Bulan Biru

Cerpen Gus tf Sakai

Terbit di Kompas, 6 Januari 2013




Bahan Referensi Cerpen - AKU tahu, kau mengenal bulan biru. Bulan bulat sempurna kedua pada kalender Masehi di bulan yang sama. Purnama ke-13 yang muncul periodik dua atau tiga tahun karena selisih 10,6 hari setiap tahunnya. Tetapi, pernahkah kau melihat purnama kedua itu, dalam setiap 106 kali kemunculan, mengembalikan apa pun kejadian ke suatu malam lain di lain zaman?

Dan malam itu, pada zaman di mana para binatang bisa bicara seperti manusia, seorang gadis cilik disuruh ibunya ke sumur, mengambil belanga. “Belanga yang sudah Ibu cuci ya Nak, telungkup di atas bantalan.”

Si gadis menjawab, “Ya, Bu,” seraya bergegas melangkah ke sumur. Tetapi, saat menjulurkan tangan meraih belanga, di bawah terang pendar purnama, ia terkejut. Belanga itu bergerak, merayap turun dari bantalan.

“Bu, Ibu!” teriak si gadis, “Belanganya merayap!”

“Apa?!” suara si Ibu kaget, tak kalah heran. Kepala si Ibu menjulur dari pintu dapur. “Ayo Nak, cepat tangkap!”

Patuh, si anak menyergap. Tetapi si belanga, yang sebenarnya adalah seekor kura-kura, menggelicit dari tangkup tangan si gadis, terus meluncur ke arah sungai.

“Bu, belanganya lari! Ke arah sungai!”

“Ayo, Nak, cepat kejar!”

Si gadis cilik yang masih tak sadar yang disangkanya belanga adalah kura-kura, dengan patuh lalu mengejar. Tetapi, begitulah, pada zaman di mana kura-kura bisa bergerak cepat seperti buaya, usaha itu cuma sia-sia. Si gadis tergelincir, tepat saat si belanga melompat ke sungai. Si gadis terguling, ikut jatuh ke sungai, seolah menyusul si kura-kura. Dan lalu, entah bagaimana caranya, mereka kemudian tersedot, bagai diisap diputar arus, terseret ke kedalaman. Dan entah bagaimana pula caranya, tiba-tiba mereka telah terempas, berada dalam lukah raksasa.

Seiring dengan kesadaran (tentu juga keheranan) si gadis yang tetap bisa bernapas, tak megap-megap seolah masih berada di udara bebas, lukah raksasa tiba-tiba sirna. Malam, dan di langit masih purnama. Namun aneh, warna bulan seperti berbeda. Biru? Si gadis mengamati sekeliling, dan tiba-tiba sadar: tak ada lagi sungai, tak lagi tampak rumahnya. “Kita berada di mana?” desis suara, tiba-tiba pula, terdengar dari dekat kakinya.

Si gadis cilik menundukkan wajah, mengerjap-ngerjap menajamkan mata. Di bawah lindap biru purnama, ia mengenali sumber suara: si belanga. Barulah si gadis cilik sadar yang sejak mula disangkanya belanga ternyata seekor kura-kura. Ah, bodohnya. Tetapi, bodoh atau tidak, kini, tak lagi sempat ia pikirkan. Apalagi saat suara kecil si kura-kura jadi lengking ketika berteriak:

“Lihat!”

Di depan mereka, bagai tersingkap dari kelam (atau dari kabut?), orang-orang berlalu-lalang. Bukan, bukan berlalu-lalang, melainkan ramai-ramai bekerja, gotong-royong membangun sesuatu. Bukan, bukan gotong-royong, melainkan seperti berpesta, karena bekerja dengan sorai “Huraaa!” dan gelak tawa.

Si gadis cilik tertegun. Si kura-kura terlongong. Bangunan apakah yang sedang orang-orang ini kerjakan? Sangat besar, sangat tinggi. Begitu besarnya, hingga seolah menutup keluasan pandang. Begitu tingginya, hingga seolah menjangkau mencapai bulan.

Aku tahu, kau mengenal banyak bangunan aneh. Bangunan ajaib, tak masuk akal, yang tak mungkin diciptakan oleh suatu masyarakat pada suatu zaman. Stonehenge di Wiltshire, patung-patung vulkanik di Pulau Paskah, ataupun piramida yang berserak menyebar tak habis-habis di sepanjang Sungai Nil. Tanpa ada paku, lem, atau perekat apa pun, bagaimana cara menyusun ribuan batu yang beratnya puluhan ton?

Dan kini, pada suatu tempat di zaman sekarang, hal serupa juga terjadi. Sebuah bukit, setelah kebetulan longsor dan digali, ternyata adalah bangunan raksasa, dari zaman sangat lama, yang bahkan tak mungkin diciptakan oleh masyarakat modern masa kini. Profesor Kipling, si pemimpin ekskavasi, tercengang, takjub, dan lebih takjub lagi saat mendapati kenyataan si bangunan ditemukan dalam masyarakat yang sama sekali tak mengenal tugu atau candi. “Kenapa bisa?” desisnya.

Dan desis itu, karena berkaitan dengan ilmu lain yang bukan bidangnya, membuat Profesor Kipling butuh profesor lain, Dananjaya, antropolog lokal, yang justru lebih tercengang lagi. “Dalam suku, dalam kultur masyarakat adat egaliter yang tak kenal peringatan berupa bangunan … kenapa bisa?”

Ketercengangan Profesor Dananjaya bertahan lama. Sangat lama. Bahkan lebih lama dari Profesor Kipling yang setelah si bangunan raksasa selesai diekskavasi, tuntas direnovasi, kembali ke negaranya.

Ketercengangan Profesor Dananjaya bertahan lama. Sangat lama. Bahkan diteruskan kepada muridnya, Profesor Mulyana, yang tak henti-henti memikirkan sebuah bangunan berupa pemujaan (atau prasasti?) ditemukan dalam masyarakat adat yang sistem kepemimpinannya tak berada di tangan seorang raja atau otokrasi.

Eh, otokrasi?

Tentu saja, tentu saja ada otokrasi di suku ini. Profesor Mulyana tahu, bentuk kepemimpinan dalam masyarakat adat suku ini berasal dari dua datuk: Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan. Datuk pertama memang percaya bahwa sumber gagasan, inisiatif, dan keputusan berasal dari rakyat karena rakyatlah yang sebenarnya tahu apa yang mereka butuhkan. Tetapi datuk kedua, Katumanggungan, bukankah selamanya percaya bahwa pemimpin adalah sumber gagasan, sumber inisiatif, dan sumber keputusan?

Datuk Katumanggungan … ya, datuk yang menyebut bentuk kepemimpinannya sebagai menetes dari langit dan suatu keputusan diambil dengan bertangga turun. Ya, bukankah itu otokrasi?

Aku tahu, kau bakal mengenal bangunan itu. Bangunan yang dilihat si gadis cilik, yang disaksikan si kura-kura, saat purnama berubah warna. Waktu. Bulan merah menjelma biru, malam terang jadi kelabu, semua melompat ke masa lalu. Waktu. Saat waktu seolah melipat, ujung satu bertemu ujung lainnya, apakah yang mampu bertahan, adakah yang masih bisa tersimpan, sebagai rahasia?

Dan malam itu, demikianlah, seekor bebek mendekati si gadis cilik dan si kura-kura. Sebelum mereka sempat bertanya, si bebek berkata bagai bergumam, “Begitu licik, begitu dalam goda kuasa.”

“Maksudmu?” tanya si kura-kura. Mereka masih sama tertegun, sama tercengang. Dalam samar, dalam lindap (atau dalam kabut?) sinar bulan biru, mereka lihat orang-orang menghela, menyeret, dan mendorong bongkah-bongkah batu. Batu-batu itu dipindahkan, dinaikkan, dengan tali, tangga-tangga dan roda-roda. Sesekali aba-aba, lalu sorak “Huraaa!” dan gelak tawa.

Si bebek masih diam (atau mungkin seperti berdesah), hingga si kura-kura kembali bertanya. “Maksudmu?”
“Maksudku … mm ya, bangunan itu.”

“Ada apa dengan bangunan itu? Mereka membikin apa? Dan kenapa licik? Lalu, yang kausebut goda kuasa?”

“Ah pertanyaanmu kok sekaligus. Ayolah, satu-satu.”

“Baik. Ini dulu: mereka membikin apa?”

“Ya seperti kalian lihat, mereka membikin bangunan. Dari batu-batu. Batu-batu yang bahkan didatangkan dari jauh. Bukan dari sini.”

“Lho, kenapa dari jauh? Kenapa bukan dari sini?”

“Ya memang harus begitu. Biar bangunan ini selesai lebih lama. Dan biar lebih sulit.”
 
“Loh, aneh. Bukankah mestinya dibuat lebih mudah. Dan secepat mungkin.”

“Itu bagi kita, atau bagi orang-orang yang bekerja. Tetapi bagi raja, tidak.”

“O,” si kura-kura menatap si bebek, “jadi, bangunan ini dibuat atas perintah raja? Lalu, kenapa raja ingin bangunan ini selesai lebih lama dan lebih sulit?”

“Itulah yang tadi kusebut goda kuasa. Dengan lebih lama dan lebih sulit, orang-orang, para rakyat ini, hanya akan terpaku pada pembangunan ini. Rakyat akan jadi lupa bagaimana raja menjalankan negara. Rakyat jadi tak peduli pada apa pun, juga pada berapa lama sang raja berkuasa.”

“Tetapi,” si kura-kura seperti kurang puas, seperti kurang mengerti, “mereka bekerja dengan gembira. Tak ada masalah bagi orang-orang ini, bagi rakyat ini. Kau lihat, betapa riangnya mereka.”

“Haa, kau juga tertipu. He he. Memang begitulah. Rakyat sengaja dibuat lengah. Raja akan bilang ini-itu, membuat cerita ini-itu, menciptakan mitos ini-itu, agar rakyat merasa telah melakukan hal sangat penting, sesuatu yang sangat berharga. Mereka jadi riang. Jadi bangga. Itulah sebab kenapa tadi kubilang licik.”

“Mmm …,” si kura-kura masih akan berkata, tetapi kemudian memilih diam. Diangkatnya wajah, tengadah, menatap ke puncak bangunan. Menembus lindap. Menembus kabut? Tinggi. Lebih tinggi. Bulan biru. Bulan waktu.

Aku tahu, kau mengenal bulan itu. Bulan biru, bulan waktu. Mungkin kau peduli, entah, mungkin juga tak peduli, entah, saat malam seperti berjubah dan kabut bagai merendah. Mungkin seseorang akan tersedot, entah, mungkin juga akan terisap atau terlempar, entah, saat purnama berubah warna dan si seseorang telah berada di lain masa. Si seseorang itu, kau lihat, tidakkah ia Profesor Mulyana?

Dan malam itu, pada zaman di mana para binatang bisa bicara seperti manusia, Profesor Mulyana bertemu dengan seekor kura-kura. Ya, kura-kura yang sudah kau tahu, dan kini jadi jawab, segala ketercengangan Profesor Mulyana.

“Goda kuasa?” gumam Profesor Mulyana, masih tak percaya, ketika si kura-kura menyelesaikan cerita.

“Ya,” jawab si kura-kura pendek, “karena begitulah kata si bebek.” (*)


Payakumbuh, 2012
Terima kasih kepada Elang Sikat Elang Sigonggong, cerita rakyat Merangin, Jambi, sumber inspirasi cerpen ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar