Cerpen Ilham Q. Moehiddin
Terbit di Jawa Pos, 23 Desember 2012
1.
Bahan Referensi Cerpen - RUKMINI mati jumat siang. Mayatnya baru ketemu jumat sore, nyangkut
di kawat berduri yang membelit batang pipa perusahaan air minum.
Puluhan warga yang susah payah mencari jasadnya, terkejut setengah
mati—Rukmini tak mati sendirian. Pada selempang sarung gendongannya,
juga ada tubuh mati bayi lelakinya.
Celakalah Rukmini itu. Iblis apa yang singgah di benaknya, hingga
lakunya serupa durjana tak berakal dan berhati? Perempuan sesat tak tahu
diri, dikaruniai anak, tapi malah dibuatnya ikut mati bersamanya.
Begitulah ragam omelan, bercampur hujatan, keluar lancar dari mulut
ibu-ibu yang menyaksikan jasad Rukmini dan anaknya diangkat dari sungai.
Hujatan masih tak berhenti keluar dari mulut mereka, serupa air
bendungan Katulampa yang diluap bah. Sukarsih, tetangga Rukmini, tak
ikut-ikutan menghujat. Perempuan itu justru sedih luar biasa. Di
kepalanya, berkeliaran wajah Rukmini yang memelas padanya tadi pagi.
Siang tadi, orang-orang tegak curiganya saat melihat Supendi
meraung-raung di trotoar jembatan. Disuruh pulang, anak itu tak menurut.
Sesekali bocah itu menengok ke bawah jembatan, ke sungai berair kotor
dan busuk itu. Mengucapkan sesuatu bercampur raungan membuat orang-orang
sukar memahami kata-katanya. Saat Mang Jali datang membujuknya
baik-baik, barulah Supendi bisa tenang bicara: ibunya jatuh ke sungai.
Maka bergegaslah orang-orang menuju jembatan, bikin macet lalu-lintas dua arah yang lewat di situ. Mang Jali segera nyebur
ke sungai mencari tubuh tetangganya itu. Lumpur tebal di dasar sungai
bikin pencarian itu jadi sukar. Ketua RT pun sibuk menelepon polisi. Dua
jam mereka menyelam-nyelam di sungai kotor berair hitam dan busuk itu,
tubuh Rukmini justru mereka temukan dua ratus meter dari jembatan, nyangkut di kawat berduri yang membelit pipa air.
Rukmini sudah mati, bayi di gendongannya pun begitu.
2.
Saat Rukmini bersimbah kutukan dan hujatan dari para tetangganya
sendiri, Sukarsih diam-diam menangis di kamar kontrakannya. Orang-orang
yang menghujat itu sekaligus juga orang-orang yang tak peduli pada
kesusahan Rukmini.
Supendi baru saja tertidur setelah dia beri makan. Bocah itu
kelelahan akibat banyak menangis dan kepanasan di trotoar jembatan.
Sukarsih menyeka air matanya, memandang bocah yang lelap di depannya. Di
benaknya masih lekat wajah Rukmini saat datang menemuinya tadi pagi.
“Karsih, bukan aku hendak merepotkanmu, tapi aku butuh uang dua puluh
ribu rupiah saat ini juga.” Rukmini duduk di ambang pintu membujuk
Sukarsih.
“Buat apa kamu uang sebanyak itu? Suamimu belum pulang ya?” Air muka
Sukarsih berubah saat mendengar jumlah uang yang disebut Rukmini.
“Bang Imin barangkali sudah di Merak sekarang, dia mau nyebrang ke Sumatra bawa barang. Aku ganti uangmu begitu Bang Imin pulang tiga hari lagi.”
Sarimin, suami Rukmini, menjadi kenek truk ekspedisi antar pulau.
Sukarsih mengumpulkan ujung dasternya, mengepitnya di sela paha, lalu
duduk di dekat Rukmini.
“Bagaimana ya, Ruk. Eng… bukannya aku tak mau
meminjami, tapi aku tak boleh mengeluarkan uang jika tak bilang dulu
pada Bang Tigor. Kau ngerti sendiri bagaimana Bang Tigor itu orangnya. Bisa habis mukaku ditamparnya kalau dia tak senang dengan tindakanku.”
“Bu Lia tadi datang marah-marah, menagih uangnya yang kupinjam minggu
lalu untuk berobat si Asrul. Katanya, aku harus membayarnya siang ini
juga. Ayolah, Karsih, cuma dua puluh ribu saja.”
“Uangku tinggal tiga puluh ribu. Jika kuberikan padamu dua puluh, apa
yang harus kukatakan pada Bang Tigor jika dia bertanya nanti.”
Rukmini terdiam. Pelipisnya berkeringat. Kasihan Sukarsih. Matanya
memandang Asrul, bayi dua tahun di gendongannya. Supendi, anak
pertamanya, tenang bermain kotak sabun di dekatnya.
Sukarsih jatuh iba juga. Disentuhnya lengan Rukmini. “Ruk, pergilah ke Tante Jaenab. Jika hanya uang segitu, tak akan berat dia meminjamkanmu.”
Tante Jaenab itu janda kaya baik hati di belakang gang ini. Rukmini
harus mempertimbangkan saran Sukarsih itu. Boleh jadi dia akan ke sana,
tapi ragu buru-buru datang ke hatinya. Sudah sering dia menemui Tante
Jaenab, tak enak hati Rukmini kerap merepotkan perempuan baik itu.
Hari beranjak siang.
“Ya, sudah, tak apa-apa, Karsih. Aku mungkin ke Tante Jaenab saja,” dalih Rukmini.
Sukarsih tersenyum, memandangi punggung Rukmini yang bangkit berdiri.
Selepas Rukmini hilang di ujung gang, perasaan Sukarsih mendadak cemas.
3.
Rukmini sama sekali tak niat ke rumah Tante Jaenab. Dia hendak pulang
setelah dari kontrakan Sukarsih, tapi buru-buru menghindar ke dekat
warung mie ayam milik Mang Jali, demi melihat Bu Lia sedang berdiri dan
mengetuk pintu kontrakannya. Rukmini batal pulang. Malu hatinya ditagih
kasar begitu oleh Bu Lia. Pernah sekali Rukmini berhutang ke orang, tapi
dia tak diperlakukan sekasar itu.
Asrul harus dia bawa ke puskesmas enam hari lalu. Jika saja Kartu
Sehat program pemerintah tak ditolak Puskesmas, Asrul pasti dapat obat
generik, dan tentu Rukmini tak butuh pinjaman uang dari Bu Lia.
Perawat jengkel padanya dan mengembalikan kartu itu. Kartu begituan
sudah batal, katanya. Jadilah Rukmini harus menebus obat ke apotek
swasta. Uang pinjaman dari Bu Lia itu benar-benar habis untuk menebus
separuh resep dokter. Kini pun obatnya habis, tapi batuk Asrul tak
pernah benar-benar berhenti.
Matahari memanggang ubun-ubun Rukmini. Asrul di gendongannya juga
menggeliat kepanasan, dan mulai merengek karena lehernya gatal. Supendi
lekat mengekor di belakangnya. Pilihan Rukmini tinggal satu: ke rumah
Tante Jaenab, perempuan dermawan di belakang gang.
Bergegas Rukmini menuju ke sana. Sarung gendongan Asrul dirapatkan
agar bayinya itu tak banyak terpapar panas matahari, juga debu.
Kendaraan mengangkat debu tinggi-tinggi, membuat Rukmini kian khawatir
pada kondisi bayinya.
Cemas menghantui Rukmini di hadapan suaminya kemarin malam. Sarimin
lemas saat mendengar Rukmini butuh uang 20 ribu itu. Sopir truk, di mana
Sarimin ngenek, belum membayarkan upahnya minggu ini, hingga tak
ada uang yang bisa diberikannya pada Rukmini. Dua batang rokok di meja
itu juga ketengan pemberian kawannya, hasil beli di kios dekat pul truk.
“Aku mau nyebrang ke Sumatra besok. Kami jalan subuh dari pul.
Kalau Bu Lia tak mau lagi memberi waktu, cobalah ke bininya Tigor,
minta pinjam padanya sejumlah uang yang kau butuhkan. Nanti kita
kembalikan, begitu aku pulang tiga hari lagi,” saran Imin.
Bukan itu masalahnya, Rukmini membatin. Sudah berulang kali dia
merepotkan Sukarsih, itu pun tanpa sepengetahuan suaminya. Rukmini tak
kuasa membayangkan jika Tigor menempeleng wajah Sukarsih lagi—bakal
habis gigi depannya yang tersisa tiga itu.
Iba hatinya pada nasib Sukarsih.
Rukmini bukan jenis orang yang suka berhutang uang. Malu dia jika tak
bisa melunasi. Rasa malu sudah harus ditahannya ketika meminjam,
terlebih di saat mengembalikan. Jika dua anak lelakinya itu bisa makan
dan tak sakit, tak akan sudi dia menadahkan tangan ke orang-orang.
Rukmini dua kali harus melanggar prinsipnya karena terpaksa. Cukup
sudah, dia tak mau berhutang lagi. Malunya bukan main.
Pernah sekali dia menangis karena mengharap pembagian Kartu Jaminan
Sosial dari kecamatan, yang tak pernah sampai ke tangannya. Petugas
kecamatan datang menanyainya macam-macam, sekaligus minta tanda
tangannya di berkas pendataan. Berbilang bulan setelahnya, tak pernah
kartu itu sampai ke tangannya. Padahal, jika kartu itu ada, keluarga
kecilnya bisa bersyukur untuk jaminan uang 250 ribu rupiah per bulan
dari pemerintah.
4.
Lamunan Rukmini buyar saat melihat kerumunan orang di depan rumah
Tante Jaenab. Rukmini memutuskan kembali ke arah warung mie ayam Mang
Jali. Dia bisa sedikit tenang di sana sebelum pulang sore nanti, minimal
sampai Bu Lia tak lagi dia lihat berdiri di depan kontrakannya.
Namun, betapa paniknya Rukmini, demi dilihatnya Bu Lia sedang
berjalan ke luar gang. Duduk di depan warung Mang Jali akan membuatnya
terlihat. Sungguh, dia tak akan kuat lagi menerima omelan Bu Lia di
tengah orang banyak begini.
Cemas dan panik berbaur memenuhi dada Rukmini. Dia harus menghindar,
menyebrang ke sisi jalan, lurus ke arah pasar. Saat melintas di
jembatan, Rukmini berhenti, tertegun dalam bimbang yang berkelahi di
kepalanya.
Kalau mati bisa menghapus rasa malu akibat dikejar hutang, akankah
diambilnya putusan ini? Bagaimana nasib dua anak dan suaminya? Berat
nian tanggungan Sarimin kelak, mengasuh dua anak dengan kerja serabutan
begitu rupa.
Toh, malaikat itu suka anak-anak. Rukmini yakin, malaikat
bakal tersenyum dan menyogsong anak-anaknya saat dia datang menghadapkan
wajah pada kematian.
Diraihnya tangan Supendi, lalu ditariknya bocah itu ke bagian
jembatan yang tak berpembatas. Cukup bulat tekadnya atas keputusannya
itu. Kakinya mengayun ke arah sungai, meluncurkan tubuhnya masuk air.
Badan Supendi tertahan besi jembatan, membuat anak itu lepas dari
pegangan ibunya.
Kaki Rukmini tertancap dalam lumpur sungai yang tebal, membuat
tubuhnya sukar tertolak ke atas lagi. Dirasakannya rontaan Asrul dalam
gendongan saat air sungai yang kotor dan bau memenuhi mulut dan hidung
mereka, membuat perih luar biasa pada paru-paru.
5.
Benarlah cerita orang terhadap laku orang kota—tak perduli pada
kesusahan orang lain. Dulu, pertama kali Rukmini datang ke kota ini, dia
cuma manggut-manggut mendengar cerita itu. Mana mungkin semua orang tak
peduli? Pasti ada satu-dua orang yang bakal membantu saat kita
kesukaran.
Tapi memang tak banyak lagi orang yang seperti itu.
Kegaduhan yang dibuat Supendi dengan raungannya, ternyata benar tak
membuat orang-orang cepat menyadari ada sesuatu yang sedang terjadi.
Malam ini, orang-orang yang mau disebut peduli itu, berdatangan ke
kontrakan Rukmini, memperlihatkan wajah-wajah iba mereka pada Supendi
yang sedang dijagai Sukarsih. Tigor juga ada di situ, bertahlil dengan
tetangga lainnya. Orang-orang yang katanya peduli itu, ramai berkerumun
di pintu masuk, membuat udara menjadi gerah.
Di antara orang-orang yang mungkin peduli itu, tampak pula Bu Lia,
yang tetap tenang melayani bisik-bisik para ibu lain di sekelilingnya.
Di ketiak kirinya—yang basah dan busuk itu—buku catatan piutang
terkepit. Ada nama Rukmini ditera beserta pinjaman 20 ribu rupiah. Nama
Rukmini belum sempat dia coret karena dianggap penghutang gagal bayar.
(*)
Bende, Desember 2012.
Catatan:
Cerpen ini terinspirasi berita ibu yang terjun ke sungai karena malu berhutang 20 ribu rupiah di Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar