Seseorang dan Segala Hal yang Dia Tahu

Cerpen Ardy Kresna Crenata

Terbit di Koran Tempo, 30 Desember 2012





Bahan Referensi Cerpen - DIA sungguh tak mengerti apa yang terjadi. Bukan saja penanda waktu pada handphone menunjukkan tanggal yang telah dilaluinya, suasana pagi itu pun benar-benar tak asing dan masih hangat dalam ingatannya. Pagi yang mendung, dingin yang merayap masuk lewat celah jendela, bunyi teratur dari hamsternya yang berlari-lari di kitiran. Ia mencoba bangkit. Dilihatnya benda itu masih di sana, sebuah kotak lampu yang dibungkusnya dengan rapi, sebuah kotak berisi sesuatu yang diberikannya kepada perempuan itu kemarin. Ya, kemarin. Dia ingat betul kemarin siang kotak itu dimasukkannya ke dalam tas tangan merah yang dibawa pulang perempuan itu. Dia juga ingat betul perempuan itu mengambil dan membuka salah satu ujung kotak itu untuk melihat isinya ketika mereka di bandara. Dia ingat betul senyum perempuan itu, juga kata-kata yang keluar dari lidahnya usai dia menggodanya kalau-kalau perempuan itu tidak tahu apa isi kotak itu. “Baju Doraemon,” kata perempuan itu. Dia ingat betul kejadian itu. Dan kini kotak itu tepat ada di depan matanya. Utuh. Dia masih berusaha mencerna apa yang sesungguhnya sedang terjadi.

Tentu saja dia menolak penjelasan bahwa peristiwa itu hanyalah mimpi. Mimpi biasanya tak lengkap, pikirnya, keterkaitan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya seringkali tak jelas, kabur, dan banyak diantaranya terlupakan. Sementara apa yang terjadi kemarin, dalam ingatannya begitu jelas antara yang satu dengan yang lainnya, terurut, detil dari pagi hingga malam. Tak mungkin itu mimpi, tegasnya. Dilihatnya, dia mengenakan pakaian yang dikenakannya kemarin pagi.

Dia mengambil handphone dan mengecek pesan terakhir yang masuk. Benar saja, pesan itu diterima pada tanggal 18 September 2012 pukul 01:13 a.m. Dia melihat lagi tanggal di handphone, memastikan bahwa matanya tidak keliru. Dia bahkan sampai membuka aplikasi kalender untuk memastikan bahwa hari itu adalah Selasa. Dilihatnya kembali kotak itu, baju yang dikenakannya, tanggal pada handphone. Apakah aku sedang bermimpi? pikirnya. Kembali dilihatnya pesan terakhir di handphone itu: Selamat tidur, Hanee.... Terima kasih banyak untuk segalanya.


JIKA benar ini terjadi, pikirnya, karyawan Alfamart itu akan berkata bahwa tas Hello Kitty sudah habis. Kemarin pagi seingatnya dia mampir dulu ke Alfamart untuk menanyakan tas lucu itu. Perempuan itu sangat menginginkannya. Ia ingin sekali menyenangkan perempuan itu di pertemuan terakhir mereka. Namun sayang stok tas itu sudah habis, tak tersisa satu pun di gudang. Itulah setidaknya pengakuan karyawan Alfamart yang namanya tak sempat ia ingat itu. Dan, betapa ia tak lagi terkejut, karyawan itu—orang yang sama dalam ingatannya—mengatakan padanya bahwa tas itu sudah habis, tak tersisa satu pun di gudang. Ia bahkan disarankan karyawan itu untuk mengecek di Alfamart lainnya yang ada di kawasan itu, di utara dengan waktu tempuh lima menit jika berjalan kaki. Persis, itulah yang disarankan karyawan itu padanya kemarin pagi. Tuhan pasti sedang bercanda, pikirnya.

Selanjutnya ia melakukan apa-apa yang dilakukannya kemarin, persis dengan urutan yang sama. Ia memasuki Alfamart kedua, menanyakan tas Hello Kitty, berhadapan dengan karyawan menyebalkan. Ia membeli bubur ayam Ciampea kesukaan perempuan itu, naik angkot dua kali, turun di stasiun. Setiap detilnya, terurut mulai dari membeli tiket kereta sampai turun dari becak di depan rumah tempat perempuan itu berada, hadir dengan sempurna, tanpa perbedaan satu pun. Kalaupun perbedaan itu ada, itu adalah ia yang tak lagi antusias. Ia telah tahu apa yang akan dihadapinya usai detik ini, menit ini. Ia tinggal melakukan hal yang sama dan apa yang terjadi kemarin akan terjadi lagi dengan persis sama. Seperti itulah. Ia tak lagi menanti-nanti dengan debar hati dan rasa cemas yang membuatnya bergairah. Ia telah tahu, dan itu membuat semuanya tak mengasyikkan lagi baginya. Ia mulai merasa akan kehilangan kegembiraan yang seharusnya didapatkannya di hari itu, hari terakhir ia dan perempuan itu bertatap muka dan saling menyelami mata.

Tapi biarlah, pikirnya. Aku akan menikmatinya.

Di ambang pintu, perempuan itu muncul. Ia membalas senyum perempuan itu dan untuk pertama kalinya ada rasa syukur dalam dirinya atas pagi yang ganjil itu. Perempuan itu duduk. Ia dan perempuan itu kini berdekatan. Ia mulai tak sabar. Di benaknya berkelebat hal-hal manis yang akan dilaluinya dengan perempuan itu dalam enam jam ke depan.

PETANG di bandara, ia tinggal sendiri. Perempuan itu telah masuk ke pesawat sekitar satu jam yang lalu. Kedua Tante yang ikut mengantar telah pulang beberapa saat setelah sosok perempuan itu tak tampak lagi. Sementara itu, di layar yang menayangkan keberangkatan pesawat-pesawat yang terbang hari itu, tampak penerbangan pesawat yang membawa perempuan itu sedang melakukan panggilan terakhir. Ia duduk lagi, menunggu. Berpuluh-puluh meter di hadapannya bis-bis datang untuk singgah lalu pergi.

Tiba-tiba saja ia begitu ingin mengirimi perempuan itu sms, atau bahkan meneleponnya beberapa saat, sekadar mengucapkan selamat jalan dan hati-hati. Jelas sudah, dua jam berdekatan di dalam bis, satu jam bercakap-cakap dengannya di bandara, beberapa detik berpelukan di pintu masuk, sangatlah jauh dari cukup untuk mengobati kerinduannya yang gila kepada perempuan itu.

Kenyataan bahwa selama dua jam di bis ia dan perempuan itu hanya bisa saling menggenggam tangan tanpa melakukan sesuatu yang lebih jauh menambah sesak yang dirasakannya. Padahal awalnya, perempuan itu sempat mendekatkan dirinya hingga kening dan pipi mereka bertemu. Ia pun sempat akan mencium pipi perempuan itu. Namun cermin itu, cermin di depan itu, menangkap bayangan mereka. Dua orang yang duduk persis di depan mereka—kedua Tante yang ikut mengantar—pasti bisa melihat apa yang mereka lakukan. Perempuan itu tak ingin itu terjadi. Ia merasa tak enak kepada mereka. Mungkin juga malu. Dengan berat hati ia mengiyakan ketidaknyamanan perempuan itu. Kepada perempuan itu ia sempat berbisik menyalahkan keberadaan cermin itu. Perempuan itu tersenyum dan berkata, “Kan udah kemarin.” Ia balas tersenyum. Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tak mencium perempuan itu yang selalu begitu cantik saat tersenyum dengan mata yang jujur. Aroma tubuh perempuan itu seolah menjadi tangan lain yang dengan gemasnya menarik dirinya ke dekat perempuan itu. Seandainya kami duduk di belakang, pikirnya, masih saja kesal.

Sekarang semua itu seperti kenangan yang perlahan menguap menyisakan hangat di hatinya. Perempuan itu sudah pergi. Beberapa saat yang lalu pesawat Lion Air penerbangan 368 dinyatakan take off. Ia menyiapkan dirinya untuk pulang. Langkah-langkahnya terasa berat. Senyum perempuan itu masih terbayang hingga ia tertidur lelap di dalam bis menuju Bogor.

Di ruas tol terakhir, handphone-nya berdering. Perempuan itu telah tiba di Medan. Dilihatnya jam di handphone. Jam sepuluh. “Sebentar lagi aku nyampe Bogor,” katanya. Perempuan itu mengatakan akan meneleponnya lagi nanti. Ia pun menutupnya.

Sementara itu di luar, malam telah larut. Lampu-lampu serupa saksi yang meminta dikenali. “Aku akan menunggumu,” gumamnya, barangkali kepada perempuan itu. Sambil menatap ke langit kota, ia berterimakasih kepada Tuhan telah diberikan kesempatan kedua, sebuah hari yang ganjil, sebuah hari dengan penuh kebahagiaan, sebuah hari di mana ia kembali merasakan betapa perpisahan itu adalah tiran bagi sepasang insan yang saling merindukan. Ataukah ia keliru, hanya ia yang merasakan rindu itu? Entahlah. Ia tak tahu. Yang ia tahu, ia dan perempuan itu belum akan bertemu lagi untuk beberapa bulan ke depan. Di dalam hatinya ia berdoa, “Semoga Tuhan berbaik hati memberiku kesempatan ketiga.” Ia tahu, doa itu hanyalah doa.

KEESOKAN harinya ketika ia terjaga, matanya langsung mencari-cari kotak berisi baju Doraemon itu. Tak ada. Ia lemas. Di saat ia tak mengharapkan keajaiban, Tuhan justru memberinya keajaiban. Di saat ia mengharapkan keajaiban itu ada, Tuhan tak memberinya. Ya sudahlah, pikirnya. Bagaimana pun ia sangat beryukur telah diberi hari kemarin, satu hari lebih untuk dinikmatinya bersama perempuan itu. Lagipula bukankah hidup memang seperti itu. Ketika kebahagiaan datang bertamu, kesedihan akan menjadi tamu berikutnya. Ia bangkit, mengambil handphone.

