Cerpen Damhuri Muhammad
Terbit di Media Indonesia, 6 Januari 2013
Bahan Referensi Cerpen - KABAR buruk itu tiba pada sebuah pagi selepas gerimis, saat ia
sedang memotong kuku di beranda. Irisan silet majal di ujung jarinya
meleset hingga menyayat daging kelingking dalam posisi miring.
“Langkisau tertangkap. Tapi, bukan Langkisau namanya bila tak lihai
meloloskan diri,” begitu pesan rahasia yang serapat-rapatnya telah ia
simpan dalam ingatan, tapi masih terngiang-ngiang di telinganya. Lelehan
darah yang hampir mencapai telapak tangan belum sempat ia seka. Sapu
tangan usang ternyata lebih dahulu menyapu linangan air mata di pipi
pucatnya. Tangis yang tak semestinya, kesedihan yang harus dilawan,
risau hati yang tiada perlu dihiraukan.
Bukankah belasan tahun silam ia telah melepas kepergian si sulung
dengan kerelaan yang tiada sumbing? “Seandainya karena jalan panjang
menuju cita-cita besarmu kau mesti menyumbat semua jalan pulang, ibu
tetap akan mencatat kepulanganmu, meski hanya pulang dalam nama.” Masa
itu hanya tersisa 13 hari sebelum Lebaran. Bila perantau berduyun-duyun
pulang kampung dan berhari raya bersama karib kerabat, keberangkatan
lelaki itu bagai mengayuh biduk ke hulu, bertolak melawan arus, hengkang
meninggalkan tanah asal, dan sedapat-dapatnya melawan hasrat untuk
menoleh ke belakang. “Kepergian akan bernilai bila diselenggarakan di
musim pulang,” bujuknya meredakan kesedihan ibu. Berbekal tas punggung
berisi tiga pasang pakaian, kain sarung pemberian ibu, dan sejumlah
buku, tanpa ragu ia menaiki bus Bintang Kedjora kelas ekonomi yang bakal
membawanya, nun ke tanah seberang.
Perlahan-lahan perempuan ringkih itu membasuh bercak darah di jari
kelingking, sementara ingatannya menerawang, membayangkan putra
sulungnya sedang meringkuk di balik jeruji besi, entah di tanah Jawa
belahan mana. Nawawi Djamil—ia memanggilnya Wi—itulah nama yang ia
berikan kepada si sulung yang lahir pada subuh berkabut setelah
pergulatan yang hampir membawanya pada maut. Sebelum pingsan selama dua
hari dua malam, di sela jerit kesakitan ia bersumpah; tak sudi bunting
lagi bila petaka bersalin seberat yang tengah ia tanggungkan. Setelah
berbilang tahun kepergian Wi dan tak sekalipun ia menerima kabar tentang
keberadaan anak kesayangannya itu, kampung Ujung Tanjung gempar oleh
ingar-bingar kabar tentang lelaki bernama Langkisau, tokoh gerakan bawah
tanah, orang paling dicari, hidup atau mati. Televisi dan koran-koran
memaklumatkan betapa besarnya ancaman terhadap negara bila Langkisau
masih berkeliaran. Disebut-sebut, menghilangnya beberapa petinggi negara
yang hingga kini jejaknya belum ditemukan tak lepas dari keterlibatan
gerombolan pimpinan Langkisau. Begitu pula dengan penemuan sejumlah
mayat mantan narapidana kasus korupsi dalam keadaan mengenaskan. Ada
yang tergeletak di kamar hotel berbintang dengan usus terburai keluar,
ada yang setengah gosong setelah jasadnya diguyur bensin, ada pula yang
tersungkur dengan kepala retak-rengkah. Pengamat perilaku kriminal
berkesimpulan bahwa pelaku pembunuhan keji itu telah menjatuhkan hukuman
sepadan bagi para koruptor, sebab vonis hakim tak setimpal dengan
kejahatan mereka.
Tapi, bagaimana cara meringkus orang yang tak bisa dipastikan raut
mukanya? Aparat hanya dapat membuat sketsa wajah, gaya rambut, dan
ekspresi dingin si buron, itu pun digarap berdasarkan sumber-sumber yang
disangsikan kebenarannya. Orang-orang Ujung Tanjung kerap membaca
maklumat tentang hadiah menggiurkan bagi siapa saja yang bisa menciduk
Langkisau. Namun, segala upaya nihil, hingga beredarlah gosip-gosip
murahan perihal kesaktian buron kelas kakap itu. Ada yang menduga tokoh
yang konon telah merancang negara berdaulat di wilayah Sumatra itu
sempurna menguasai tarekat tujuh muka. Dalam sekali hentakan napas,
Langkisau bisa beralih rupa sebanyak tujuh kali. Ada pula yang percaya,
ia bisa meniadakan tubuh kasar. Karena itu, Langkisau hanya bisa dilihat
oleh orang-orang yang dipercayainya.
Begitulah kabar yang tersiar, hingga muncul kabar baru yang nyaris
memastikan bahwa Langkisau tak lain adalah Wi, putra daerah Ujung
Tanjung. Berkali-kali rumah perempuan itu didatangi orang-orang asing
yang meminta keterangan perihal ciri-ciri fisik Wi. Mereka
mengobrak-abrik foto masa kanak-kanak dan memastikan tanda lahir yang
tentu hanya diketahui ibu kandungnya. Berkali-kali pula ia bertanya
tentang hubungan Langkisau dengan Wi. Namun, kegelisahannya tak dianggap
penting oleh gerombolan yang datang tanpa permisi itu. “Itu akibat
buruk dari buku-buku Tan Malaka yang disimpan guru sejarah itu,” begitu
umpat bergaung di kedai-kedai kopi. “Jangan-jangan ia berniat mencetak
anaknya jadi PKI,” tuding ibu-ibu selepas pengajian malam Jumat.
“Ia menyangkal semua tudingan terhadap Wi. Anakku bukan PKI, dan
bukan buku-buku Tan Malaka yang membuat ia membangkang,” gumamnya.
“Betapa pun kelamnya, kebenaran sejarah harus disingkap,” jawabnya
ketika suatu hari Wi bertanya kenapa ia berani menyembunyikan buku-buku
terlarang. Jawaban itu menjadi api dalam sekam bagi Wi yang kemudian
melalap habis semua koleksi ibunya hingga hafal di luar kepala. ‘Murba,
aksi massa, materialisme-dialektika, dan dari penjara ke penjara’,
menjadi kata kunci dalam setiap perbincangan meja makan bersama Wi sejak
duduk di bangku sekolah menengah. Wi menyesalkan Tanyang pertama kali
menuliskan kata ‘republik’ tak sempat menghirup udara republik itu.
Alih-alih dihargai, sejumlah tokoh yang dalam catatan sejarah disebut
pendiri republik malah bersiasat melenyapkan Tan atas tuduhan kudeta.
Tapi sekali lagi, bukan buku-buku itu yang mencuci otak anakku, batin
perempuan itu.
***
Di masa lampau, ketika kampung Ujung Tanjung masih jarang ditempuh
roda, Wi begitu riang bila sesekali kampungnya dilewati mobil.
Lebih-lebih di masa liburan ketika keluarga Tek Na—kakak sepupu
ibunya—pulang kampung dengan sedan pribadi. Itu kali pertama Wi melihat
sedan. Mengilat bodinya, halus suara mesinnya, nyaring bunyi klaksonnya.
Tak sungkan-sungkan ia menyentuh sedan yang diparkir di halaman rumah,
sekadar melunaskan penasaran karena sebelumnya ia hanya tahu mobil bak
pengangkut kayu gelondongan. Mula-mula ia menyentuh bagian luar, lalu
pintu depan mobil hingga menimbulkan suara berdetak. “Hei, itu bukan
punya bapakmu. Menjauh dari sana, Buyung!” hardik suami Tek Na,
tiba-tiba.
Gemetar lutut Wi mendengar makian yang seumur-umur belum pernah
keluar dari mulut ibunya. Gegas ia berlari, dalam takut bercampur marah.
Sejak peristiwa itu, apa pun jenis barang bawaan Tek Na, termasuk
mainan mahal anak-anaknya, tidak lagi membuat Wi tergiur. Ia selalu
menghilang dari keriuhan orang-orang kota yang sedang
berjingkrak-jingkrak di atas rumahnya. Wi lebih suka menyendiri di
dangau, sambil mengurus ayam-ayam jago peliharaannya. Ia memberontak
ketika dibujuk untuk merelakan ‘kurik bulu’ kesayangannya untuk Kahfi ,
anak bungsu Tek Na, yang merengek-rengek hendak membawa ayam itu ke
kota.
“Kau tak ingin dapat salam tempel dari bapaknya?” rayu ibunya.
Wi menggeleng, dan tajam sorot matanya sangat melawan.
Suatu kali Wi pernah diajak ibunya ke rumah Tek Na di kota. Semula
cukup menyenangkan, tapi kemudian lagi-lagi membuat Wi kecil jadi
pembangkang. Di beberapa malam ia menginap di rumah keluarga kaya itu,
ikat pinggang suami Tek Na hilang, dan semua penghuni rumah menjadi
sibuk seketika. Sebelum pulang, Wi dipaksa ibunya membuka tas dan
memperlihatkan isinya. Itu terjadi atas permintaan Tek Na yang mengira
ikat pinggang mahal itu berpindah tempat ke tas punggung Wi. Ia marah
besar, tidak hanya kepada Tek Na, tapi juga kepada ibunya yang tidak
melakukan pembelaan ketika anaknya dituduh maling. “Kau tidak mungkin
melakukan perbuatan bejat itu, tapi etekmu sudah banyak membantu kita,”
bujuk ibunya. “Kini kita dituduh maling, kelak mereka akan berak di atas
kepala kita,” balas Wi, beringas.
***
Di sebuah petang, seorang pedagang barang pecah-belah singgah di
berandanya. Sekadar melepas lelah setelah mengayuh sepeda dari kampung
ke kampung. Lantaran mendung semakin berat, ia mengajak perempuan itu
masuk, agar barang dagangan di boncengan sepedanya selamat dari hujan.
Saat pengasong itu memperbaiki cara duduknya, sekilas ia melihat sapu
tangan abu-abu menyembul dari bungkusan barang-barang pecah-belah. Sapu
tangan yang mengingatkan ia kepada Wi. Sebelum anaknya berangkat ke
tanah Jawa belasan tahun lalu, diam-diam ia memasukkan sapu tangan itu
ke dalam tas punggung Wi. Selain sebagai penawar rindu, juga dapat
menyeka peluh bila gerah di kapal penyeberangan. “Itu tidak dijual, Bu!”
kata pedagang panik membuyarkan lamunannya. “Sebab, sapu tangan itu
memang milik Nawawi,” lanjutnya sembari memeriksa kanan-kiri, memastikan
tak ada yang menguping obrolan mereka. “Langkisau baik-baik saja.
Jangan cemas. Saya dikirim untuk menyampaikan kabar ini. Bila situasi
aman, Wi akan menjemput ibu.” Lambat-laun ia terbiasa dengan pesan-pesan
rahasia. Hingga kini, ia masih bersetia menunggu dan senantiasa
berharap kedatangan Wi lebih cepat dari ajalnya. (*)
Tanah Baru, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar