Cerpen Wina Bojonegoro
Terbit di Jawa Pos, 28 Oktober 2012
Mungkin senja belum usai saat bayu melambai begitu mesra,di
pepohonan itu aku menangkap keberadaanmu. Belum, senja memang belum
usai, tetapi remang sudah mengintip setiap sudut rumah bambuku. Kita
pernah bersua pada suatu masa, dalam tanya kau berkelakar di helai rambutku….
Apa kata mawar ketika ia hampir layu di ambang petang?
Bahan Referensi cerpen - TETABUHAN telah mengipnotis seluruh inderaku, menarik
dengan gegas, meliuk dengan sangat. Pekerjaan harus dimulai, inilah
dunia tempat aku memilih, untuk kukendalikan dan bertahan, mencari jati
diri.
“Darsini! Bergegaslah!” sebuah suara tak asing menyergap kembara
lamunanku. Ya, memang aku harus bergegas. Cermin buram diterangi cahaya teplok tak cukup memantulkan paes-ku yang baru kumula. Srimpi, Unthul-ku yang tengah mekar di usia 14 tahun sudah genap dengan konde, kemben dan jarit parang klithik-nya. Tak lupa sampur merah dengan gembyok kuning emas di ujungnya, yang terlihat terlalu panjang untuk tinggi badannya yang belum matang. Ia telah dirapikan tukang paes yang
bertugas mengurus segala kebutuhan panggung, mas Saemo. Tak lupa mas
Saemo mengikat sampur di belakang leher Srimpi untuk mengurangi
panjangnya. Dulu aku pernah kesrimpet ketika menjadi Unthul yu Tulkijah.
Kendang di tangan kang Widji telah menghentak-hentak ingin menyeretku
terseok-seok. Tapi maaf, gincu di bibirku belum sempurna. Sasak
rambutku belum halus, maka bersabarlah barang semenit atau dua, biar
kupersembahkan penampilan paling elok yang pernah kumiliki.
Pemulas bibirku merosot, jatuh ke lantai tanah. Terburu-buru aku memungutnya. Tiba-tiba… mak pett!!
Gelap di sekelilingku. Bukan, ini bukan lampu teplokku diserobot angin
yang menyusup di jalinan dinding bambu. Gelap ini disertai terpa gasing
di kepalaku, berputar dan agak membikin pusing.
“Darsini!! Tamu-tamu sudah mulai datang. Pak Lurah sudah dari tadi
menunggu!!” suara diluar pintu seperti tak sabar ingin menyeret tubuhku.
Dengan sisa kesadaran yang ada, kupaksa tubuhku berdiri diatas dua kaki
yang hanya dilapisi sepasang sandal Nilex warna merah. Separuh kepalaku masih terjerat lindhu,
dan mataku yang terbuka tetap menggelap, tetapi aku berusaha melangkah
sambil menata nafas. Setelah tenang beberapa jeda, akhirnya
penglihatanku kembali normal. Kepala masih nguing-nguing dan suara
kendang menghentak-hentak memanggil jiwaku. Benar, gamelan, khususnya
suara kendang itu adalah ruhku. Tarianku bergantung pada pukulan
kendang. Sedangkan kendang itu ada dalam kuasa mas Widji.
Hingar bingar di bawah terob daun jati dan blarak segera
membangunkan aku dari segala lamunan dan kegelapan. Inilah hidupku. Mas
Widji menatapku sekilas dari sudut matanya yang cerlang. Aku tahu. Aku
tahu. Dan tepuk tangan membahana. Akulah yang mereka tunggu bersama
aroma berbotol-botol tuak dan bir dan juga anggur cap Orang Tua.
Seperti biasa Srimpi menantiku di ujung terob. Ia berdiri
dengan manis, wajahnya berkilau dengan dagu lancip yang mengagumkan.
Matanya besar dan cemerlang. Diperindah hidung mungil yang lancip. Ia
pasti akan menjadi penari Sindir yang lebih yahud dariku. Betapa tidak? usia 13 sudah menjadi Unthul,
aku dulu memulainya di usia 15 tahun. Sekarang Srimpi 14 tahun, tiga
tahun lagi dia bisa menjadi setenar aku. Dan bila saatnya tiba, orang
akan lebih memilih yang masih muda dan segar dari pada yang tua dan
layu. Ini hukum alam. Aku tak bisa mencegahnya. Tapi kata mas Widji, aku
bisa melakukan sesuatu, mengenakan susuk. Mungkin, mungkin kapan-kapan.
Biasanya semua penari mengenakan susuk, susuk emas yang mahal harganya.
Tembang Kodok Ngorek mengalun rancak dengan sentakan kendang
khas dari mas Widji. Para pria mulai berdiri di pinggir Terob,
bergiliran menanti selendang dariku yang kupungut dari nampan di tangan
Srimpi. Seorang lelaki asing yang wajahnya nampak klimis, berdiri paling
depan. Nampaknya dia berminat untuk menari sampai pagi. Lihat. Matanya
sudah memerah. Aura minuman keras telah menerobos bibirnya dan menyembur
di wajahku. Asem tenan! Meskipun aku menari seperti ini, aku tak
menenggak tuak. Ajaran kang Widji yang selalu ku pegang teguh, orang
lain dan para penyawer boleh roboh di bawah terob, penabuh gamelan, waranggana dan penari Sindir
tak boleh ikut mabuk. Di saat semua orang terjerembab, harus ada yang
tetap waras untuk setidaknya mengangkut mereka ke atas pembaringan.
Kodok Ngorek terus meningkat iramanya. Kukibaskan selendang di antara pacak gulu
dan lirikan maut kepada lelaki klimis itu. Berharap dia segera
menyelipkan lembaran uang ke dalam kembenku, seperti lazimnya para
lelaki penikmat sindir. Senyum manis kupasang sejak tembang Kodok Ngorek
berkumandang. Tetapi hampir penghabisan tembang pun lelaki klimis itu
tak juga merogoh kantongnya. Maka, demi peraturan kelompok kami, aku
harus segera meninggalkannya untuk mencari giliran berikutnya. Hajatan
akan datang, lelaki semacam itu pasti tak punya kesempatan menari lagi
bersamaku.
Tiba-tiba selendangku tertarik saat aku melangkah menjauhinya. Ia
tersenyum, tepatnya menyeringai. Dan sepotong tawa meledak, bersamaan
itu segelas tuak teracung di hadapan mukaku.
“Minumlah cah ayu, maka kutangmu akan kusumpal dengan lembaran
uang kertas setebal tumpukan daun tembakau. Tapi dengan syarat, izinkan
aku membawamu pulang malam ini.”
Memang, ada beberapa penari Sindir yang menerima ajakan untuk minum,
tetapi kelompok kami sepakat tidak melakukan itu. Dan bahwa kami, para
Sindir sering ditawar begitu rupa, adalah hak para pengunjung. Dan,
bahwa beberapa penari memang bersedia dibawa pulang, itu adalah hak
setiap penari. Lelaki ini menawarku dengan kepongahan aneh, dia tak
menunjukkan uang selembar pun, tetapi berani mengumbar kata-kata.
Aku tetap menari, tanpa memperhatikan tingkahnya yang konyol. Lelaki
lain kuhadapi, sementara mas Widji terus mengawasiku dari sudut matanya.
Namun belum genap satu tembang berganti, lagi-lagi laki-laki klimis itu
merangsek maju ke hadapanku, gerakan tubuhnya nyaris tak terkendali,
rupanya minuman keras telah menjajah irama tubuhnya. Karena tak juga
nyawer, aku ogah melayaninya. Kalau tak ada penghasilan tambahan dari
saweran, seluruh penabuh dan perias serta mereka yang terlibat dalam
pertunjukan ini tak ada bonus apa pun.
“Jangan lari dariku cah ayu, aku bakal membuatmu kaya dan
terhormat. Kau tahu siapa aku? Hah? Lihat baik-baik wajahku, kenali aku,
haha… kau tak kenal aku? Sudagar tembakau dari Kalitidu. Kau tak kenal
aku? Hahaha! Darsini, penari tercantik dari Atas Angin, kenalkan… namaku
Karsono. Ingat itu.”
Tiba-tiba lelaki klimis itu menyorongkan wajahnya kearah wajahku. Aku
berusaha mengelak, dengan melengos ke arah kiri, dia terhuyung. Kembali
lagi, nyosor lagi. Perasaan tak nyaman mulai menggoyang konsentrasiku.
Perlakuan seperti ini bukan sekali dua, sering kualami. Tetapi Karsono
ini berbeda. Dia nekad dan tak berduit. Jika benar dia juragan tembakau,
seharusnya sudah menyumpalkan lembaran puluhan ribu ke dalam kutangku
seperti dikatakannya. Nyatanya nihil, dia tak menunjukkan selembar pun
uang hasil tembakaunya. Kulihat sekilas, mas Widji juga mulai geram. Ia
memukulkan jemarinya dengan tenaga dan sedikit amarah pada kulit
kendangnya. Aku paham. Maka aku segera berbalik arah, menuju lelaki yang
lain yang tadi sudah melambaikan lembaran puluhan ribu. Srimpi
mengikutiku dengan gerakan sederhana dan halus. Sementara Yu Semi,
seperti biasa berdiri di belakang kami dengan baskom ditutup taplak
untuk menampung uang saweran.
Tiba-tiba, seseorang menubrukku. Aku menoleh spontan, selendangku
hampir saja menjerat kakiku. Laki-laki klimis juragan tembakau dari
Kalitidu itu menerkam tubuhku, memeluk erat dengan gerakan meringkas.
Seketika aku menjerit, dadaku sesak.
“Kamu jangan sombong, beraninya menolak Karsono heh?” gamelan
berhenti, orang-orang terpaku. Mataku berkunang-kunang. Laki-laki ini
selain bau tuak juga badannya bau sekali, seperti tak mandi seminggu. Ia
berusaha menciumku dengan kasar, aku menjerit dan berusaha keras
menghindari wajahnya. Kudengar suara Srimpi menjerit tertahan. Kemudian
kulihat dengan ekor mata dari arah belakang mas Widji berdiri mendekat,
diikuti beberapa lelaki lainnya, termasuk pak Jono, tuan rumah yang
sedang berbahagia mengkhitankan anak semata wayangnya.
Entah bicara apa, mas Widji dan tuan rumah berusaha meredam si
juragan tembakau. Tak lama kemudian, Karsono van Kalitidu meregangkan
pelukannya, namun tak segera membebaskan aku. Ia menyeringai lebar dan
tiba-tiba ia menyorongkan tubuhku ke lantai, dengan sekali hentak aku
terhuyung, kepalaku menggelap dan gelap benar terjadi sesudahnya.
Sejak itu, aku tak mampu menari lagi. Tubuhku mati separuh. Banyak
yang bilang aku kena santet, kiriman dari sindir lain yang ingin
mengalahkan kepopuleranku. Mas Widji berusaha mengobati aku ke berbagai
dukun, sampai Ngasem, Temayang dan Dander. Tak berhasil. Meskipun
ramuan, jimat dan air bertuah sudah dijejalkan dalam tubuhku. Aku tetap
saja terkapar, menangisi kemudaanku yang belum tuntas. Usiaku masih
muda, 24 tahun ketika itu, harus menggunakan penyangga tubuh adalah
sebuah beban dan siksaan. Hidupku kemudian menggantungkan pada belas
kasihan mas Widji, siapa lagi? Bapak dan emak sudah tak sudi lagi sejak
aku memilih hidup sebagai Sindir. Antara aku dan mas Widji seperti
terjalin sebuah kerja sama diam-diam, di antara hentakan kendang dan seblak sampur,
di antara malam yang lisut dari intai kelalain isterinya. Hingga
sekarang, saat aku terkapar, ia masih menampungku, bahkan isterinya
memanggilku Dik Darsini.
Lasmini, Sindir lain saingan kelompok kami, segera menjadi primadona,
dan Srimpi tumbuh menjadi primadona berikutnya. Butuh waktu tiga tahun
untuk menjadikan Srimpi primadona baru yang sanggup mengalahkan Lasmini,
seharusnya. Tapi, Srimpi mendapat kehormatan dipercepat setahun.
Hari itu terjadilah, Srimpi menjadi Sindir setengah matang, saat ia
dikukuhkan dengan tumpeng dan ayam panggang putih mulus serta dimandikan
dengan kembang setaman dari air tujuh sumber. Apa yang harus kuberikan?
Setumpuk rasa bangga bahwa muridku telah menjadi sindir? Ataukah
cemburu atas keterpurukanku dan nasib yang sial?
Malam itu, upacara digelar sangat meriah. Srimpi begitu memesona dalam usia kinyis-kinyis.
Ia mengenakan pakaian merah menyala serba baru yang di belikan mas
Widji. Dan seperti kuduga, malam ini Srimpi akan tidur di rumah mas
Widji, menyerahkan keperawanannya pada sang guru yang telah membentuknya
sedemikian rupa, seperti aku beberapa tahun lalu. Tetapi ada yang aneh
dengan malam ini. Isteri mas Widji terlihat sibuk, ia berusaha membuat
Srimpi tak bersinggungan dengan mas Widji. Dalam beberapa adegan curi
pandang, aku menangkap adanya kegelisahan terpendam di sepasang matanya.
Dan ketika pesta pengukuhan usai, wajah lama itu muncul kembali di
rumah mas Widji. Laki-laki klimis yang mengaku sebagai juragan tembakau
dari Kalitidu. Ia langsung menghunjam wajahku dengan tatapan mata penuh
penghinaan. Rasanya ingin meludahi wajahnya yang menyebalkan. Kenapa
harus ada wajah menyebalkan itu di malam besar Srimpi?
“Hmm… apa kabarmu cah ayu? Masih seperti dulu? Jual mahal?”
suaranya angkuh dan penuh birahi. Aku tahu, dia hanya ingin menghinaku,
menindas kondisiku yang lumpuh separuh.
“Bagaimana rasanya? Menyaksikan muridmu menggantikan posisimu?”
Itu adalah rasa sakit ke sekian setelah keterpurukanku atas penyakit
aneh ini. Seharusnya aku masih laku dan bisa mencari uang, tetapi Srimpi
dikukuhkan lebih cepat oleh mas Widji, demi kelangsungan kelompok kami.
Laki-laki itu jauh-jauh datang ke Atas Angin untuk menyaksikan pesta
pengukuhan seorang sindir? Mustahil! Dia pasti memiliki niat
tertentu. Kegelisahan di mata isteri mas Widji dan kehadiran Karsono
tiba-tiba menjadikan tanda tanya besar. Dia harus naik Colt ke Ngasem,
lalu berganti lori atau loco pengangkut kayu, menumpang di atas lori
yang hendak mengangkut gelondongan kayu jati untuk diusung ke TPK di
kota Bojonegoro. Dari Sekar dia harus berjalan kaki atau menumpang ojek
untuk sampai ke Atas Angin. Bisa jadi seharian ia baru tiba di sini.
Pasti ada agenda lain selain menyaksikan Srimpi dikukuhkan.
“Jika aku tak berhasil membawamu pulang setelah Widji, maka sekarang aku bisa mendapatkan anak itu sebelum Widji.”
Matanya mendelik garang, penuh rasa kemenangan. Aku terbelalak kaget,
rasanya seluruh tubuhku mati kaku, bukan hanya separuh. Dari dalam
bilik kudengar suara gaduh. Percekcokan kecil terjadi antara mas Widji
dan isterinya.
“Hutang kita banyak, Mas. Menggunung untuk membiayai sindirmu itu. Kali ini mengalahlah, biarkan Srimpi membayar untuk kita.”
“Kau menjual anak buahku?” teriak mas Widji tertahan.
“Harus dengan apa lagi?”
“Dia adalah hakku!”
“Apakah aku dan sindirmu itu tak cukup? Aku sudah mengalah selama ini!”
“Oh… jadi kamu cemburu?”
“Bukan! Ini soal utang piutang saja. Kita harus membayar hutang pada
Jagabaya, mandor Katemo dan mantri Kesehatan. Biaya hidup para panjak
itu besar mas. Selain itu, kita sudah habis-habisan untuk membiayai
sindir cacat itu! Tapi kau masih terus memeramnya, sampai kapan? Sampai
rumah atau sawah kita tergadaikan juga?’
Plakk!!
Suara tangan menampar pipi. Sejak kapan mas Widji memainkan fisiknya
pada perempuan? Seluruh tubuhku benar-benar kaku sekarang. Karsono van
Kalitidu tertawa-tawa senang mendengar pertengkaran dari dalam bilik.
Kumisnya menari-nari mengikuti gerak mulutnya. Sederet cincin akik
menghiasi jemarinya yang sebesar pisang kluthuk. Semakin berasa ingin muntah melihat laki-laki yang mengaku juragan tembakau itu.
Srimpi tiba-tiba muncul dari dalam rumah, berdiri kaku di antara aku dan Karsono. Ia masih terlihat kinyis-kinyis dengan paes
yang belum terhapus. Wajahnya yang kemilau itu terlihat pasrah, ia pun
mendengarkan pertengkaran dari dalam bilik seperti aku. Ia menggamit
lengan Karsono van Kalitidu keluar dari teras rumah ini. Lalu, laki-laki
klimis itu menoleh ke arahku dengan wajah penuh kemenangan.
***
Januari 2012, aku mendapati perempuan penjual lontong tahu di sudut
jalan pertigaan Atas Angin. Ia mengenakan kalung emas sepuhan sebesar
tali kekang kuda. Kebaya brokat warna hijau lumut dan kain jarik
truntum yang dikenakan sangat serasi dengan warna kulitnya yang terang.
Gelung besarnya di usia 60-an menurutku terlalu berlebihan. Tetapi gigi
emas dua biji menunjukkan dia memang berjaya di masa muda.
“Bu Darsini?” aku menegurnya lembut agar tak membuyarkan angan-angan yang tengah direnda.
Ia mendongak, menatap seksama. Aku mendekat, menyalaminya takzim.
“Anak, siapa?”
“Saya Winarsih, anak pak Widji.”
Seketika wajahnya mengeruh. Sebaris mendung tiba-tiba berarak di wajahnya yang semula cerah.
“Saya tidak kenal, Widji siapa?” ia berusaha mengingat-ingat.
“Widji pemain kendang. Bukankah bu Darsini adalah mantan penarinya?”
Ia menggeleng.
“Mungkin Darsini yang lain.”
“Oh, saya hanya ingin menyampaikan surat wasiat, dari almarhum bapak, untuk ibu.”
Ia memucat. Kami terdiam. Suara batuk dari arah dapur, lelaki sebaya.
Kemudian muncul sosoknya, lelaki tua yang sangat rapuh. Ia menatapiku
waspada. Bu Darsini bangkit buru-buru.
“Maaf, Nak, warung mau saya tutup, suami saya tidak sehat. Silahkan mencari warung yang lain ya.”
Aku melangkah bingung. Mata bu Darsini menatapku dengan sejuta tanya,
begitu pula aku. Laki-laki renta itu hanya memandang tanpa kesan. Aku
melangkah, hati-hati menapaki jalan aspal yang dulunya kata ayah, adalah
jalanan macadam dan hanya dilewati dokar dan sepeda motor saja. Tiba di
sebuah tikungan aku berhenti, menatap desa lain dari ketinggian Atas
Angin. Di bawah sana nampak terasering menumbuhkan pepadian menguning
dan rumah-rumah bertebaran dalam jarak berjauhan yang disaput awan.
Sebuah lukisan alam terhampar indah di hadapanku kini. Aku duduk di atas
rerumputan basah, menatap langit yang seakan memeluk desa Temayang atau
Sekar atau Deling di bawah sana. Negeri ini memang indah, negeri Atas
Angin. Di mana ayahku pernah memulakan hidup. Di ketinggian ini
desa-desa sekitar adalah harmoni yang mengukuhkan ketinggian negeri Atas
Angin. Kemudian kukeluarkan sebuah amplop dari dalam tasku, wasiat
ayahku. Karena tak dilem, maka hatiku sangat berhasrat membacanya, sebab
bu Darsini yang ditanyakan almarhum, tak mengakui keberadaannya. Maka
perlahan-lahan kubuka lipatan kertas itu, kertas buram coklat, lipatan
yang lama tak dibuka.
Keberanian itu adalah, kesanggupan untuk melihat kenyataan di balik punggungmu.
Baru sampai pada kalimat sebaris itu, niatku meredup. Kalimat pembuka
yang mengerikan. Gigil halus meruam dalam dadaku, merasa berdosa telah
membuka sesuatu yang bukan hakku. Maka kulipat kembali surat itu,
kembali kumasukkan dalam amplop dan membiarkannya abadi di sana. Setiap
masa menyimpan sejarahnya masing-masing, biarlah begitu. Seperti ibuku
yang memilih bungkam setiap kutanya soal Srimpi dan Karsono van
Kalitidu. (*)
(Surabaya: Mei-Juli 2012)
--------
Catatan:
Paes = Dandanan
Unthul = Penari anak-anak/calon penari
Teplok = Lampu tempel dari bahan bakar minyak
Jarit/jarik = Kain batik yang dikenakan sebagai rok tanpa dijahit
Klutuk = Pisang yang banyak bijinya, biasanya untuk bahan bumbu rujak
Kinyis-kinyis = Kemilau, muda belia
Panjak = Penabuh gamelan
Cah Ayu = Anak Manis
Waranggana = Penembang pada group gamelan
Terob = Tenda biasanya untuk hajatan
Kesrimpet = Terjerat
Sampur = Selendang panjang untuk menari
Nilex = Merk sandal plastik jaman dulu era 70-an
Gembyok = Manik-manik pemberat yang biasanya dipasang di ujung selendang
Lindhu = Gempa bumi
Sindir = Penari Tayub/ronggeng
Kodok Ngorek = Judul tembang jawa, artinya Katak Bernyanyi
Blarak = Daun kelapa
Pacak gulu = Gerakan leher ke kiri-kanan patah-patah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar