Cerpen Noviana Kusumawardhani
Terbit di Kompas, 29 Agustus 2010
Bahan Referensi Cerpen - DESA yang aneh. Saat warna merah
di ujung langit, desa itu senyap. Begitu hening dan pulas. Meski
lampu-lampu mulai dinyalakan, nyaris tak ada desah keluar. Suara bisu desir
angin yang berbisik di celah hutan bambu, mencekam. Batu-batu jalanan desa
seperti tahu bahwa tidak seharusnya suara menjadi penguasa saat senja mulai
datang, dan kesedihan tanpa terasa saling menyapa di antara awan
yang berwarna jingga.
Kesedihan beranak pinak dan seperti bedug
bertalu-talu memecahkan dada. Tapi, layaknya aturan dari Tuhan, di desa itu
kesedihan tidak boleh dibicarakan. Seperti tiran, ketika kesedihan dibicarakan,
tanpa ampun lagi, kerongkongan penduduk berlubang dengan sendirinya, dan suara
selamanya tidak akan pernah keluar dari mulutnya.
Orang-orang dengan rongga di kerongkongan
segera menutupi lehernya dengan berbagai cara. Ada yang memakai kalung dengan batu
mulia sebesar lubang itu, ada yang memesan pakaian khusus agar leher
mereka tertutup rapat. Pada intinya lubang itu harus ditutupi, karena kalau
tidak, rongga di leher itu begitu mudahnya infeksi dan kesakitan akan
menghebat. Kesedihan yang melahirkan kesakitan. Orang-orang di desa itu tak
ingin mengalami kesakitan, sehingga setiap kesedihan datang mereka akan
berupaya sekuat tenaga menyembunyikannya dengan rapat, bahkan nafas mereka pun
tidak tahu di mana kesedihan itu berada.
Sepanjang pagi dan siang yang tampak hanya
wajah-wajah bahagia, tawa yang menggelegar, basa-basi yang begitu meruah.
Orang-orang yang berongga di lehernya pun akan selalu menampakkan muka terbaik
mereka. Membentuk senyuman. Mereka seperti mencoba menebus keteledorannya
karena sudah membuka kesedihan kepada angin dan suara. Dunia adalah bahagia,
begitulah jargon yang berlaku. Kesedihan adalah kejahatan. Sebuah rasa yang,
kalau perlu harus dimusnahkan.
Sejak lahir pun bayi-bayi tahu bahwa jargon itu
seperti dogma yang terus didengungkan kepada roh-roh suci itu. Para ibu membuai anak-anaknya dengan senandung anti
kesedihan. Ketika anak-anak besar dan bertanya tentang kata sedih,
buru-buru dibungkamnya mulut mereka rapat-rapat sambil berkata bahwa penguasa
kegelapan akan segera datang begitu kata itu keluar dari mulut anak-anak yang
begitu indah bola matanya.
“Nak, bunuh kesedihanmu, kita cincang air mata
demi dunia yang gembira, jauhi dunia gelapmu, hanya tawa yang berhak
tinggal di hati kita,” demikian kira-kira senandung itu. Sambil menikmati
kehangatan dada ibunya, bayi-bayi menyimpan gambar tentang dunia yang hanya boleh
bahagia.
Ketika pemilihan kepala desa, para kandidat
berlomba-lomba menawarkan program paling efektif bagaimana melawan kesedihan.
Seperti supermarket dengan diskon besar-besaran menjelang hari raya, program
yang paling menarik akan diserbu habis-habisan. Bahkan para mahasiswa yang
melakukan kuliah kerja di desa itu diwajibkan hanya mengajar program
kebahagiaan dan sebuah kontrak bermeterai harus mereka tanda tangani dengan
sangsi sangat berat bagi yang melanggarnya. Tiran
emosi! Begitu umpatan para mahasiswa .
Benar-benar desa yang suka cita. Semua mematuhi
peraturan desa itu tanpa kecuali. Termasuk Kemplu, jagoan desa itu. Dia
bahkan begitu gencar menggaungkan kampanye bahwa kesedihan adalah kejahatan
besar. Air mata harus ditekan habis-habisan. Bahkan ketika badai besar
menerbangkan keluarganya entah kemana, Kemplu tertawa gembira, diadakannya
pesta besar dan dijamunya hampir seluruh penduduk desa. Tak lama kemudian dia
kawin lagi dan beranak pinak. Benar-benar hidup harus berjalan katanya.
Ditertawakannya orang-orang yang berongga di lehernya. Orang-orang yang lemah.
Begitulah cemoohnya.
“Hanya orang-orang yang lemah yang menangis, emosi
yang diumbar itu hanya milik orang-orang tak bermartabat. Air mata adalah
kebodohan.”
Hanya sebuah senja yang tidak bisa berbohong.
Ketika warna di batas antara dunia dan mimpi itu seperti air mata yang hampir
jatuh, kesedihan seperti menyeruak begitu saja dari dada para penghuni desa
itu. Kepanikan selalu melanda setiap menjelang senja. Segera diikatnya dada
mereka dengan tali yang begitu erat, mulut mereka ditutup dengan plester yang
sangat kuat. Mereka mati-matian berusaha agar kesedihan itu tidak meledak, agar
leher mereka tidak berongga dan kesakitan tidak menjadi teman sepanjang nafas
yang tersisa. Mereka diam di rumah dengan peluh berbulir-bulir menahan agar
ledakan dada yang sarat kesedihan tidak jebol dari mulut dan mata mereka.
Setiap orang mencari cara agar kesedihan tetap pada
tempatnya; di ujung paling sepi hatinya. Kalau perlu Tuhan pun tidak boleh
menemukannya.
Di antara mereka ada yang dengan tegas menukar
dengan suka rela kesedihan yang sudah tidak bisa dikuasainya dengan senyum
lembut malaikat maut. Kesakitan karena kerongkongan berongga lebih mematikan
dibanding penggalan pedang yang paling tajam. Di setiap semburat jingga mulai
bertiup di ujung cakrawala, hampir tidak ada satupun pintu dan jendela yang
terbuka. Semua rapat menyimpan kesedihan yang meledak-ledak di rumah-rumah
mereka.
Anehnya Kemplu selalu menghilang di setiap senja.
Istrinya hanya tahu dia pergi ke hutan di ujung desa. Hutan yang dinamai hutan
Gembira oleh penduduknya meski entah kenapa nama itu seperti berolok-olok
dengan udara yang dihembuskannya setiap pagi, yang pekat dengan kesedihan.
Jika angin berhembus di atas pohon-pohon hutan itu,
gesekan daun-daunnya menyenandungkan requiem yang paling pedih. Badan
pohon-pohon itu bergaung bersahut-sahutan dengan irama yang lantang,
menyenandungkan kesedihan yang pekat.
Ketika orang menyentuh papan nama “Hutan Gembira”,
mereka seperti menembus jantung dan mengambil dengan paksa kesedihan di
dalamnya untuk dimuntahkan. Persis “ilmu Rogoh Jantung” para penjahat keji di
film laga .
Meski demikian teka-teki tentang hutan itu belum
pernah ada yang bisa menjawabnya. Bahkan Kemplu yang setiap pagi keluar dari
hutan dengan penuh tawa dan keceriaan luar biasa, selalu menjawab, bahwa
kesedihan hutan itu sudah ada bersama tanahnya saat Semesta menanam pohon
pertama kalinya di sana.
Semesta menangis karena Adam dipisahkan dari Hawa, dan itu dispensasi
satu-satunya kenapa kesedihan diperbolehkan di muka bumi ini.
“Adam manusia pertama, dia punya hak khusus dan
hanya satu-satunya yang boleh merasakan rasa sedih itu. Rasa itu begitu
memekat di hati, anak cucunya harus membasminya.”
Sihir. Kata-kata ajaib. Semua mengamini tanpa ragu
setitik pun.
Hingga satu hari, kepala desa memutuskan bahwa
satu-satunya jalan agar tingkat kebahagiaan di desa itu meningkat pesat adalah
membuat taman keriaan yang termegah di negeri ini dengan cara membabat Hutan
Gembira. Semua setuju, juga orang-orang dengan rongga di kerongkongannya.
Mereka berharap dengan taman keriaan itu rasa sakit yang bernanah di
kerongkongannya hilang. Hanya Kemplu yang protes.
“Kita perlu oksigen segar dan itu merusak
lingkungan,” lantang teriaknya, menirukan para aktivis linkungan di
televisi. Kepala desa yang mengaku keponakan jenderal yang berkuasa itu tetap
keras kepala. Saat Kemplu mengorganisir anti taman keriaan, saat itu pula
buldoser-buldoser didatangkan untuk menyapu rata hutan Gembira. Dalam dua-tiga
jam, hampir seluruh pohon tumbang. Hanya satu pohon yang tersisa.
Kemplu pun pasi. Suasana tiba-tiba semencekam saat
senja, padahal terik matahari seperti meretakkan kepala mereka, seperti saat
sakaratul maut tersenyum dan siap mencabut semua jejak nafas.
Buldoser mendekat ke satu-satunya pohon yang
tersisa. Ketika mulut buldoser hanya tinggal satu senti dari ujung pohon itu,
tiba-tiba suara Kemplu keluar dengan lolongan kesedihan yang begitu pekat.
“Jangan…!” suara yang keluar bercampur isak yang
sudah bertahun membatu.
Seperti geledek di musim kemarau yang parah, semua
warga jantungnya berhenti berdetak. Kemplu, lelaki paling jagoan di desa itu
melantangkan kesedihan begitu hebat. Isak tangis yang meruah tak bisa
dihentikan oleh buaian perempuan berpayudara surga sekalipun.
“Di rongga pohon itulah keluargaku tinggal. Mereka
tidak hilang bersama badai. Aku bercakap kepada mereka di setiap
senja. Aku berikan percakapan bernama air mata di sana. Rongga itu adalah mulutku sekaligus
telingaku. Aku mencium bau keringat mereka dan kubelai dengan seluruh
cinta yang aku miliki . Badai itu telah menipu kalian. Keluargaku selalu
sembunyi di rongga itu, kucumbu mereka dengan percakapan paling
sepiku. Maafkan, kesedihan ini tidak tertahankan. Aku butuh bicara tentang
kesedihanku, aku butuh berbagi. Aku tidak tahan. Tolong , jangan ambil pohonku,
hanya itu satu-satunya yang mau mendengarkanku…. Aku akan mati tanpa rongga
itu….”
Suaranya makin menghilang. Sebuah rongga di
kerongkongannya tiba-tiba menyeruak. Semua orang menjerit, karena rongga
itu tidak berhenti sebatas kerongkongan. Rongga itu terus membesar hingga
akhirnya tubuh Kemplu meledak dan serpihan tubuhnya berhamburan. Hanya
jantungnya yang tetap berdetak. Istri barunya pingsan, anak-anaknya meleleh.
Hening pekat.
Rahasia kesedihan hutan Gembira pun tersingkap.
Sambil meyakinkan dirinya bahwa adegan itu mungkin hanya ilusi, kepala desa
memungut jantung berdetak itu. Berhati-hati dimasukannya ke dalam
rongga pohon terakhir itu. Begitu dimasukkan, pohon itu hidup seperti di
ruang keluarga bahagia di iklan TV. Suara gelak tawa yang menggelegar,
dentingan piano, keriaan yang penuh. Semua warga yang mendengarnya, tahu bahwa
Kemplu benar-benar bahagia di dalamnya.
Sejak itu, ada yang berubah. Setiap senja, desa itu
begitu riuh dengan tawa. Ruang-ruang keluarga menjadi hangat. Pintu dan jendela
di buka lebar-lebar. Meski angin akan merapuhkan tubuh mereka, tapi penduduk
desa itu tahu bahwa hati mereka akan menahannya. Mereka tahu, setiap senja
jatuh, hati mereka akan mengeras dan menguat. Mereka menerima dengan suka cita.
Kesedihan yang sangat bersahabat….
Ketika mereka mengenalnya, kesedihan justru menjadi
begitu pemurah dan melimpahinya dengan detak bernama bahagia. Hutan itu
tetap berfungsi sebagai ruang publik. Sekarang justru bernama Taman Air
Mata. Siapa pun bisa dan boleh menangis sepuas-puasnya. Bahkan pengunjung taman
yang sedang gembira dan ingin merasakan bagaimana indahnya kesedihan
di taman itu bisa membeli obat perangsang kesedihan yang ditawarkan petugas
penyobek tiket tanda masuk. Setiap pengunjung sebelum pulang akan menyempatkan
berfoto di pohon Kemplu, demikian mereka menyebut satu-satunya pohon yang tidak
di tebang itu. Pohon yang merindang.
Berterimakasihlah kepada kesedihan dan airmata
karena bersamanya kita belajar kekuatan yang sempurna. Sebuah lingkaran tidak
harus bulat penuh seperti halnya garis tidak selalu lurus.
Sebuah senja yang indah, sebuah senja yang pekat….
(*)
Ubud, 15-Juni-2010
Untuk lelaki-lelaki
kecilku, Banyu Bening dan Langit Jingga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar