Sayap Malaikat

Cerpen Eka Maryono

Terbit di Republika, 16 Desember 2012




Bahan Referensi Cerpen - BENJOLAN itu tumbuh begitu saja. Mulanya hanya dua benjolan kecil sebesar kelereng. Aku mengiranya sebagai tumor. Sedang menurut dokter, benjolan itu gumpalan lemak yang menonjol di bawah kulit. Sehabis dioperasi, hilanglah keduanya. Namun tak sampai sebulan, benjolan pengganggu itu muncul lagi, malah lebih besar, sebesar bola tenis.

Sepasang benjolan itu jelas membuat dirimu terlihat seperti unta atau si bongkok dari notredame yang berjalan dengan punuk menonjol di punggungnya. Kau pasti risih dan akan berjalan dengan kepala tertunduk. Maka seperti itulah diriku saat ini: malu, marah, sedih, bercampur jadi satu.

Ketika masalah ini kutanyakan pada dokter, dia malah menyarankan untuk dioperasi sekali lagi.

“Ini jelas bukan tumor. Bukan kanker. Cuma gumpalan lemak. Anda jangan khawatir.”

“Bukan begitu dok, oke-oke saja saya dioperasi lagi. Tapi saya harus tahu penyakit apa ini. Kalau bukan tumor, bukan kanker, lalu apa?”

“Ya, lemak. Lemak memang bisa menggumpal di sekitar hati, sekitar jantung, perut, pinggang, di mana saja, termasuk di bawah kulit punggung seperti yang Anda alami.”

“Apa berbahaya, Dok?”

“Dalam kasus Anda, sama sekali tidak berbahaya. Hanya sedikit menganggu penampilan. Dioperasi sekali lagi, pasti hilang selamanya.”

Sembilan bulan berlalu sejak percakapan itu. Kini benjolan itu masih ada. Tetap sebesar bola tenis. Hanya saja bertambah keras. Seperti ada makhluk yang bergerak-gerak dan menggaruk-garuk kulit punggungmu dari dalam. Rasanya perih dan gatal. Aku merasa ada sesuatu yang ingin keluar dari dalam sana. Sesuatu yang ingin segera menetas ke dunia. Membayangkannya saja sudah membuatku merasa ngeri.

Ya, satu minggu setelah operasi yang kedua, sepasang benjolan itu tumbuh kembali. Mulanya sebesar kelereng, lalu tumbuh jadi seukuran telur ayam, hingga akhirnya sebesar bola tenis. Berbagai pengobatan medis telah kucoba, termasuk berganti-ganti dokter spesialis. Tapi hasilnya tetap sama. Mereka mengatakan benjolan itu sebagai gumpalan lemak belaka. Foto rontgen dan tes darah menjadi buktinya.

Frustasi dengan dokter, aku mulai berobat ke beberapa orang pintar, tapi tak kunjung membuahkan hasil. Rata-rata omongan mereka seragam. Mereka bilang aku kena santet.

“Sekarang lagi zamannya kiriman paku dan jarum, Pak. Saya lihat di punggung Bapak ada jarum dan pakunya,” kata dukun Z.

“Tapi saya sudah berulangkali difoto rontgen lho, nggak ada tuh yang namanya jarum dan paku.”

“Memang nggak kelihatan, Pak. Ini ilmunya lebih canggih.”

“Terus, bagaimana dong nasib saya? Bisa sembuh nggak?”

“Bisa! Nanti saya pindahin penyakitnya ke telur. Maunya berapa telur?”

“Lho, kok seperti pesan martabak sih?”

“Bukan begitu, maksud saya kalau mau ditransfer penyakitnya ke telur, kita harus tentukan dulu berapa telur yang akan digunakan. Makin banyak telurnya, makin bagus hasilnya, sebab akan semakin banyak paku dan jarum yang bisa dikeluarkan. Tapi terus terang maharnya beda, sebab pengerjaannya lebih berat. Kalau mau dipindahin ke kambing juga bisa. Sekali berobat pasti sembuh.”

“Kalau begitu, jangan tanggung-tanggung deh. Sekalian saja dipindahkan ke sapi atau kerbau, kalau perlu ke banteng. Biar tuntas sampai ke akar-akarnya. Soal mahar, saya bayar di muka.”

Tapi hasilnya nol besar!

Di lain waktu aku mendengar ada dukun bagus. Kabarnya, pasien yang datang dalam sehari bisa seratusan orang. Sebut saja namanya teteh A. Setelah antri tiga jam, akhirnya tiba giliranku masuk ke ruang prakteknya.

“Iihhh, ini mah kerjaan jurig.”

“Lalu bagaimana, Teh?”

“Yaaahhh, bagaimana ya? Saya kurang ‘ngerti caranya. Soal santet bukan bidang saya. Saya mah ahlinya pasang susuk.”

“Hah? Susuk?”

“Lho, memangnya Mas tidak baca pelang nama saya di depan? Kan jelas tertulis kalau saya ahlinya bongkar pasang susuk. Ya sudah, begini saja, ‘gimana kalau benjolannya dipasangin susuk? Biar jadi manis ‘gitu kelihatannya. Mau?”

Aku tidak menjawab. Hanya memandang kosong, jauh ke dalam bola mata si teteh yang senyum genitnya makin sumringah.

***

Malam itu perasaanku sangat gelisah. Sudah sembilan bulan lebih dua minggu aku menderita. Berbagai pengobatan medis dan alternatif sama sekali tidak membuahkan hasil. Pekerjaanku sebagai kepala dinas di instansi pemerintah sedikit banyaknya ikut terganggu. Bukan sekali dua kali aku minta izin untuk tidak masuk kerja pada atasan demi mengobati penyakit aneh ini. Belum lagi hari-hari di mana aku memang sengaja bolos kerja seiring semangatku yang terus menurun.

Sedari maghrib gerimis turun pelan-pelan dan menjelang tengah malam baru membesar jadi hujan. Istriku baru saja tidur. Mungkin dia lelah setelah berjam-jam mengipasi punggungku yang terasa panas. Padahal AC selalu menyala di kamar tidur kami. Aku merasa suatu hal buruk akan terjadi.

Benar saja. Lewat tengah malam, kedua benjolanku terasa sakit sekali. Benjolan  itu kemudian merekah dan keluar sesuatu dari dalamnya. Terlontar begitu saja, seperti anak jadah yang tiba-tiba terlahir ke dunia. Sejak itu, sepasang sayap kecil tumbuh di punggungku.

Sayap tersebut berwarna putih dan dibungkus bulu-bulu halus seperti beludru. Berkilau terang seperti pijar bola lampu. Sinarnya bisa menembus pakaian yang paling tebal sekalipun, sehingga seolah ada sepasang bola lampu selalu menyala di punggungku.

Bayangkan jika hal itu terjadi padamu. Sepasang sayap akan membuat kau merasa menjadi ayam, karena kau tetap tidak bisa terbang seperti burung. Sedangkan cahaya berkilauan yang memerihkan mata itu membuatmu terlihat seperti lampu berjalan.

Aku menjelma makhluk aneh. Semua orang memandangku dengan tatapan aneh. Mereka mengerubungiku seolah lalat mengerubungi bangkai. Berita tentang keanehanku jadi headline di semua media massa, bahkan melintasi benua sampai ke mancanegara. Mereka menyebutku “Manusia Ayam”, “Burung yang Tak Bisa Terbang”, atau “Monster Asia”.

Aku pun jadi obyek penelitian medis. Berpuluh jarum yang terhubung dengan kabel-kabel di mesin ditusukkan ke tubuhku. Darahku diambil untuk diteliti DNA-nya. Denyut jantungku dimonitor. Gelombang otakku diterjemahkan ke dalam kode-kode rahasia. Mereka mencari tahu sebab apa sepasang sayap bisa tumbuh di punggungku.

Agen-agen rahasia juga berdatangan dari seluruh penjuru dunia. Mereka khawatir alien sedang berusaha menguasai bumi dan menjadikan tubuhku sebagai induk semang bagi telur-telur yang kelak akan menetas sebagai pasukan monster. Tak ketinggalan para alim ulama mengungkapkan keyakinan mereka bahwa akhir zaman sebentar lagi tiba.

Berbulan-bulan kemudian, tetap tak ditemukan satu pun keanehan dalam diriku. Semua organku berfungsi normal. Satu-satunya keabnormalan cuma sepasang sayap kecil itu. Kemudian, sambil menunggu penelitian selanjutnya, aku diisolasi dalam ruang tertutup. Dilarang bertemu dengan siapa pun, termasuk dengan keluargaku sendiri. Hanya para peneliti dan orang-orang pemerintah yang boleh masuk ke ruanganku. Seminggu sekali, datang pula seorang perawat yang tugasnya membersihkan sayapku supaya tidak dihinggapi kutu.

Jika kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan? Dipenjara dalam ruangan yang pintunya selalu dikunci dari luar. Tanpa jendela. Tanpa lampu. Terang hanya berasal dari sayapmu. Sementara kamera CCTV mengawasimu seharian penuh. Kau benar-benar dipisahkan dari dunia luar. Tidak ada TV, tidak ada radio, tidak ada koran, dan janganlah kau berharap mereka berbaik hati memberimu jaringan internet.
Tidak pula ada jam. Satu-satunya cara agar kau tahu perbedaan waktu hanyalah dari jam biologismu. Jika kau sudah sangat mengantuk, itu pertanda hari telah malam. Aku menangis, berteriak dan memohon mereka melepaskanku, tapi tak ada yang peduli.

Aku mulai mempertanyakan keadilan Tuhan. Kenapa Dia menumbuhkan sepasang sayap di punggungku. Sampai suatu malam, lelaki bercahaya mendadak muncul di depanku. Kulitnya putih benderang seperti marmer, juga jubahnya. Dan dia punya sepasang sayap di punggungnya yang bentuknya persis sama dengan sayapku, tapi dengan ukuran yang jauh lebih besar.

Lelaki bercahaya itu mengajakku bicara. Kau tak akan tertarik mendengar obrolan awal kami. Hanya kalimat basa-basi seperti yang sering kau ucapkan jika berkenalan dengan seseorang. Tapi lambat laun, perbincangan kami semakin serius.

“Manusia alpa pada Tuhan meski tiap hari selalu menyebut nama-Nya. Kemunafikan merajalela. Kejahatan berlangsung setiap saat. Perang dan teror terjadi di mana-mana. Manusia tega memakan air mata sesamanya.“
 
“Apakah sayap ini tumbuh karena dosa-dosa saya sendiri?”

“Ya! Tuhan bisa memberi sepasang tanduk pada manusia yang gemar melakukan dosa, tapi itu akan membuat manusia semakin mirip dengan iblis. Dengan memberi sepasang sayap malaikat, Tuhan ingin manusia belajar untuk patuh pada perintah-Nya. Sayap itu akan membesar seiring dengan kebajikan yang manusia perbuat. Semakin banyak kebaikan kau buat, semakin besar dan terang sayap itu.”

“Lalu kenapa hanya saya yang mendapatkan sayap ini? Kenapa orang lain tidak? Apa Tuhan pikir orang lain tidak punya dosa?”

Dia tersenyum lalu menghilang begitu saja.

Ah! Sayap malaikat? Tanduk iblis? Gila! Benar-benar gila! Aku dianggap sebagai makhluk aneh yang berpotensi membahayakan keselamatan umat manusia. Sayap ini tidak membuat derajatku meningkat di mata mereka, sebaliknya menenggelamkan aku dalam jurang kehinaan. Seumur hidup sayap ini harus kupanggul.

Hancur sudah harapanku untuk keluar dari tempat ini. Bisa bebas pun percuma. Sayapku akan membesar dan bertambah terang menyertai kebajikan yang kuperbuat. Sepasang sayap kecil saja sudah membuatku menderita, apalagi besar. Jika kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan?

Maka aku segera mengambil ancang-ancang. Kuseruduk dinding beton kamarku seperti banteng menyeruduk matador. Sekuat tenaga. Gemeretak tengkorak terdengar jelas. Darahku mengalir deras. Gelap seketika tapi aku masih bisa mendengar suara pintu kamar dibuka dari luar. Langkah kaki tergopoh-gopoh masuk.

“Ah, sepertinya kita terlambat.”

“Sudah kubilang kan, sejak tadi dia bicara sendiri seperti orang gila, seharusnya kita masuk menemani dia.”

“Mana kutahu dia akan nekad seperti ini? Lagipula CCTV itu mendadak rusak. Kalau saja kita tidak sibuk membetulkannya….”

“Kasihan… dia depresi berat. Andai saja dia tahu sebenarnya dia tidak sendiri.”

“Ya, hari ini hampir semua manusia mendadak tumbuh punuk di punggungnya. Eh, punukmu kelihatan tambah besar ya?”

“Masa sih? Hei, lihat sayapnya hilang!”

“Aneh! Kenapa bisa begitu? Eh, apa itu?”

“Astaga… ini tanduk. Sepasang tanduk tumbuh di kepalanya.”

Begitulah, mereka terus saja bicara, entah sampai kapan. (*)


 Penulis lahir di Jakarta, 2 Maret 1974. Pendidikan terakhirnya ditempuh di jurusan Sastra Jepang, Universitas Nasional (1991- 1997). Kini aktif dalam komunitas Studi Sastra Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar