Perempuan yang Selalu Menggelitik Pinggangku

Cerpen Martin Aleida

Terbit di Kompas, 18 November 2012




Bahan Referensi Cerpen - QUEENARAKU, kuingat benar. Jauh sebelum Ibu-Bapakmu memperkenalkan dunia luar dengan mendaftarkanmu ke playgroup, berkali-kali kau memintaku lagi untuk mendongeng. Kau menarik-narik lengan bajuku, membelai jenggotku. Merengek meminta aku memulai. Tapi, aku tak pernah bisa, kecuali mengulang cerita Si Kancil yang cerdik dan buaya yang besar kuat tetapi dungu. Pendiam, pemalu, acapkali salah tingkah, itulah takdir kakekmu ini. Aku bukan si pencerita yang baik untuk kau, cucu semata loyangku. Yang kupunya hanya kaki yang selalu enteng menghampirimu, dan tangan, yang acapkali semutan, untuk mengecup kening dan rambutmu. Mengagumi matamu….

Manakala pelupuk matamu sudah kuyu, sementara dongengku belum sudah, sadarlah aku sesungguhnya kau sudah bosan. Ya, jangankan kau, Si Kancil yang cemerlang dan buaya yang bebal itu pun mencibirku sebagai seorang yang majal daya khayalnya.

Aku bukan seorang pencipta. Lebih sebagai pengelana. Dari pengembaraanku aku ingin memetikkan sebuah kisah untukmu.

Kemarin, setelah bertahun tak pernah dicium kamoceng, aku bersih-bersih di kamar. Kutata kembali buku-buku yang sudah renta dan berdaki kulitnya. Di celah buku ketemukan ini. Guntingan koran L’Unita yang terbit di Roma setengah abad lampau. Kertasnya sudah kusam. Kalau jatuh ke tangan pemulung, dia hanya layak untuk pembungkus terasi. Kliping itu mengingatkan aku pada pengalaman yang menceriakan hati, tetapi juga meninggalkan luka lantaran kecewa.

Tataplah guntingan koran ini. Lihat. Di bawah fotoku, yang sedang melambaikan tangan (dengan peci yang membuat aku kelihatan dungu) setiba di stasiun kereta-api Stazione Termini Roma, mengalir sebaris keterangan: Seorang mahasiswa Indonesia berkunjung ke Italia sebagai tamu resmi L’Unita.

Foto dan kata-kata di guntingan koran ini seperti kerlip rama-rama yang datang mengantarkan terang, memancing fantasiku untuk menguntai cerita untukmu, sekarang. Golekkanlah kepalamu di lenganku. Akan kupejamkan matamu dengan belaian kisah tentang bagaimana kekaguman pada seorang perempuan, yang telah menenung Kakekmu ini, sehingga dia menjadi begitu pandir dalam kesetiaan. Aku percaya, kau akan sakit perut terpingkal-pingkal dikocok tawa. Bagaimana mungkin aku bisa jadi sebodoh itu, seperti buaya yang dikadali sang kancil.

Nanti, pengalamanku itu akan kutuliskan baik-baik dengan tulis-tangan tebal-tipis di atas kertas bergaris halus-kasar. Gaya menulis orang “jadul,” sebagaimana kata Ibumu. Dan akan kuselipkan di antara buku-bukuku. Kalau kau sudah dewasa, dan aku mungkin sudah tiada, bacalah! Saat itu kau tentu sudah memahami arti ketulusan hati dan kesetiaan seseorang yang pandir. Dan orang itu adalah Kakekmu ini, ketika dia masih seorang mahasiswa di sebuah negeri bersalju.

Beruntung, hampir lima puluh tahun lalu, aku dapat beasiswa belajar teknik kapal selam di Moskow. Sungguh mati, Uni Soviet waktu itu bukan surga di bumi. Tetapi, aku sudah merasa seperti berdiri di pintu masuk sebuah taman yang menjanjikan. Setiap bulan aku menerima stipendiya (beasiswa) 90 rubel, dipotong dua rubel untuk bayar obsyezitie (asrama). Dengan uang itu, setiap akhir bulan aku leluasa ngluyur di tokok-toko buku, yang menjual bacaan dengan murah. Dalam bahasa Rusia, aku membaca The Call of the Wild dan The White Fang, yang mencitrakan anjing, binatang kesayangan kita, sebagai lambang pencari kebebasan, karangan novelis Amerika Serikat, Jack London. Novel-novel itu laris seperti kerupuk di Uni Soviet.

Gara-gara buku aku jadi tak bisa menabung. Padahal, aku sudah lama berangan-angan melihat Italia, negeri di mana catatan peradaban masa lalu bisa dibaca dalam berbagai peninggalan berbatu pualam. Alamnya menawan. Cuma ada beberapa kawan yang coba mementahkan hajatku itu. “Jangan pernah ke Italia! Orang-orang tak bersahabat di sana. Banyak pelancong yang tertipu. Penjambret di mana-mana, seperti lalat yang tak pernah kenyang. Karena itu Takhta Suci dibangun Tuhan di sana.”

Tapi, aku keras kepala. Kuturuti kehendak hatiku. Tak punya duit, aku tak kehabisan akal. Di kios-kios penjualan surat kabar di Moskow hanya ada koran partai komunis dari berbagai penjuru dunia. Kubeli L’Unita, dan dengan bahasa Italia yang terbata-bata, dibantu kamus, aku mengadu nasib. Kulayangkan surat pembaca ke koran itu.

“Signore,” nekat aku menyapa. “Saya mahasiswa Indonesia di Moskow. Sejak kecil mimpi mau ziarah ke Italia. Tapi, tabungan saya hanya cukup untuk membeli tiket kereta-api. Saya siap bekerja apa saja untuk membiayai hidup beberapa hari di sana.”

Kiambang bertaut. Surat itu dimuat dan dapat tanggapan. Beberapa keluarga bergairah ingin menjadi tuan rumahku. Namun, belum sempat aku menyurati mereka, tiba-tiba datang telegram dari L’Unita yang mengambil-alih semua kebaikan hati orang-orang yang bersimpati padaku. Koran itu menyatakan siap menyambutku sebagai tamu resmi.

Begitulah, ke mana saja singgah aku disambut. Tak kulupakan bagaimana hangatnya aku didaulat di kantor koran tersebut. Juga anak-anak muda yang menerimaku dengan tulus. Tetapi, bukan itu benar yang ingin kukisahkan kepadamu. Pun tidak tentang kota maupun wanita Italia berambut jagung yang memang cantik jelita.

Musim panas, Sabtu sore, minggu ketiga Juli 1962. Kutinggalkan stasiun kereta-api Bellorusskii Wokzal menuju Belarus, terus menyeberang ke Polandia. Aku menempati coupe paling ujung untuk dua penumpang. Temanku satu coupe seorang perempuan berusia 60-an. Melihat perawakannya yang tidak begitu tinggi untuk rata-rata orang Rusia, dan gerak-geriknya yang gesit seperti marmut, kukira dia berasal dari Asia Tengah. Dia mendapat tempat-tidur sebelah bawah, aku di atas. Kalau siang, tempat-tidur bertingkat itu kami lipat jadi tempat duduk.

Uni Soviet diperintah orang-orang bertangan besi, tetapi mencintai musik. Di sana, perempuan tak bisa meninggalkan negerinya seorang diri. Karena itu, saya terheran-heran melihat perempuan teman sekeretaku itu yang mengelana sebatang kara. Mungkin dia seorang pejabat, kupikir. Tetapi, yang kudengar, pejabat yang bepergian ke luar negeri, harus ada yang mengawal. Khawatir kalau-kalau membelot mencari kebebasan ke negara musuh. Atau memang ada pengawal yang mengawasinya dari gerbong lain?

Ah, itu urusan dalam negeri di mana aku hanya sekadar menumpang. Tapi, perempuan ini memang unik. Selama perjalanan dua malam, sebelum sampai di perbatasan Polandia, di Brest-Litovsk, aku sering dia bangunkan dengan sikap yang kaku, agak kasar malah. Mencolek pinggangku dari bawah.

Molodoi celowek [Anak muda], tolong tanya kondektur, sudah sampai mana kereta kita?”

Seperti seekor tupai yang terusik, turunlah aku mencari kondektur ke gerbong lain sambil ngedumel di dalam hati: “Cerewet amat Ibu Rusia ini, kayak suaminya saja aku dia perlakukan, sesuka hatinya menggelitikku di tengah malam begini.”

Senin siang rangkaian kereta berhenti di Brest-Litovsk. Di perbatasan itu kereta tertahan dua jam lebih, karena harus mengganti roda, dari yang lebar (di Soviet rel kereta-api lebih lebar) ke yang lebih sempit di Polandia. Selama ganti roda, kami memilih tetap berada di dalam gerbong. Aku duduk menghadapnya seperti seorang anak yang sedang menanti nasihat dari ibunya.

“Anda datang dari mana?” Senyum, tanpa menatap mataku, dia memantik percakapan.

Iz Indanezii [Dari Indonesia].”

Selama ngobrol hampir dua jam lebih, wajahnya yang semula mengesankan seorang yang tertutup, tidak supel, lama-lama mencair, dan menampakkan jati diri seorang ibu yang berhati terbuka.

“Setiap tahun saya mengunjungi tiga makam orang yang saya cintai.” Kontan pikiranku yang nakal berbisik, tentulah waktu mudanya dia cantik sekali sehingga dia punya banyak kekasih. “Yang pertama di Ukraina, yang kedua di sekitar Moskow, dan yang ketiga di Polandia,” sambungnya lagi.

Cinta pertamanya adalah suaminya, seorang komandan pasukan tank, yang gugur dalam Perang Dunia II. Yang kedua, putra pertamanya, seorang perwira infantri, yang tewas di sekitar Moskow. Ketiga, putra bungsunya, yang sirna di Polandia sebagai penerbang pesawat tempur.

Saat berbicara kelihatan dia bersusah-payah menyembunyikan kesedihan di wajahnya. Katanya, dia menghabiskan beberapa tahun untuk mencari makam putra bungsunya yang tewas di Polandia itu. Semua biaya perjalanan selama mencari anaknya itu, katanya, ditanggung pemerintah. Sampai akhirnya dia menemukan makam putra bungsunya itu di Katowice, Polandia. Kalau sebelumnnya saban tahun dia mengadakan perjalanan ziarah ke kedua makam di negerinya sendiri, maka untuk perjalanan duka yang ketiga dia harus melintasi perbatasan.

Kereta bertolak kembali. Tiap setengah jam dia menggelitik pinggangku dari bawah, memintaku menemui kondektur, menanyakan sudah sampai di mana kami. Senin sore, kereta berhenti di Katowice. Ibu yang telah memberikan tiga yang terbaik dalam hidupnya untuk Patrioticeskaya Woina, perang patriotik habis-habisan dalam Perang Dunia II, di mana jutaan tentara maupun rakyat biasa Soviet terbunuh, menunjukkan kebaikan hatinya kepadaku. Kuanggap sebagai imbalan untuk gelitik dan kerepotanku mondar-mandir mencari kondektur. Kedua pojok mulutnya tersungging, dia senyum menatap mataku, dan dengan enteng tangannya memberikan semua bekalnya kepadaku: roti hitam, apel, keju serta sosis. “Salamku untuk Emakmu,” katanya mengelus kedua pipiku. Dia juga meninggalkan alamat, dan berharap aku berkenan mengunjunginya suatu ketika.

Desember 1962. Bingkai tingkap asramaku memutih dibalut es. Kujenguk keluar. Hanya ada warna putih. Seluruh alam berselimut salju. Pada saat seperti itu terasa benar bahwa aku berada di perantauan yang jauh, di mana batang kelapa, pohon singkong maupun akar bakau adalah mimpi di balik dunia yang lain. Aku teringat Emakku. Dengan siapa aku cinta dan hormat begitu tinggi. Perempuan Rusia teman segerbongku itu tertawa seperti dikocok perutnya ketika kuceritakan bahwa aku tidak hanya mencium Emakku menjelang tidur. Aku juga kerap menggumulnya, mencium pipinya, merenggut kakinya untuk kucium, hingga dia merasa malu melihat kebiasaanku yang berlebihan itu.

Pahit rasanya kalau rindu tak terpuaskan. Entah bagaimana, lamunanku pada kampung halaman mendorong hatiku untuk melangkahkan kaki ke luar asrama. Berdesak-desakan dengan angin yang perih membekukan pipi, aku menguak butir-butir salju menuju Ceremuskinskaya Ulitsa, tempat tinggal perempuan Rusia, kawan seperjalananku.

Begitu tiba, buru-buru kuketuk pintu. “Ibu! Ini aku, mahasiswa Indonesia. Kawanmu!” kataku mantap. Beberapa kali kuulangi ketukan dan kuucapkan kembali kata-kata itu. Diam. Hanya butir-butir salju yang menyahut, menumpuk di sepatuku.

Aku terpacak di bendul pintu. Sesaat kemudian, tiba-tiba pintu terkuak. Dia berdiri dengan anggun. Kujulurkan tanganku. Cepat dia tangkap dan genggam kuat-kuat. Tanpa canggung-canggung kudekap dia. “Aku rindu negeriku, kangen Emakku, maka aku ke sini,” ucapku tanpa malu-malu.

Melihatku kedinginan, dia langsung mempersilakan aku masuk. Dia sibuk menyiapkan minuman, nyamikan, dan menghidangkannya. Sebagai balasan kuberikan majalah Druzhba, sekalipun kusangka dia sudah membacanya. Di situ aku menulis kisah pertemuanku dengannya, terutama upayanya bertahun-tahun mencari jiwa manusia ketiga yang telah dia sumbangkan untuk tanah airnya. “Hatimu Seputih Salju”.

Begitulah aku memujanya yang kuungkapkan dalam judul tulisanku itu.

Dia letakkan album foto di pangkuanku, membukakan halaman di mana dia kelihatan sedang berdiri di samping suaminya. Di lembar foto yang lain, dia tampak begitu hangat dengan kedua putranya. Mereka tertawa lepas, saling beradu pipi.

“Liliana meninggal musim gugur lalu,” katanya seperti menggigil sambil mengusap airmatanya. “Kecelakaan lalu lintas.”

“Yang di dalam foto-foto ini adalah Ibu.”

“Bukan. Bukan. Saya saudara kembar Liliana.”

“Apa salah saya, sehingga Ibu harus berbohong. Kalau Ibu tak mau saya kunjungi, katakan terus terang. Saya datang dari negeri yang jauh. Mengapa Ibu memperdaya?”

Dia gugup, menghampiri pangkuanku, mengatupkan album foto yang terbuka di pangkuanku, dan membawanya ke dalam kamar.

“Saya tahu saudara mengasihi, mengagumi, Liliana. Terima kasih. Saya tak bisa berbuat apa-apa untuk membalas kebaikan saudara,” katanya bergetar.

Aku mematung di sofa. Tak percaya dengan apa yang terjadi di ruang tamu itu. Perlahan aku bangkit dan beringsut mau pergi. Dari belakang terasa tangannya memegangi bahuku. “Maafkan…” ucapnya lembut tersendat. Aku tak memalingkan muka, terus melangkah menerabas bulir salju. Merasa sedang dipermainkan.

Seminggu kemudian, aku datang kembali. Ketika bersalaman, kuperhatikan baik-baik jarinya, terutama telunjuknya yang suka menggelitikku. Aku mematut-matut diri di depannya. Aku tak salah ingat, tinggi kami sama. Kutatap matanya lama-lama. Juga kening dan kerut di lehernya. Aku tak pernah salah, dialah perempuan itu. “Maaf, Liliana sudah tak ada….” Begitulah dia terus mengulang-ulang kata yang menyakitkan itu. Dia membiarkan aku masuk. Membiarkan aku termangu.

Minggu berikutnya aku datang lagi. Dan datang, datang lagi, dengan keyakinan persahabatan tak boleh mati. Hatiku kecut ketika menerima surat dari dosenku, yang meminta aku supaya berhenti berkunjung ke rumah perempuan itu. Dasar kepala batu, aku tetap saja datang bertandang. Mengapa persahabatan harus dibungkam dengan cara licik begitu, pikirku. Sampai pun ketika sepasang Tentera Merah mencegatku di pintu, mencekal leher bajuku. “Durak…!” Sinting! Maki mereka berbareng, meludahi mukaku. Aku beranjak, menepiskan ludah yang membeku di pipiku. (*)


(Kepada Djoko Sri Moeljono, ilham cerita ini)

Sepanjang Jalan Cinta

Cerpen Irwan Kelana

Terbit di Republika, 18 November 2012




Bahan Referensi Cerpen - SEORANG lelaki tak bisa lari dari takdirnya sendiri. Ia tak bisa menolak manakala takdir cinta menghampirinya.

Delapan  tahun lalu, saat Tuhan  memanggil Rindu kembali ke haribaan-Nya, Bayu merasa amat terpukul. Mengapa Dia  mencerabut wanita yang sangat dikasihinya–seorang istri yang sangat lembut dan penyayang–dari kehidupannya? Mengapa secepat itu wanita yang merupakan cinta pertamanya sejak SMA  meninggalkannya dengan menitipkan dua orang putra yang baru duduk di bangku kelas I SMP dan kelas V SD?

Suatu malam, seusai menunaikan tugas suami-istri yang sangat indah, istrinya berbisik di telinganya.

“Mas percaya kepada Allah?”

Bayu tertawa kecil. “Ya iyalah.”

“Betul-betul percaya kepada Allah?” tanya istrinya lagi.

Bayu tersenyum, tapi instingnya mengatakan, ada sesuatu. “Betul, sayang, saya percaya kepada Allah, dan benar-benar percaya kepada-Nya. Ada apa sih?”

Rindu  tidak langsung menjawab. Wanita yang mulai berjilbab sejak masuk SMP Al-Azhar  itu  mengukir segurat senyum indah.

“Kalau Mas betul-betul percaya kepada Allah, ketahuilah bahwa Rin  didiagnosis dokter terkena leukemia. Secara hitung-hitungan dokter, umur Rin  tinggal empat bulan.”

“Apa?” Bayu terhenyak. Ia seakan tak percaya apa yang baru saja didengarnya dari mulut  istrinya.

Namun sang istri lagi-lagi tersenyum. Ia tidak sedikit pun memperlihatkan rona kekhawatiran.

“Mas jangan cemas. Masih ingat ‘kan ceramah Ustadz Yusuf  di televisi bulan lalu: kematian tidak ada hubungannya dengan  penyakit. Kematian datang ketika Allah SWT memanggil hamba tersebut untuk kembali kepada-Nya. Berapa banyak orang yang sakit parah, bahkan sangat parah, dan menurut  dokter umurnya hanya tinggal hitungan minggu atau bulan, namun ternyata bisa sembuh? Sebaliknya, tidak sedikit orang yang segar bugar tiba-tiba meninggal, misalnya karena tabrakan atau pesawat yang ditumpanginya tercebur ke laut?”

“Tapi, Cantik….” Bayu selalu senang memanggil istrinya dengan panggilan kesayangan “Cantik”.

Sang istri meletakkan jari telunjuk di bibir suaminya. “Mas, dalam keadaan bagaimanapun, tiada yang lebih baik bagi kita selain bersyukur kepada-Nya. Bersyukur atas segala karunia dan ketentuan-Nya.” Suaranya mengalun begitu lembut, menembus langit malam.

Sejak itu hari-hari Bayu selalu diliputi kesedihan dan kekhawatiran. Batinnya tidak tenang. Namun sang istri–yang sama-sama aktivis Rohis saat kuliah di IPB Bogor, selalu menghiburnya.

“Mas takut ya, kalau Rin meninggal?”

“Tentu saja. Lelaki mana yang tidak khawatir ditinggalkan istri secantik bidadari seperti kamu?
“Ah, Mas ini suka melebih-lebihkan.”

“Saya serius. Dulu saat remaja saya sering bertanya-tanya tentang hadis Nabi yang mengatakan bahwa wanita yang salehah itu lebih berharga dari dunia dan seisinya. Apakah betul demikian? Namun setelah menikah denganmu, saya mengakui bahwa apa yang Rasul katakan memang benar adanya.”

Rindu menggenggam tangan suaminya, lalu menciumnya.

“Tak usah khawatir, sayang. Kalaupun Allah memanggil Rin lebih dulu, Allah pasti telah menyiapkan pengganti yang lebih baik. Lebih segala-galanya dibanding Rin yang selama ini mungkin masih sering membuat Mas kesal dan kecewa.”

“Kamu ini ngomong apa sih?”

“Kita ini  makhluk Allah, tidak bisa lari dari takdir Allah. Dan Rin tidak akan lari dari takdir Allah. Kapanpun Allah memanggil Rin untuk pulang, Rin sudah siap. Mas pun tidak mungkin lari dari takdir Allah. Kalau Allah telah menyiapkan wanita lain yang akan menemani hari-hari Mas, tidak usah ditolak.”

Lagi-lagi Rindu tersenyum. Membuat Bayu jadi keki sendiri.

“Hati kamu terbuat dari apa sih? Kok tidak ada takutnya sama sekali?”

Kali ini Rindu tertawa kecil. Matanya berbinar-binar. Ia memeluk suaminya. “Yang membuat Rin tenang dan ikhlas menyambut setiap takdir Allah, karena Rin  percaya kepada-Nya, dan di sisi Rin ada seorang suami yang luar biasa: Mas.”

Enam bulan kemudian, Rindu meninggal dunia dengan senyum menghias bibirnya.

***

Kepergian Rindu membawa separuh hidupnya. Hanya dua anaknya itu–yang padanya Bayu menemukan guratan dan jejak-jejak istrinya tercinta–membuatnya mampu bertahan menjalani kehidupan.

Hingga suatu hari, dua tahun kemudian, ada seorang karyawati baru di kantornya. Ia terhenyak melihat gadis itu seakan mewarisi segala kelembutan dan keanggunan almarhumah istrinya. Bahkan ia memiliki nama yang sama: Rindu.

Kehadiran gadis itu mengguncang hatinya. Ya, Tuhan, apa maksud-Mu dengan semua ini? Rencana apa yang telah Engkau siapkan untukku? Aku mencintai almarhumah istriku dan selalu mencintainya. Apakah Engkau telah menyiapkan sebuah takdir lain bagiku?

Namun begitu ingat usianya yang sudah kepala empat, dia pun segera tersadar. Ia bangkit  dari perasaan sentimentilnya kepada logika. Tidak pantas aku yang sudah berusia 40-an, seorang duda beranak dua, mengharapkan cinta dari seorang gadis muda berusia 20-an, yang cantik dan salehah dan dengan mudah  bisa mendapatkan suami yang sebaya dengannya dan saleh pula. Apalagi aku pun belum bisa memisahkan, apakah aku mencintainya karena kesalehannya atau karena kemiripannya dengan almarhumah istriku.

Ia selalu berusaha bersikap sewajar mungkin kepada Rindu. Namun ternyata ia tak bisa membohongi perasaannya. Ia benar-benar jatuh cinta kepada Rindu. Betapa menyiksa manakala kita setiap hari bertemu dengan seseorang yang kita cintai, namun kita harus mengatakan kepada hati kita bahwa kita tidak boleh mencintainya.

Ketika ia tak tahan lagi memendam perasaan cinta itu, maka ia memutuskan menerima tawaran untuk menjadi direktur sebuah perusahaan tambang di Kalimantan. Ia ingin menjauh dari Rindu. Menjauh sejauh-jauhnya. Agar matanya tak pernah lagi melihat kelebatan sosok yang anggun itu.

Siapa sangka, ternyata gadis berdarah Bandung-Cirebon itu pun menyimpan perasaan yang sama terhadap Bayu? Hal itu diketahuinya setelah setahun dia bekerja di Banjarmasin. Maka dia memutuskan datang ke Jakarta untuk  menemui Rindu. Namun pesawat yang ditumpanginya gagal mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Hanya keajaiban Tuhan yang membuatnya selamat dari kecelakaan maut tersebut. Menjelang Shubuh, Rindu dengan sorot mata rindu dan penuh kekhawatiran menjenguknya di rumah sakit tempat ia dan sejumlah korban lainnya dirawat.

***

Hanya tiga hari setelah pulang dari RS, Bayu memutuskan untuk melamar Rindu ke rumah orang tuanya di Bandung. Dia diantar oleh anak-anaknya yang tengah libur kuliah seusai ujian semester. Andre semester tujuh fakultas kehutanan UGM Yogyakarta. Indra semester tiga fakultas ilmu budaya UI Depok.

Hyundai H-1 warna putih susu yang mereka tumpangi melaju tenang di jalur tol Cikampek. Sepanjang kiri-kanan jalan, pemandangan didominasi oleh kawasan industri, pabrik dan sawah.

Mereka  mampir di rest area km 57. Shalat Dhuha di Masjid At-Taubah.  Kemudian menikmati kopi di salah satu kedai yang ada.

Mereka melanjutkan perjalanan, dan mengambil jalur tol Cipularang menuju Bandung. Sepanjang rute Dawuan, Sadang hingga Purwakarta di KM-86 hingga KM-97, pemandangan di kiri kanan jalan didominasi oleh aneka pohonan, terutama akasia, sengon dan lamtorogung. Di sekitar Sadang, lebih jauh ke belakang, masih tampak pohon-pohon jati. Mulai KM-98 sampai KM-110 berganti dengan pemandangan kebun teh yang sangat indah.

Sepanjang perjalanan, hati Bayu campur aduk antara bahagia dan terharu, menjemput takdir cinta yang telah Allah persiapkan untuknya.

“Kok melamun, Yah?” tanya Andre yang menyetir mobil.

“Ayah teringat mama. Sejujurnya, Ayah tidak ingin menduakan cintanya.”

“Jangan khawatir, Yah. Ayah ‘kan tidak menduakan cinta mama. Aku yakin, mama di sana pun pasti ikhlas kok,” Indra menimpali.

Menjelang keluar tol Pasteur, di kiri jalan banyak billboard factory outlet dan hotel, siap menyambut para turis yang datang ke Bandung.

Mereka  keluar di KM-123 pintu tol Pasteur. Kemudian mobil melintasi Jalan Pasteur (sering juga disebut Jalan Junjunan), naik ke atas melewati Jembatan Paspati, turun di depan lapangan Gazebu. Sekitar setengah kilometer kemudian, mobil masuk ke kompleks perumahan Sukaluyu, salah satu kompleks perumahan kelas menengah atas di Kota Bandung.

Rindu dan Tyas mengintip dari balik jendela.

Tyas berbisik, “Itu orangnya? Ganteng juga. Teteh pintar memilih.”

“Husss, kamu,” Rindu mencubit lengan adiknya.

“Guratan ketampanan masih tampak di wajahnya. Dan perutnya pun rata, tidak buncit seperti kebanyakan lelaki kalau sudah berusia 40 tahun ke atas.”

“Dia rajin olahraga jogging dan bulu tangkis. Dia juga rajin puasa Senin-Kamis. Bahkan sejak SMA dia sudah puasa Senin-Kamis.”

“Kok Teh Rindu banyak tahu tentang Pak Bayu? Jangan-jangan Teteh naksir dia udah lama ya?” Tyas terus menggoda kakaknya.

“Kamu ngomong apaan sih? Awas ya!” Rindu berniat mencubit adiknya, namun sang adik keburu lari.
Suasana lamaran awalnya rada kikuk, terutama saat orang tua Rindu memanggil Bayu dengan panggilan “pak” atau “mas”. Tapi akhirnya suasana cair.

Apalagi ketika Andre berkata, “Pak Haji Surya dan Bu Hajjah Haryati, kami mohon semoga Bapak dan Ibu mengizinkan ayah kami melamar dan menikahi Teh Rindu. Seperti ayah, kami juga yakin Teh Rindu akan menjadi istri yang salehah bagi ayah, dan ibu yang baik bagi kami.”

Rindu meneteskan air mata mendengar ucapan Andre. Kedua orang tuanya pun sangat terharu.

Bu Haryati bertanya kepada suaminya, “Bagaimana, Pak?”

Haji Surya meneguk teh sejenak, kemudian berbicara, “Apa lagi yang bisa dilakukan orang tua ketika seorang lelaki yang baik datang melamar anaknya? Bukankah Rasulullah menegaskan, jika datang seorang lelaki yang saleh hendak melamar anak perempuanmu untuk dijadikan  istrinya, hendaklah engkau menerimanya. Sebab, kalau tidak, akan terjadi fitnah. Namun, sebagai orang tua, kami  menyerahkan keputusan hal ini kepada anak kami, Rindu, sebab dialah yang akan menjalani bahtera rumah tangga tersebut.”

Rindu tepekur menatap karpet warna ungu.

“Bagaimana, Rin?” Tanya Haji Surya.

“Iya, bagaimana, Rin? Papa dan Mama sih terserah kamu. Kamu sudah dewasa dan tahu mana yang terbaik untukmu.”

Bayu dan anak-anaknya menunggu dengan harap-harap cemas.

Rindu mendongakkan wajahnya, tepat ketika  Bayu melirik ke arahnya. Ada kilatan indah melesat dari matanya dan tepat menghunjam di jantung Bayu. Betapa indah. Bayu berharap dia dapat selamanya menikmati sorot mata bening itu.

“Mama dan Papa. Rin sudah istikharah dan minta kepada Allah SWT dalam Tahajud dan doa-doa Rin seusai shalat fardhu. Rin yakin Mas Bayu insya Allah merupakan jodoh yang telah Allah SWT siapkan untuk Rin.”

“Kalau begitu, berarti kamu menerima Pak eh Mas Bayu?” Tanya papanya meminta kepastian.

Rindu mengangguk. “Ya, Pa, Insya Allah, ini keputusan yang dibimbing Allah SWT.”

“Alhamdulillah,” kata Haji Surya dan istrinya bersamaan.

Bayu dan anak-anaknya pun menggumamkan kalimat yang sama. Lega hati mereka, terutama  Bayu.

Bayu menatap  Rindu  lekat-lekat. Belum pernah dia berada sedekat ini dengan gadis bermata indah itu. Baru dia sadari ternyata gadis itu jauh lebih cantik. Sama sekali tidak kelihatan kalau usianya sudah 28 tahun. Subhanallah, dia kelihatan empat tahun lebih muda dari usianya. Wajahnya begitu segar, dan kerudung putih yang dikenakannya membuat aura kesucian memancar begitu indah. Selama ini Bayu tahu ada lesung di pipi kiri Rindu. Namun baru sekarang dia menyadari ternyata lesung pipi itu begitu jelas dan membuatnya makin memesona.

“Terima kasih ya Allah. Aku kehabisan kata-kata untuk mensyukuri nikmat-Mu ini,” bisik Bayu perlahan.
Rindu merunduk. Hatinya begitu sarat perasaan bahagia. “Terima kasih, Mas,” ujarnya perlahan. Wajahnya merona merah jambu.

Acara pernikahan diputuskan bulan depan. Hari Jumat. “Kita mencari keberkahan menikah di hari Jumat. Rasulullah menganjurkan demikian,” kata Haji Surya.

***

Pulang dari Bandung, Bayu dan anak-anaknya mampir di rest area Terusan Pasteur. Menikmati hangatnya somay Situ Indah. Lalu membeli oleh-oleh khas Bandung di Toko Jaya Rasa: keripik tempe, keripik oncom, sale pisang basah, sale pisang kering, dan rengginang.

Mereka melanjutkan perjalanan pulang ke Depok. Kali ini Indra yang menyetir. Andre duduk di samping sopir, sedangkan Bayu duduk di barisan  tengah.

Hujan turun sangat deras. Di kilometer 96, tiba-tiba ada mobil yang mengerem mendadak. Indra tak bisa menguasai mobil tersebut, sehingga terguling ke samping. (*)


Jakarta, Juni 2012
Irwan Kelana, seorang jurnalis yang juga cerpenis dan novelis. Sejumlah novel dan buku antologi cerpennya sudah diterbitkan, antara lain Kelopak Mawar Terakhir, Kemboja Terkulai di Pangkuan, dan Meniti Jarak Hati. Saat ini ia bekerja di harian Republika.

Kura-Kura Sungai Kamo

Cerpen Akira Adhisurya

Terbit di Suara Merdeka, 18 November 2012




Bahan Referensi Cerpen - PERNAHKAH terselip keinginan pada diri kita untuk, betapa pun kecilnya, kembali ke masa lampau, menghidupinya lagi seperti masa kini? Tanpa kita sadari itulah yang sebenarnya terjadi ketika kita melangkah ke dunia maya. Itulah salah satu esensi Facebook yang sekarang nyaris dimiliki siapa saja asal dia tidak buta internet. Bukankah jejaring sosial ini mempertemukan kembali para pelaku masa lampau? Selain teman masa kini dan teman yang belum pernah ditemui, seorang pemilik profil Facebook pasti juga kembali bersua dengan teman masa lalunya. Tidak jarang pula perjumpaan di alam maya Facebook berlanjut dengan pertemuan yang sebenarnya: para pelaku masa lampau akhirnya kembali bergaul di masa kini.

Layak kutegaskan, pertemuan yang berikut kututurkan bukanlah gagasanku. Itu ide Wati tak lama setelah kuberitahu tentang kedatanganku. Dalam salah satu pesannya, dia sudah kirim ratusan pesan sejak satu setengah tahun bergaul lewat Facebook denganku, adik kelas bekas asistenku ini mendesak-desak untuk bertemu secepatnya, karena 10 hari kemudian dia akan pulang kampung dan itu berlangsung selama sebulan lebih.

“Aku datang sama-sama Yumi ya, masih kenal kan?” Wati akhirnya menghubungiku lewat telepon antarbenua.

“Masih dong, bagaimana bisa melupakan Yumi?” Aku pura-pura tetap tenang, walau darah tersirap dan jantung riuh berdegup mendengar nama itu disebut.

Baru belakangan kutahu, walau tak seangkatan, Wati ternyata kenal, bahkan bersohib kental dengan Yumi. Setelah menikah dengan Sawamura Yoshio, tapi tetap memilih bernama Dyah Sekarwati, ia tinggal mengayuh sepeda kalau ingin bertemu Yumi. Mereka tidak hanya sekota tapi juga selingkungan di wilayah Kansai, Jepang Barat.

Lebih dari itu, ini mungkin yang mendekatkan mereka, keduanya (pernah) punya hubungan dengan pria asing, Wati dengan Sawamura dan Yumi dengan aku, walaupun akhirnya jalan hidup masing-masing berbeda. Betapa tidak? Mereka naik ke pelaminan. Sedangkan aku? Yumi yang begitu cantik dan cerdas itu kutinggal saja, karena ketika pindah ke Amsterdam sebagai akademikus pemula, kupilih orang lain. Baiklah akan kututurkan kisahnya. Dalam perkara Yumi, pena ini selalu ingin menggoreskan banyak cerita.

Setelah pembicaraan telepon dengan Wati, aku tak pernah lagi secara khusus berupaya bertanya soal rencananya ke Kyoto untuk menjengukku. Dia berharap bisa cepat-cepat ketemu Yumi yang baru saja kembali ke Jepang setelah satu setengah tahun bekerja di luar negeri. Kontak dengan Wati, seperti yang sudah-sudah, hanya melalui Facebook.

Aku sendiri tenggelam dalam pelbagai kesibukan kerja dan mengurus keberangkatanku. Mulai dari soal visa, tiket pesawat, sampai masalah izin tinggal di Belanda yang ternyata akan harus diperbaharui supaya aku bisa kembali ke Amsterdam. Belum lagi urusan flat di Kyoto yang butuh penanganan khusus, karena flat di perumahan internasional Oubaku sudah penuh.

Dalam keadaan seperti ini, aku hanya menjawab beberapa pertanyaan Wati. Tak pernah kuajukan satu pun pertanyaan padanya. Padahal betapa banyak yang ingin kutahu soal Yumi: siapa pasangan hidupnya, berapa anaknya, bekerjakah dia, seperti yang selalu dia inginkan dan masih banyak lagi. Wati pasti bisa memuaskan dahaga yang satu ini.

Menyusul pembicaraan telepon itu, kuduga Wati cuma berolok-olok ketika bertanya adakah diriku masih kenal Yumi. Tapi beberapa hari kemudian pikiranku berubah. Sama sekali tak terdengar nada sindiran pada cara Wati bertanya, tak pula kudengar isyarat nakal bahwa ia tahu aku pernah begitu dekat dengan Yumi.

***

KALAU kupikir-pikir, Wati sendiri juga baru pindah ke Kobe tahun 1992, beberapa tahun setelah hubunganku dengan Yumi kandas. Layaklah untuk disimpulkan: Wati memang tak tahu aku dan Yumi nyaris menikah. Yang lebih penting lagi, ini berarti Yumi, walaupun begitu dekat dengannya, tidak pernah memberi tahu Wati betapa dulu dia sempat begitu dekat denganku.

Maukah Yumi menerima ajakan Wati menemuiku di Kyoto? Soal ini aku sering tercenung. Kalau memang tak ingin memberitahu hubungan yang pernah ada antara dia dengan aku, Yumi pasti akan menerima ajakan itu, kecuali kalau dia ada urusan lain. Itu pertimbangan optimistisku. Bukan tanpa alasan, satu setengah tahun bersanding dengannya, aku yakin Yumi selalu optimis dan pragmatis.

Yang jelas pada suatu malam, ketika sedang menyusuri profil dan foto-foto baru Wati pada Facebook, mataku tertancap pada nama Kitada Yumi, salah satu teman facebookWati. Kembali jantungku ribut berdegupan. Kubuka profil itu, tapi tentu saja tak bisa, karena aku tak berteman dengannya.

Yumi jelas tidak menggunakan Facebook untuk unjuk diri, apalagi nampang. Ia tak akan mengizinkan orang lain—yang bukan sahabat—untuk menjenguk profilnya. Lain sekali dengan orang Medan kenalanku yang sekarang tinggal di Groningen itu. Dia bentangkan profilnya untuk umum, teman atau bukan, termasuk semua fotonya. Pada profil Yumi hanya tampak satu fotonya. Itu pun tak bisa dibesarkan. Walau begitu bisa terlihat Yumi sudah berubah dari yang pernah kukenal, nyaris 25 tahun silam. Sekarang raut muka dan sorot matanya lebih memancarkan wibawa dan rasa percaya diri.

Haruskah kukirim permintaan menjadi teman? Atau mungkin kirim pesan dulu? Dalam bahasa apa? Bahasa Inggris atau bahasa Indonesia? Pernah kudengar, ketika hubungan kami berakhir, Yumi pergi ke Indonesia, menjadi guru bahasa Jepang pada sebuah SMA. Entahlah, tak bisa langsung kuputuskan. Malam sudah larut dan kantukku sudah terlalu berat untuk bisa mengambil keputusan pelik ini. Dengan meraba-raba, karena mata sulit dibuka lagi, kumatikan komputer untuk melangkah terhuyung-huyung ke tempat tidur, tanpa kurasa perlu gosok gigi dulu. Aku langsung terlelap, tak ditegur lagi karena dia yang terbaring di sisiku juga sudah di alam mimpi.

***

YUMI memanggil-manggil, sementara aku telungkup dalam selokan dengan tangan terikat ke belakang dan mulut tersumbat. Bagaimana bisa menjawab panggilan itu? Aku hanya bisa bergerak-gerak dan berupaya mengeluarkan suara dari mulut yang tersumbat. Tentu saja Yumi tak bisa mendengarku.

Mimpi seperti itu membulatkan tekatku: begitu bangun segera kukirim permintaan pertemanan pada Yumi. Diterima syukur, tidak juga tak apa. Begitu pikirku, seraya bergegas mengayuh sepeda ke tempat kerja. Mimpi membuatku kesiangan. Hari itu aku sibuk seharian di laboratorium, sehingga tak ada waktu lagi bagi internet apalagi Facebook. Ketika malamnya sampai di rumah, itulah yang pertama-tama kulakukan, melihat Facebook. Bisa jadi senyuman lebar menyungging di bibirku mendapati permintaanku diterima oleh Yumi.

Belum lagi lepas sepatu atau ganti pakaian, langsung kubenamkan perhatianku membuka-buka profil Yumi. Sendirian setiap Rabu malam, aku bisa terus asyik tanpa ada desakan berbuat lain. Dari foto-fotonya tampak ia banyak bergaul dengan orang Indonesia, yang perempuan sebagian berjilbab, yang pria biasa-biasa saja, tidak berbaju koko atau berjanggut. Siapakah mereka? Jumlah temannya tidak banyak, tidak sampai seratus orang. Satu-satunya teman berbarengan kami adalah Wati. Pada bagian info juga tidak banyak keterangan, kecuali alamat emailnya. Dugaanku terbukti: Yumi bukan orang yang menggunakan Facebook untuk nampang dan unjuk diri. Kesanku, jejaring sosial ini hanya digunakannya untuk berhubungan dengan kenalannya, terutama orang Indonesia.

Apalah mesti kuperbuat? Haruskah kugoreskan pesan pada dindingnya, haruskah kukirim pesan pada kotak suratnya? Bagaimana sebaiknya menyapa Yumi? Untung kulihat dua hari sebelumnya dia ulang tahun, beberapa pesan yang ada di dindingnya berisi ucapan selamat. Betapa bodoh diriku tak ingat lagi hari ulang tahunnya! Segera kutulis ucapan serupa, ditambah terima kasih karena sudah mau berteman, dalam bahasa Inggris. Kami memang bertegur sapa dalam bahasa itu. Aku tak bisa bahasa Jepang, dia, waktu itu, tak bisa bahasa Indonesia, kami tergantung pada bahasa ketiga. Inggrislah jadinya.

***

DUA hari kunanti, tak ada jawaban. Aku mulai resah: jangan-jangan ini balas dendamnya karena dulu, ketika belum ada surat elektronik atau fax, dia sering lama menanti suratku. Memang sering kutunda-tunda membalas suratnya. Kalau kulihat-lihat profilnya, dan ini sudah berkali-kali kulakukan, sebenarnya Yumi memang tidak membalas pelbagai ucapan selamat yang terpampang pada dinding facebook-nya. Jadi sulit dikatakan itu merupakan balas dendamnya terhadapku.

Kebetulan hari itu kuterima alamat flat yang akan kuhuni kalau, dalam beberapa hari, aku tiba di Kyoto. Flat itu terletak di Jyodoji, bilangan Sakyo, dekat kuil perak Ginkaku-ji, Kyoto Barat. Ini memang masih di sekitar kampus pusat, artinya jauh dari Kampus Uji, tempat kerjaku. Terbiasa dengan keramaian  Leidseplein di jantung Amsterdam, aku ogah menyepi ke pinggiran Kyoto. Ke kampus Uji tidak terlalu sulit, sejam sekali ada bus bolak-balik ke sana dari kampus pusat. Bagaimana kalau kukirim pesan berisi alamat itu kepada mereka berdua, Yumi dan Wati? Bahkan alamat asli dalam aksara Kanji? Tanpa pikir panjang lagi itu kulakukan.

Ketika bangun esok paginya, sebelum ke kamar kecil, komputer kunyalakan dulu. Pancingan mengena! Yumi bereaksi, dalam bahasa Inggris ia berterima kasih atas pemberitahuan itu, dan kepada Wati, dalam bahasa Indonesia, dia menyatakan hanya bisa tanggal 3 Juni. Sekembali dari kamar kecil, kudapati pesan Wati, setuju dengan tanggal itu. Tentu saja itu soal rencana pertemuan denganku, jadi Yumi akan datang! Kali ini jantungku serasa melonjak, mungkin karena bosan harus terus berdegup. Kurasa aku harus bertindak sopan, jadi kutanyakan dulu ada apa tanggal 3 Juni itu.

Sejak saat itu mulai terjalin kontak dengan Yumi, tidak secara pribadi, tapi selalu bersama Wati. Aku tak berani menyapanya sendiri, misalnya dengan mengirim pesan langsung padanya. Apa yang mesti kugoreskan? Sesuatu tentang masa lampau? Darinya juga tak kuterima pesan khusus. Semua pesan yang dikirimnya selalu ditujukan pada Wati (Wati-sama, sapaan pembuka surat dalam bahasa Jepang) dan aku (Dewa-sama).

Ketika kuberi tahu alamat Kyoto itu, Wati langsung menjawab dengan memberitahu nomor telepon genggamnya. Kemudian kujawab pula dengan nomor ponsel Belandaku serta alamat kantorku, Kagaku Kenkyu-Jo, artinya Institut Penelitian Kimia, Universitas Kyoto. Aku berjanji akan memberitahu nomor telepon kantor, begitu kuketahuinya.

Jujur saja, kepada Yumi dan Wati aku juga ingin pamer: bukan sembarangan kalau seseorang bisa diterima sebagai peneliti tamu pada salah satu lembaga penelitian tertua (didirikan tahun 1926) dan bergengsi Jepang ini. Apalagi di masa lampau salah seorang penelitinya pernah meraih Hadiah Nobel Kimia. Memang belum ada orang sebangsa yang memperoleh kehormatan ini, tapi terus terang itu juga bukan ambisiku. Mana mungkin aku yang meniti karier di luar negeri ini bisa meraih kehormatan setinggi itu? Aku cuma berharap pengalaman Jepang ini akan sedikit mengobati rasa bersalah karena sepanjang karier aku terus-terusan membelakangi Tanah air. Dengan kesempatan melanjutkan penelitian spektometri massa, aku berharap bisa memperbesar peluang pulang kampung. Di Tanah Air, orang mulai melihat makna dan manfaat spektometri massa, paling sedikit sebagai tolok ukur dalam indentifikasi isotop atau molekul.

Yumi ternyata diam saja. Semula aku berharap dia akan juga memberitahu nomor ponselnya, sehingga aku bisa kirim SMS. Harapan kandas, karena Yumi tak melakukannya. Seolah mengelus dada, aku hibur diri sendiri dengan berkata, kita akan bertemu tanggal 3 Juni, dan sekarang sudah tanggal 31 Mei. Waktu itu aku tengah melangkah masuk pesawat di Bandara Schiphol, Amsterdam, yang membawaku ke Bandara Internasional Kansai di Osaka.

***

TANGGAL 1 Juni, sore hari, aku datang ke kantor baruku. Beberapa urusan administrasi perlu kubereskan, mulai dari kartu identitas, kode masuk komputer sampai kontrak dengan Kyodai, Universitas Kyoto, singkatan bahasa Jepang. Sekitar jam empat aku punya waktu untuk duduk di kursiku, menyalakan komputer. Tentu saja tujuan utamaku adalah Facebook, kuberi tahu nomor telepon kantorku.

Jawaban mereka berdua tak perlu lama kunanti, Wati maupun Yumi mengucapkan selamat datang beserta harapan-harapan lain. Yang membuatku terkejut adalah pesan khusus Yumi untuk Wati. Isinya: kalau ingin tahu nomor telepon genggamnya, harap kirim surat elektronik, lalu ditulisnya alamat elektroniknya seperti yang tertera pada profil Facebook.

Kembali jantungku riuh berdegup. Kenapa ini dilakukannya? Bukankah ini provokasi frontal terhadapku? Aku mesti berbuat apa? Haruskah kukirim surat elektronik untuk juga minta nomor ponselnya? Di tengah rentetan pertanyaan itu,  bagiku tindakan Yumi ini cuma bermakna satu: ia tak mau aku tahu nomor telepon genggamnya. Jadi buat apa memaksa-maksa? Begitu dadaku kuelus, begitu diri kuhibur. Dua hari lagi dia akan datang, itu yang penting. Kalau sekarang sudah memaksa-maksa bisa jadi dia malah tidak akan datang. Alhasil provokasi telanjang ini kudiamkan saja.

Malam harinya aku sulit tidur. Entah kenapa. Sulit dipercaya ini karena jet lag, karena biasanya jet lag baru menghantamku kalau balik Amsterdam. Pasti antisipasi bertemu Yumi telah membuat kantuk tak jua menjelang. Aku terhentak mendengar bel, rupanya ada tamu. Maeda-san, si pemilik flat, pagi itu memang berjanji datang untuk memberesi administrasi sewa.

Hari kedua berlalu seperti aku tidak menjejakkan kaki di bumi. Tidur tetap tak nyenyak, sering terbangun. Mungkin ini karena permukiman dan kasur baru. Tak henti-hentinya kupandangi flat tiga ruangan itu, terutama kamar tidurnya. Semuanya mungil, aku ragu tempat tidur ini akan cukup untuk dua orang kalau pada bulan terakhirku nanti dia tiba dari Amsterdam. Akhirnya, ketika fajar merekah, kuputuskan bangun saja. Pagi itu, aku ingin cepat hadir di kampus, tak sabar menanti Yumi dan Wati.

***

DI luar dugaanku ternyata Yumi dan Wati tidak datang bersamaan. Semalam Wati mendadak harus ke Nara, besuk mertuanya yang dirawat di rumah sakit. Jadi dia datang dari Nara sedangkan Yumi dari Kobe. “Yumi duluan, aku menyusul,” Wati mengakhiri pesannya pada kotak surat profil facebook-ku.

Seperti disepakati, jam 12 kurang beberapa menit telepon di mejaku berdering, kuangkat, kuucapkan moshi-moshi (cara orang Jepang menerima telepon), maka terdengar kembali suara itu, suara yang terakhir kali masuk telingaku hampir seperempat abad silam. Nyaring, walau ada sedikit getaran, nyaris seperti isakan. Sebenarnya dia hanya mengatakan sudah ada di resepsionis. Dalam bahasa Inggris, kukatakan aku segera menjemputnya.

Yang tampak di hadapanku adalah seorang perempuan matang separuh baya lengkap dengan wibawanya. Itu tidak tertutup oleh pakaian musim panas santai yang dia kenakan. Jelas beda dengan Yumi yang dulu sempat kusandingi. Waktu itu dia masih malu-malu dan ragu-ragu, walaupun sudah tampak cerdas karena sering bertanya. Aku ingat benar ketika bibir mungilnya untuk kali pertama kali (untung hanya lututku yang gemetaran, bukan bibirku), keesokan harinya, mungkin sebagai tanda perhatian khusus, Yumi ingin menambatkan tali sepatuku. Kaget atas tindakan seperti pembantu ini, segera dia kularang.

“Bukan itu tanda kasih yang kuharapkan darimu”, pasti aku terdengar ketus mengucapkannya. Sejak itu kami selalu berupaya duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Walau begitu, kadang-kadang, mungkin karena pembawaan atau adat istiadatnya, ia masih ingin melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip bersama itu. Sekarang, tak perlu diragukan lagi, prinsip bersama itu telah mematangkannya. Yumi yang semampai, menawan, penuh pesona, dengan lekukan bibir yang membangkitkan gairah kini kembali berdiri di hadapanku.

Tergulat gugup, aku nyaris gagap, salah tingkah tak keruan, tak tahu mesti berbuat apa. Membungkuk seperti orang Jepang, atau menjabat tangannya, tangan yang dulu sering kukecupi itu. Akhirnya dua-duanya kulakukan. Dia juga begitu, tanganku dijabatnya seraya membungkukkan punggungnya. Matanya terlihat berkaca-kaca, dan sejenak ia seperti tak bisa berkata-kata. Tenggorokanku sendiri serasa tersumbat oleh sebongkah gumpalan dan mati-matian kutahan supaya mataku tidak berontak. Kalau di Belanda pasti sudah terjadi persentuhan tubuh, paling sedikit cium pipi, kalau tidak peluk. Tapi di sini kurasa lebih pantas untuk menjaga jarak, dia segera kuajak ke kamar kerjaku.

Beberapa langkah menuju lift berlalu tanpa terucap sepatah kata pun. Di dalam lift juga begitu, kata-kata raib entah ke mana. Untunglah tak berlangsung lama, ketika pintu lift terbuka, segera kuisyaratkan ke mana mesti melangkah, dan teringat pada asal usul semua ini, segera kulontarkan Facebook. Ia mengulanginya dan berterima kasih karena aku masih ingat padanya. Aku tidak setuju, (apalagi kalau ingat kasus nomor ponselnya) akulah yang harus berterima kasih karena dia sudi menerimaku sebagai sahabat.

Di depan pintu kamar kerjaku dia menunjuk papan namaku, di situ tertera Sadewa Saputra, baik dalam aksara Katakana maupun huruf Latin, kemudian peneliti tamu, dalam aksara Kanji. Yumi tersenyum lebar, senyuman yang selalu meluluhkan hatiku. Sejak saat itu cairlah ketegangan, apalagi ketika kepadanya kuulurkan hadiah paket Nijntje, yang di Jepang dikenal sebagai Miffy. Orang Jepang tergila-gila pada karya Dick Bruna, penulis cerita anak-anak Belanda. Darinya kuterima sepasang pena dan pensil, hadiah untuk seorang ilmuwan, katanya.

Pembicaraan berkisar pada kedatanganku ke Kyoto, ke Kagaku Kenkyu-Jo, institut bergengsi itu, sampai ke masa lampau, ketika berlangsung pertukaran mahasiswa antara universitasku dengan universitasnya. Itulah awal perjumpaan kami, saat perhatian khususku tercurah hanya pada Yumi. Wati ini tak datang-datang juga, pikirku, mungkin untuk mengalihkan pikiran, karena begitu pembicaraan menyentuh masa lampau suasana kembali kaku.

Telepon Yumi berdering, “Wati”, katanya. Segera berlangsung pembicaraan dalam bahasa Jepang. Raut Yumi menarik wajah tegang, memancarkan kekagetan. Telepon yang tak kuketahui nomornya itu lalu diulurkannya padaku. Wati mengabarkan mertuanya gawat, koma, sehingga dengan menyesal ia tak bisa ke Kyoto. Kuucapkan kata-kata pelipur lara, harapan mertuanya segera terbangun dari koma, sehingga kami bisa ketemu secepatnya, sebelum dia ke Indonesia.

Maka kami tetap berdua, tidak berdampingan, tapi berhadapan, berseberangan tepatnya. Jadi bagaimana? Tetap makan siang seperti yang direncanakan? Yumi setuju, sudah lama dia ingin ke Norihisa, restoran langganannya kalau datang ke Kyoto. Letaknya di Kawaramachi Dori (Jalan Kawaramachi), di Kyoto pusat. Diusulkannya naik metro ke sana. Baru tiga hari di Kyoto, apalah pilihanku kecuali menurutinya?

Yumi menjelaskan dari Stasiun Oubata dengan kereta Keihan, kami akan turun di Stasiun Marutamachi. Jarak itu ternyata cukup jauh, tapi pembicaraan tidak kunjung mendalam. Paling banter tentang orang tua yang sakit, tidak beranjak dari keadaan mertua Wati; dan dia tengah mencari pekerjaan setelah sekian lama di luar negeri, bekerja untuk JICA, organisasi bantuan pembangunan Jepang. Jelas dibutuhkan keberanian untuk menerobos rangkaian topik yang cuma setebal kulit ari ini, tapi itu tak ada padaku dan tampaknya juga tak ada pada Yumi.

Turun di Stasiun Marutamachi, kami menyeberangi Sungai Kamo, menyusuri Kojinguchi Dori, jalan yang juga berfungsi sebagai jembatan. Mendadak Yumi menunjuk kura-kura batu yang terbentang di sepanjang Sungai Kamo. Katanya kura-kura itu untuk orang yang ingin menyeberang sungai dengan melompat-lompat, jumlahnya 11. Semasa kanak-kanak, kalau diajak orang tua ke Kyoto menjenguk kakek-nenek, ia sering meloncati kura-kura itu.

Pada titik ini kurasa seperti ada keberanian yang menyeruak dari dalam, tanpa pikir panjang terlontar pertanyaan siapa pendampingnya. Yumi hanya menggeleng, matanya kembali terlihat berkaca-kaca. Roman mukanya juga dipenuhi tanda tanya. Adakah dia ingin tahu siapa pendampingku? Tiba-tiba aku sadar, betapa diriku sendiri sebenarnya pengecut belaka, tidak berterus terang padanya soal siapa pilihanku, juga orang yang menggantikannya di sisiku. Kepalanya terlihat terus bergeleng.

“Bukan itu, Dewa-san,” katanya, tetap dalam bahasa Inggris. “Aku mengenalmu sebagai seorang kekasih sejati, kekasih idaman setiap perempuan. Masih ingatkah saat-saat intim kita? Betapa kau Dewa-san, selalu tekun menuntunku mendaki puncak kenikmatan. Kau bukan egois, tak pernah hanya kaukejar kenikmatanmu sendiri. Sadarkah kau Dewa-san, betapa aku tak bisa mengerti kenapa akhirnya kau pilih sesama pria.’’

Bukan hanya jantungku, tapi seluruh isi rongga tubuh dan kepalaku serasa berontak mendengar ucapan Yumi. Tak kuasa lagi kutahan pergolakan dalam mataku. Bongkahan dalam tenggorokanku juga makin membesar saja. Tak bisa lagi aku berujar, tak hendak pula aku berkata-kata. Pandangan kulempar pada 11 ekor kura-kura yang berderet-deret membelah Sungai Kamo. Entah mana yang harus kusesali: meninggalkannya dulu atau bertemunya lagi sekarang. (*)


(For Ben, my first reader and critic who makes it all possible)
Kyoto, 10 Juni 2011

Gumading Peksi Kundur

Cerpen Sanie B. Kuncoro

Terbit di Jawa Pos, 18 November 2012




Bahan Referensi Cerpen - LAKI-LAKI itu datang padamu di suatu sore yang bercahaya. Musim kemarau ketika itu, terik kulminasi matahari masih tersisa di sekitarmu. Debu tipis melekat pada reranting dan dedaunan. Saat angin menghampiri, akan kau dengar gemerisik dedaunan yang seolah membisikkan dahaganya kepadamu. Tak hendak kau abaikan bisikan itu, namun kunjungan seorang tamu di beranda rumah tentulah harus dipedulikan terlebih dahulu. Siraman air untuk mereka haruslah menunggu.


Kau letakkan canting dan meredupkan nyala api pada wajan berisi malam cair. Tanpa meneliti ulang, gerak tanganmu telah mengatur nyala sumbu kompor itu pada ukuran yang tepat. Redup yang pas untuk menghangatkan malam dengan titik api yang aman, sekadar untuk menjaganya tetap berupa lelehan tanpa akan membakar apalagi menghanguskan.

Berkepul samar malam cair warna jelaga itu saat kau beranjak. Aromanya melekatimu, menguar kentara serupa jejak pada setiap gerakmu. Kau seka peluh di dahi dengan punggung tangan sesaat sebelum langkahmu menjejak ambang pintu terbuka, menyambut sang tamu. Bergerak lembut tanganmu mempersilahkannya duduk.

Monggo pinarak.” [1]

Mengangguk laki-laki paruh baya itu membalas salammu. Jalinan rotan pada kursi tua peninggalan orangtuamu, berderak lirih saat menerima beban tubuh sang tamu.

“Kudengar kau pembatik yang mumpuni,” begitu tamu itu mengawali niat kedatangannya. Pujian awal yang tidak membuatmu tersanjung apalagi tersipu. Perjalanan waktu telah membawamu melewati hal-hal semacam itu, tidak membuatmu terbiasa melainkan justru memberimu kemampuan mendeteksi sebagai basa-basi atau umpan tekak.

“Kabar tentang mumpuninya pembatik, acapkali menyesatkan,” katamu santun.

“Memahami batik sebagai karya, tidak serupa mengenakannya. Apa yang tampak hanyalah tampilan, yang justru kerap menjadi ukuran keindahan, sementara makna rohani yang tersirat pada coraknya justru terabaikan.”

“Kuinginkan keduanya. Elok tampilan dan indah rohaninya. Karena itulah aku datang padamu. Wujudkanlah dua keutamaan itu bagiku, maka akan kutahu apakah pilihanku padamu ini karena tersesat atau kaweruh ing panuju.” [2]

Lurus mata laki-laki itu padamu. Tidak demi menelusurimu, melainkan itulah gerak sebuah niat yang tak tergoyahkan. Seketika kau tahu bahwa kau telah terpilih untuk mewujudkan sesuatu. Seringkali langkah awal tetamu baru adalah langkah yang gamang. Beberapa di antaranya berbalik langkah membawa niat yang urung. Sebagian yang lain teryakinkan oleh wastra yang tersimpan di almarimu. Kali ini kau dapati pilihan yang tak goyah kepadamu.

Namun bukan rasa kemenangan yang mengendap di dalammu, melainkan beban yang samar. Akankah ternyatakan nanti bahwa reputasi mumpunimu bukan kabar angin belaka?

Bukan hal mudah mewujudkan keinginan. Tidak selalu tepat melakukan penafsiran dari hasrat tersirat. Perbedaan rasa keindahan selalu bisa terjadi. Ada yang bersimpang jalan untuk kemudian saling menghindar tanpa beban satu sama lain. Beberapa di antaranya memilih untuk menjadikan rasa keindahan pribadi sebagai sesuatu yang sama mutlaknya bagi orang lain. Kini, akankah karya wastramu sanggup menafsir dan memenuhi hasrat keindahan laki-laki itu dengan jitu?

“Wastra apakah yang dikehendaki?” pelan kau bertanya, melangkah awal pada penelusuran sebuah keinginan. Diperlukan kehati-hatian mengungkap pertanyaan demi menjadikannya tidak sebagai penyelidikan yang nyinyir.

“Kukasihi seorang perempuan, baginya ingin kuberikan tanda mata yang akan mengikat hatinya kepadaku.”

Nuwun sewu, apakah berupa batik sarimbit [3] yang akan dipakai berdua?”

“Tidak,” menjawab laki-laki itu tanpa menggeleng. “Busana sarimbitku dengan yang lain.” Datar suaranya, bernada sangat biasa. Menandakan makna tersirat yang gamblang. Siapa pun mampu menafsirkan dengan persis isyarat itu.

“Kuinginkan sutera terbaik berkualitas utama, dengan serat terlembut yang pernah ada. Harga tidak masalah, berapa pun itu akan kubayar tunai, lunas kapan pun kehendakmu.”

“Maka wujudkanlah dengan sempurna wastra tanda mata itu. Temukanlah corak batik nan elok serta bermakna rohani terindah, yang niscaya sanggup mengikat hati kekasih kepadaku, tanpa hendak berpaling.”

Demikianlah laki-laki itu menitipkan hasrat pemujaannya kepadamu. Diakhirinya kunjungan sembari menaruh harapan seutuh bulan purbani kepadamu untuk mewujudkannya.

Kau bergeming dalam duduk. Tampak tenang serupa permukaan dataran air. Sementara di dalammu ada yang melepuh diam-diam. Itulah hatimu. Sebentuk hati lembut, yang seharusnya terjaga justru diguyur air mendidih pada suatu ketika. Didih air itu menggenangimu, melepuhkan hingga serabut saraf tersembunyi di benakmu.

Terjaga utuh dalam ingatanmu yang satu itu.

“Tak kupunya lagi kesetiaan yang utuh kepadamu,” kata suamimu pada suatu hari, “ada padaku seorang perempuan lain, yang kepadanyalah hendaknya kau berbagi hati dan keberadaanku.”

Mendidih darahmu seketika. Meluap didihan itu mengguyur hatimu lengkap dengan uap panas yang melepuhkan.

“Tak hendak aku berbagi,” begitu katamu dengan nada lurus seturut keteguhan hatimu.

“Kalau begitu, aku akan menceraikanmu,” gumam suamimu serupa ancaman.

“Kuterima talakmu,” kau mengangguk tanpa rasa gentar.

Benar kau tak gentar. Serupa burung-burung yang tak pernah kawatir pada hari esok, demikian kau jalani perceraianmu tanpa rasa gamang. Tapi luka itu tak bisa kau ingkari. Bukan karena rapuh hatimu melepuh, melainkan oleh kenyataan bahwa dirimu telah ditinggalkan. Bahwa janji yang seharusnya teguh telah diingkari.

Kini, kau menerima amanah untuk membuat wastra yang akan menjadi ‘perayu’ perempuan lain. Tanda mata yang akan menandai gerak awal terbaginya sebuah kesetiaan…..

Lama kau merenung di beranda. Mengabaikan reranting dan dedaunan yang bergemerisik mengabarkan dahaganya. Tak kau pedulikan pula semburat matahari sore yang telah meredup dan membuat rumahmu remang tanpa cahaya.

***

Entah berapa hari kemudian¾yang kau lalui dengan perasaan gamang yang menggelisahkan¾kau temukan sebuah pilihan pola batik yang sekiranya tepat untuk tanda mata yang diinginkan laki-laki itu.

Pagi masih muda ketika itu, embun belum mengering dari dedaunan di kebun saat sebuah sarang burung tergeletak di pelataran. Kau letakkan sapu lidi, demi memungut sarang itu dan menduga-duga asal mulanya. Barangkali berasal dari pohon belimbing yang ada di dekatmu. Sarang dari jalinan reranting dan daun kering itu kosong, tak ada telur sebutir pun tertinggal. Sarang yang telah ditinggalkan.

Kau tak hendak membuang sarang itu. Kau membersihkannya dari debu dan sampah yang tak perlu, meletakkannya pada sebuah dahan dengan beberapa tangkai bulir padi. Kau berpikir barangkali burung-burung itu akan memerlukan kembali sarang darimana mereka berasal dan gabah itu akan menjadi santapan yang melegakan, sepulang mereka dari perjalanan yang melelahkan.

Demikianlah sarang itu mengilhami sebuah corak batik. Teguh pilihanmu, tanpa gamang meski setitik cecek [4]. Adalah pola buketan untuk mewujudkan rancanganmu. Setiap buketan terdiri dari seekor burung dengan sayap berlapis. Sebagai klowongan, yaitu ragam hias utama, kau tampakkan detil setiap helai sayap burung-burung itu. Seolah gerak melayang ujung sayap itu berkepak terbang. Sebagai ragam hias latar pola, terpilihlah ceplok bunga seruni yang kau posisikan serupa taman. Sengaja tak kau pilih jenis unggas, entah kupu-kupu atau capung sebagai latar hias, karena kau ingin sosok burung itu menjadi yang utama. Kau tata pola buketan itu dalam satu jajaran, seolah burung-burung itu berbaris menuju pada satu arah.

Gabah sinawur [5] untuk isen-isen [6], pengisi bidang kosong latar pola utama. Tangkai-tangkai padi itu seolah menjadi rangkaian gabah yang saling menyambung. Setiap tangkainya menampakkan bulir-bulir padi perlambang kemakmuran.

Ada ketelatenan yang tidak biasa saat kau mengerjakan wastra pesanan itu. Ketekunanmu menggoreskan canting melukis corak batik itu, tidak demi mengejar tenggat waktu semata-mata. Melainkan lebih karena kesungguhan hatimu yang menjadi penggeraknya. Lincah gerakmu, sesungguhnya karena jemari itu hanyalah perantara dari ungkapan rasa yang mengendap di benak. Sekian lapis endapan tak terungkap, yang nyaris tak tertanggungkan. Ada gelisah yang mereda, ada risau yang menjauh seiring wastra itu menuju pada tahap akhir penyelesaiannya.

***

Laki-laki itu datang menjemput tanda mata pesanannya pada sebuah pagi menjelang siang yang teduh. Pagar bambu yang membatasi kebunmu dengan jalan kampung, berderak pelan saat bergerak terbuka menandakan kedatangannya.

Kau bentangkan wastra kuning lembut sewarna gading. Melayang sesaat sutera itu tanpa suara, sebelum kemudian rebah pada sandaran kursi panjang. Kau temukan sepasang mata yang berpendar takjub. Menampakkan hasrat yang seolah meletup demi menelusuri wastra panjang itu dari ujung ke ujung.

“Lebih indah dari bayanganku semula, ternyatalah reputasi mumpunimu tidak menyesatkan.”

Kau diam, membiarkan udara tak bergerak di sekitarmu. Sama sekali tidak tergesa untuk tersanjung. Sejatinya kau menunggu laki-laki itu menyelesaikan kekagumannya.

“Alangkah tepat corak pilihanmu. Kuingat kekasihku pernah menginginkan batik bercorak burung hong.”

“Burung-burung itu sedang terbang menuju pulang,” katamu pelan dengan nada yang sangat terjaga.

Laki-laki itu menoleh padamu.

Gumading Peksi Kundur [7], demikianlah kunamakan wastra ini.”

“Apa maknanya?”

“Burung-burung yang terbang menuju pulang pada sarangnya, itulah Peksi Kundur. Akan melambangkan makna yang berbeda andai diserahkan pada dua orang yang tak sama.”

“Maksudmu?”

Kau berhenti sejenak. Seolah jeda sebelum melanjutkan sesuatu.

“Dia akan menjadi tanda mata pamit untuk mengakhiri sesuatu. Telah selesai persinggahan sang burung, dan inilah tanda mata untuk melepaskan kepulangannya menuju sarang bermulanya. Pada pihak lain, ia adalah perlambang yang menandai sebuah kepulangan dari perjalanan panjang. Entah sejauh apa perjalanan itu, namun inilah saatnya untuk menemukan kembali sarang yang ditinggalkan. Adalah gabah sinawur yang menjadi isen-isen, itulah tebaran biji padi di masa awal musim tanam, menandakan bermulanya sebuah musim baru. Demikianlah sebuah musim dimulai, dengan taburan benih untuk menumbuhkan kehidupan baru menggantikan apa yang telah terlalui.”

Lurus mata laki-laki itu padamu. Pendar takjubnya telah berubah menjadi kilauan tajam serupa kelewang terasah. Kau tak gentar, apalagi terhenti.

“Mengapa kuning?”

“Gumading, itulah warna kuning selembut gading. Dengan teknik pewarnaan batik wonogiren, warna dasarnya seolah retak, terkena rembesan warna soga. Karena serupa itulah gading, senantiasa retak. Demikian juga kehidupan, terutama kasih sayang, selalu tak sempurna. Namun selama tak patah, yang retak itu tetaplah berharga.”

Kau berhenti kemudian. Lalu menunggu. Tak ada debaran tak normal di dalammu, melainkan ketenangan yang teguh. Seteguh pilihan-pilihanmu sejauh ini.

Di hadapanmu, laki-laki itu bergeming dalam hening yang panjang. Entah sedang menjalani masa suwung, demi menelusuri ulang jejak terlalui untuk menemukan jalan kembali. Ataukah tak hendak beralih dari lorong-lorong labirin, yang setiap lekuk kelokannya menjanjikan adrenalin nan menggairahkan?

Kau tak hendak bertanya. (*)





Keterangan

[1] Monggo pinarak         : silahkan duduk

[2] Kaweruh ing panuju   : memahami tujuan

[3] Sarimbit                      : berpasangan, busana bercorak sama yang dipakai suami istri.

[4] Cecek                          : ragam hias berupa titik-titik pada pola batik

[5] Gabah sinawur           : taburan gabah

[7] Isen-isen                      : ragam hias yang terletak di dalam latar pola batik

Gumading                          : kuning gading

Peksi                                 : burung

Kundur                             : pulang