Sesuatu membuatnya terdiam. Yang benar saja? pikirnya. Jika kemarin penanda waktu pada handphone menunjukkan hari sebelumnya, 18 September 2012, hari ini lebih ganjil lagi. Tanggal pada handphone adalah 17 September 2012. Ia kini kembali ke tiga hari yang lalu.

Ia mengamati jam. Masih sangat pagi. Jika benar ini adalah tiga hari yang lalu, pikirnya, aku harus bergegas. Pada tanggal ini ia dan perempuan itu janji bertemu di Lebakbulus. Ada sebuah bazar buku di kawasan itu. Ia telah berjanji kepada perempuan itu akan menemaninya ke tempat itu.

Ia berdiri. Di atas lemari tampak beberapa uang logam seribuan bertumpuk membentuk menara—yang diberikannya kepada perempuan itu tiga hari yang lalu. Ia menggelengkan kepalanya, tak habis pikir Tuhan memberinya keajaiban lain. Ia mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi. Dalam ingatannya, hari ini adalah hari yang begitu membahagiakan baginya. Terbayang sudah di benaknya, ia dan perempuan itu di sebuah bis yang melaju pelan menuju Bekasi. Terbayang sudah sebuah ciuman yang tiba-tiba diberikan perempuan itu ketika mereka berada di lokasi bazar buku. Tak seperti kemarin, ia kali ini begitu antusias menghadapi hari yang ganjil itu.

Dan keeseokan harinya keajaiban masih berlanjut. Terbangun dengan rasa yang aneh, seolah beban berat tengah menimpanya, ia menyadari hari itu adalah Minggu. Selain tanggal pada handphone, telepon dari perempuan itu membuktikan dugaannya benar. Pada hari inilah perempuan itu dengan antusias menceritakan padanya tentang keinginannya untuk mendatangi sebuah bazar buku di kawasan Lebakbulus. Perempuan itu merengek-rengek seperti akan menangis. Ia mengabulkan permintaan perempuan itu sambil tersenyum membayangkan apa yang akan terjadi esok hari. Jika dugaanku benar, pikirnya, esok hari adalah Sabtu.

BEGITULAH seterusnya hari-harinya berlalu. Besok hari adalah kemarin. Lusa adalah dua hari yang lalu. Setiap kali terbangun ia dikepung sekelumit ingatan yang meminta perhatiannya. Kadang ia tergesa-gesa menuju kamar mandi setelah menyadari bahwa ia terlambat bangun sementara ada janji yang harus ia penuhi hari itu. Kadang ia merasa matanya pedih dan menyadari bahwa malam harinya ia sempat menangis sekian lama. Ia merindukan perempuan itu, setiap harinya. Dan rasa rindu itu semakin manis dan mengganggu ketika ia justru melewati satu hari dengan perempuan itu hanya untuk melupakannya. Ia tak menikmati hasil dari apa yang dilakukannya kepada perempuan itu hari ini. Jika hari ini ia melakukan hal-hal baik kepada perempuan itu, ia harus paham bahwa ketika ia tidur nanti dan terjaga esok harinya, perempuan itu sama sekali tak akan mengingat hal-hal baik itu. Lebih buruk lagi, ia merasa hal-hal baik itu tak ada gunanya, selain mendatangkan kegembiraan yang hanya bertahan hingga matanya lelah.

Pernah suatu hari ia bersusah payah mengubah alur peristiwa yang akan dihadapinya. Dalam ingatannya, hari itu ia melakukan hal bodoh yang membuat perempuan itu mengabaikannya sekian lama, menunjukkan sikap tak senang, memasang dengan tegas sebuah tabir yang membuat mereka terpisah meski secara fisik sangatlah dekat. Ini kesempatan, pikirnya. Ia mencoba bersikap tenang, sambil memikirkan bagian mana saja yang harus ia ubah dan apa saja yang harus dilakukannya jika perubahan itu tak berdampak baik.

Kali itu ia berhasil. Dua puluh menit berjalan kaki dari stasiun Cikini ke Taman Ismail Marzuki digantinya dengan ongkos bajaj. Meski harga buku-buku di sana tetap mahal, ia dan perempuan itu menikmati saat-saat mereka di sana dengan riang. Di dalam bioskop pun, perempuan itu tak menjauhkan dirinya seperti pada kejadian pertama.

Namun kali lain ia gagal. Perubahan yang dilakukannya hanya menunda keburukan itu datang. Ia telah mencoba sabar, bersikap manis, tapi ada saja hal-hal kecil yang membuat perempuan itu mengabaikannya. Ingin sekali ia mengatakan kepada perempuan itu bahwa ia telah berusaha keras memperbaiki hari-hari mereka yang semula buruk namun urung juga. Ia sadar, ia ingat, mengatakan hal itu kepada perempuan itu hanya akan memperburuk keadaan. Ia memang menyebalkan ketika sedang marah, ujarnya pada diri sendiri. Terima saja, tambahnya. Lalu ketika hari berganti, seperti yang ia duga, kemarahan perempuan itu lenyap. Apa yang membuatnya kesal di hari sebelumnya sama sekali tak meninggalkan bekas padanya. Tentu saja, perempuan itu tak mengalami apa yang dialaminya. Untuk kasus yang satu ini ia merasa diuntungkan.

Tapi sampai kapankah ia akan menjalani kehidupan seperti itu? Pernah ia tanyakan hal itu pada dirinya. Tak ada jawaban. Ia sendiri sesungguhnya tak mengerti bagaimana sampai semua ini terjadi. Malam itu, beberapa jam setelah berpisah dengan perempuan itu di bandara, ia tak ingat meminta atau mendoakan sesuatu. Tak ingat. Yang ia ingat saat itu ia begitu sedih menyadari sosok mempesona itu tak akan bisa dijumpainya untuk jangka waktu yang tak pasti. Yang ia ingat adalah kata-kata perempuan itu yang dituliskannya di layar handphone-nya: Makasih. Aku juga sayang kamu. Kamu jangan sedih ya. Saat itu ia baru saja mengatakan secara diam-diam kepada perempuan itu lewat layar handphone-nya: Aku sayang kamu, Nona….

DAN tibalah ia pada hari yang begitu penting, barangkali paling penting di antara hari-hari lainnya: Minggu, 14 Agustus 2011. Ia terbangun ketika hari telah siang. Ia ingat beberapa jam sebelumnya ia dan perempuan itu baru saja mengucapkan sebuah janji. Ia ingat apa yang ia katakan kepada perempuan itu dan apa yang dikatakan perempuan itu kepadanya. Ia merasa… ringan, seakan-akan di kedua punggungnya telah tumbuh sayap yang siap membentang kapan saja ia membutuhkannya. “Aku kini memiliki seseorang,” gumamnya. “Dia mencintaiku,” tambahnya. Ia mengambil handphone. Begitu saja ia tersenyum mendapati pesan-pesan masuk yang mengisi handphone-nya belakangan ini.

Beberapa hari sebelumnya pun ia mengalami kegembiraan yang serupa—untuk tak mengatakan sama. Yang dimaksud di sini adalah hari-hari setelah tanggal 14, hari-hari di sisa bulan Agustus dan di sepanjang September yang meriah. Ia dan perempuan itu. Sms dan percakapan sepanjang malam. Wallpost-wallpost mesra. Sebuah kado. Ucapan dan doa lembut menjelang tidur. Hari-hari menyenangkan itu kembali dialaminya dan itu nyaris membuatnya tak bisa menahan diri untuk tak memberi tahu perempuan itu apa yang sebenarnya tengah dialaminya. Namun membayangkan apa yang akan terjadi jika perempuan itu tahu, juga momen-momen yang terlampau indah untuk ia rusak dengan satu pernyataan konyol, membuatnya menguatkan diri. Ia tak perlu tahu, pikirnya. Ia pun mengambil handphone dan menelepon perempuan itu. Suara perempuan itu, baginya, serupa barisan angka yang seketika berubah jadi pernyataan cinta, membentangkan sayap-sayap mayanya begitu saja, membuatnya seolah melayang-layang di kamar itu.

Betapa anggunnya kebahagiaan itu, gumamnya.

Namun ketika malam tiba, ia memahami satu hal: hari ini adalah awal sekaligus akhir. Sampai detik itu mereka adalah sepasang kekasih, dua orang yang saling mengungkapkan cinta secara cuma-cuma. Besok, ketika ia terbangun dari tidurnya, keadaannya akan berbeda. Ia akan kembali ke hari di mana ia dan perempuan itu belum saling mengucap janji. Ia akan kembali ke hari di mana ia dan perempuan itu masih saling menunggu satu sama lain untuk sebuah kepastian. Ia dan perempuan itu akan kembali ke hari di mana mereka hanyalah teman yang berbagi kegembiraan. Ya, teman. Tiba-tiba ia gelisah. Tiba-tiba ia merasa tak siap menghadapi hari esok. Satu tahun yang ganjil, pikirnya. Ia terdiam begitu lama ketika perempuan itu sedang mengajaknya bicara malam itu. Perempuan itu memanggil-manggil namanya. Ada kecemasan pada nada itu. Ia balas memanggil perempuan itu, dengan nada yang teramat lembut. Perempuan itu mengungkapkan rasa cintanya. Ia melakukan hal yang serupa. Tanpa sadar, air matanya menetes pelan dan mulai jatuh.

BEBERAPA menit yang lalu ia terbangun. Telah dipastikannya bahwa kutukan yang menimpanya belum berakhir. Ya, kutukan. Semula ia menganggap itu keajaiban, Tuhan telah memberinya kesempatan untuk menikmati lagi hari-hari bahagianya. Namun kini ia dan perempuan itu tak lagi bersama. Bahkan, dalam beberapa hari ke depan, ia dan perempuan itu akan tak saling mengenali. Ah, kurang tepat. Yang benar adalah ia akan mengenal perempuan itu namun perempuan itu tak akan mengenalnya, ia akan merindukan perempuan itu namun perempuan itu tak akan merindukannya, ia akan jatuh cinta pada perempuan itu namun perempuan itu tidak. Sekali lagi, ia merasa tubuhnya begitu berat. Sepasang sayap itu, yang semula mudah membentang membuatnya seperti melayang, kini tinggal kerangka rapuh dengan bulu yang berlepasan. Ia tak bisa lagi tersenyum. Setiap kali mendengar suara perempuan itu atau membaca pesan darinya, ia selalu membayangkan hari di mana perempuan itu akan menghilang dari kehidupannya. Ini tak adil, pikirnya. Tiba-tiba ia berdoa—sesuatu yang sudah sangat lama tak dilakukannya, “Tuhan, jadikan semua yang kualami ini mimpi, dan bangunkan aku.”

EMPAT Agustus 2011. Malam hari. Beberapa menit lagi sms dari perempuan itu akan tiba. Ia akan berpura-pura menanggapinya seolah-olah ia belum mengenal perempuan itu, seperti pada kejadian pertama. Ia merasa sedih. Malam ini adalah malam terakhir perempuan itu mengenalnya. Percakapan nanti—lewat sms—adalah percakapan terakhir mereka. Besok ia akan menjadi orang asing bagi perempuan itu. Tak akan ada jejak-jejaknya, tak akan ada apa pun darinya yang tersisa dalam ingatan perempuan itu. Sudahkah ia siap? Tidak. Nyata sekali ia tak siap. Saat menyadari dalam beberapa detik lagi ia akan terlelap, ia mengucapkan dengan perlahan kepada perempuan itu kata-kata yang pastilah tak didengarnya: aku mencintaimu....

Ia pun terlelap. Kesedihan erat memeluknya hingga pagi tiba. Ia belum tahu, ketika nanti ia terjaga, hari akan kembali bergerak maju, dan ia tak akan ingat telah mengalami satu tahun yang ganjil itu. Semuanya akan kembali normal. Ia dan perempuan itu. Sms mesra dan percakapan dini hari. Hanya yang mendengar cerita ini yang kelak tahu: kehidupannya telah berulang tanpa pernah ia sadari. (*)



Bogor, 2012
(untuk Fisca)
Ardy Kresna Crenata, lulusan Matematika Institut Pertanian Bogor. Menulis puisi dan cerpen. Kumpulan cerpennya yang telah terbit: Pendamping (Indie Book Corner, 2012).

Kisah Pemetik Kopi

Cerpen Dahlia Rasyad

Terbit di Jawa Pos, 30 Desember 2012




: untuk Syamsu Indra Usman Hs

Bahan Referensi Cerpen - APA yang kau tahu tentang kopi sampai-sampai seorang Homer melegendakan kopi sebagai minuman misterius yang punya kekuatan luar biasa tak terjelaskan? Apa yang kau tahu tentang kopi jika Raja Louis XIV menemukan rumah kaca untuk pertama kalinya demi melawan ketidaksanggupan tanahnya menanam kopi? O, apa yang akan tercetuskan andai saja Newton bukan bertemu dengan buah apel, melainkan kopi?

 ***

AH, ketika kopi masuk ke kehidupan Eropa, katamu, dengan jalan dari Turki ke Venezia, sedikit cengkih dan kayu manis saja, maka para Imam dari kota Makkah akan menuntut larangan sebar dengan alasan bid’ah. Hanya saja setelah mencicipi, Paus Clement VIII menyebut bahwa Tuhan telah memberkati kopi. Lalu dari Itali kopi beranjak ke Perancis, masuk ke Inggris, seterusnya hingga ke belahan Mediterania.

Tahukah engkau Nun, ada seorang India yang nekad membawa diam-diam benih kopi keluar dari Arab, menyembunyikannya dalam perut lalu sesampainya di India ia simpan dan ia tanam di sebuah gua dekat perbukitan Chikmagalgur hingga akhirnya tersebutlah ‘Old Chick’ itu? Juga tentang seorang Wina yang mendapatkan kopi setelah ia berjuang mati-matian mengalahkan pasukan Turki yang menyerang kotanya, lalu hanya dengan menambahkan gula dan susu saja ia lupa dengan lelahnya pertempuran itu?

Katamu—seperti yang kau dengar dari si tuan kebun bertahun lalu—orang-orang Eropa itu membunuhi awak-awak kapal pedagang untuk membajak kopi karena orang-orang Arab terlalu sulit untuk memberi kopi-kopinya. Ya, kau masih sangat mengingat itu. Cerita-cerita dari tuan kebun yang membuatmu terkagum-kagum di ranjang pengantin, cerita-cerita selepas malam pertama, bahagia, seperti aroma kopi yang menyesap di ingatan tatkala butir-butir hitam garingnya pecah di lumpang batu.

Kau mengingat-ingat lagi cerita Nek Muna, inang pengasuhmu dari dusun Pagaralam dekat pegunungan Bukit Barisan sewaktu mandi bekasai [1] di sungai. Nek Muna menceritakan tentang sultan Ottoman dari Turki yang sengaja melarang kopi disebarkan di negerinya sendiri, juga petinggi-petinggi gereja di Afrika dan Yaman yang melarang rakyatnya meminum air pahit nan candu itu hingga Menelik II dari Ethiopia memerintah. Ai, biji-biji yang banyak membuat gadis-gadis Ulumusi dipinang menjadi istri….

Kau tidak memulai cerita apa-apa. Seperti biasa, diam mendengarkan cerita kawan-kawan pemetik menyampaikan apa yang ia dengar dari orang-orang kota kalau di sana, di Turki, seorang istri wajib menceraikan suami jika saja tidak bisa memenuhi kebutuhan kopi sehari-hari, juga cerita ketakutan gubernur Khair Beg di Makkah yang mengira kalau kopi akan bisa membuat rakyatnya memberontak pada kekuasaannya. Cerita-cerita itu bergemerisik seperti dedaunan kopi dalam lambaian lembut pohon-pohon tak ubahnya bunyi kunyahan para pemetik saat beristirahat siang di bawah rerimbunan.

Bahkan kau sendiri pun tak tahu mengapa kau bisa menjadi petani kopi di lereng itu. Setahumu, kau sudah menjadi petani kopi sejak kau melihat keringat Ayahmu memercik-mercik hangat tatkala ia menghempas karung-karung berisi buah kopi di dapur talang [2] dengan pundak melengkung seperti bambu tua yang kasap. Tinggal berbulan-bulan dalam hutan, memungut sisa-sisa buah kopi di tanah setelah petik racutan usai. Lalu kau jadikan bubuk sama seperti memanggang daging anak kijang: menggali lubang, menyalakan api, memasukkan kopi ke dalam lubang, lalu ditutup untuk kemudian ditunggu hingga butiran-butiran manis kepahitan itu meletup-letup keluar dari dalam.

Kau tidak punya kisah kopi untuk diceritakan. Saat ada orang mengatakan bahwa Brazil adalah penghasil kopi terbesar di dunia kau hanya minder karena biji kopimu hanya asalan. Saat kau mendengar orang-orang kampungmu yang baru pulang haji mengatakan bahwa Makkah adalah rumah bagi para penikmat kopi, kau mulai terkenang dengan hektaran kebun kopi yang dulu pernah menjadi milikmu. Oh, apakah lelaki itu yang masih menyelinap masuk dalam ingatanmu setiap kali daging kopi kau gigit di ujung lidahmu? Memberi rasa manis kepahit-pahitan….

Ya, lantas apakah bagimu kopi itu, Nun? Apakah itu rendahan, minuman memabukkan yang hanya layak untuk para budak? Atau air kiriman dari malaikat di surga hanya untuk mereka yang beriman? Atau mungkin air hitam nan elegan yang hanya pantas ada di cangkir-cangkir keemasan kaum bangsawan? Kau pun mulai menceritakan tentang Kesultanan Usmaniyah yang menghukum cambuk rakyatnya yang peminum kopi. Kau ceritakan itu lagi, tentang Raja Gustaff II di Swedia yang menentukan benar salahnya seorang terdakwa hanya dari minum kopi. Dan akhirnya kau bisa sedikit berani mengatakan bahwa orang-orang di kerajaan Gustaff itu kini adalah orang-orang peminum kopi yang paling fanatik di muka bumi!

Tentu saja, tentu saja. Meski kau tidak tahu kalau Beethoven sampai-sampai perlu menghitung biji kopi yang akan dinikmatinya sebanyak 60 buah, atau Bach yang menyanyikan kopi lebih nikmat dari ribuan ciuman dalam melodi Kaffee-Kantate-nya.

Telingamu yang mengkerut dan berbulu halus itu sudah banyak mendengar anak-anak remaja mengelu-elukan Espresso khas Italia yang konon lembut dan kentalnya tak terkatakan karena canggihnya alat penyeduh yang mampu hanya mengeluarkan sari kopi saja dengan busa cokelat kemerahan di atas permukaannya. Hm, kau juga sudah mendengar tentang kopi Hawaii yang tersohor laiknya candu itu, bukan? Kopi Costa Rica yang mampu memberikan sensasi seperti menghisap rokok, dan kopi Kenya yang diakui seantero penjuru terlezat di dunia karena aroma dan rasanya yang seperti buah berry. Tapi tahukah kau kalau kopi-kopi itu ditanam di Indonesia, dibawa Belanda ke Perancis, dari Perancis ke Amerika, hingga tersebar ke pelosok dunia yang namanya mungkin tak pernah kau dengar sama sekali?

Ai, kau hanya terkekeh kecil mendengar itu, tak tahu-menahu apa pentingnya bagimu. Kau menganggap itu hanya seperti cerita perjalanan yang sangat menghibur untuk orang-orang sepertimu, para pemetik kopi yang menghabiskan tenggat umur, turun-temurun, hanya di dalam kebun. Lalu kau ceritakan tentang kakek buyutmu yang seorang petani kopi paksaan Belanda di tanah Jawa pada tahun 1696. Oh ternyata…ternyata, oleh sebab itulah kau hanya diam tak bisa bercerita apa-apa setiap kali mendengar cerita-cerita tentang kopi?

Tapi ai, mungkin memang kau tak perlu tahu kemana dan untuk apa kopi itu ditanam. Seperti katamu, ke mana pun kopi ini sampai, di situlah asalnya akan dibicarakan, sebab kopi-kopi inilah yang akan menceritakan dirimu, bukan sebaliknya.

***

Sewaktu berumur lima belas, kau gadis ranum semampai berwajah bulat bak buah kopi mengundi peruntungan di sepetak hektar kebun milik Mang Ma’un, seorang mantan pasirah marga Pasemah yang tersohor kaya seantero Empat Lawang. Mengumpulkan butir demi butir kopi di keranjang bambu petungmu yang hanya sepikul, membawanya ke pancuran air sungai yang mengalir di lingkaran bahu-bahu bukit, membasuhnya hingga getah daging yang menempel di bijinya tersaput begitu licin. Kau jemur di atas tikar pandan kekuningan di pematang-pematang kebun yang tanahnya bergelombang sebelum akhirnya kau membakar balok-balok kayu pohon karet di bawah tungku berusia 70 tahun di belakang gudang penyimpanan.

“Kayu ini apinya kecil dan dapat memberi rasa dan aroma yang khas pada kopi,” tukasmu kalem. Begitulah akhirnya tuan kebun melihat bokongmu yang bulat dari sebalik kemban bercorak bunga yang kau kenakan.  Hingga letupan-letupan kopi yang matang dalam panci besi hitam itu seperti irama detak jantungmu saat matanya menatapmu penuh birahi. Lalu hawa bara dari kayu bakar di tungku lamat-lamat tak kau rasakan lagi, sama panasnya dengan tubuhmu!

Mang Ma’un, begitu akrabnya ia dipangggil, sebetulnya kagum dengan tangan lembutmu yang merah jambu saat pokok-pokok kopi berbuah itu kau petik satu-persatu tanpa sedikit pun tungkai yang terlepas dari dahannya. Tak ada mesin canggih apa pun yang bisa menggantikan tangan pemetik sepertimu! Camnya penuh kepuasan. Maka tanpa ragu ia pun menyanggupi bentalan [3] itu: kerbau, beras, kelapa, kemiri, dan berkilo-kilo kopi….

Tapi, apakah kau tidak mengira sebelumnya bahwa mungkin, o mungkin saja, tuan kebun kaya seperti Mang Ma’un akan banyak memperistri gadis-gadis muda…? Sebagaimana tuan-tuan kebun di sana, ia pun tentunya akan beristri banyak pula!

Kau menyungut di titik kenangan itu. Airmatamu mengalir membasuh kulit wajahmu yang berdebu. Ai, sudah nyaris tiga puluh tahun lamanya. Mang Ma’un kini bahagia dengan kedua istri mudanya yang masing-masing telah memberinya anak lima. Sedangkan kau, hanya memberinya seorang anak lelaki yang bernama Hamim. Anak lelaki yang berketerbelakangan mental, dengan batok kepala sedikit membesar dan tubuh yang pendek gempal. Hamim tak bisa berpikir, dan sering bertindak sesuai suasana hati. Jika perasaannya sedang bosan, ia akan tiba-tiba menghilang entah kemana, minggat berhari-hari ke rumah orang tak dikenal di dusun tetangga. Jika ia sedang malas-malasan, ia akan memanjat pohon gamal di kebun-kebun kopi, dan bertahan di atasnya bahkan sampai malam tiba.

“Lima hektar untuk Rogaya dan lima hektar untuk Saridah?” sungutmu, melihat wajah Mang Ma’un yang mengangguk tenang. Ia cuma kebagian satu hektar lantaran hanya punya satu anak.

“Mereka jantan-jantan, Nun. Sedang Hamim tak tahu-menahu cara mengurus kebun.”

“Waktu kau pinang mereka kau sodorkan biji kopi peraman delapan tahun, sedang aku hanya yang dua tahun. Padahal aku hidup denganmu sewaktu tanahmu baru ampagh geboh. [4] Kau tega sekali.”

“Pantang bagiku untuk tawar-menawar bentalan, Nun. Kau dengar sendiri, Wak Madi sangat pandai berpatah kata. Sampai tak ada jalan untuk mengelaknya,” ujar Ma’un mengingat saat ia bermusyawarah soal biaya pernikahan dan menentukan tanggal kawinnya dulu di rumah gadis yang sekarang menjadi istri mudanya.

Nun diam.

“Sudahlah, tak baik kenang-kenang itu lagi. Itu sudah lama lewat. Aku tak mungkin memberi mereka satu hektar karena anak-anakku harus punya masa depan.”

Ia memandang Hamim yang memelintir-melintir rambut tipisnya di muka laman sambil terus mengutak-atik mainan gasing yang ia buat dari kayu pohon sawo. Melihat anak itu ia tak bisa berbuat banyak lagi, memang kenyataannya ia anak yang idiot, tak bisa diharapkan untuk meneruskan usaha kopi ayahnya, membuat hati Nun semakin teriris perih.

Hamim tidak tumbuh laiknya orang normal. Selain pertumbuhan otaknya yang lamban, tubuhnya juga hanya separo dari tinggi ibunya. Matanya yang menyipit ke dalam dan kulitnya yang mirip orang mongol membuatnya tambah berbeda dari anak-anak lain. Entahlah, bagaimana bisa sampai ia melahirkan anak seperti Hamim. Banyak orang dusun bilang kalau ia sudah melanggar pantangan bagi perempuan hamil duduk di buku duagho, di mana anak yang dilahirkan akan cacat fisik dan mental, serta tidak disenangi kelakuannya.

Namun Hamim anak yang baik. Ia tidak pernah mengganggu orang ataupun anak-anak yang sedang bermain. Meski ia tidak pernah diajak bermain dan kerap dijitak-jitak kepalanya, ia selalu diam dan memilih mengalah. Ia selalu menemani Nun kemana-mana. Jika tidak sedang dilanda galau, ia akan bersedia menggantikan ibunya menyangrai kopi dan mengangkat alu yang nyaris seberat tubuhnya untuk ditumbukan ke lumpang yang sudah berisi biji kopi sangrai. Ia juga kadang ikut membantu orang yang ingin berhajat kawin ngersayo, mengumpulkan bambu dan rotan untuk dibuat lembongan atau teratak demi meluaskan tempat masak-memasak, termasuk membongkar teratak itu di malam nyerawo. [5]

Tapi suatu hari saat ia melihat ibunya menangis, ia begitu sangat tersentuh dan mengguncang-guncang tubuh ibunya agar mengatakan padanya apa yang membuatnya menangis. Nun tak sanggup mengatakan pada sang anak untuk memilih berpisah dengan ayahnya. Nun sudah tak sanggup hidup serumah dengan kedua istri muda suaminya, dan memilih melepaskan segala harta warisan sehektar kebun kopi yang sudah terberikan untuknya sewaktu ijab-qabul dulu.

Seketika saja tape nyelai dan dawat dalam ruas-ruas bambu yang Hamim dapatkan dari membantu orang melubangi tanah sawah berhamburan ke lantai, keluar-keluar dari pembungkusnya. Aroma khas dari daun kemiri yang menjadi pembungkus tape itu bertebaran di mana-mana. Ia memukul-mukul meja kayu dan menghentak-hentakkan kaki tubuh sampai terduduk, mengusap-usap mukanya yang dibanjiri air mata hingga matanya yang sipit terbuka ke bawah.

Hamim tak sanggup menahan emosinya yang begitu mendalam, meski sebenarnya Nun tidak menyangka kalau sikapnya akan sebesar itu. Ia berlari ke tengah kebun kopi yang sudah nyaris petik merah di mana pemetik-pemetik kopi sudah siap dengan keruntung mereka untuk memanen. Namun mereka keduluan Hamim yang membawa segerigen minyak tanah dan menghamburkan minyak itu ke pohon-pohon kopi yang berbuah. Ia pantik karbit korek api dengan tangannya yang gemetar oleh amarah, dan terjadilah….

Pohon-pohon kopi berebahan, menjalar ke pohon penaung yang tumbuh di sela-sela dan pinggiran kebun, menjalar hingga ujung patok yang bersebelahan dengan kebun sayur. Luasnya kebun dan bakaran api yang menyebar membumbungkan asap tebal, membuat Hamim kehilangan arah jalan keluar. Ia berteriak meminta tolong, namun orang-orang terlalu mustahil untuk memadamkan api yang menjalar seluas itu, secepat itu. Hamim akhirnya ditemukan hangus terbakar di tengah kayu-kayu kopi yang telah menjadi bara.

Nun histeris dan sempat tak sadarkan diri melihat tubuh anaknya terpanggang seperti biji-biji kopi hitam yang meletup-letup mengeluarkan rembesan darah dari dagingnya….

Ia gila karena seringnya meratap. Sampai suatu ketika ia bisa sedikit melupakan kejadian itu ia menepikan diri di ujung selatan kaki bukit paling rindang dalam sebuah pondok kayu merbau sisa peninggalan sang Ayah, dan kembali menjadi pemetik kopi….

Begitulah, mengapa kau hanya diam mendengar cerita-cerita tentang kopi, terkekeh kecil tanpa tahu-menahu apa pentingnya itu, termasuk tentang kebun yang sebenarnya adalah milikmu sendiri, yang Hamim coba katakan padamu saat membakar kebun itu.

Ah, kalau Newton bisa terilhami dari sebutir apel, maka apa yang bisa kau katakan dari sebutir kopi, Nun? (*)



Catatan


[1] Mandi Bekasai adalah mandi bersama inang pengasuh dan para bujang gadis di sungai sebelum kedua calon pengantin melakukan kegiatan betangas dan beinai  untuk menyambut hari pernikahan. Dalam mandi bekasai ini kedua mempelai saling menyemburkan air secara berbalas-balasan diikuti oleh para bujang gadis desa sambil bergembira dan bercanda. Sedangkan orang tua yang mengikuti mereka mandi memandikan kedua mempelai dengan air yang telah dicampur bunga.
 
[2] Pemukiman sangat kecil yang menyerupai pondok yang sengaja dibuat karena lahan garap/kebun berada jauh dari dusun, biasanya di kaki bukit yang berjarak puluhan kilometer atau berhari-hari perjalanan.
 
[3] Bantuan materi dari pihak si bujang yang disepakati dalam musyawarah urun rembuk dengan pihak si gadis perihal mas kawin dan perlengkapan hajatan pernikahan mereka, juga penentuan tanggal pernikahan. Bentalan ini dilakukan oleh kedua juru bicara dari kedua belah pihak.
 
[4] Hutan yang baru dibabat, belum dibakar atau dibersihkan untuk dijadikan lahan tanam. Bekas babatan kebun ini masih centang-perenang, belum bisa ditanami.
 
[5] Malam hari setelah hari jadi pernikahan dengan sejumlah acara seperti dzikir, saropal anam dan pembubaran panitia. Siang harinya, sanak keluarga dan handai tolan membongkar lembongan  (teratak) dengan jamuan kepala kerbau atau kepala sapi. Lalu inang pengasuh diantar pulang. Bujang gadis dapatan atau muda-mudi yang bekerja secara sukarela membantu membuat dekorasi dan memasak kue untuk persiapan pesta. Setelah usai hajatan, mereka diberi uang saku sebagai uang ganti beli baju, sabun, kain dan hadiah lainnya sebagai rasa ucapan terimakasih.

Bulan Biru

Cerpen Gus tf Sakai

Terbit di Kompas, 6 Januari 2013




Bahan Referensi Cerpen - AKU tahu, kau mengenal bulan biru. Bulan bulat sempurna kedua pada kalender Masehi di bulan yang sama. Purnama ke-13 yang muncul periodik dua atau tiga tahun karena selisih 10,6 hari setiap tahunnya. Tetapi, pernahkah kau melihat purnama kedua itu, dalam setiap 106 kali kemunculan, mengembalikan apa pun kejadian ke suatu malam lain di lain zaman?

Dan malam itu, pada zaman di mana para binatang bisa bicara seperti manusia, seorang gadis cilik disuruh ibunya ke sumur, mengambil belanga. “Belanga yang sudah Ibu cuci ya Nak, telungkup di atas bantalan.”

Si gadis menjawab, “Ya, Bu,” seraya bergegas melangkah ke sumur. Tetapi, saat menjulurkan tangan meraih belanga, di bawah terang pendar purnama, ia terkejut. Belanga itu bergerak, merayap turun dari bantalan.

“Bu, Ibu!” teriak si gadis, “Belanganya merayap!”

“Apa?!” suara si Ibu kaget, tak kalah heran. Kepala si Ibu menjulur dari pintu dapur. “Ayo Nak, cepat tangkap!”

Patuh, si anak menyergap. Tetapi si belanga, yang sebenarnya adalah seekor kura-kura, menggelicit dari tangkup tangan si gadis, terus meluncur ke arah sungai.

“Bu, belanganya lari! Ke arah sungai!”

“Ayo, Nak, cepat kejar!”

Si gadis cilik yang masih tak sadar yang disangkanya belanga adalah kura-kura, dengan patuh lalu mengejar. Tetapi, begitulah, pada zaman di mana kura-kura bisa bergerak cepat seperti buaya, usaha itu cuma sia-sia. Si gadis tergelincir, tepat saat si belanga melompat ke sungai. Si gadis terguling, ikut jatuh ke sungai, seolah menyusul si kura-kura. Dan lalu, entah bagaimana caranya, mereka kemudian tersedot, bagai diisap diputar arus, terseret ke kedalaman. Dan entah bagaimana pula caranya, tiba-tiba mereka telah terempas, berada dalam lukah raksasa.

Seiring dengan kesadaran (tentu juga keheranan) si gadis yang tetap bisa bernapas, tak megap-megap seolah masih berada di udara bebas, lukah raksasa tiba-tiba sirna. Malam, dan di langit masih purnama. Namun aneh, warna bulan seperti berbeda. Biru? Si gadis mengamati sekeliling, dan tiba-tiba sadar: tak ada lagi sungai, tak lagi tampak rumahnya. “Kita berada di mana?” desis suara, tiba-tiba pula, terdengar dari dekat kakinya.

Si gadis cilik menundukkan wajah, mengerjap-ngerjap menajamkan mata. Di bawah lindap biru purnama, ia mengenali sumber suara: si belanga. Barulah si gadis cilik sadar yang sejak mula disangkanya belanga ternyata seekor kura-kura. Ah, bodohnya. Tetapi, bodoh atau tidak, kini, tak lagi sempat ia pikirkan. Apalagi saat suara kecil si kura-kura jadi lengking ketika berteriak:

“Lihat!”

Di depan mereka, bagai tersingkap dari kelam (atau dari kabut?), orang-orang berlalu-lalang. Bukan, bukan berlalu-lalang, melainkan ramai-ramai bekerja, gotong-royong membangun sesuatu. Bukan, bukan gotong-royong, melainkan seperti berpesta, karena bekerja dengan sorai “Huraaa!” dan gelak tawa.

Si gadis cilik tertegun. Si kura-kura terlongong. Bangunan apakah yang sedang orang-orang ini kerjakan? Sangat besar, sangat tinggi. Begitu besarnya, hingga seolah menutup keluasan pandang. Begitu tingginya, hingga seolah menjangkau mencapai bulan.

Aku tahu, kau mengenal banyak bangunan aneh. Bangunan ajaib, tak masuk akal, yang tak mungkin diciptakan oleh suatu masyarakat pada suatu zaman. Stonehenge di Wiltshire, patung-patung vulkanik di Pulau Paskah, ataupun piramida yang berserak menyebar tak habis-habis di sepanjang Sungai Nil. Tanpa ada paku, lem, atau perekat apa pun, bagaimana cara menyusun ribuan batu yang beratnya puluhan ton?

Dan kini, pada suatu tempat di zaman sekarang, hal serupa juga terjadi. Sebuah bukit, setelah kebetulan longsor dan digali, ternyata adalah bangunan raksasa, dari zaman sangat lama, yang bahkan tak mungkin diciptakan oleh masyarakat modern masa kini. Profesor Kipling, si pemimpin ekskavasi, tercengang, takjub, dan lebih takjub lagi saat mendapati kenyataan si bangunan ditemukan dalam masyarakat yang sama sekali tak mengenal tugu atau candi. “Kenapa bisa?” desisnya.

Dan desis itu, karena berkaitan dengan ilmu lain yang bukan bidangnya, membuat Profesor Kipling butuh profesor lain, Dananjaya, antropolog lokal, yang justru lebih tercengang lagi. “Dalam suku, dalam kultur masyarakat adat egaliter yang tak kenal peringatan berupa bangunan … kenapa bisa?”

Ketercengangan Profesor Dananjaya bertahan lama. Sangat lama. Bahkan lebih lama dari Profesor Kipling yang setelah si bangunan raksasa selesai diekskavasi, tuntas direnovasi, kembali ke negaranya.

Ketercengangan Profesor Dananjaya bertahan lama. Sangat lama. Bahkan diteruskan kepada muridnya, Profesor Mulyana, yang tak henti-henti memikirkan sebuah bangunan berupa pemujaan (atau prasasti?) ditemukan dalam masyarakat adat yang sistem kepemimpinannya tak berada di tangan seorang raja atau otokrasi.

Eh, otokrasi?

Tentu saja, tentu saja ada otokrasi di suku ini. Profesor Mulyana tahu, bentuk kepemimpinan dalam masyarakat adat suku ini berasal dari dua datuk: Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan. Datuk pertama memang percaya bahwa sumber gagasan, inisiatif, dan keputusan berasal dari rakyat karena rakyatlah yang sebenarnya tahu apa yang mereka butuhkan. Tetapi datuk kedua, Katumanggungan, bukankah selamanya percaya bahwa pemimpin adalah sumber gagasan, sumber inisiatif, dan sumber keputusan?

Datuk Katumanggungan … ya, datuk yang menyebut bentuk kepemimpinannya sebagai menetes dari langit dan suatu keputusan diambil dengan bertangga turun. Ya, bukankah itu otokrasi?

Aku tahu, kau bakal mengenal bangunan itu. Bangunan yang dilihat si gadis cilik, yang disaksikan si kura-kura, saat purnama berubah warna. Waktu. Bulan merah menjelma biru, malam terang jadi kelabu, semua melompat ke masa lalu. Waktu. Saat waktu seolah melipat, ujung satu bertemu ujung lainnya, apakah yang mampu bertahan, adakah yang masih bisa tersimpan, sebagai rahasia?

Dan malam itu, demikianlah, seekor bebek mendekati si gadis cilik dan si kura-kura. Sebelum mereka sempat bertanya, si bebek berkata bagai bergumam, “Begitu licik, begitu dalam goda kuasa.”

“Maksudmu?” tanya si kura-kura. Mereka masih sama tertegun, sama tercengang. Dalam samar, dalam lindap (atau dalam kabut?) sinar bulan biru, mereka lihat orang-orang menghela, menyeret, dan mendorong bongkah-bongkah batu. Batu-batu itu dipindahkan, dinaikkan, dengan tali, tangga-tangga dan roda-roda. Sesekali aba-aba, lalu sorak “Huraaa!” dan gelak tawa.

Si bebek masih diam (atau mungkin seperti berdesah), hingga si kura-kura kembali bertanya. “Maksudmu?”
“Maksudku … mm ya, bangunan itu.”

“Ada apa dengan bangunan itu? Mereka membikin apa? Dan kenapa licik? Lalu, yang kausebut goda kuasa?”

“Ah pertanyaanmu kok sekaligus. Ayolah, satu-satu.”

“Baik. Ini dulu: mereka membikin apa?”

“Ya seperti kalian lihat, mereka membikin bangunan. Dari batu-batu. Batu-batu yang bahkan didatangkan dari jauh. Bukan dari sini.”

“Lho, kenapa dari jauh? Kenapa bukan dari sini?”

“Ya memang harus begitu. Biar bangunan ini selesai lebih lama. Dan biar lebih sulit.”
 
“Loh, aneh. Bukankah mestinya dibuat lebih mudah. Dan secepat mungkin.”

“Itu bagi kita, atau bagi orang-orang yang bekerja. Tetapi bagi raja, tidak.”

“O,” si kura-kura menatap si bebek, “jadi, bangunan ini dibuat atas perintah raja? Lalu, kenapa raja ingin bangunan ini selesai lebih lama dan lebih sulit?”

“Itulah yang tadi kusebut goda kuasa. Dengan lebih lama dan lebih sulit, orang-orang, para rakyat ini, hanya akan terpaku pada pembangunan ini. Rakyat akan jadi lupa bagaimana raja menjalankan negara. Rakyat jadi tak peduli pada apa pun, juga pada berapa lama sang raja berkuasa.”

“Tetapi,” si kura-kura seperti kurang puas, seperti kurang mengerti, “mereka bekerja dengan gembira. Tak ada masalah bagi orang-orang ini, bagi rakyat ini. Kau lihat, betapa riangnya mereka.”

“Haa, kau juga tertipu. He he. Memang begitulah. Rakyat sengaja dibuat lengah. Raja akan bilang ini-itu, membuat cerita ini-itu, menciptakan mitos ini-itu, agar rakyat merasa telah melakukan hal sangat penting, sesuatu yang sangat berharga. Mereka jadi riang. Jadi bangga. Itulah sebab kenapa tadi kubilang licik.”

“Mmm …,” si kura-kura masih akan berkata, tetapi kemudian memilih diam. Diangkatnya wajah, tengadah, menatap ke puncak bangunan. Menembus lindap. Menembus kabut? Tinggi. Lebih tinggi. Bulan biru. Bulan waktu.

Aku tahu, kau mengenal bulan itu. Bulan biru, bulan waktu. Mungkin kau peduli, entah, mungkin juga tak peduli, entah, saat malam seperti berjubah dan kabut bagai merendah. Mungkin seseorang akan tersedot, entah, mungkin juga akan terisap atau terlempar, entah, saat purnama berubah warna dan si seseorang telah berada di lain masa. Si seseorang itu, kau lihat, tidakkah ia Profesor Mulyana?

Dan malam itu, pada zaman di mana para binatang bisa bicara seperti manusia, Profesor Mulyana bertemu dengan seekor kura-kura. Ya, kura-kura yang sudah kau tahu, dan kini jadi jawab, segala ketercengangan Profesor Mulyana.

“Goda kuasa?” gumam Profesor Mulyana, masih tak percaya, ketika si kura-kura menyelesaikan cerita.

“Ya,” jawab si kura-kura pendek, “karena begitulah kata si bebek.” (*)


Payakumbuh, 2012
Terima kasih kepada Elang Sikat Elang Sigonggong, cerita rakyat Merangin, Jambi, sumber inspirasi cerpen ini.

Melankolia di Tepian Thames

Cerpen Teguh Afandi

Terbit di Suara Merdeka, 6 Januari 2013




Bahan Referensi Cerpen - AKU duduk di tepian sungai kebanggan orang London, Thames River. Sepuluh tahun ternyata begitu cepat. Seperti baru kemarin aku meninggalkan London. Suasana masih terekam sama: langit petang yang mirip lembayung di Lembang, kemilau riak air diterpa mentari, London Aquarium, kafe tempat menyambut malam dengan kursi dan meja berbahan kayu oak merah, dan ikon kota, London Eye. Hanya saja kincir besar warna putih gading yang berputar perlahan di depan Country Hall itu kini ramai dipenuhi wisatawan manca. Kabarnya kini sudah bertiket lebih dari 20 poundsterling. Perlu kecermatan yang ekstra untuk memastikan bahwa kapsul-kapsul kaca itu berputar hingga ke puncak, karena RPM-nya yang sedemikian pelan. Pantulan sinarnya menembus penjara-penjara di dada. Sepuluh tahun lalu kami bergandengan tangan, menyusuri tepian Thames River. Ada sungut-sungut hangat menjalar ke sela-sela jemari kami yang beradu erat.

Sepanjang St Thames orang hilir-mudik membicarakan keindahan. Ragam bahasa tumpah ruah di tepian Thames River. Kultur, warna kulit, joke bercampur menjadi miniatur dunia. Tak jauh beda dengan Jalan Braga di Bandung atau Jalan Malioboro di Yogyakarta. Hanya saja tak ada aroma pesing kencing kuda di sini. Aroma segar musim gugur.

Ada serpihan kenangan yang terikat erat dengan Thames River. Tersulam dalam jejak langkahku dari stasiun bawah tanah Westminster, kemudian menyusuri Westminster Bridge menuju South Bank Thames River. Usiaku memang sudahlah tidak muda, band-band Britania sudah dikalahkan dengan pendatang baru yang digandrungi anak muda. Tidak lagi sering kudengar lagu-lagu Duncan James yang masa-masa kuliah dahulu sering menduduki tangga  billboard di Inggris. Dirinya adalah kenangan yang tak pernah bisa menghilang, walaupun harus ditenggelamkan dalam banjir Thames 1953. Lekat jelas ikal rambut blonde -nya, mata birunya, aroma badannya, senyum manisnya, dan tentu sentuhan di setiap rengkuhannya.

“Maukah kamu menikah denganku?” dirinya tiba-tiba melamarku. Suasana riuh-rendah Thames River, tidak mengurangi kejelasan suara. Briant memang gemar bercanda. Kutolehkan wajahku ke kepalanya dan kutatap bulat-bulat matanya. Waktu itu usiaku dua puluh tiga, dan itu hari-hari terakhirku di London. Tiga hari lagi pesawatku terbang pukul delapan malam menuju Indonesia. Kuyakini itu adalah kelakar sebagai penghibur farewell party.

Kubalas dengan tawa besar, “Tentu!”

Lalu kami menjadi sepasang kekasih paling bahagia di tanah Britania, atau seluruh dunia. Kami berangkulan sepanjang jalan. Tak memedulikan orang. Sebentar saja.

Aku belum pernah bertemu dengan lelaki seperti Briant Corrigant. Selain perawakan badannya yang tegap menawan, Briant adalah penulis puisi liris dan romantis. Dia mengajar seni di sekolah khusus anak-anak dengan keterbatasan pendengaran. “Mereka diciptakan Tuhan spesial, tak perlu banyak mendengar. Karena suara dunia begitu memekakkan,” begitu kata Briant ketika kupuji kesabarannya menerjemahkan dunia dengan isyarat tangan.

“Boleh kuminta nomor teleponmu?”

“Tiga hari lagi aku pulang ke Indonesia. Percuma saja.”

“Tidak ada yang percuma untuk seorang kekasih.”

Kutuliskan saja nomor teleponku di selembar tisu. Dia melipat dan menyimpan di saku blazer abu-abu.
Malamnya dia meneleponku. Aku sedang mengepak kembali pakaian dalam kopor. Beberapa barang sudah kukirim lewat laut, aku tidak mau kembali berulah di bandara negara orang dengan barang bawaan berlebihan. Apalagi aku harus transit ke Qatar dan Singapura.

“Kamu punya waktu untuk makan malam besok?”

“Percuma saja, Briant. Aku akan pulang. Mungkin keinginanmu menikah hanya terlaksana dalam mimpi.”
“Tidak ada yang percuma untuk seorang kekasih, bukan?”

“Tentu saja.”

Briant menawarkan cinta. Entah sejak kapan, aku tidak terlalu pasti. Mungkin saja saat pertama kali bertemu di Walter Rothschild, atau saat dia membawakan mantel di muka Stasiun Tottenham Court Road, atau untuk pertama kali dia menggandeng tanganku saat perjalan menyusuri Picadilly, atau ketika dia menunjukkan buku kumpulan puisinya, atau mengajakku berdansa di lantai, atau mengecup pertama kali kening dan mengucapkan “sampai ketemu besok.” Aku hanya diam. Kuurut kembali kehidupanku. Bersama Briant adalah letupan keindahan.

Mengapa baru sekarang Briant menawarkannya? Tiga tahun kuliah ekonomi di University College tak ada teman berbagi perasaan. Aku sendirian. Kolega Indonesia hanya terjebak rutinitas perkuliahan. Hanya Briant yang mewarnai dengan pulas warna lain. Briant lelaki nyentrik dan penuh letupan.

Aku dan Briant sky dinning di tepi Thames River. Briant berulang kali menyesal. Terlalu lama rasa itu diperam.

“Kamu benar-benar akan kembali ke Indonesia? Selamanya?”

“Itu rencanaku.”

“Boleh aku main ke sana?”

“Boleh, tetapi tidak ada Thames River yang romantis. Adanya sungai kumuh, penuh sampah.”

“Ada kamu itu cukup.”

Sebelum usai makan malam, kutuliskan alamat rumahku di Lembang dan alamat kantorku di Bandung, serta nomor kontak yang bisa dihubungi. Tetapi tidak ada harapan ia akan datang. Siapa aku? Briant bisa dengan mudah mendapatkan gadis lain di Inggris, apalagi kariernya sebagai penyair kian moncer di khalayak.
Terpaksalah kami berpisah. Dia mengantarkanku hingga depan gerbang  check in . Briant melambai saat aku menghilang di terminal 5 Bandara Heathrow. Dengan janji yang tidak kuharap akan ditepati untuk mengunjungiku di Lembang.

***

AKU dengan mudah mengenalinya kembali. Postur tubuhnya memang terjiplak di retina. Susah menghapusnya. Aku sedang menggambil gambar London Eye, ketika rambut  blonde dan senyumnya tertangkap kamera.

“Sudah kubilang, kembali saja ke London.”

“Aku terpaksa ke sini.”

“Sungaimu tak seindah Thames River, bukan?”

Kami berpelukan sebagai kawan lama yang sepuluh tahun tak berjumpa.

“Aku kaget ketika kamu meneleponku kemarin. Seperti mimpi. Aku langsung mencukur jambang. Kamu membencinya, kan?”

Memang terlihat dagunya hijau habis dicukur.

“Aku sedang menemani istriku. Dia sedang ada konferensi di Langham Palace di St Regent. Lima belas menit lagi dia menyusul. Sudah kuceritakan tentang kejeniusanmu.”

“Kamu jadi menikah?” Briant terlihat murung.

“Jadi. Aku sudah punya anak dua, twin . Clara dan Jenna.”

How a great daddy! Di mana mereka? Ingin sekali aku mengecup pipi mereka. Pasti kenyal.”

“Mereka sedang tidur ditemani baby sitter-nya. Mereka cantik-cantik.”

“Syukur bukan sepertimu….”

Kami melepaskan tawa yang besar. Ada beberapa garis yang terpahat di sudut matanya. Garis yang pernah menjadi bagianku. Sekarang menjauh dan asing. Entahlah siapa yang kini sering mengurai kembali garis itu. Itu adalah pertanyaan yang kumaju-mundurkan dari lidahku. Ada rasa-rasa aneh yang menghalangi untuk mengetahui kehidupan Briant, yang dahulu pernah menjadi pasangan kasmaranku.

“Kamu masih menulis puisi? Kabarnya tulisanmu dipuji banyak orang.”

Briant menggeleng. “Aku sudah demikian tua untuk menulis kembali. Puisiku sudah menyatu dengan alam.”

“Sayang sekali. Betapa banyak orang yang menyukai puisimu kecewa. Termasuk aku….”

“Hidupku sudah datar, tak lagi mendatangkan inspirasi. Atau mungkin aku khawatir?”

“Khawatir?”

“Aku takut terkena gangguan jiwa.” Briant mengencangkan blazer. Udara musim gugur begitu dingin. “Banyak penulis besar terserang penyakit mental. Virginia Woolf, Victor Hugo, Ernest Hemingway, Sylvia Plath, Soseki Natsume. Mereka menuliskan kebahagiaan tetapi didera kekhawatiran besar.”

“Tidak semua penulis demikian.”

“Benar. Hanya mereka yang terlalu jenius yang bertahan. Aku tidak tahu, apa penulis-penulis besar itu menjadi gila setelah kebanyakan menulis atau menulis karya yang luar biasa karena mereka gila.”

Aku tersenyum agak lebar. “Dua-duanya pilihan buruk. Apa karena itu kamu berhenti berpuisi?”

“Kamu pilih mana, kejeniusan atau kebahagian?”

“Sepuluh tahun lalu saat bersamamu di sini, aku memilih kejeniusan. Itu membawaku ke kebahagiaan sekarang. Sepertinya sekarang kamu pun memilih hal yang sama.”

“Tapi sekarang berbeda. Kita sudah banyak berubah.”

Sekarang akan kutanyakan, “Kamu sudah menikah?”

“Kamu adalah satu-satunya lelaki yang pernah kuajak menikah. Kamu spesialku. Tidak pernah kulamar lagi orang lain.”

Ada desiran ombak yang sudah lama kuredam. Teringat masa-masa indah bersamanya. Aku tak berani mengucap kembali sepatah kata. Aku merunduk sambil mengaduk minuman di meja.

“Sudahlah. Ini takdirku.” Briant mencoba meraih kepalan tanganku.

“Maafkan aku. Aku tidak memiliki kejeniusan untuk menerimamu.”

“Sudah. Bahagialah dengannya.”

Dia memalingkan wajah ke arah Thames River.

“Kamu sudah berapa lama di sini?”

“Sebenarnya sudah dua minggu. Besok kami akan kembali. Aku takut menghubungimu kembali. Aku malu denganmu, Briant. Maka kupakai telepon hotel untuk menghubungimu.”

“Sepertinya kita selalu dijodohkan di akhir waktumu di Inggris. Besok, biarkan aku yang mengantar kalian ke Bandara.”

“Tidak usah. Itu merepotkanmu. Aku bisa menyewa taksi.”

“Ini tanda cinta terakhir untukmu.”

Dentang jarum Big Ben sayup-sayup terbawa angin ke tepian Thames River. Istriku sudah terlihat menenteng beberapa plastik oleh-oleh. Dia mengulum senyum.

“Istriku sudah selesai berbelanja.” Ada keraguan. Kurobek kertas dari buku agenda. “Itu istriku.”

Briant menoleh ke arah istriku yang datang dengan barang lumayan banyak. Dia melambai dan tersenyum. Tinggal beberapa meter lagi istriku sampai di meja kami. Segera kuserahkan sobekan kertas. Di selembar kertas koyak itu, kutuliskan nomor kamar kami, nomor ponselku, serta sebuah nomor kamar untuk kuberkencan dengan Briant. Hadiah terakhir. Hadiah untuk kebahagian kekasih lama.

Briant menyimpan di saku blazernya. (*)


2012
Teguh Afandi, lahir di Blora, 26 Juli 1990. Cerpennya dimuat di beberapa media massa.

Sepatu Baru untuk Marilyn

Cerpen Tri Shubhi A

Terbit di Republika, 6 Januari 2012






Bahan Referensi Cerpen - “IKHLAS ialah jalan menuju surga dan sarat mutlak diterimanya suatu amal oleh Allah SWT. Amal yang dilakukan seseorang karena ingin dipuji manusia, amal itu tidak akan sampai kepada Allah”

Begitulah kata-kata khatib yang terus diingat Marzuki yang tengah makan di Warung Tenda Sumber Rezeki Halal di pasar kecamatan. Memang tidak biasanya Marzuki tidak terkantuk-kantuk ketika khutbah jumat diuraikan. Pada Jumat inilah kantuknya tak hinggap dan ia tiba-tiba saja menjadi mustamik yang baik, mendengarkan khatib dengan seksama. Mungkin karena nyaris tak pernah menyimak serius perkataan khatib hampir di seluruh Jumatan yang pernah ia lalui, Marzuki amat terkesan dengan khutbah pertama yang ia simak baik-baik. Tema basar khutbah itu masih terngiang sampai makan siangnya tandas.

“Bagaimana caranya ikhlas?” renung Marzuki sembari mengorek giginya dengan tusuk gigi. Marzuki tiba-tiba merasa takut. Sejak selesai sembahyang Jumat itu ia berkeras mengingat-ingat jalan hidupnya.

“Pernahkan aku ikhlas sekali saja?” Rasanya belum.

Marzuki merasa setiap ibadah yang ia jalani ia lakukan hanya karena tuntutan lingkungan semata. Ia tidak yakin pernah ikhlas dalam hidupnya. Rasanya tidak ada amal yang sampai kepada Allah. Marzuki merasa belum pernah ikhlas.

Ketika Marzuki tengah khusyu merenung, datanglah Bu Deswinta bersama anaknya yang lucu bernama Marilyn. Perempuan paruh baya itu membeli lauk-pauk. Dulu mereka ini orang kaya tetapi kemudian jatuh miskin karena Pak Jhon Bambang Nasrullah, ayah Marilyn, tersangkut rasywah. Dipenjara.

“Mam, Marilyn mau sepatu merah itu” tiba-tiba Marilyn merengek kepada Mamanya sembari menunjuk ke toko sepatu yang ada di seberang warung tenda tersebut.

“Nanti ya, Nak, kalau Papamu bebas dari tahanan” bujuk Sang Mama.

“Tapi kan Papa bebasnya 20 tahun lagi, Ma, sepatu itu nanti tidak cukup lagi di kaki Marilyn,” Marilyn tabah merengek. Mamanya menghela napas sembari mengusap kepala Marilyn. Mata perempuan yang dulunya sosialita itu berkaca-kaca.

“Ini, Bu, lauknya,” Mbak penjaga warteg tiba-tiba memotong adegan mengharukan itu.

“Oh iya, terimakasih,” Bu Deswinta bergegas pergi selepas membayar lauk belanjaannya.

Tak ada orang yang kaprah ketika mata Bu Deswinta berkaca-kaca kecuali Marzuki yang kekhusuannya merenungkan perkara ikhlas koyak oleh percakapan mama dan anak itu.

“Ini saatnya untuk ikhlas,” Marzuki bertekad.

Dibayarnya makan siangnya kepada Mbak penjaga Warung. Lepas itu ia melangkah menuju toko sepatu.

“Berapa harga sepatu yang di etalase itu?” Tanya Marzuki tegas pada penjaga.

“Yang warna merah?” penjaga toko memastikan pertanyaan Marzuki.

“Ya,” jawab Marzuki tetap tegas.

“120 ribu Bang.”

“Apa awal bulan nanti harganya masih sama?”

“Mungkin.”

“Kalau begitu jangan jual sepatu merah itu. Awal bulan nanti aku akan membelinya…,” nada Marzuki tetap tegas. Lantas ia melangkah pergi. Penjaga toko kurang mengerti apa yang dimaksud oleh Marzuki.

***

Marzuki ialah seorang lelaki berusia 35 tahun yang sehari-hari memburuh di pabrik konveksi dekat pasar kecamatan. Ia punya istri bernama Maimunah yang kadang-kadang suka menyesal menikah dengan Marzuki. Dulu ia kira Marzuki akan sukses menjadi pengusaha, tapi ternyata tidak. Pasangan ini dikaruniai seorang putri bernama Tuti Astuti yang usianya hampir sama dengan Marilyn.

Ketika Marzuki gajian, setelah ia mendengarkan khutbah tentang ikhlas itu, Maimunah mengerang protes karena gaji suaminya kurang 120 ribu. Dan Marzuki tidak mau bilang ke mana uang itu. Mereka pun melakukan kegiatan rutin dalam kehidupan mereka: bertengkar!

“Bang Marzuki pasti selingkuh. Pasti!” Maimunah menggugat sembari terisak.

“Coba kamu pikir baik-baik Maimunah, apa cukup 120 ribu untuk selingkuh? Menafkahi kamu 1,8 juta sebulan saja kamu bilang kurang. Masa 120 ribu kamu curigai untuk selingkuh?”

“Ya terus ke mana uang itu? Abang korupsi!” jerit Maimunah sembari terus menghamburkan air mata.

“Maimunah! Jangan tuduh Abang seperti itu. Abang kira engkau adalah perempuan yang punya pribadi. Tetapi ternyata, kau sama saja dengan perempuan yang lain!” suara Marzuki meninggi, tak peduli pada air mata Maimunah.

“Abang juga sama seperti lelaki lain! Pembohong!!!” suara Maimunah tak kalah tinggi.

“Maimunah, berarti ada lelaki lain yang pernah membohongi kamu? Bukan hanya Abang? Jawab Maimunah!” Marzuki membentak.

“Abang…!!! Jangan tuduh Maimunah seperti itu. Sakit hati ini, Abang. Tak ada lelaki lain. Cuma Abang satu-satunya lelaki yang selama ini membohongi Maimunah. Satu-satunya dalam hidup Maimunah. Tak ada yang lain. Percayalah Abang….”

Maimunah bercucuran air mata. Lantas ia berlari secara dramatik, masuk ke kamar. Air matanya belum juga reda. Di dalam kamar, di atas kasur, ia terus menangis sembari menggigit-gigit ujung sarung bantal.

Tak ada maksud dari pihak Marzuki untuk menyakiti hati Maimunah. Ia cuma mau ikhlas. Uang itu akan ia gunakan membeli sepasang sepatu. Ia tak mau ada satu orang pun yang tahu ia hendak membeli sepatu untuk Marilyn. Ia mau benar-benar ikhlas. Cukup ia dan Allah saja yang tahu. Dan betapa beratnya laku ikhlas itu.
“Ini cobaan-Mu, ya Allah. Hamba akan terus berikhtiar untuk berbuat ikhlas walau cuma sekali ini. Hamba rela meskipun terpaksa bertengkar dengan istri hamba….”

***

Pada suatu malam yang sepi Marzuki mengendap-ngendap keluar rumah. Meninggal Maimunah dan Tuti Astuti yang terlelap. Ia berjalan di kegelapan. Di balik jaketnya ada sepasang sepatu mungil berwarna merah. Marzuki menuju rumah Bu Deswinta yang ada di bagian atas kampung. Rumah Marzuki sendiri berada di sebuah kelokan di bagian bawah kampung arah menuju sungai. Jarak dua rumah itu kira-kira 1,5 Km dengan gang-gang menanjak-menurun berkelok-kelok di antara pemukiman teramat padat.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba hujan turun begitu deras. Marzuki mencoba menembus hujan tapi hujan semakin deras. Akhirnya ia menepi di jongko Mie Ayam Bang Amat. Marzuki berteduh. Bukan ia tak berani menembus hujan guna menunaikan laku keikhlasannya, tapi ia segan masuk angin. Ia sudah bertengkar dengan istrinya untuk ikhlas, masa harus ditambah masuk angin. Begitu kilatan pikiran Marzuki.

Waktu terus berlalu dan hujan tak kunjung reda. Malah kian menderas. Marzuki bersidekap menahan dingin. Kilat menyambar-nyambar di angkasa. Marzuki mulai meringkuk di atas jongko, matanya tak lagi kuat untuk melawan kantuk. Rasa lelah selepas bekerja seharian di pabrik konveksi ditambah dengan udara hujan membuat Marzuki terlelap perlahan. Marzuki menggelesot di jongko Mie Ayam Bang Amat.

Hujan tak hendak henti sampai dini hari. Alir mulai naik, menggenangi jongko Bang Amat. Air terus naik.

***

“Zuk, bangun Lu!” sergah Bang Amat. Marzuki tergeragap.

“Ngapain Lu tidur di Jongko Gue? Berantem ama bini Lu ya?” Bang Amat menuduh.

“Nggak, Bang…,” jawab Marzuki polos.

“Terus ngapain Lu tidur di sini?” Bang Amat memburu jawaban Marzuki.

“Mmh…, itu Bang…, anu…,” Marzuki hendak menjawab, tapi ingat ia mau ikhlas. Tak ada yang boleh tahu.

“Kenape Lu?” Bang Amat terus memburu.

“Mmmmppphhh…,” Marzuki kelu, meraba-raba jaketnya. Menggeledah jongko Bang Amat. Memeriksa kolong bangku. Tak ada apa-apa, hanya bekas alir air.

“Nyari apa, Lu?” Bang Amat heran.

“Itu Bang…, sesuatu!” jawab Marzuki yang mulai resah sembari mencari-cari di setiap sudut.

“Udah-udah… ayo ke mushola. Shalat Shubuh!” Bang Amat hendak menyeret Marzuki.

“Bentar Bang…,” Marzuki mencari sepatu mungilnya, tapi tak ada.

***

“Ya Allah, hamba sudah berusaha ikhlas untuk satu amal saja sampai hamba harus bertengkar dengan istri hamba, kedinginan tidur di jongko dan dianggap ngelantur sama Bang Amat. Tapi ternyata keihlasan hamba gagal, ya Allah. Apa hamba harus bertengkar lebih keras dengan istri hamba? Ya Allah, apa pun keputusan-Mu, hamba menerima, ya Allah. Jikalah hamba tidak diperkenankan untuk berlaku ikhlas hari ini, mudah-mudahan masih ada umur dan kemampuan bagi hamba untuk berbuat ikhlas. Hamba sudah mencari sepatu untuk Marilyn itu sampai ke kolong jongko Bang Amat, tapi nggak ada ya Allah. Ya Allah jikalah sepatu itu dicuri orang, jangan masukan itu sebagai dosa bagi orang itu. Jika sepatu itu jatuh dan hanyut dibawa arus hujan, mudah-mudahan ia bisa ditemukan seseorang dan bermanfaat untuknya. Hamba mohon, biarkanlah sepatu itu bermanfaat bagi yang mendapatkannya. Hamba mohon ya Allah….”

Begitulah kepasrahan Marzuki yang agak panjang di hadapan Allah SWT yang ia panjatkan selepas shalat shubuh di Mushola Al-Ikhlas. Bang Amat dan beberapa jamaah lain merasa heran melihat Marzuki bercucuran air mata setelah shalat shubuh. Ini pertama kali dalam sejarah Mushola Al-Ikhlas, Marzuki berdoa sekhusyuk itu. Begitu khusyuk sampai jamaah mengira Marzuki diminta menceraikan Maimunah oleh mertuanya.

Namun apalah arti pandangan manusia. Toh Marzuki sudah lega meskipun niat ikhlasnya gagal menjadi nyata. Ia juga tak keberatan dianggap aneh oleh jamaah seshalat shubuh. Marzuki sedih tapi pasrah. Menyesal tapi pelan-pelan rela. Semua rasa sudah ia sampaikan kepada Tuhan. Mau apalagi. Batas kemanusiaannya sudah ia sentuh. Ia sudah berusaha sebaik mungkin. Toh sepatu itu tak sampai juga ke tangan Marilyn.

Dengan langkah gontai namun tenang Marzuki berjalan menuju rumahnya. Ketika tiba di jalan menurun dan berkelok di depan rumahnya, ia tahu ia akan bertengkar lagi dengan istrinya.

Namun itu tidak terjadi. Maimunah justru tersenyum di depan pintu. Manis sekali ia menyambut kepulangan Marzuki.

“Si Abang, mau beliin sepatu buat Tuti aja pake sembunyi-sembunyi. Padahal udah lamaaaa… si Tuti pengen punya sepatu baru. Mana sepatunya ditaro di depan pintu lagi. Jadi aja keujuanan.” Maimunah memanja sambil menguwel-nguwel secarik kertas bertuliskan Sepatu baru untuk anak manis, dari orang yang sedang belajar ikhlas. Maimunah tahu persis itu tulisan tangan Marzuki.

“Tutiiiii…!!! Sini, Nak!!! Ini papah pulang…, salim dulu…,cepat Nak!!!” Maimunah yang kini sudah tidak menyesal bersuamikan Marzuki memanggil anaknya.

Sementara Marzuki masih terpaku tak mengerti. Lidahnya kelu. Sepatu baru untuk Marilyn hanyut ke rumahnya sendiri. (*)



Depok, 16 Muharram 1434 H
Penulis lahir di Bandung 14 September 1985. Saat ini aktif berkegiatan bersama Komunitas Nuun, Depok, Jawa Barat.