Cerpen Sanie B Kuncoro
Terbit di Suara Merdeka, 23 Desember 2012
Bahan Referensi Cerpen - KAULAH perempuan tak bernama itu. Pada kitab suci Perjanjian Lama sepanjang lebih dari seribu halaman yang terbangun dari 39 kitab, bermula dari kitab Kejadian hingga
kitab terakhir Nabi Maleakhi, tak tersedia tempat bagi sebaris huruf
namamu. Kau hanya dikenal sebagai istri Lot, yatim-piatu yang cucu Terah
dan keponakan Abraham itu. Kisahmu hanya tercatat satu pasal pada kitab
Kejadian. Pada pasal ke-19 yang terdiri dari 38 ayat itu, kau bahkan hanya tercantum dalam 3 ayat.
Ayat pertama saat malaikat utusan menyuruh Lot untuk bangun dan
berangkat membawamu beserta anak-anakmu. Ayat kedua saat malaikat itu
memegang tanganmu dengan bergegas, tak sabar dengan gerak lambatmu yang
tak bersegera. Dan ayat ketiga, itulah saat kau menoleh ke belakang dan
menjadi tiang garam. Kemudian selesailah kisahmu.
Dalam kenangan abadi, kaulah tiang garam yang satu itu. Tak ada yang
mengenang namamu, apalagi menyimpan sejarah awal bermulamu. Kau lebih
diingat sebagai teladan buruk saat kisahmu dibagikan kepada umat. Bahwa
kaulah perempuan yang tak sanggup merelakan harta tertinggal pada
kehancuran Sodom dan Gomora. Kaulah perempuan yang terhukum itu, yang
melanggar perintah dengan menoleh ke belakang dan memilih menjadi tiang
garam di Lembah Yordan.
Seolah tak ada yang berpihak padamu. Maka kau simpan sendiri
keyakinan itu, bahwa sungguhlah Tuhan adalah Allahmu yang cemburu. Di
saat terakhir itulah kau alpa. Kau mengira bahwa Tuhan tidak akan
berbeda jauh dengan berhalamu dahulu, yang selalu menerima canang-canang
persembahanmu dan membiarkanmu berpikir bahwa segala yang terjadi
padamu adalah buah-buah doamu kepadanya.
Ada masa kau berpikir tidak beruntung terlahir pada zaman perjanjian
lama. Andai saja kau terlahir pada zaman yang perjanjiannya telah
diperbarui, niscaya akan tersedia bagimu juru selamat itu. Sang mesias
yang darahnya membuat Tuhan menjadi Allah yang Mahapengampun. Ah
sudahlah, tak ada seorang manusia pun yang berhak memilih kelahiran
ataupun masa lahirnya.
***
KAU terlahir sebagai perempuan sederhana. Tak banyak rancangan
hidup ataupun angan dalam benakmu. Bersenandung sembari menyiangi kebun
sudah cukup membahagiakanmu. Tumbuhnya tunas baru pada ranting mawar
adalah pemantik sukacita di dalam dirimu yang tak akan padam hingga
kuntum itu merekah di kemudian hari. Kelopak mawar itulah pengisi canang
persembahan untuk berhalamu. Kau yakini, aroma bunga yang lembut magis
itu pastilah sanggup melunakkan hati para berhala untuk berbelaskasih
padamu dan mengabulkan segala doa terucap. Tekun kau panjatkan doa
tentang sebuah pinangan. Siapakah yang kau kehendaki sebagai peminang
itu? Bimbang kau memilih, di antara bayang melintas tidak satu pun yang
kau kehendaki singgah di beranda hatimu.
Hingga suatu ketika kau bersimpang jalan dengan penggembala di
perbatasan desa. Duduk gembala itu di tepi sumur, seekor domba kecil
nyenyak di pangkuannya. Lembah Yordan yang subur adalah padang permai
bagi setiap domba. Ke sana pula kau kerap menuju demi mencari sayur
segar atau rumpun bunga. Acap kau jumpai para gembala. Sejauh ini tak
ada yang menarik perhatianmu, bahkan siul godaan mereka membuatmu
bergegas menjauh. Tapi gembala pemangku domba itu seketika menggapai
hatimu.
“Sudikah menolong?” bertanya gembala itu padamu sebelum sempat kau
alihkan tatap mata. Segera kau mengangguk tanpa sempat berpikir.
“Dombaku patah kaki dan tak mau kutinggalkan, sementara kawanan
dombaku masih di padang timur. Maukah menjaga domba kecil ini sebentar?”
Lagi kau mengangguk. Entah domba terluka itu atau gembalanya yang menumbuhkan belas kasihmu.
Menjelang petang gembala itu kembali padamu. Sumringah wajah lelahnya
mendapati kaki dombanya terbalut rapi. Adalah sobekan ujung rokmu
sebagai pembalutnya. Kau tersipu menerima tatap mata berterima kasih.
Lagi kau tersipu beberapa hari kemudian. Kali ini beserta debaran
yang nyaris gemuruh di dada. Gembala itu di pelataran rumahmu,
batang-batang mawar dengan akar bergumpal tanah ada di genggaman.
“Untuk kebunmu,” katanya.
Mawar padang Yordan. Siapa yang tak menginginkannya? Tapi
sesungguhnya pemberinyalah yang lebih mengikat hatimu. Kau berharap,
dialah peminang yang dikirim berhalamu.
Benar, dia peminangmu. Tapi dia datang atas nama Allahnya sendiri dan
memintamu meninggalkan berhalamu. Kau tak hendak menolak apalagi
membantah. Bukankah demikian hukum berlaku, bahwa lelaki adalah penuntun
perempuan? Tanpa pamit kau abaikan berhala demi berdoa pada Tuhan yang
tak berwujud itu. Dua anak perempuanmu lahir sesudah itu. Demikian juga
domba-domba dan mawar di kebunmu yang beranak pinak. Ah, domba kecil
yang patah kaki dahulu itu, entah berapa domba terlahir dari anak
cucunya kini. Tak lagi kau kenali keturunannya satu per satu. Sama
seperti tak kau akrabi turun temurun anak kerabat dan tetangga. Kawan
lama yang tak lagi saling beranjangsana. Generasi baru itu telah
menjadikan kalian asing satu sama lain.
Kota yang melahirkan dan menumbuhkanmu itu tak lagi mententramkan.
Namun apakah lalu mudah untuk meninggalkannya? Sungguh kau tak ingin
pergi. Gentar hatimu saat malaikat bertutur tentang rencana kehancuran
itu.
Itulah tanahmu, yang memendam ari-ari dan menerima jejak langkah
pertamamu. Setiap tikungan menyimpan kenanganmu. Dinding-dindingnya
memahat kisah hidup orang yang kau kenal. Kerelaan macam apa yang kau
punya untuk melepaskannya pada kehancuran? Meski tak kau ingkari bahwa
maksiat telah menumbuhinya serupa ilalang dan kepulan dosa
bergumpal-gumpal di cerobong asap setiap rumah. Tidak lagi aroma matang
roti yang menjalar dari atap dapur itu, melainkan asap dosa yang anyir.
Kau tak hendak pergi, tak pula ingin tertinggal. Tidak hanya karena
suami dan anak-anakmu siap berangkat, melainkan karena inilah perintah
Allahmu yang sejauh ini kau patuhi dengan ikhlas. Maka saat malaikat itu
meraih tanganmu untuk bergegas, kau melangkah dengan sigap. Kau yakini
keberangkatanmu dan kau tinggalkan ingatan tentang berhalamu. Sungguh
kau percaya bahwa itulah jalan keselamatan bagimu sekeluarga. Tak hendak
kau berpaling pada berhala lama atau allah yang lain. Kau ingat dengan
teguh pesan untuk tidak menoleh itu. Bahkan kau larang anak-anakmu
berhenti demi menunggu saat kau terjatuh.
“Jangan berhenti, terus melangkah, jangan berpaling ke belakang!” serumu berulang.
Lalu kau dengar gemuruh itu. Ada yang tercurah deras dan menumpahi
sesuatu. Jauh suara itu di belakangmu. Sayup jeritan tangis dan ratapan.
Aroma belerang menyergapmu bersama angin yang panas bergerak memburu di
belakang langkahmu. Makin kau bergegas, berupaya menambah kecepatan
kaki tanpa hirau pada rasa sakit yang tersisa sesudah jatuh. Samar kau
dengar ada yang berderak sesudah itu. Rumah siapakah yang rubuh paling
awal? Adakah itu rumahmu? Ataukah itu tumbangnya pagar kebun dan
tiang-tiang kandang ternakmu?
Kau tercekat seketika. Bayang rumpun mawar menggapaimu. Samar embik
domba memanggilmu. Astaga, baru kau ingat, anak domba yang terlahir
pekan lalu itu, yang induknya mati saat melahirkannya, sudahkah kau buka
pintu kandang baginya untuk lari mencari perlindungan? Langkahmu
terhenti seketika. Dadamu gemuruh. Bayang domba itu mencabik hatimu.
Bagaimana si kecil itu akan menyelamatkan diri? Bahkan langkah kakinya
pun belum tegak. Akankah ditemukannya jalan menuju Padang Yordan? Adakah
induk lain yang berbelas kasihan sudi membimbingnya mencari jalan
selamat?
Teguhmu goyah seketika. Matamu berkabut. Tipis namun kuat menghadang
langkahmu. Tak lagi sanggup kau lanjutkan lari menjauhmu. Suara embik
anak domba tak berinduk itu menggapai-gapai belas kasihmu. Kau berpaling
mencarinya.
Seketika sirna ingatanmu bahwa Allahmu adalah Allah yang pencemburu.
Tak pula kau duga bahwa kutukan itu sedemikian sigap. Kau mengira akan
tersisa waktu untuk berdoa dan menjelaskan tentang anak domba tertinggal
itu. Namun hukum bergerak lebih cepat dari embusan napas. Bahkan kau
belum berkedip saat napas meninggalkanmu dan sesuatu yang lembut
merayapi tubuhmu yang berangsur mengeras sebagai tiang garam….
Tak ada belas kasih padamu sesudah itu. Tak ada yang hirau tentang
namamu. Menjadikanmu sebagai perempuan tak bernama yang tegak sendirian
sebagai tiang garam abadi di Padang Yordan hingga berabad-abad kemudian.
Begitu banyak pendatang mengunjungimu, namun tak satu pun menziarahimu
apalagi berkenan menaburkan kelopak mawar bagimu.
Hanya anak domba itu yang tak pernah jauh darimu. Kaki kecilnya yang
melepuh oleh belerang pemusnah Sodom Gomora terbalut rapi dengan
selendang garam milikmu. (*)
Sanie B Kuncoro, cerpenis, tinggal di Solo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar