Cerpen Rilda A.Oe. Taneko
Terbit di Koran Tempo, 4 November 2012
1.
Bahan Referensi Cerpen - BERAWAL satu. Tahun berlalu. Tak ada orang yang
serupa dengan dirinya. Ia tinggal di sebuah kampung, di ceruk
bukit-bukit cemara. Tak jauh dari drielandenpunt, titik
perbatasan tiga negara: Belanda, Jerman dan Belgia. Penduduk kampung itu
berambut pirang, atau kecokelatan, atau kemerahan, atau beruban,
berkulit putih, berhidung mancung dan bertubuh lebih tinggi darinya.
Dari puncak bukit cemara, kampungnya terlihat berbentuk bintang,
bersudut-sudut dan menjorok pada lembah-lembah bukit, yang dikelilingi
oleh perkebunan apel. Rumah-rumahnya terlihat asri, bungalow atau kopel
bertingkat dua, bercat putih, berpagar batu, pekarangan rumput hijau
yang rapi, lalu balkon yang ditanami bunga musim semi berwarna-warni. Di
tengah kampung, menara gereja menjulang tinggi. Setiap satu jam,
lonceng gereja berdentang.
Ia kerap berjalan-jalan di bukit cemara. Di dekat sungai kecil, yang
mengalir dan meliuk tenang, tempat kuda poni dan sapi hitam-putih biasa
minum, terdapat hutan, Eys Boos namanya.
Ia senang pergi ke Eys Boos. Di tiap musim gugur, ia memunguti
kastanye yang berserak di sela tumpukan dedaunan. Kastanye itu berduri.
Ia injak-injak buah kastanye itu hingga cangkangnya terkelupas dan
bijinya, yang cokelat tua berkilat, terlepas. Biji-biji itu ia kumpulkan
dan bawa pulang.
Sore hari ia akan merebus atau memanggang biji-biji kastanye itu
untuk suaminya, Ad. Ad suka kastanye. Bagi ia sendiri, kastanye itu
membosankan, rasanya sama dengan biji nangka. Dan ia sudah bosan memakan
biji nangka.
Selain kastanye, Ad suka makanan Indonesia. Apa saja. Ikan bakar,
pempek dan tekwan. Nasi goreng, apalagi. Setiap kali membantunya memasak
nasi goreng, Ad bernyanyi gembira:
Geef mij maar nasi goreng
met een gebakken ei,
wat sambal en wat kroepoek
en een goed glas tee erbij….
Ad sengaja mengubah kata ‘bier’ menjadi ‘tee’. Ad tidak pernah dan tidak suka minum bir. Ia lebih memilih teh, terutama Teh Sosro rasa melati.
DUA generasi keluarga Ad tinggal di Indonesia. Di sebuah pulau
kecil di selatan Pulau Sumatera, tepatnya. Opa, oma, dan papanya
bahagia tinggal di pulau itu. Ad sendiri tak pernah berkesempatan untuk
menetap. Namun demi kisah lalu, makanan dan juga lukisan-lukisan yang
memenuhi masa kecil dan dinding-dinding rumahnya, Ad bertekad untuk
datang ke pulau itu. Dan, ketika ia berumur dua puluh dua, impiannya
tercapai.
Ad tiba di pulau itu sebagai turis. Ia menapaki jalan-jalan yang
pernah dijejaki keluarganya. Menjenguk rumah yang dulu dihuni opa dan
omanya. Rumah tempat papanya dilahirkan dan dibesarkan. Dan dikarenakan
luapan kenangan, rasa haru dan kebahagiaan, melihat rumah tua yang
dihuni angin itu, Ad menangis.
Tanpa sengaja, seorang perempuan menyaksikan tangisnya. Perempuan
berkulit gelap, bertubuh kurus dan berambut masai. Perempuan itu
mengenakan kaus lengan pendek biru pudar, celana jins pendek yang sobek
ujungnya dan sepasang sandal jepit butut. Ia memegang pancingan dan
sebuah ember kaleng rombeng. Mata mereka beradu pandang. Mata perempuan
itu memandangnya heran dan penuh tanya. Mata yang jernih, besar, penuh
semangat dan cantik sekali.
Detik itu juga, Ad sadar ia telah jatuh cinta.
2.
SATU menjadi dua. Ia tiba di Belanda saat musim
dingin. Selain kaca-kaca jendela yang dingin jika ia sentuh, juga cuaca
di luar yang dingin membeku, ia tidak pernah merasa kedinginan. Ia tak
perlu mengenakan pakaian hangat maupun kaus kaki.
Rumahnya yang luas dan indah itu sangat hangat. Sehangat Indonesia.
“Mengapa bisa hangat?” tanyanya pada Ad. “Karena kita punya pemanas,” demikian Ad menjawab.
Lalu salju turun. Ad memberitahunya pagi itu, “Sneeuw… sneeuw. Je eerste sneeuw!”
Ia melompat dari tempat tidur. Salju! Salju pertama dalam hidupnya!
Ia berlari keluar, ke halaman belakang. Di bawah hujan salju yang lembut
dan putih bersih, ia menari berputar-putar. Ad berlari menyusulnya,
membawa jas dan syal. Tapi ia tak perduli. Dengan piyamanya yang mulai basah, ia mengajak Ad turut menari.
Ia senang sekali!
Setahun kemudian, ketika musim dingin kedua datang, dan ia telah
mengerti cara kerja pemanas rumah, ia baru sadar Ad selalu menyetel
pemanas rumah mereka di suhu tiga puluh derajat celcius. Dan itu,
tentunya, sangatlah mahal.
“Mengapa, Ad? Mengapa tidak seperti orang-orang lain? Kita bisa
menghemat jika menyetel di suhu delapan belas atau dua puluh derajat.”
Ad tersenyum dan memeluknya, “Supaya kamu merasa seperti di Indonesia. Agar kamu kerasan di rumahmu sendiri.”
Ad menatap wajahnya, tersenyum lembut. Ia ingat, sanak keluarga dan
orang-orang di kampungnya selalu terpana melihat Ad tersenyum. Beberapa
gadis remaja bahkan tertawa-tawa kecil sambil menutup wajah.
Mereka bilang, ia beruntung sekali. Ad yang tampan, seperti pemain
film Hollywood, berpendidikan tinggi dan kaya raya, mau meminang ia yang
biasa-biasa saja. Bahkan ibunya pun bersujud syukur. “Sejak kecil kamu
tak pernah mengurus diri. Untung saja ada Ad, hingga kau tak perlu jadi
perawan tua,” demikian ibunya bilang.
Keluarganya merasa, karena ia menikah dengan bule, dengan londo,
derajat mereka di mata orang-orang kampung meningkat pesat. Tapi, bagi
ia yang selalu merasa dirinya istimewa, tak pernah hinggap rasa rendah
diri dan tidak melihat tinggi pada orang lain, Ad lah yang sesungguhnya
beruntung mendapat dirinya sebagai istri.
SATU waktu, Ad menyampaikan berita baik padanya. Ada rumah
makan Indonesia di kota, di daerah Markt. Pemiliknya juga orang
Indonesia. Ia melonjak senang. Ia sudah bosan menjadi satu. Dan ia pun
tak lagi tertarik pada salju.
“Antarkan aku ke sana!”
Pemilik rumah makan itu serupa dengan dirinya. Berkulit gelap,
berubuh kecil dan berambut hitam panjang. Namanya Tur. Tur juga berasal
dari bagian selatan Sumatera. Mereka langsung berteman baik.
Namun Tur sibuk sekali. Ia harus memasak dan mengurus rumah makannya.
Ia pun bertanya, “Adakah orang Indonesia lain di kota ini?”
Tur memberitahunya, di Brouwersweg 100, tiap musim semi ataupun musim
panas banyak mahasiswa Indonesia datang. Dan, dengan diantar Ad, ia
datang ke Brouwersweg 100.
Betapa terkejutnya ia, dan juga Ad, ketika melihat orang-orang
Indonesia yang tinggal di sana. Tidak hanya satu atau dua, tapi puluhan!
Puluhan manusia yang serupa dengan dirinya. Berbicara dalam bahasanya.
Mereka mengenakan pakaian musim dingin, walaupun matahari musim semi
hangat menyinari. Mereka bahkan mengenakan kupluk wol yang tebal!
Sungguh mereka terlihat norak sekali! Aih, ingin rasanya ia
melonjak-lonjak senang dan memeluki mereka satu per satu!
3.
DUA menjadi puluhan. Ia berkawan dengan mereka
semua. Ia mendengarkan cerita mereka, keluh dan kesah. Ia turut bahagia
ketika mereka bahagia. Dan ia juga merindui Indonesia, sama seperti
mereka semua!
Demi bebas datang ke Brouwesweg 100, tanpa menunggu Ad pulang
bekerja, ia belajar mengemudi. Ia belajar giat. Tak lama ia lulus,
mengantungi verblijf Belanda yang terkenal susah didapat. Ad membelikannya sebuah sedan merah.
Dengan sedan itu ia melaju ke Brouwersweg 100. Dengan sedan itu ia
membawa seabrek makanan yang ia masak sendiri berhari-hari, untuk ia
makan bersama teman-temannya. Ia mengumpulkan baju-baju, jas-jas
musim dingin, dari tetangga-tetangga dan kenalan keluarga Ad, untuk ia
bagikan pada mereka. Ia pun mengajak mereka berjalan-jalan dengan
mobilnya. Setiap hari ada saja kegiatan bersama.
Belanda yang awalnya senyap menjadi meriah.
4.
PULUHAN menjadi ratusan. Persatuan Pelajar
Indonesia (PPI) di kota itu mengadakan pertandingan badminton. Dan Ad
ternganga. Begitu banyaknya orang Indonesia di Belanda! Bagaimana
mungkin bertahun-tahun ini istrinya merasa satu? Merasa sendiri?!
Melihat istrinya bersenang, Ad pun turut bahagia. Istrinya tak akan
pernah kembali merasa sepi. Dengan manusia sebanyak ini, kemungkinan
menjadi sunyi akan sangat kecil sekali. Ad tersenyum lega. Setidaknya ia
tak perlu lagi merasa bersalah dan berbeban berat. Memboyong seorang
perempuan, jauh dari sanak keluarganya, pulaunya dan juga lautnya, dan
terus-menerus berusaha membuat perempuan itu bahagia, tentu bukanlah
mudah.
NAMUN, perpisahan tak bisa dielak. Teman-temannya itu, yang
kepada mereka hatinya merasa dekat, tak pernah berniat datang ke Belanda
untuk menetap. Mereka kembali pulang ke Indonesia.
Ia melepas mereka dengan berurai air mata.
“Mahasiswa yang lain akan datang,” Ad menghiburnya.
Ia terdiam dan mengangguk, membenarkan. Toh, ia akan memiliki
teman-teman baru. Temannya akan bertambah banyak setiap September
datang.
Ia mencoba membuka dirinya lagi. Mengulang semua lagi: mengenal
mahasiswa-mahasiswa yang datang. Melalui hari-hari bersama mereka.
Merasakan hangatnya kedekatan. Namun di tiap September ia kembali
menangis. Ia selalu menjadi yang ditinggalkan. Dan ia sangat benci
perpisahan! Ia benci perpisahan!
5.
BERAKHIR satu. “Bangunlah. Apa tidak ingin ke Brouwesweg 100?” Ad mengguncang tubuhnya. Ia menggeliat, membalik badan, memunggungi Ad.
Ad mendesah. “Apa rencanamu hari ini?”
Ia tidak menjawab, menarik selimutnya lebih tinggi, menutupi kepala.
Ia tahu Ad tak perlu jawaban. Ad tahu ia tidak akan pergi ke Brouwesweg
100. Ad tahu ia akan kembali berjalan-jalan di Eys Boos, memunguti
kastanye, sendiri, seperti dulu.
Ad berpamitan padanya dan berjanji akan pulang lebih awal. Diam-diam
Ad menaikkan setelan suhu pemanas rumah. Tiga puluh derajat celcius.
Supaya istrinya merasa seperti di Indonesia. Agar istrinya merasa
kerasan di rumahnya sendiri.
Ad menyiapkan sarapan dengan berat hati: setangkup roti volkoren, mentega blue band, melk chocoladehagel dan segelas susu bendera. Ia mengunyah dengan mulut yang terasa pahit. Ad merindukan nasi goreng buatan istrinya.
Di garasi, Ad memanaskan mobilnya dan sedan merah milik istrinya.
Sedan itu sudah berbulan-bulan mendekam di garasi saja. Menanti tuannya
yang seolah tak lagi peduli. Ad mendesah dan bersenandung lirih.
Ketika kami dipulangkan dari sabuk jamrud
Belanda terasa sangat dingin tak terkira
Parah lagi makanannya
Bahkan lebih parah dari perjalanan
Kentang, daging dan sayuran
Juga nasi dengan gula!
Aku lebih memilih nasi goreng….
Dulu, menyanyikan lagu itu membuat Ad bahagia. Namun sekarang entah. (*)
Lancaster, Maret 2012
: Untuk seorang kakak dan kenangan di Eys Boos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar