Cerpen Azizah Hefni
Terbit di Jawa Pos, 11 November 2012
Bahan Referensi Cerpen - ARA, di hamparan sawah itu, aku selalu ada; ikut bersemai bersama padi-padi dan lenguh sapi.
***
Sepanjang hari, aku selalu menantimu duduk di pinggir selokan itu.
Tubuhmu yang mungil berlari keluar dari rumah berbata merah, sembari
menebar senyum ke arah padi-padi. Pada mulanya kau hanya akan memandang
jauh pada hamparan sawah yang hijau, kemudian matamu yang bening akan
menatap ke awan. Awan-awan yang selalu bergumpal. Awan-awan yang
membentuk hewan-hewan atau wajah-wajah khayalan. Kau akan berteriak,
“Tuu waaannn!! Tuu waann!” (Itu awan! Itu awan!).
Kau seperti burung kenari yang berdendang menyambut pagi. Bau badanmu
pasti sangat kecut dan kau belum sikat gigi. Betismu yang kering tampak
semakin pecah-pecah karena kau selalu bercelana pendek—kulitmu memang
langganan alergi. Pada selokan itu, kau memasukkan dua kakimu. Kakimu
lantas berkecipak memainkan air selokan. Aih, jorok betul. Di sana
banyak bakteri. Mereka akan bisa dengan mudah masuk ke sel-sel kulitmu
dan menari-nari di dalam tubuhmu.
Jika sudah terlalu girang, kau pasti merasakan sesuatu yang aneh
dalam perut dan duburmu. Dengan lincah, kau jongkok, lantas bertopang
dagu. Kau mengejan, dengan sepasang mata berkaca-kaca dan mulut tertarik
ke bawah. Wajahmu yang tomat rebus itu membuat aku, padi-padi dan
awan-awan, selalu terbahak bersamaan.
Kau berlari begitu saja, membiarkan berak itu jatuh dari celanamu.
Ara, segeralah mandi, hari sudah terlalu siang. Jangan berteriak
seperti orang kesakitan saat nenekmu mengguyur badanmu dengan air
dingin. Sesungguhnya, air itulah yang akan menyelamatkanmu dari gerah
dan lelah. Nikmatilah setiap tetes air dari gayung seperti kau menikmati
hujan, genangan becek, dan air selokan. Sejatinya, semua air
menggembirakan. Termasuk air di rahimku dulu, yang juga menjadi
pelindung keberadaanmu.
Dan, waw… betapa tampannya kau dengan rambut basah dan bulir-bulir
air menetes bergantian di sekujur kulitmu! Apalagi jika kau kenakan
pakaian merah dan celana hitam. Sandalmu berdecit-decit, dan bedak di
sekujur badanmu loreng-loreng menyegarkan. Kau tertawa memperlihatkan
gigi-gigimu yang gigis. Bau kayu putih dan minyak rambut bayi terasa
awet. Kau terlihat seperti boneka salju.
Tapi wajahmu yang polos itu, yang selalu membuatku ingin menggigit
hidungmu itu, tidak pernah berhenti memanggil-manggil perihku. Bagaimana
bisa kau terlahir begitu serupa dengan laki-laki itu?
***
“Bagaimana bisa?” Suaranya parau. Tangannya mencengkeram bahuku dengan sangat kuat. “Apa kau sengaja tidak minum pil?”
“Ini sudah kehendak Tuhan,” tukasku cepat.
“Halah, persetan!” ia mendorong tubuhku hingga jatuh dan membentur meja rias. “Enyahkan dia!”
“Tidak!”
“Cuh !” ludahnya mengenai lututku. Aku terus mempertahankan kerutan alisku.
Kemudian ia pergi begitu saja, sesukanya saja. Tanpa kembali menoleh, sekalipun sekadar memantapkan amarah.
Tapi, aku sama sekali tidak menangis. Hanya saja, napasku memburu dan
peluh terus luruh. Dalam kamar yang sempit namun terang itu, aku
mematung. Di kepalaku banyak bayangan masa depan digantung. Perihal
pekerjaan, kesebatangkaraan, perut yang terus membesar, dan kepulangan.
Pulang?
Tidak, tidak, aku tidak akan pulang. Pulang hanya akan membuatku
bodoh dan dibincangkan banyak orang. Pulang hanya akan membuatku menelan
belati sendiri di depan muasalku. Yang menurutku benar adalah, aku
harus bekerja. Lebih keras dan lekas. Sedang diriku yang sebatangkara
tidak perlu menjadi persoalan yang mengerikan. Sebab dalam rahimku,
jabang itu terus melihat dan merasa. Ia harus melihat dan merasakan
hal-hal yang tidak mengerikan dan meragukan. Ia harus merasa tenang dan
tidak menyesal.
Terkutuk benar pernikahan ini, batinku. Susah payah aku lari dari
rumah yang sudah membesarkanku, menembus gelap jalan persawahan, serta
duduk berjam-jam di gudang belakang sebuah pabrik krupuk guna menunggu
laki-laki keriting itu menjemputku. Sambil menunggu, aku terus saja
menggeleng-gelengkan kepala, menepis bayangan ibu yang tadi tampak pulas
di ranjang. Aku terus menepuk dada sambil berbisik, “Inilah yang paling
benar!”
Hatiku yang sekam itu terus menguntai bayangan kisah bahagia. Tentang
sebuah pernikahan yang sakral dan menjanjikan. Tentang seorang
laki-laki yang tangguh dan bertanggung jawab.
Yang ditunggu memang datang pada akhirnya. Ia membawa sebuah mobil
sedan hitam. Segera aku melompat, seperti seekor kutu yang melihat
rambut kotor dan lebat. Kami lalu pergi menembus jalan-jalan yang
kuharap bisa membuatku lupa jalan pulang.
Segalanya ternyata serba-rahasia. Pengucapan janji pernikahan yang
rahasia, pelepasan keperawanan yang rahasia. Bukan hanya itu, laki-laki
yang menikahiku itu pun ternyata sangat rahasia. Perihal muasalnya saja,
aku tidak begitu tahu. Perihal kepergiannya dari rumah, aku pun tak
banyak tahu. Ia hanya berkata ia bekerja, dan ia akan pulang untuk
segera tidur denganku. Ia hanya meletakkan uang sepuluh ribu tiap pagi
di meja rias, lalu pergi. Kemudian ia datang tengah malam, dan
menindihku dengan kejam.
Laki-laki itu memang selalu memberiku uang. Laki-laki itu juga selalu
menyebutuhiku. Tapi laki-laki itu tidak pernah bertanya kenapa begitu
lama aku tidak menstruasi.
Aku menangis dalam gamang. Aku terus membaca masa lalu; selalu senang
duduk menenggelamkan kaki di selokan sawah. Aku selalu senang bercerita
pada udara, tentang kisah perempuan miskin yang pada akhirnya menjadi
putri kerajaan yang cantik. Aku juga selalu membayangkan gumpalan awan
seperti kepala-kepala kurcaci atau hewan-hewan ajaib. Aku selalu
bergoyang mengikuti goyangan padi dan orang-orangan sawah. Aku selalu
menirukan suara sapi dan menyapa petani yang berkulit kasar.
Aku, juga selalu berak di tepi selokan.
***
Dan malam ini, hujan rintik membasahi pelataran rumah yang masih
bambu. Aku melihat rumah itu masih begitu bersahaja dan hangat. Dulu, di
sana aku membunuh usia, menghabiskan waktu dengan bermain dan
berkahayal, juga mempelajari hidup yang sejatinya masih sepotong.
Di pelataran yang kesepian itu, aku melihat Ara ditimang ibu yang
pesakitan. Air matanya mengental, seperti begitu lama terendap di
kantung matanya yang hitam. Bertahun-tahun ia memanggil namaku yang tak
kunjung pulang, bertahun-tahun ia mencurahkan doa cinta di atas namaku
yang tak kunjung datang.
Ibu, anggap saja aku ini benalu dalam dahan hidupmu. Anggap saja aku
ini tumbuhan yang gagal, layak tebang, dan pantas dibakar. Aku selalu
menutup mataku ketika kau datang di hadapanku dan menggandeng tangan Ara
dengan tulus. Aku selalu gemetar setiap kali melihat kau membersihkan
berak Ara yang bercecer di dekat selokan. Aku selalu mengutuk
penciptaanku setiap kali kau menyanyikan lagu-lagu untuk Ara agar ia tak
takut pada air saat mandi. Rasanya, aku terlalu malu menjadi benih
muasalmu.
Tapi Ara hidup sejak dalam rahimku, Bu. Tanpa duka dan tanpa ratap.
Aku mengayominya dengan kerja keras dan kemandirianku. Aku merasa begitu
tangguh saat bekerja mencari uang di kota, sebatangkara. Aku nilai
diriku sangat perkasa tatkala aku merelakan pilihan yang salah. Aku jadi
batu yang menopang tumbuh kembangnya sampai ia menjadi pohon yang
sangat kuat dengan akar-akarnya yang menjalar ke tanah. Aku rela
meremukkan diriku di atas kekuatannya.
Kelak, bila ia lahir, ia akan jadi pribadi yang kokoh, seperti pohon
Ara. Ia tidak akan mudah percaya pada hal yang masih rahasia. Ia juga
tidak akan mengambil keputusan yang salah, apalagi untuk masa depan yang
rahasia. Sekalipun ia tidak tahu jika muasalnya itu adalah sebentuk
kegagalan hidup dan kematian. Anggaplah ia adalah pengulangan
kecintaanmu yang tak putus-putus padaku.
Kerinduanku mengurai, bergerai bersama hujan menderai; mencari muaranya.
Seketika, aku melihat Ara keluar, memandang ke arah hamparan sawah
yang gelap lagi muram. Matanya yang bening tertuju padaku. Aku
melihatnya dalam-dalam, lalu melambai, melambai, terus melambai. Ia
tersenyum, kemudian berlari mendekat, menembus hujan.
“Araaa!!”
Suara itu melesat sangat cepat seperti kilat yang menyayat. Bocah kecil itu menghentikan kakinya dan menatap ke belakang.
“Jangan pergi!! Jangan pergiiii!!!” Ibu berteriak lantang di tengah
rinai hujan. Air mukanya gemetar dan pucat. Ia seperti orang yang
kembali tertawan luka lama. Ibu berlari menembus hujan, meraih tangan
mungil Ara dan menariknya dalam pelukannya yang lama hampa.
Ara bergeming. Ia menatap ke arah goyangan padi-padi. Aku tidak lagi ingin menyakiti perempuan itu.
Setelah ini, tak akan ada lagi yang bisa ia lihat di sana. Seterusnya, sampai musim panen benar-benar binasa. (*)
-------
Jogjakarta, 20 Juni 2012
Azizah Hefni, lahir di Surabaya, 03 April
1987. Cerpen dan puisinya dimuat di media massa lokal dan nasional.
Pernah memenangkan sejumlah kompetisi menulis sastra lokal dan nasional.
Kini tinggal di Jogjakarta sambil menulis buku-buku anak, sastra,
maupun populer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar