin memang kau tak perlu tahu kemana dan untuk apa kopi
itu ditanam. Seperti katamu, ke mana pun kopi ini sampai, di situlah
asalnya akan dibicarakan, sebab kopi-kopi inilah yang akan menceritakan
dirimu, bukan sebaliknya.
***
Sewaktu berumur lima belas, kau gadis ranum semampai berwajah bulat
bak buah kopi mengundi peruntungan di sepetak hektar kebun milik Mang
Ma’un, seorang mantan pasirah marga Pasemah yang tersohor kaya seantero
Empat Lawang. Mengumpulkan butir demi butir kopi di keranjang bambu
petungmu yang hanya sepikul, membawanya ke pancuran air sungai yang
mengalir di lingkaran bahu-bahu bukit, membasuhnya hingga getah daging
yang menempel di bijinya tersaput begitu licin. Kau jemur di atas tikar
pandan kekuningan di pematang-pematang kebun yang tanahnya bergelombang
sebelum akhirnya kau membakar balok-balok kayu pohon karet di bawah
tungku berusia 70 tahun di belakang gudang penyimpanan.
“Kayu ini apinya kecil dan dapat memberi rasa dan aroma yang khas
pada kopi,” tukasmu kalem. Begitulah akhirnya tuan kebun melihat
bokongmu yang bulat dari sebalik kemban bercorak bunga yang kau kenakan. Hingga letupan-letupan kopi yang matang dalam panci besi hitam itu
seperti irama detak jantungmu saat matanya menatapmu penuh birahi. Lalu
hawa bara dari kayu bakar di tungku lamat-lamat tak kau rasakan lagi,
sama panasnya dengan tubuhmu!
Mang Ma’un, begitu akrabnya ia dipangggil, sebetulnya kagum dengan
tangan lembutmu yang merah jambu saat pokok-pokok kopi berbuah itu kau
petik satu-persatu tanpa sedikit pun tungkai yang terlepas dari
dahannya. Tak ada mesin canggih apa pun yang bisa menggantikan tangan
pemetik sepertimu! Camnya penuh kepuasan. Maka tanpa ragu ia pun
menyanggupi bentalan [3] itu: kerbau, beras, kelapa, kemiri, dan berkilo-kilo kopi….
Tapi, apakah kau tidak mengira sebelumnya bahwa mungkin, o mungkin
saja, tuan kebun kaya seperti Mang Ma’un akan banyak memperistri
gadis-gadis muda…? Sebagaimana tuan-tuan kebun di sana, ia pun tentunya
akan beristri banyak pula!
Kau menyungut di titik kenangan itu. Airmatamu mengalir membasuh
kulit wajahmu yang berdebu. Ai, sudah nyaris tiga puluh tahun lamanya.
Mang Ma’un kini bahagia dengan kedua istri mudanya yang masing-masing
telah memberinya anak lima. Sedangkan kau, hanya memberinya seorang anak
lelaki yang bernama Hamim. Anak lelaki yang berketerbelakangan mental,
dengan batok kepala sedikit membesar dan tubuh yang pendek gempal. Hamim
tak bisa berpikir, dan sering bertindak sesuai suasana hati. Jika
perasaannya sedang bosan, ia akan tiba-tiba menghilang entah kemana,
minggat berhari-hari ke rumah orang tak dikenal di dusun tetangga. Jika
ia sedang malas-malasan, ia akan memanjat pohon gamal di kebun-kebun
kopi, dan bertahan di atasnya bahkan sampai malam tiba.
“Lima hektar untuk Rogaya dan lima hektar untuk Saridah?” sungutmu,
melihat wajah Mang Ma’un yang mengangguk tenang. Ia cuma kebagian satu
hektar lantaran hanya punya satu anak.
“Mereka jantan-jantan, Nun. Sedang Hamim tak tahu-menahu cara mengurus kebun.”
“Waktu kau pinang mereka kau sodorkan biji kopi peraman delapan
tahun, sedang aku hanya yang dua tahun. Padahal aku hidup denganmu
sewaktu tanahmu baru ampagh geboh. [4] Kau tega sekali.”
“Pantang bagiku untuk tawar-menawar bentalan, Nun. Kau dengar
sendiri, Wak Madi sangat pandai berpatah kata. Sampai tak ada jalan
untuk mengelaknya,” ujar Ma’un mengingat saat ia bermusyawarah soal
biaya pernikahan dan menentukan tanggal kawinnya dulu di rumah gadis
yang sekarang menjadi istri mudanya.
Nun diam.
“Sudahlah, tak baik kenang-kenang itu lagi. Itu sudah lama lewat. Aku
tak mungkin memberi mereka satu hektar karena anak-anakku harus punya
masa depan.”
Ia memandang Hamim yang memelintir-melintir rambut tipisnya di muka
laman sambil terus mengutak-atik mainan gasing yang ia buat dari kayu
pohon sawo. Melihat anak itu ia tak bisa berbuat banyak lagi, memang
kenyataannya ia anak yang idiot, tak bisa diharapkan untuk meneruskan
usaha kopi ayahnya, membuat hati Nun semakin teriris perih.
Hamim tidak tumbuh laiknya orang normal. Selain pertumbuhan otaknya
yang lamban, tubuhnya juga hanya separo dari tinggi ibunya. Matanya yang
menyipit ke dalam dan kulitnya yang mirip orang mongol membuatnya
tambah berbeda dari anak-anak lain. Entahlah, bagaimana bisa sampai ia
melahirkan anak seperti Hamim. Banyak orang dusun bilang kalau ia sudah
melanggar pantangan bagi perempuan hamil duduk di buku duagho, di mana anak yang dilahirkan akan cacat fisik dan mental, serta tidak disenangi kelakuannya.
Namun Hamim anak yang baik. Ia tidak pernah mengganggu orang ataupun
anak-anak yang sedang bermain. Meski ia tidak pernah diajak bermain dan
kerap dijitak-jitak kepalanya, ia selalu diam dan memilih mengalah. Ia
selalu menemani Nun kemana-mana. Jika tidak sedang dilanda galau, ia
akan bersedia menggantikan ibunya menyangrai kopi dan mengangkat alu
yang nyaris seberat tubuhnya untuk ditumbukan ke lumpang yang sudah
berisi biji kopi sangrai. Ia juga kadang ikut membantu orang yang ingin
berhajat kawin ngersayo, mengumpulkan bambu dan rotan untuk dibuat lembongan atau teratak demi meluaskan tempat masak-memasak, termasuk membongkar teratak itu di malam nyerawo. [5]
Tapi suatu hari saat ia melihat ibunya menangis, ia begitu sangat
tersentuh dan mengguncang-guncang tubuh ibunya agar mengatakan padanya
apa yang membuatnya menangis. Nun tak sanggup mengatakan pada sang anak
untuk memilih berpisah dengan ayahnya. Nun sudah tak sanggup hidup
serumah dengan kedua istri muda suaminya, dan memilih melepaskan segala
harta warisan sehektar kebun kopi yang sudah terberikan untuknya sewaktu
ijab-qabul dulu.
Seketika saja tape nyelai dan dawat dalam ruas-ruas bambu yang Hamim
dapatkan dari membantu orang melubangi tanah sawah berhamburan ke
lantai, keluar-keluar dari pembungkusnya. Aroma khas dari daun kemiri
yang menjadi pembungkus tape itu bertebaran di mana-mana. Ia
memukul-mukul meja kayu dan menghentak-hentakkan kaki tubuh sampai
terduduk, mengusap-usap mukanya yang dibanjiri air mata hingga matanya
yang sipit terbuka ke bawah.
Hamim tak sanggup menahan emosinya yang begitu mendalam, meski
sebenarnya Nun tidak menyangka kalau sikapnya akan sebesar itu. Ia
berlari ke tengah kebun kopi yang sudah nyaris petik merah di mana
pemetik-pemetik kopi sudah siap dengan keruntung mereka untuk memanen.
Namun mereka keduluan Hamim yang membawa segerigen minyak tanah dan
menghamburkan minyak itu ke pohon-pohon kopi yang berbuah. Ia pantik
karbit korek api dengan tangannya yang gemetar oleh amarah, dan
terjadilah….
Pohon-pohon kopi berebahan, menjalar ke pohon penaung yang tumbuh di
sela-sela dan pinggiran kebun, menjalar hingga ujung patok yang
bersebelahan dengan kebun sayur. Luasnya kebun dan bakaran api yang
menyebar membumbungkan asap tebal, membuat Hamim kehilangan arah jalan
keluar. Ia berteriak meminta tolong, namun orang-orang terlalu mustahil
untuk memadamkan api yang menjalar seluas itu, secepat itu. Hamim
akhirnya ditemukan hangus terbakar di tengah kayu-kayu kopi yang telah
menjadi bara.
Nun histeris dan sempat tak sadarkan diri melihat tubuh anaknya
terpanggang seperti biji-biji kopi hitam yang meletup-letup mengeluarkan
rembesan darah dari dagingnya….
Ia gila karena seringnya meratap. Sampai suatu ketika ia bisa sedikit
melupakan kejadian itu ia menepikan diri di ujung selatan kaki bukit
paling rindang dalam sebuah pondok kayu merbau sisa peninggalan sang
Ayah, dan kembali menjadi pemetik kopi….
Begitulah, mengapa kau hanya diam mendengar cerita-cerita tentang
kopi, terkekeh kecil tanpa tahu-menahu apa pentingnya itu, termasuk
tentang kebun yang sebenarnya adalah milikmu sendiri, yang Hamim coba
katakan padamu saat membakar kebun itu.
Ah, kalau Newton bisa terilhami dari sebutir apel, maka apa yang bisa kau katakan dari sebutir kopi, Nun? (*)
Catatan
[1] Mandi Bekasai adalah mandi bersama inang pengasuh dan para bujang gadis di sungai sebelum kedua calon pengantin melakukan kegiatan betangas dan beinai untuk menyambut hari pernikahan. Dalam mandi bekasai ini kedua mempelai saling menyemburkan air secara berbalas-balasan diikuti oleh para bujang gadis desa sambil bergembira dan bercanda. Sedangkan orang tua yang mengikuti mereka mandi memandikan kedua mempelai dengan air yang telah dicampur bunga.
[2] Pemukiman sangat kecil yang menyerupai pondok yang sengaja dibuat karena lahan garap/kebun berada jauh dari dusun, biasanya di kaki bukit yang berjarak puluhan kilometer atau berhari-hari perjalanan.
[3] Bantuan materi dari pihak si bujang yang disepakati dalam musyawarah urun rembuk dengan pihak si gadis perihal mas kawin dan perlengkapan hajatan pernikahan mereka, juga penentuan tanggal pernikahan. Bentalan ini dilakukan oleh kedua juru bicara dari kedua belah pihak.
[4] Hutan yang baru dibabat, belum dibakar atau dibersihkan untuk dijadikan lahan tanam. Bekas babatan kebun ini masih centang-perenang, belum bisa ditanami.
[5] Malam hari setelah hari jadi pernikahan dengan sejumlah acara seperti dzikir, saropal anam dan pembubaran panitia. Siang harinya, sanak keluarga dan handai tolan membongkar lembongan (teratak) dengan jamuan kepala kerbau atau kepala sapi. Lalu inang pengasuh diantar pulang. Bujang gadis dapatan atau muda-mudi yang bekerja secara sukarela membantu membuat dekorasi dan memasak kue untuk persiapan pesta. Setelah usai hajatan, mereka diberi uang saku sebagai uang ganti beli baju, sabun, kain dan hadiah lainnya sebagai rasa ucapan terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar