Amin

Cerpen F Rahardi

Terbit di Kompas, 20 Januari 2013





Bahan Referensi Cerpen - LAKI-LAKI itu berusia setengah baya, berperawakan biasa, berkulit biasa, berwajah biasa, berambut biasa, berbaju dan bercelana biasa, mengenakan sepatu yang juga biasa-biasa saja.

Barangkali di kantong baju dan celananya juga tersimpan benda-benda biasa seperti dompet, sisir, ballpen, dan dalam dompet itu ia taruh uang, kartu identitas, dan lain-lain.

Laki-laki itu duduk bersila dengan takzim. Dua tangannya ia sedekapkan ke dada, dan pandang matanya mengarah lurus ke depan. Dia diam saja, hanya kalau ada orang lewat di depannya ia akan berkata: “Amin”. Orang-orang menengoknya sebentar lalu berlalu. Satu dua orang segera menjatuhkan uang logam lima ratusan, lembaran ribuan, dua ribuan, lima ribuan, bahkan ada beberapa yang menaruh lembaran uang dua puluh ribuan, lima puluh ribuan, dan seratus ribuan. Ketika orang-orang itu menjatuhkan, melemparkan atau menaruh uang di depannya, laki-laki itu berucap dengan suara dan nada biasa: “Amin”.

Tidak lama kemudian, uang itu menumpuk cukup banyak di depannya. Tetapi laki-laki itu tetap hanya menatap jauh ke depan, dan ketika orang-orang lewat, dengan atau tanpa menjatuhkan uang, ia berucap “Amin”. Satu dua orang lalu menyempatkan diri untuk berhenti sejenak, di dekat tempat laki-laki itu duduk bersila. Beberapa orang kemudian juga ikut berdiri di sekitarnya, sambil terus memandangi laki-laki yang hanya duduk dengan biasa itu. Orang-orang berkerumun, memandang curiga, ada yang bertanya-tanya dalam hati, ada yang menduga-duga. Bagi mereka, laki-laki itu sungguh tidak biasa.

“Mengapa ia duduk bersila di trotoar Jalan Merdeka Utara, pas di depan Istana Merdeka?” tanya seseorang dalam hati. “Mengapa tatapan matanya ia arahkan lurus ke depan, tertuju ke pintu Istana Merdeka?” tanya yang lain juga dalam hati. “Siapakah dia?” tanya yang lain lagi, juga dalam hati. Lama-lama ada yang memberanikan diri bertanya entah kepada siapa, dan pertanyaan itu ia ucapkan pelan tetapi jelas: “Ada apa sih ini?” Serentak beberapa orang mengarahkan pandangan mereka ke orang yang bertanya tadi, dan satu dua orang segera menimpali: “Dia ini minta-minta, atau demo, atau semedi, atau apa ya?” Ketika pertanyaan-pertanyaan itu selesai diucapkan dengan tak beraturan, laki-laki yang duduk bersila itu menjawab: “Amin.”

***

Di gerbang Istana Merdeka itu ada beberapa Paspampres. Di ujung barat laut Jalan Silang Monas itu juga selalu ada polisi berjaga-jaga. Mereka segera mengarahkan pandang mata mereka ke arah kerumunan orang di trotoar Jalan Merdeka Utara itu. Ketika kerumunan orang itu tambah banyak, dua orang polisi segera mendekat, memberi isyarat agar kerumunan orang itu menyibak, lalu tampaklah gundukan uang, dan laki-laki yang duduk bersila, memandang Istana Merdeka. Dua polisi itu juga heran. Bagi mereka, laki-laki ini tidak biasa. Maka mereka berdua lalu mendekat dan bertanya: “Ada apa ini?” Belum sempat kerumunan orang menjawab, laki-laki yang duduk bersila itu berucap: “Amin”.

Dua polisi itu lalu menyuruh kerumunan orang bubar. Setelah kerumunan orang itu bubar, salah satu dari dua orang polisi itu menyuruh laki-laki yang duduk bersila untuk segera pergi. Laki-laki bersila itu menjawab: “Amin”. Polisi itu kesal: “Saudara mau main-main dengan aparat ya?” Laki-laki itu tetap duduk bersila, tangannya tetap sedekap, matanya tetap mengarah ke Istana Merdeka, dan mulutnya kembali berucap: “Amin”. Salah satu polisi mendekat lalu menendang laki-laki yang duduk bersila itu dengan sepatu larasnya. Laki-laki itu menerima tendangan sepatu dan menjawab: “Amin”. Polisi kembali menendang lebih keras lagi dan kembali laki-laki itu menerima tendangan dengan jawaban: “Amin”. Berulang kali polisi itu melayangkan tendangan dan selalu dijawab dengan “Amin”.

Polisi yang sebelumnya berada di dekat truk yang diparkir di pojokan Silang Monas itu, segera berdatangan, demi melihat teman mereka melayangkan tendangan berulang kali kepada laki-laki yang duduk bersila. Ketika kerumunan polisi itu datang, maka laki-laki yang duduk bersila itu menyambut dengan ucapan: “Amin”. Salah satu polisi yang membawa bedil segera mengarahkan popor bedil ke kepala laki-laki yang duduk bersila itu, lalu mengayunkannya: Prak! Laki-laki itu menyambut pukulan popor bedil dengan ucapan: “Amin”. Beberapa polisi lalu ikut mengeprukkan popor bedil mereka ke kepala, leher, pundak, perut, dada, bokong, pinggang, dan kaki, dan semua selalu dijawab dengan: “Amin”. Kejengkelan para polisi itu naik sampai ke ubun-ubun.

Mereka menyepak tumpukan uang itu hingga berhamburan ke jalan raya. Mobil-mobil serentak melambatkan jalannya hingga Jalan Merdeka Utara macet. Para polisi lalu bergotong-royong mengangkat tubuh laki-laki yang duduk bersila itu. Ada yang memegangi kepalanya, ada yang menjambak rambutnya, ada yang menarik bajunya, ada yang mencengkeram pundaknya, dan semua dijawab laki-laki itu dengan ucapan: “Amin”. Polisi-polisi itu kecapekan dan laki-laki itu tetap duduk bersila, tetap mendekapkan tangannya di dada, dan pandang matanya masih terarah ke Istana Merdeka. Sesekali ia ucapkan: “Amin”. Dan ucapan itu membuat hati para polisi yang kecapekan jadi galau.

***

“Amin”. Kata laki-laki itu ketika dari arah seberang serombongan Paspampres datang. Kata undang-undang, kalau polisi tak mampu mengatasi keadaan, maka tentara akan membantu. Gas air mata segera disemprotkan: Bres! Kanon air juga ditembakkan: Byur! Salah satu Paspampres segera mengokang bedil dan menembakkannya ke arah laki-laki yang duduk bersila itu: “Amin”. “Ini tadi kau tembakkan peluru tajam atau peluru karet?” tanya polisi kepada tentara. Dijawab tegas: “Amin”. Dari arah barat lalu datang forklift, dengan dua paruhnya yang runcing mencecar ke depan. Forklift itu mengarah ke trotoar tempat duduk laki-laki setengah baya itu. Setelah maju mundur dan goyang kiri kanan, meratakan paruhnya sejajar trotoar, forklift itu maju dengan lurus mencocok pantat dan paha laki-laki yang duduk bersila itu.

Setelah posisi paruh itu pas, forklift segera menderu-deru mengangkat tubuh berukuran biasa itu dengan sekuat tenaga. Laki-laki itu tetap duduk di sana dengan takzim, tetap bersila dengan khidmat, tetap menyilangkan tangannya di dada, dan pandang matanya lurus ke arah Istana Merdeka. Ia menyalami forklift yang tak berdaya mengangkatnya itu dengan ucapan: “Amin”. Maka, tak berapa lama kemudian bertebaranlah melalui BB, melalui FB, melalui kicauan di Twitter, melalui SMS, ihwal ada seorang laki-laki biasa, yang diberondong peluru tajam, disemprot gas air mata, disiram kanon air, diangkat dengan forklift, dan semua itu selalu dijawab: “Amin”. Di antara mereka yang disambar berita berseliweran itu, ada yang kemudian menyempatkan diri datang ke depan Istana Merdeka. Maka kerumunan massa pun tak bisa dicegah.

Massa itu datang dari Sentiong, Salemba, Kramat, Kwitang, Tanah Abang, ada yang berkaus merah, ada yang berbaju kuning, ada yang berkolor hijau, mereka mengacung-acungkan tangan sambil berteriak-teriak: “Amin, Amin, Amin…!” Bersamaan dengan itu, aparat keamanan juga disiagakan. Mereka datang dari mana-mana dengan naik truk, jip, mobil kanon air, dikawal panser, dan ambulans. Sirene meraung di mana-mana, dan semua itu dijawab oleh lautan massa dengan teriakan “Amin, Amin, Amin……!” Polisi berupaya untuk melingkari laki-laki yang duduk bersila itu dengan pita kuning dan dilapis dengan untaian kawat berduri. Dari kejauhan, laki-laki yang duduk dengan takzim itu lalu tampak seperti pengantin, yang dihias pita dan bunga-bunga, yang diterimanya dengan ucapan: “Amin”.

Cuaca di sekitar Monumen Nasional dan Istana Merdeka sebenarnya juga tetap biasa-biasa saja. Kadang sedikit mendung, tetapi ketika angin datang, matahari kembali tampak dan udara jadi panas. Laki-laki itu tetap masih duduk di tempat semula dan basah kuyup oleh semprotan kanon air, yang menyejukkan badan dan jiwa, dalam cuaca siang kota Jakarta yang gerah. Ia tetap duduk bersila dengan dua kaki disilangkan, dengan dua tangan disedekapkan, dengan pandangan mata tertuju ke Istana Merdeka. Rombongan berkaus warna-warni itu mendekat, salah seorang di antara mereka naik ke pundak dua orang temannya, lalu dengan megaphone di tangan ia berorasi: “Saudara-saudara semua, di depan kita ada ‘satrio piningit’. Lihatlah, ia sakti, matanya terarah lurus ke pintu Istana Merdeka, ialah Ratu Adil yang akan memimpin negeri ini.” Laki-laki itu menjawab: “Amin”.

***

Dari langit yang biru cerah, terdengar raungan suara helikopter. Setelah berputar-putar selama empat kali, heli itu merendah, lalu mendarat di halaman Istana Merdeka. Turunlah kemudian beberapa laki-laki yang berperawakan biasa, berwajah biasa, berkulit biasa, rambutnya tak ketahuan biasa atau tak biasa, sebab tertutup topi. Pakaian dan sepatunya juga biasa, tetapi di pundak dan di dada mereka tertempel tanda-tanda pangkat. Salah satu di antara mereka membawa tongkat komando, mendekati laki-laki yang duduk bersila itu, lalu bertanya: “Anda ini siapa dan maunya apa?” Dijawab: “Amin”. “O, jadi nama saudara Amin?” Dijawab: “Amin”. “Saudara Amin, Saudara telah melanggar Perda Nomor 8 tentang Ketertiban Umum dan juga Pasal 6 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Apakah Saudara bisa mendengar saya?” Dijawab: “Amin”.

Laki-laki bertongkat komando itu kesal hatinya. Dia mencabut pistolnya, ia kokang, ia arahkan laras pistol itu ke pelipis laki-laki di depannya, lalu pelatuk ia tarik: Dor! Laki-laki yang duduk bersila itu menyambut tembakan pistol dengan ucapan: “Amin”. Ucapan “Amin” itu ternyata telah membuat kalap laki-laki bertongkat komando dan berpistol yang berdiri di depannya. Dia segera memberi aba-aba agar panser, tank, dan buldoser mendekat. Maka tank berjalan di depan seraya menembakkan senapan mesin. Batang pohon trembesi yang berdiri kokoh itu bolong-bolong. Tank terus melaju mendekati laki-laki yang duduk dengan takzim itu. Massa yang menyemut di sekitar Jalan Silang Monas merangsek maju: “Amin, Amin, Amin.” Laki-laki itu tetap duduk, bersedekap, dan memandangi Istana Merdeka dengan pilar-pilarnya yang kokoh bercat putih.

Tank maju naik ke trotoar, menabrak dan melindas laki-laki yang duduk bersila di trotoar itu, lalu disambut dengan ucapan: “Amin”. Buldoser menyerok laki-laki yang telah diberondong senapan mesin dan dilindas tank itu, dan juga dijawab: “Amin”. Massa terus maju diiringi teriakan: “Amin, Amin, Amin.” berulang kali terus-menerus susul-menyusul. Kawat duri, pita kuning garis polisi semua ditabrak dan dilindas massa. Mereka melingkari laki-laki yang tetap duduk dengan takzim itu, dan massa juga ikut duduk bersila menyedekapkan tangan, dan mata mereka memandang ke Istana Merdeka. Laki-laki itu menyambut kedatangan massa yang ikut-ikutan duduk di sekitarnya dengan ucapan: “Amin”. Dan massa melanjutkannya dengan gema yang menggemuruh: “Amin, Amin, Amin!”

Panser, tank, buldoser, semua capek dan pegal-pegal. Sekrup-sekrup dan baut terasa ngilu. Mereka lalu minggir dan berteduh di bawah tajuk angsana yang rimbun. “Kami ini sudah terlalu tua,” kata tank memelas. Disambut panser: “Gua juga agak gemetaran karena tadi belum sarapan.” Buldoser mendekam dekat pagar besi, dan laki-laki itu menjawab: “Amin”.

Berikutnya, laki-laki itu menarik napas agak panjang, berkedip-kedip, menengok ke kiri dan kanan, tangan ia rentangkan, lalu ia berdiri. Pelan-pelan ia berjingkat melangkahi massa yang duduk bersila itu, lalu berjalan di antara orang-orang, anak-anak muda, kaus merah, celana putih, seragam polisi, baju tentara, ia terus berjalan, sementara angin dari Laut Jawa melompati atap Istana Merdeka, menggoyang-goyang dahan angsana dan ranting trembesi. Laki-laki itu terus saja berjalan dan hilang ditelan kerumunan massa: “Amin”. (*)

Sungai Putih Itu….

Cerpen Anita Kusuma Wardani

Terbit di Republika, 20 Januari 2013




Bahan Referensi Cerpen - TAK TERASA waktu berjalan jua. Mengalir tanpa tanya. Masih teringat seekor ular yang pernah aku temukan dulu di mulut gua di mana kakek tua bertapa. Aku sangat senang kala itu. Kakek memberikan seekor ular peliharaannya demi memenuhi keinginanku setelah aku bersusah payah mendapatkannya. Dengan senyum simpulnya ia hanya berkata, “Jagalah ular ini. Tidak usah kau kasih rumah. Letakkan ular ini di depan rumahmu, ia akan hidup dengan sendirinya sekaligus sebagai penjagamu.”

Sejak pindah ke kota ini, aku tak tahu lagi masih ataukah tidak binatang kesayanganku itu. Si naga warisan kakek yang lama tak kujumpai. Semoga saja sekembali aku dari sini semua masih sama. Aku tak membayangkan jika apa yang aku pesankan ini hanya berlalu tanpa sisa. Semoga saja….

Detik-detik pengorbanan tak terasa sudah terlampau jauh. Tapi, waktu tak pernah mengubah hari menjadi panjang ataupun singkat. Hanya secerca harap kini yang cukup membatasi bayangan. Aku ingin kembali meretas napas dalam bingkai kesejukan jiwa di kota kenangan.

Satu per satu daun kenanga berguguran, lelah menunggu menjadi humus subur yang diharapkan kawannya sebagai sumber kehidupan. Tak luput perhatianku pada tanaman satu ini. Tanaman yang sangat aku sukai sejak aku masih berada di dalam dekapan ibu. Sangat besar keinginanku untuk membeli bunga ini setahun yang lalu untuk mengenang betapa berharganya kenangan masa laluku. Meski ini bukan bunga kenangan, tapi aku masih merasakan aromanya berasal dari bungaku di kota kenangan.

***

Sayup-sayup terdengar azan Maghrib di seberang sungai ketika aku mengamati kenanga merah di depanku. Aku segera beranjak. Mengayuh sepeda menuju mushala. Di jalan aku bertemu beberapa teman sebayaku dengan sepedanya menuju tempat yang sama.

Mushala di tempatku ini memang sangat berarti. Mushala ini satu-satunya yang terdekat di tempatku yang berjarak sekitar dua kilometer. Meski kecil, ia punya sejarah yang cukup penting bagiku. Dari sinilah aku mengenal Islam dari seorang ulama di tempat kami tinggal. Di sini pula aku mengucap syahadat untuk pertama kalinya bersama kedua orang tuaku dan beberapa warga yang juga mau masuk Islam bersama kami. Dari nasihat ulama itu pulalah kami bisa mengecap manisnya meyakini Islam sebagai akidah kami.

Dua tahun sudah aku belajar sama Ustaz. Pelajaran yang aku dapatkan dari Ustaz begitu banyak. Namun, ketika suatu hari Ustaz mengajak para santri rihlah ke sungai putih, aku sempat tanyakan kepada beliau mengapa harus ada rihlah. Kata Ustaz, “Rihlah itu akan mengajari kita mengenal alam dan berkawan dengan alam karena sesungguhnya kita itu sama dengan alam.” Aku masih belum mengerti apa yang dimaksud Ustaz, tapi aku ikut saja.

Mentari di ufuk timur belum muncul ketika kami berangkat. Perjalanan panjang dan berkelok kami lalui dengan suka cita. Kami susuri sepanjang sawah yang ditumbuhi dengan tanaman padi serta rumput teki. Di sela-sela perjalanan, Ustaz mengajak kami berhenti di sebuah padang rerumputan liar tak berpenghuni. Cukup bergidik aku melihat pemandangan sekelilingku yang penuh dengan semak. Berbagai macam bayangan menghantuiku hingga bulu romaku berdiri.

“Aulia!” suara Ustaz begitu kerasnya mengagetkanku. Serasa jantung ini mau copot dibuatnya. Aku segera beranjak mengalihkan perhatianku pada Ustaz yang sangat aku hormati. Berkali-kali aku berucap maaf atas kekhilafanku tidak mendengarkan penyampaian Ustaz tadi. Beliau hanya tersenyum melihat tingkahku yang aneh terkena tegur sambil berpesan agar kami memperhatikan orang yang di depan untuk menghormatinya.

“Mungkin suatu saat kalian akan pergi dari sini dan akan bertemu dengan orang baru yang sebelumnya kalian tidak mengenalnya. Maka, belajarlah kalian untuk bisa memiliki akhlak yang baik. Dan, menghormati pembicaraan orang lain termasuk salah satu bagian dari akhlak.” Sebuah penutup sebelum kami beranjak meninggalkan padang rerumputan liar melanjutkan perjalanan ke sungai putih. Kata yang sangat lekat di hati dan pikiran kami, para santri.

Perjalanan pun dilanjutkan saat sang raja siang meninggi hingga sepenggalah. Tibalah kami di sebuah surau kecil di sebelah sawah kosong. Nampaknya sawah ini baru dalam penggarapan oleh si empunya. Di sisi kanan surau terdapat pancuran kecil yang tersedia bagi siapa saja yang singgah dan ingin shalat. Cukup mengherankan, ternyata di tengah persawahan seperti ini juga ada surau yang bisa digunakan untuk beribadah. Padahal, tidak ada satu pun rumah di sekitarnya. Berdecak kagum kami semua yang menghadapi kejadian ini sedangkan di kampung kami yang banyak terdapat rumah saja hanya terdapat satu mushala, yaitu tempat kami menimba ilmu agama. Padahal, jikapun kami mendirikan mushala dua sampai empat lagi, warga cukup mampu. Tapi, sepertinya belum ada kesadaran dari penduduk kampung, atau bisa jadi tidak punya ide untuk hal ini.

Setelah kami selesai shalat dhuha berjamaah, Ustaz memberikan sedikit penjelasan bahwa perjalanan kami sudah hampir mendekati sungai putih. Aku dan para santri yang lain saling menerka-nerka tentang ibrah yang bisa kami ambil. Namun tetap saja, kami terhenti dalam angan kami masing-masing tanpa terjawab. Hanya menyisakan tanya tak berkoma.

Lecutan semangat dalam jiwa kami semakin menjadi ketika kami akhirnya sampai di tepi sungai putih. Puluhan pasang mata memandang kagum di sisi sungai. Tapi, ada yang membuat kami penasaran. Sungai putih yang kami lihat tidak seputih namanya. Yang ada, kami melihat sungai ini biru sekali seperti dalam gambar. Airnya sangat jernih sehingga kami langsung bermain dengannya. Namun, sebelum kami mendekati sungai, Ustaz memberikan pengarahan kepada kami untuk meresapi dan mencari makna yang terkandung dari masing-masing permainan kami dengan air dan sungai ini.

Tanpa dipandu lagi, kami sudah menyebar di seluruh sisi sungai dengan ide kami masing-masing dalam bermain dengan air. Untungnya, air di sini tidak deras sehingga kami bisa bermain sepuasnya. Aku sangat menikmatinya. Melihat betapa indah sungai itu, menjadikan aku merenung dengan diriku sendiri. Aku berdiri di sisi sungai dan perlahan berjalan menyendiri di tepi sungai. Kulihat di kejauhan, Ustaz tersenyum melihat tingkah para santri yang bermacam-macam. Teduhnya pemandangan dari seorang Ustaz yang berjuang menyebarkan Islam di pelosok kampung. Ah, tapi aku tak bisa membalas jasanya. Hanya bisa berdoa, semoga beliau mendapatkan balasan terbaik dari sang pemilik alam semesta.

Catatan-catatan kecil mencoba kubuat sedemikian rupa untuk dipresentasikan sebagai persiapan jika Ustaz menunjukku agar menceritakan pengalaman hari ini. Kucoba melihat di seberang sungai. Tak terasa air mulai menggenang di depan selaput mata dan hampir menetes melalui kelopaknya. Seorang nenek tua sedang menggendong kayu melewati tepi sungai di seberang sana. Kulihat mukanya sudah mengeriput kepayahan. Ia mengusap keringat yang mengucur di wajah tuanya. Lama kuamati kejadian itu. Ternyata di atas sana sudah ada perempuan muda berbusana tertutup yang menjemputnya dengan wajah cemas. Mereka terlihat bercakap-cakap sebelum akhirnya kayu berpindah di punggung si perempuan muda. Kini, air benarbenar mengalir dari pelupuk mataku. Pengorbanan itu sangat menampar hati, mengingat aku hanya sesekali membantu orang tuaku karena kesibukanku dengan aktivitas sekolah dan menimba ilmu agama.

Bayangan orang tuaku tepat berada di seberang sungai tempat nenek tua dan perempuan muda menghilang. Aku melihat ibuku di sana menggendong kayu dengan segala kepayahan tubuhnya yang mulai dimakan usia. Kulihat pula diriku sebagai perempuan muda itu. Meski tertutup, segala pengorbanan dilakukan untuk membantu ibu. Subhanallah, bergetar tubuh ini dengan tetesan air mata terus mengalir menjatuhi sungai yang mengantar ke laut jauh di hulu sana.

Di kejauhan Ustaz memanggilku untuk berkumpul kembali. Sepertinya beliau sudah dari tadi mengingatkanku, hanya saja aku terlarut dalam penghayatan pemandangan di depanku. Aku mulai beranjak, meninggalkan peraduanku di sisi sungai. Kulihat bayangan itu semakin lama semakin menghilang dari pandangan mataku. Menjauh pergi.

***

Empat tahun sudah aku meninggalkannya. Dan kini, aku kembali merindukan kota kenangan. Aku rindu kampung halaman yang telah membesarkanku hingga aku tampil menjadi seorang mandiri dalam keterasingan hidup di negeri orang. Aku rindu bunga kenanga yang mengajarkan aku tentang sebutir perhatian. Aku rindu pada sungai putih yang mengajarkan aku berbagai hal. Tentang alam, kehidupan, dan Sang Pencipta. Aku rindu kepada semua kenangan masa laluku. Dan semoga, aku bisa bertemu lagi di lain hari. Entah dengan episode mana lagi untuk membuatku kembali ke pangkuan ibu dan kembali pula berjumpa dengan sungai putih yang mengajarkanku berbagai hal dalam memaknai lika-liku kehidupan. Berharap aku kini bisa seperti Ustaz, ikhlas membangun jiwa dalam ketaatan pada Pencipta. Semoga…. (*)



Satu Jam Menuju Manchester

Cerpen Rilda A.Oe. Taneko

Terbit di Suara Merdeka, 20 Januari 2013




Bahan referensi Cerpen - MENIT PERTAMA. Seorang pria kulit putih berjaket hitam, butiran ketombe jatuh di dekat kerah. Seorang nenek kulit putih, rambutnya masai, mungkin seminggu lebih tak pernah dicuci. Seorang pria kulit hitam, berjaket biru, memegang payung hitam bergagang kulit bermerek Zara, jemari tangannya bersih, panjang, dan lentik. Seorang pemuda kulit putih, hidungnya mancung berujung lancip, mengenakan tas bertali panjang ala tukang pos, sebelah tali sepatu ketsnya terlepas. Seorang pria paruh baya berkulit putih, berperut buncit, berkepala botak, mengenakan sweater hijau kumal.

Dan ia terjejal bersama mereka.

Ia menyapu pandang ke penumpang gerbong yang ia tumpangi. Hanya pria dengan payung Zara dan dirinya yang berkulit berwarna. Ia mulai memerhatikan satu per satu mereka, seperti tadi. Seorang wanita berdahi lebar, berambut jagung, bermata biru menonjol, menggigiti kuku. Seorang wanita berambut panjang sebelah berwarna merah, mengenakan earphone tali putih menjuntai, tertawa dan bicara pada Iphonenya.

“Ha ha ha dia pikir aku tidak tahu… dia memintaku menjemputnya di bandara.”

Dua pria, keduanya mengenakan sepatu bot bermerek sama: Doctor Martens, yang satu hijau, lainnya kuning, sedang bekerja, memerogram entah apa di laptop mereka. Ia juga membawa laptopnya, dan berencana akan bekerja. Kenyataannya, jangankan bekerja, sekadar berdiri tanpa khawatir jatuh, menginjak atau terinjak sepatu orang pun rasanya susah. Ia mulai mengumpat: gerbong yang pendek di jam-jam padat penumpang, dasar kapitalis pengeruk keuntungan, sudah bayar mahal tak duduk pula!

Seorang pemuda berambut serupa Einstein, mengenakan kaca mata lensa kotak berbingkai hitam, berbicara dengan gadis di sampingnya, yang berambut pirang panjang, duduk menyamping, menghadap ke arahnya, dan membelakangi jendela kereta.

“Apa bedanya MA dan MPhil?”

“MPhil itu seperti kuliah doktoral tapi hanya dua tahun, lebih ke penelitian, sementara MA, menurutku, seperti kuliah strata satu namun lebih tinggi.”

Dan mereka duduk dengan santai.

MENIT KELIMA BELAS. Kereta berhenti di Stasiun Preston. Harapannya punah, tak ada penumpang yang turun. Alih-alih ia dapat tempat duduk, penumpang yang naik turut menyesaki kereta: seorang kakek dan nenek dengan bocah lelaki, sepertinya cucu mereka, lalu seorang ibu hamil dengan putrinya yang masih kecil, mungkin empat tahun. Tidak ada yang memberi mereka tempat duduk. Tidak ada yang memberi mereka tempat duduk!

Ia tergeser ke dekat pintu kereta. Pada pintu itu ia membaca: ‘Smile –you’re on CCTV’, tapi ia tidak tersenyum.

Dan kereta kembali melaju, kali ini menuju Chorley.

Ia memandangi penumpang yang duduk dengan santai. Ia membayangkan rencananya semula: duduk di kursi yang empuk, menggelar laptop dan beberapa buku rujukan di atas meja, menyeruput teh hangat yang ia beli dari penjaja minuman dan makanan ringan di kereta, dan menulis, terus menulis, hingga tiba di tujuan. Ia mendengus. Angannya lenyap sudah.

Bocah lelaki di dekatnya mulai mengentak-entakkan kaki, yang mungkin pegal. Bocah itu menggendong boneka kuda nil berwarna unggu. Anak perempuan tertarik dengan boneka itu, mengulurkan tangannya, yang penuh remah-remah kue jahe; anak lelaki berusaha menghindar, menabrak kakeknya, membuat kakek itu terhuyung ke arahnya, dan ia terdorong lebih rapat ke pintu. Anak perempuan menangis, mengadu pada ibunya; ibunya tersenyum kepada kakek dan nenek, meminta maaf. Bocah perempuan mengelap ingusnya dengan lengan jaket.

“Mengapa menyukai sastra?” gadis yang membelakangi jendela bertanya pada Einstein.

“Sejak kecil aku suka membaca fiksi. Ibuku selalu mendidikku untuk membaca.”

“Di sekolah dulu, sastra membosankan bagiku. Kami habiskan waktu berjam-jam hanya untuk mendiskusikan definisi plot.”

“Plot itu penting bagi cerita, yang menggerakkan cerita.”

“Aku pernah membaca di buku. Plot adalah petak tanah, yang bisa digunakan untuk apa saja, bercocok tanam, membangun rumah, termasuk mengubur penulis,” gadis pirang itu tertawa.
Einstein tidak ikut tertawa, rupanya ia tidak suka seseorang mencandai arti plot.

MENIT KETIGA PULUH. Kereta sampai di Chorley. Pria berketombe turun. Pria berperut buncit turun. Wanita yang sedari tadi menggigiti kukunya turun. Ketika melewati si Einstein, wanita itu tak sengaja menyenggol pundaknya. Einstein mengebas pundaknya, terlihat tak suka. Akhirnya, ibu hamil dengan putrinya bisa duduk, berpangkuan. Kakek-nenek dan cucunya bergerak ke lorong antar tempat duduk, memberikan ruang untuk penumpang dari Chorley masuk; ia mengikuti mereka, berdiri di dekat tempat penyimpanan koper, yang hari itu penuh. Ia berpegangan pada tiang di dekat kaca antar tempat koper dengan pintu, di sisi Einstein dan gadis pirang duduk.

Seorang bocah perempuan, berusia kira-kira lima tahun, naik dengan ayahnya. Bocah itu bernyanyi kecil,“Hey sexy lady! Woop Woop…!” sambil mengentak-entakkan kakinya, sebelah tangannya berputar-putar di udara, seperti naik kuda sambil akan melempar laso.

Kereta kembali berjalan. Ia melihat bocah itu dan menggelengkan kepala. Ayah si bocah, yang melihat gelengan kepalanya, menyuruh anaknya diam.

“Ayo kita main tebak-tebak binatang,” kata si ayah.

Si bocah terlihat senang dan mulai menebak, “Apa binatang itu berkaki empat?”

Si ayah mengangguk.

“Berwarna cokelat?”

Si ayah menggeleng, “Coba tanya apakah binatang itu mamalia.”

“Apakah binatang itu mamalia?”

“Aku suka belajar kritik sastra. Tentu ini bagian yang tak mudah.” Nada suara Einstein yang sombong kembali mengusik perhatiannya.

“Mengapa?”

“Seorang kritikus adalah penjaga kualitas sastra. Peran terpenting dalam kemajuan sastra dan budaya.”

Ia menoleh ke arah Einstein yang sedang mengeluarkan kotak jus dari tasnya, lalu empat keping pizza margherita yang dibungkus pelastik biru transparan. Ia memerhatikan kotak jus itu: jus apel murah yang tinggi kadar gulanya. Ia memerhatikan pizza, yang dikeluarkan Einstein dari pelastiknya. Pizza itu terlalu tebal dan kurang matang. Einstein mulai mengunyah, tanpa menawarkan ke gadis pirang di sampingnya. Gadis itu pun terlihat tidak tertarik pada pizza si Einstein. Ia lebih tertarik pada pita biru yang diikat di pegangan tas Einstein.

“Pita apa itu?”

Einstein mengunyah pizza dimulutnya sampai habis sebelum menjawab, memegang pita yang ditanyakan, “Ini tanda dari ibuku, agar aku bisa membedakan tasku dengan tas lain.”

Tasnya itu berwarna hijau, disudutnya ada bercak tinta. Melihat kondisi tas itu, ia menduga, tak hanya pita, tas itu pun pemberian ibunya. Tas seperti itu, tanpa pita sekali pun, tentu tak susah membedakannya dari yang lain, pikirnya.

“Wah, ibumu perhatian sekali ya,” kata gadis pirang, terlihat terkesan.

“Ya, ibuku sangat perhatian. Pizza ini juga ia yang bawakan. Dan baju yang aku kenakan hasil rajutannya.”
Einstein menepikan jaketnya yang terbuka, memerlihatkan baju wol biru yang ia kenakan, dengan bangga. Baju itu terlalu besar di tubuhnya yang kurus. Einstein menyesap jus apelnya hingga kotak jus mengempis.

“Wah, hebat sekali ibumu.”

“Ya, dan bahkan ia juga yang memperbaiki jinsku.”

Einstein menunjukkan celana jinsnya, yang ditambal dengan tidak rapi di bagian dengkul. Ia membayangkan seorang kritikus sastra yang mengidap Oedipus-complex.

Bocah perempuan di dekatnya terlihat bosan menebak binatang. Bocah itu menempelkan hidungnya ke kaca, serupa hidung babi, membuat ia tersenyum.

Ayah si bocah, yang melihat senyumannya, mencoba mengalihkan kedekatan anaknya dengan kaca, “I spy with my little eye, something beginning with T.”

Si bocah menjauh dari kaca dan terlihat berpikir. “Train?”

MENIT KEEMPAT PULUH LIMA. Stasiun Bolton. Pria dengan payung Zara turun. Juga nenek berambut masai. Ia berharap ada dari penumpang yang duduk turun, namun harapannya menguap. Malah penumpang makin padat. Seorang pria, koper kecil pipih di tangan kiri dan gelas, mungkin berisi teh atau kopi panas, di tangan kanan. Serombongan remaja naik, membawa koper-koper besar dan terlihat berat. Sepertinya pagi itu semua orang menuju Manchester Airport.

Kakek di depannya menggeleng-gelengkan kepala, “Silly train.” Istrinya setuju. Pintu kereta menutup dan kereta kembali berjalan. Cucu mereka mulai resah, sepertinya sudah lelah berdiri, terseguk pelan. Kakek dan nenek berusaha menghibur.

Ia pun lelah berdiri, laptop dan buku-buku di tas ranselnya terasa berat sekali. Ia pun tak bisa menerima mimpinya untuk duduk dan menikmati perjalanan tak bisa ia capai. Menikmati perjalanan di kereta adalah kebahagiaan baginya. Dan si Einstein masih saja duduk dengan santai, membangga-banggakan ibunya. Gadis pirang di sebelahnya, juga duduk dengan santai, terus saja terlihat terkesan.
Dan ia benar-benar geram.

“Aku sangat hormat pada ibuku, dan selalu mencoba menuruti perkataannya.”

Ia beranjak ke arah mereka, meletakkan tangannya di meja dan mendesis, tepat di depan muka Einstein, “Dan apakah ibumu itu tidak pernah mengajarimu untuk memberi tempat duduk pada orang tua dan anak-anak?!”

Einstein terkejut, mengerutkan tubuh ke sudut kursi, melebarkan mata padanya: seorang pria Asia, berambut hitam pendek, berkaca-mata, memelihara jambang, membelalakan matanya yang sipit, dan berkata demikian padanya. Seorang asing!

Einstein gegas berdiri, membawa tas dan pizzanya. Gadis pirang berkali-kali meminta maaf, memersilahkan kakek-nenek dengan cucu mereka untuk duduk.

SATU JAM. Guncangan kereta menyadarkan ia dari lamunan. Kereta tiba di Stasiun Manchester Oxford Road. Ia masih berdiri di tempat yang sama, tidak juga berani beranjak. Einstein tetap duduk dengan santai, masih membangga-banggakan ibunya, dan gadis pirang di sebelahnya tetap saja terkesan. Kakek-nenek dengan cucu mereka, yang sekarang menangis, masih terus berdiri.

Arus penumpang yang naik membuat ia tersudut, menjauh dari Einstein, kembali merapat dekat pintu kereta. Ia membaca kalimat yang sama: ‘Smile –you’re on CCTV’, tapi ia tidak tersenyum sama sekali. (*)


Lancaster, Januari 2013

Dukka Ronjangan

Cerpen Muna Masyari

Terbit di Jawa Pos, 20 Januari 2013





Bahan Referensi Cerpen - BIBIR Arsap menyungging sinis. Matanya tak lepas menatap orang-orang yang menyaksikan Marinten me-ngotek-kan alu ke bibir ronjangan [1]. Sakit hati Arsap terobati sudah. Bara di dadanya tersiram.

Bulan alis mengintip dari balik pelepah janur. Petromaks mendesis-desis di langit beranda, dan dikerubung hewan-hewan kecil. Sepasang paha sapi yang sudah dikuliti digantung sungsang di beranda dapur. Aroma dupa meruap terbawa angin.

Semula, irama ronjangan yang berseiring dengan gemerincing tutup menangan [2] terdengar sumbang. Antara bunyi dung-dung dan bunyi ngojur tidak selaras. Bukan irama yang biasa dimainkan saat pembuatan dodol, penyembelihan sapi, panen raya maupun pada saat mengabarkan kematian.

Ada nuansa berbeda yang tercipta. Semakin didengar, menyerupai irama kabar duka. Namun kotekan dan ketukan alu lebih halus dan patah-patah. Lain waktu, iramanya menghentak cepat. Menangan bergemerincing nyaring. Lalu melirih perlahan seperti terpagut angin.

Arsap tahu, itu bukan kesalahan. Pemainnya merupakan kesatuan grup yang diketuai Marinten, yang dikenal mahir dalam memainkan macam-macam irama dukka ronjangan. Sudah dikenal di punjuru kampung. Jika ada hajatan, orang-orang biasa mengundang mereka. Tidak mungkin Marinten keliru memimpin kawan-kawannya memainkan irama.

Marinten. Selain mahir memainkan irama, perempuan itu memiliki daya pikat melebihi kawan-kawannya, dan membuat orang selalu tertarik mengundangnya. Dengan mengenakan sampir batik ketthel tello’ bermotif kembang cengkeh, kebaya bunga-bunga, rambut disanggul miring berhias roncean kembang melati, Marinten berhasil mencuri perhatian di setiap acara. Meskipun berdandan seadanya, Marinten tetap terlihat cantik. Sederhana namun memesona. Ada yang bilang, Marinten memiliki daya pikat yang diwariskan ibunya.

Menurut cerita orang-orang, dulu ibu Marinten juga pandai memainkan dukka ronjangan. Irama yang dimainkan mampu melepas lelah saat panen raya, menyemarakkan suasana dalam acara perkawinan maupun khitanan, dan bisa membuat orang terhanyut kesedihan saat dimainkan untuk mengabarkan duka.

Bila ada acara hajatan yang mengundang dirinya, para undangan segera datang berduyun-duyun. Bunyi dung-dung yang beradu dengan gemerincing menangan seolah menyihir mereka untuk segera hadir. Yang semula berhalangan datang, akhirnya tetap mengusahakan hadir demi melihat ibu Marinten yang sedang mengetukkan alu bersama kawan-kawan.

Sama dengan Marinten, ibunya juga menjadi pusat perhatian para lelaki. Banyak pemuda kampung yang terpikat dan terkagum-kagum pada kecantikan serta kemahiran ibu Marinten dalam memainkan dukka ronjangan. Kemampuan itulah yang ditularkan pada Marinten.

Setiap panen raya maupun musim-musim acara perkawinan, Marinten dan grupnya tak pernah sepi dari undangan. Tapi irama yang dimainkan Marinten sekawan malam ini sungguh beda. Iramanya kadang terdengar sedih, marah, lalu tiba-tiba berirama kacau sebagaimana orang yang tengah dilanda putus asa.

***

Arsap menghisap batang rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Asap bergulung-gulung, melayang ke udara.

Lalake’ padhana emas pa’lekoran! [3] Arsap tersenyum pongah dalam hati.

Penolakan lamaran oleh ibu Marinten telah membakar hati Arsap. Ditolak tanpa alasan sungguh suatu penghinaan! Padahal ia dan Marinten sudah mengikat hati sejak Marinten buruh taoh mandi ka oloh [4].

Maka, dengan kepala mendidih, Arsap pun meminta pada ayahnya agar dicarikan seorang perempuan yang bersedia dinikahi secepatnya. Maksar, yang semula sudah keberatan Arsap melamar Marinten, mencari calon menantu dengan segera.

Begitu Maksar menemukan perempuan yang dirasa cocok dinikahi Arsap, mereka pun melamarnya. Sesuai kemauan Arsap, tanggal pernikahan dimusyawarahkan secepat mungkin. Tidak lebih dari dua pekan sejak ibu Marinten menolak lamaran Arsap, tanggal baik pun ditetapkan. Arsap sengaja mengundang Marinten memainkan dukka ronjangan pada malam menjelang pernikahannya. Tentu untuk menyirami bara di hati. Untuk menunaikan penghinaan yang ditanggungkan oleh ibu Marinten.

***

Bunyi dukka ronjangan terus bertalu. Aroma kemenyan menyengat. Para ibu yang bertugas menyiapkan menu masakan untuk undangan besok pagi masih sibuk di dapur.

Malam merangkak lamban. Arsap dan ayahnya masih menemani para kerabat di beranda. Maksar tampak bergembira dengan tawa yang kadang membahak. Dodol dan bajik yang tersaji tinggal beberapa kerat. Tutup cangkir telentang berisi puntung dan abu rokok.

Tiba-tiba Arsap melihat kemunculan Ke Samulla di halaman. Mau apa lelaki tua itu, pikir Arsap. Ia menyikut lengan ayahnya. Tawa Maksar terhenti seketika, mengikuti arah pandangan Arsap. Maksar menatap Ke Samulla dengan mata tak suka.

Ke Samulla mengamati Marinten yang tengah memainkan dukka ronjangan. Tak segera naik ke beranda untuk menemui tuan rumah. Tatapannya aneh. Dada Arsap menggemuruh.

***

“Memalukan!” Ibu Marinten marah-marah menyambut kedatangan anaknya.

Daun pintu ditutup lagi dengan kasar. Dari tadi ibu Marinten tidak bisa memejamkan mata mendengarkan bunyi dukka ronjangan yang dimainkan Marinten di rumah Arsap.

Marinten diam. Perempuan itu meloyor masuk, mengempaskan pantat pada kursi kayu dengan wajah layu. Ia melepas roncean kembang melati di sanggulnya.

“Bagaimana kamu bisa memainkan irama sekacau itu? Bukankah kau sudah mahir memainkan irama untuk acara perkawinan?” Pertanyaan Ibu Marinten masih bernada gusar meskipun suaranya sedikit kurang jelas.

Sambil mengunyah sirih-pinang, ibu Marinten mondar-mandir di depan anaknya. Sesekali membuang ludah pada kaleng bekas berisi abu tungku di dekat kaki lincak. Bibirnya basah dan merah. Lalu mencecar Marinten lagi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak tuntas ia pikir sejak tadi.

“Kenapa pula teman-temanmu ikut bermain tak karuan? Seharusnya kalian menyelaraskan irama satu sama lain!”

Marinten tidak menyahut.

“Itu pasti gara-gara kamu! Pikiranmu ke mana-mana!”

“Bukankah Ibu yang mengajariku memainkan dukka ronjangan dengan menyatukan jiwa dan pikiran? Menghayati penuh perasaan. Dalam acara gembira, kita harus bermain dengan jiwa riang. Begitupun sebaliknya. Dengan begitu, irama yang kita mainkan akan mampu menyentuh hati siapa saja yang mendengar. Menggiring mereka pada kedalaman jiwa dan rasa yang sedang kita hayati. Bukankah begitu?”

“Betul. Lalu kenapa yang kaumainkan tadi iramanya jadi seperti itu? Seharusnya kau memainkan dengan jiwa bahagia.”

“Aku sudah memainkan dukka ronjangan dengan jiwaku. Jadi tidak ada yang perlu kusesali,”

“Kamu diundang untuk acara pernikahan, bukan kematian!” Suara ibu Marinten meninggi.

Marinten mendesah. “Apa aku harus bahagia dengan perkawinan Ka’ Arsap?” Ia menatap ibunya, lalu menggeleng lemah. “Tidak, Bu!”

“Dasar bodoh! Kau menyesal karena aku menolak lamaran Arsap?”

“Beri aku alasan, kenapa Ibu menolak lamarannya?”

“Dia tidak baik untukmu. Kau boleh menikah dengan siapa pun asal bukan dengannya!”

“Dengan siapa pun?” Senyum Marinten menyeringai, belum yakin ibunya tidak akan menjilat ludah sendiri.

“Ya! Dengan siapa pun!” Ibu Marinten menegaskan.

Marinten bangkit, “Baik, kalau begitu, besok aku akan ke rumah Ke Samulla, menerima lamarannya untuk menikahiku!” Marinten meninggalkan ibunya begitu saja.

Ibu Marinten tercekat di tempat. Punggung Marinten lenyap di balik pintu.

Marinten merebahkan tubuhnya ke lincak. Mengempaskan napas. Pikirannya mengawang. Marinten sudah tahu dengan alasan apa ibunya menolak lamaran Arsap. Antara Ke Samulla, Maksar dan ibunya, ternyata pernah terlibat suatu persoalan.

Dulu, Maksar dan Ke Samulla sama-sama menyukai ibu Marinten. Keduanya sering mencegat ibu Marinten di jalan ketika pulang dari undangan. Dua lelaki yang beda usia itu berebut akan melamar ibu Marinten. Namun ibu Marinten menjatuhkan hatinya pada Maksar. Selain lebih muda, lebih gagah dan tampan, Maksar juga pintar meramu kata-kata manis. Ke Samulla yang saat itu sudah hampir berkepala empat, tidak berdaya atas pilihan ibu Marinten.

Maksar merasa memeroleh kemenangan tanpa harus berperang. Ia berniat melamar ibu Marinten secepatnya. Namun orangtua Maksar justru tidak setuju karena ibu Marinten dikabarkan memiliki susuk pemikat, dan mencarikan perempuan lain.

Ke Samulla berang. Ia tidak terima Maksar menyia-nyiakan ibu Marinten begitu saja. Terjadi debat sengit antara mereka berdua. Hampir saja terjadi carok.

Bagi ibu Marinten, menolak lamaran Arsap merupakan suatu cara untuk membalik cerita masa lalu. Membayar sakit hati pada keluarga Maksar yang selama ini dipendamnya. Kalaupun ia menyuruh Marinten memenuhi undangan mereka memainkan dukka ronjangan, biar kesannya seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Marinten meringis. Gerahamnya bergesekan. Tatapannya menggantung ke langit-langit kamar.

Sepulang dari undangan tadi, Ke Samulla mencegat Marinten di jalan. Dari lelaki tua  yang belum pernah menikah hingga sekarang itulah Marinten mendengar kisah masa lalu ibunya, dan mendapatkan jawaban, mengapa ibunya menolak lamaran Arsap.

***

Dahi Marinten mengerut begitu membuka pintu, ia mendapatkan alunya yang digunakan semalam telah patah jadi tiga. Buru-buru Marinten berlari ke dapur. Sepi. Mulut tungku masih dingin membisu. Marinten juga tidak melihat parang yang biasanya disandarkan pada palang kaki lincak.

Dada Marinten berdegup kencang. Kembali ia berlari ke beranda. Memungut dua patahan alu dengan hati cemas.

Kabut tipis masih bergelayut di dahan-dahan pohon kelapa. Marinten menatap jauh ke jalan. (*)


Pamekasan, Januari 2013


Catatan:
[1] Ronjangan: tempat untuk menumbuk padi yang bentuknya memanjang, terbuat dari kayu.
[2] Menangan: tempat sirih-pinang yang terbuat dari bahan kuningan.
[3] Lalake’ padhana emas pa’lekoran!: lelaki ibarat emas 24 karat.
[4] Buruh taoh  mandi ka oloh: baru bisa mandi ke hulu, baru pandai berdandan.


Muna Masyari, nama pena dari Madinatul Munawwaroh. Tinggal di Pamekasan, Madura. Cerpennya termuat di pelbagai lokal dan nasional.

Belajar Setia

Cerpen Benny Arnas

Terbit di Media Indonesia, 20 Januari 2013




Bahan Referensi Cerpen - PADA kedatangan tak diundang dan tanpa pemberitahuan, pemuda 27 tahun itu sudah menyiapkan sebuah cerita untuk Mayang, perawan yang saban petang selalu menyendiri di simpang kabupaten. Kebiasaan yang sudah berumur 25 tahun.

Namun alih-alih mendengarkannya, perempuan itu bahkan tidak serta-merta bisa menerima kedatangan seorang tak dikenal. Pemuda itu berusaha tampak tenang, seolah sudah mengantisipasi semua kemungkinan. Ia katakan bahwa sudah hampir dua tahun ia mencari perempuan itu. Jadi, adalah konyol apabila ia harus kembali tanpa menuntaskan maksudnya.

Saya datang dari Binjai, sebuah dusun di Muarakelingi, katanya. Namun apalah arti sebuah tempat bagi kedatangan yang tiba-tiba. Mayang bergeming seperti tidak mendengar apa-apa. Bagi si pemuda, itu pertanda baik. Apalagi perempuan itu lalu membuka daun pintu lebih lebar dan menyilakannya masuk.

Ah, lampu-lampu di sepanjang jalan tujuannya mulai menyala.

Namun, baru saja ia duduk di kursi rotan tua dalam rumah papan itu, perempuan itu sudah mengejutkannya. “Namamu Musmulikaing,” begitu gumamnya. Intonasinya datar sehingga kalimat itu tak menjadi kalimat tanya. Dan, ia sepertinya memang tak memerlukan jawaban. Ia hanya menatap si pemuda tanpa selidik. “Aku tak pernah berpikir kalau kali ini mimpiku akan jadi kenyataan.” Lalu ia berlalu ke bilik belakang, menyeka tirai kerang yang sudah jarang dan renggang.

Pemuda itu diam. Matanya mengekor punggung si perempuan yang lenyap di balik bilik.

“Sudah puluhan tahun, ada suara yang selalu berdenging dalam mimpi-mimpiku. Seorang pemuda bernama Musmulikaing akan datang dalam waktu dekat.” Suara Mayang terdengar jelas dari balik bilik kayu itu. Sesekali bunyi sendok yang beradu dengan cangkir sayup mengetuk gendang telinga. “Namamu memang rada aneh tapi kedengarannya tak asing. Aku tak tahu kapan dan di mana namamu pernah kuakrabi. Ah biarlah, namanya juga mimpi, kadang tak bisa dinalar.” Perempuan itu sudah kembali menerobos tirai dengan secangkir teh hangat di tangan kirinya. “Tapi mimpi kali ini, bagaimanapun, rasanya ada yang lain.” Ia meletakkan cangkir teh itu di atas meja lalu duduk di kursi rotannya. “Minumlah. Tamu adalah raja. Apalagi tamu dari alam mimpi.” Ia tertawa kecil, seperti mengejek kata-katanya sendiri.

Pemuda itu cengengesan. Tangan kanannya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Di zaman sekarang, mimpi yang benar-benar mengisyaratkan sebuah kejadian sudah langka. Mimpi tak lebih sebagai perpanjangan kehendak seseorang; apa-apa yang tidak atau belum mampu diraih di alam nyata, ia bawa ke dalam tidurnya. Mimpi yang begitu, yang disebut bunga tidur, mimpi yang tak berguna!”

“Lalu untuk apa seseorang dalam mimpi itu mendatangimu?” tanya pemuda itu setelah menyeruput teh.

Mayang menggeleng. “Tapi… bukannya, kau ingin bercerita?”

***

Syahdan, seorang laki-laki mengungkapkan rahasia terbesar dalam hidupnya.

Ketika masih muda, ia menjalin hubungan dengan seorang gadis. Pemuda itu ingin mempersembahkan kejutan kepada gadisnya dengan meminangnya tiba-tiba. Benar! Apa yang ia lakukan memang mengejutkan. Pinangannya ditolak. O, bagaimana ia lupa kalau seseorang yang lahir, tinggal, dan berdikari di Binjai, dusun rumah tinggi yang hidup dari menyadap karet dan menjaring ikan seluang di anak Sungai Musi, taklah mampu berdiri di atas anak tangga yang sama dengan gadis keturunan pesirah di Kayuara.

Tercorenglah keluarga besar sang pemuda. Betapa malunya. Sang gadis benar-benar kecewa dengan apa yang keluarganya perbuat. Ia memang menyesalkan tingkah kekasihnya yang tiba-tiba datang dengan 20 orang sanak kerabat, 12 nampan berisi bejek ketan hitam, 6 tandan pisang tanduk, dan sepikul beras dayang rindu. Namun, sungguh, semuanya menguap dan menjadi tak berarti bila dibandingkan dengan ketakterimaannya atas kepongahan keluarganya. Maka, lewat seorang pesuruh yang setia, ia mengirimkan sepucuk surat kepada si pemuda. Ternyata maksud tak selamanya selaras dengan kenyataan. Surat yang dilemparkan si pesuruh—sebagaimana amanah si gadis—lewat daun jendela kamar si pemuda, tertangkap pandang oleh ayah si pemuda.

Sebuah rencana pembalasan pun disiapkan. Sang ayah tak pernah menyampaikan surat itu kepada putranya. Bahkan, hingga putranya ia jodohkan dengan seorang perempuan yang masih berkerabat jauh satu tahun kemudian.

Ia tahu, putranya menerima begitu saja karena kecewa pada kekasihnya yang tiada kabar berita setelah pengusiran itu. Bagi si pemuda, peristiwa memalukan itu bagai menegaskan bahwa gadis itu sengaja menjauh darinya, melepas hubungan yang sudah sekian lama dikebat….

Istrinya, karena tak kuat menjadi pajangan yang hanya digauli di malam punai, akhirnya meradang berpanjangan. Sebenarnya, tiadalah si pemuda bermaksud demikian. Namun, alam bawah sadar bagai menuntunnya untuk melakukan hal-hal yang bukan tabiatnya. Mereka tak ubahnya dua orang asing yang dirumahkan. Tanpa sapa, canda, apalagi cerita mesra. Entah karena ajal yang sudah tiba atau rajaman kenelangsaan, sang istri meregang nyawa beberapa hari seusai melahirkan anak pertama; laki-laki.

Suaminya membesarkan putra semata wayangnya sendirian. Ia ingin membuktikan kepada ayahnya yang sudah renta bahwa cintanya kepada gadis Kayuara itu tak akan luruh hingga kapan pun, oleh apa pun. Awalnya sang ayah tak mengacuhkan. Namun, mendapati kenyataan bahwa putranya mampu hidup sendirian sembari membesarkan cucunya hingga bujang, adalah tamparan keras baginya. Ia trenyuh. Sungguh, sebenarnya ia benci pada ketaklukannya. Namun begitu, sejatinya ia lebih benci lagi pada keegoisannya yang berlumut dan baru terkikis setelah hampir seperempat abad kemudian—walaupun ia jua takkan lupa kesombongan keluarga si gadis.

Maka, pada suatu malam yang temaram, di ujung sakit tersebab usia yang berkarat, ia membuka rahasia itu. Tentang surat itu. Tentang pertemuan—di simpang kalangan dekat pohon merbau di Muarabeliti jelang terbenamnya matahari—yang tak pernah ia beritakan kepada putranya.

***

“Simpang Muarabeliti—ibu kota kabupaten?” Tiba-tiba perempuan itu menyela.

Pemuda itu mengangguk.

“Petang?” Pemuda itu mengangguk lagi.

“Jadi surat itu tak pernah dibacanya? Apakah laki-laki itu tahu bahwa, hingga saat ini, gadisnya masih melajang?”

Pemuda itu diam.

“… dan hidup sebatang kara karena keluarganya tak sudi punya anak pembangkang, tak sudi serumah dengan gadis yang mencintai pemuda tak sepadan.”

Tiba-tiba perempuan itu bangkit dari tempat duduknya. “Mengapa, mengapa ceritamu….”

“Ya, mungkin Ibu heran mengapa ceritaku sangat mirip dengan kisah hidup Ibu, bukan? Ibu pernah tinggal di Kayuara?”

“Jangan sok tahu!” Suara Mayang meninggi.

“Bukannya Ibu yang sok tahu?” Pemuda itu balas berseru. “Ibu sok tahu kalau gadis dalam ceritaku masih melajang hingga kini!”

Mayang tercenung seperti terhenyak. Lalu perlahan ia kembali duduk. “Ternyata penantianku adalah panggilan tanpa bunyi dan jawaban.” Suaranya terdengar lempang tanpa gairah. Matanya memerah.

“Penantian? Menantikan laki-laki dalam ceritaku?” Suara pemuda itu lirih, hampir tak terdengar.

Mayang tak menjawab. Hanya air matanya yang tiba-tiba meleleh.

“Menantikan Semibar?” Suara pemuda itu bagai tercekat.

“Dan kau adalah Musmulikaing.” Suara Mayang memarau. Ada senyum tipis, sangat tipis, menggurat di bibir perempuan itu. Ia menyeka air matanya dengan ujung baju katunnya.

“Bukan!” tukas pemuda itu cepat. “Aku….”

“Ya, bukan hanya itu!” potong Mayang tak kalah cepat. “Musmulikaing adalah buah perkawinan Semibar dengan Jeruma yang tak berumur lama.”

Mulut pemuda itu terkunci.

“Dan gadis Kayuara itu adalah Mayang Nilamsari binti Umar Hamid, kan?!”

Pemuda itu tiba-tiba merasa kerongkongannya menyempit.

Perempuan itu kini tersenyum, benar-benar tersenyum. “Terima kasih atas ceritamu. Ayahmu memang pujangga ulung. Untuk menjelaskan semua keganjilan masa silam kami, ia bahkan merasa perlu mengutusmu untuk bertandang dalam mimpi-mimpiku sebelum akhirnya hadir di hadapanku.”

Pemuda itu tersenyum, senyum yang lebih mirip seringaian.

“Aku tidak marah pada Semibar. Tak ada guna. Aku bahkan memaklumi perkawinan itu. Cinta yang tulus adalah tinta daun bilau yang menetes di kain kafan, nodanya takkan terkelupas apalagi terhapus oleh air hujan sekalipun. O ya, sampaikan pada ayahmu: ‘Ada salam dariku’.”

Pemuda itu bangkit dari tempat duduknya. Sebenarnya ia ingin menjelaskan kalau namanya bukan Musmulikaing. Tapi hal itu menjadi tidak penting lagi ketika mendapati kenyataan yang begitu menggetarkan: seorang perempuan rela melajang hingga usianya merayap separuh abad.

Pemuda itu mencium punggung tangan Mayang dengan takzim, seolah tengah mengucapkan selamat tinggal kepada ibu kandungnya, untuk membawa kabar gembira nan memilukan ke tepian anak Sungai Musi lalu menyampaikannya kepada Semibar.

Kepada ayahnya. (*)

------------

Linggau, Agustus-Desember 2012
Benny Arnas, mengelola Benny Institute di Lubuk Linggau, Sumsel. Buku terkininya Bulan Celurit Api (2010) dan Jatuh dari Cinta (2011).

Panggung Sisyphus

Cerpen Apendi

Terbit di Kompas, 27 Januari 2013




Bahan Referensi Cerpen - HIDUP ini absurd. Tak layak dijalani. Dan karena itulah ia tidak terkejut lantaran menyadari bahwa ia tidak merasa sedih andaikata malam ini juga ia ditinggal pergi oleh neneknya yang sedang terbaring koma karena kelelahan.

Namun meski demikian bukan berarti ia tidak dilanda perasaan bersalah dan penyesalan. Laki-laki itu sebenarnya sudah tahu dari dulu, sewaktu neneknya masih sehat, bahwa ia akan sama seperti orang lain pada umumnya—menangis dan menyesal ketika ditinggal pergi orang yang dicintai, dan bukannya memanfaatkan waktu sebaik-baiknya ketika mereka masih hidup.

Seharusnya ia yang cuci piring. Seharusnya ia yang pergi belanja ke pasar, dan memasak, dan menyapu, dan mengepel dan… dan… segala tetek-bengek lainnya yang ia anggap sebagai pekerjaan “tak penting” karena menghabiskan banyak waktunya yang seharusnya bisa digunakan untuk menulis.

Lima tahun ia telah berjuang di jalan pena ini, dan selama lima tahun itu hidupnya bagai raja dalam dongeng. Ia tak perlu mengkhawatirkan perutnya karena makanan akan selalu siap saji di atas meja. Neneknya yang memasak untuknya, mengurus rumah, dan bahkan mencuci pakaian kotornya.

Seharusnya ia yang mencuci baju.

Seperti kebanyakan penulis lainnya, laki-laki itu pada mulanya menganggap bahwa ia hanya perlu bekerja keras selama satu-dua tahun, dan setelah novel pertamanya terbit dan meledak di pasaran, maka ia akan punya cukup banyak uang dan waktu untuk menemani dan membahagiakan neneknya. Ia tak perlu menjadi seperti orang lain yang menghabiskan delapan sampai sepuluh jam waktu mereka hanya untuk mencari uang dan mengabaikan kebersamaan dengan orang terdekat.

Malam ini, ketika sedang menjaga neneknya, laki-laki itu sadar bahwa tidak diperlukan sepeser pun, pada waktu itu, untuk membantu neneknya mencuci piring atau melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya.

Namun setelah menyadari kenyataan itu pun, ia tetap merasa risau. Andaikata neneknya siuman dan kembali pulih, lalu apa yang akan terjadi? Siklus akan kembali bergulir. Sisyphus akan menggelindingkan batu kembali. Lelaki itu akan menghabiskan banyak waktunya untuk menulis dan membaca dan membiarkan neneknya mengurus rumah tangga.

Jika ia mempunyai kesadaran, ia akan pergi bekerja. Tapi hati kecilnya tahu kalau uang banyak juga tidak akan menyelesaikan masalah. Uang tidak bisa membantu neneknya untuk mencuci piring, mengepel atau menyapu lantai. Mungkin uang bisa menggaji seorang pembantu untuk melakukan semua itu, tapi melakukan hal itu sendiri dan menggaji seseorang untuk melakukan itu, akan berbeda sama sekali. Apalagi jika tujuannya adalah untuk mewujudkan rasa bakti.

Lalu, jika ia memilih untuk tinggal di rumah dan membantu pekerjaan rumah tangga (dan mengorbankan waktu menulisnya), ia akan merasa seperti parasit lajang, dan laki-laki itu tahu kalau neneknya juga cemas memikirkan masa depan cucunya setelah ia pergi nanti.

Laki-laki itu tahu kalau neneknya berharap ia pergi keluar mencari kerja seperti pemuda-pemuda lainnya, tapi persoalannya ialah ia tidak ingin menjadi seperti orang lain pada umumnya. Ia ingin menghasilkan uang dalam pekerjaan yang benar-benar dicintainya.

***

Seolah masalahnya belum cukup, masalah yang lain pun bermunculan. Mahasiswi kedokteran itu datang lagi pada malam jaganya yang ketiga. Seperti biasa, mahasiswi itu mengatur cairan infus, dan menanyakan seberapa banyak neneknya minum air.

Sikap ramahnya tidak dibuat-dibuat dan ia menjalankan tugasnya dengan baik. Pada malam jaganya yang pertama ketika ia bertemu dengan mahasiswi itu, laki-laki itu merasa hidup benar-benar sebuah lelucon. Neneknya menderita penyakit serius sementara mereka (mahasiswa dan mahasiswi magang) menganggapnya hanyalah sebuah persoalan. Sebuah ujian yang harus diselesaikan tak peduli apakah si pasien pada akhirnya dalam kondisi hidup atau mati. Dan ia sendiri, si lelaki, merasa tidak berdaya akan panggung kehidupan yang ditawarkan padanya. Ia tidak mempunyai pengetahuan medis untuk membuktikan apakah seorang dokter atau asisten magang menjalankan tugasnya dengan baik, atau mungkin malpraktik.

Andaikata dahulu ia memilih untuk menjadi seorang dokter daripada seorang penulis, mungkin saat ini ia dapat berdiri bersebelahan dengan mahasiswi yang ingin dikenalnya itu dan menyamakan derajat sosialnya. Tapi nyatanya, di sinilah ia sekarang. Hubungannya dengan gadis itu hanyalah sebatas pemain dan penonton.
Gadis itu akan menyelesaikan kuliahnya, magang, dan menjadi dokter sementara ia sendiri tidak pasti dengan karirnya sebagai penulis. Gadis itu akan dapat hidup mandiri, menolong orang, dan mempunyai masa depan yang cerah sementara ia akan mengemis sepanjang hidupnya demi menyelesaikan novel-novelnya yang ia pikir akan bestseller. Ia juga akan lebih banyak membuat pembacanya bunuh diri ketimbang mendapat manfaat dan “pesan moral” dari buku-bukunya.

Namun tentu saja ada kemungkinan di masa depan sang gadis terlalu jenuh melihat kematian dan sudah terlalu lelah dan bosan untuk menolong pasien sehingga menjadikannya lebih materialistis. Dan karena itulah si lelaki ingin mengenal sang gadis saat ia masih memiliki jiwa idealisnya. Ia pun ingin tahu apakah sang gadis masih ingat dirinya andaikata mereka bertemu dua puluh tahun lagi sebagai pasien dan dokter.

Laki-laki itu telah melatih percakapan imajiner itu di malam kedua. Sang gadis sedang menuangkan air seni neneknya yang ada di dalam kantong ke ember plastik untuk diukur.

Laki-laki itu bertanya, “Kamu sedang magang ya, di sini?”

Gadis itu menoleh, setengah terkejut kebekuan di antara mereka pecah, dan setengah terusik karena hubungan profesionalnya terganggu.

“Boleh kenalan? Aku Casey.”

Gadis itu melirik ke arah pintu, khawatir rekan kerjanya memergokinya dalam situasi seperti ini.

“Casey?” gadis itu mengerutkan kening.

“Ah, ya, nama samaran!” jawab laki-laki itu.

“Kau ingin berkenalan denganku dan menggunakan nama samaran?” tanya gadis itu sedikit tertarik.

“Kuberi tahu nama asli pun kau pasti akan melupakannya,” sahut Casey.

Gadis itu sedikit terganggu atas perasaan rendah diri lawan jenisnya.

“Aku Maria Francisca,” ia mengulurkan tangannya dan Casey menyambutnya.

“Nama asli?”

“Ya. Kau tak akan lupa?”

“Tidak akan pernah,” sahut Casey mantap.

Selama beberapa saat mereka berdiam diri satu sama lain.

“Kau percaya kalau kukatakan aku belum pernah mengajak berkenalan seorang cewek pun?”

Maria tersenyum. Casey menebak jalan pikirannya. “Ya. Aku percaya.”

“Kau tahu mengapa aku ingin mengenalmu?” tanya Casey.

“Tidak karena kau tertarik padaku? Karena kau ingin mengajakku nonton?”

“Itu karena kita tidak akan pernah bertemu lagi. Atau bertemu dua puluh tahun dari sekarang sebagai dokter dan pasien tapi kau tak mengingatku.”

Maria terkesima, “Kau punya imajinasi yang bagus.”

Casey tersenyum pahit. “Aku senang kita bisa bertemu pada saat sekarang ini. Apa kau punya e-mail atau nomor HP? Aku mungkin membutuhkan bantuanmu dua puluh tahun lagi!”

“Aku tidak punya utang apa-apa padamu. Dua puluh tahun lagi mungkin aku akan menolak membantumu.” Meskipun demikian ia tetap menyerahkan nomor HP-nya karena mengira Casey akan meneleponnya seminggu lagi.

“Itu pilihanmu,” sahut Casey.

Sepuluh atau dua puluh tahun lagi dia membutuhkan seorang dokter yang mau membantunya menjual ginjalnya atau melakukan eutanasia. Seorang dokter yang berani mempertaruhkan izin praktiknya. Maria mungkin mau membantunya. Dan mungkin tidak. Tapi tidak ada salahnya dia berkenalan dengan gadis itu dan menabung mulai dari sekarang.

Sayangnya, percakapan imajiner itu tetaplah menjadi sebuah ilusi yang ada di dalam pikiran laki-laki itu. Ia tidak pernah berani mengajak gadis itu berkenalan sampai pada saat neneknya sembuh. Maria tidak pernah menyadari keberadaan Casey. Baginya laki-laki itu hanyalah keluarga pasien yang datang dan pergi. Terlupakan.

Casey meringis. Dia bukanlah apa-apa di dunia nyata ini. Rumah sakit ini bukan panggungnya. Satu-satunya cara agar gadis itu mengingatnya adalah dengan membuat cerpen atau novel yang bagus. Mungkin gadis itu akan sadar bahwa sosoknya telah menghiasi salah satu malamnya. Ia berharap gadis itu membacanya. (*)

Aksara Amananunna

Cerpen Rio Johan

Terbit di Suara Merdeka, 27 Januari 2013





BERBULAN-BULAN setelah Tuhan mengacaukan bahasa, Amananunna belum pula menemukan bahasanya. Pemuda yatim piatu itu bagai punya kutuk dalam garis kismatnya. Berminggu-minggu dihabiskannya mengelilingi kaki ziggurat Raja Nimrod yang jadi biang amuk Tuhan, menajamkan telinga dan bersusah-payah menangkap bebunyian yang datang dari mulut-mulut manusia sekitar. Tidak satu pun bunyi yang dia mengerti. Lidah yang satu dengan yang lainnya bisa berbeda sama sekali. Seringnya yang dia tangkap cuma suara-suara asing yang coraknya tak bisa dia kenali apalagi rumuskan. Semuanya seperti bunyi kacau yang justru menganggu ketimbang mampu dimengertinya. Kesal, dia menendang basis ziggurat yang jadi perlambangan hubrisitas Raja Nimrod itu.

Tiga minggu dia bertahan di Tanah Babel, tapi tak satu pun lidah manusianya yang bisa bersahabat dengan telinganya. Dia justru heran bagaimana manusia-manusia sekelilingnya bisa tetap bercakap-cakap sebab bahasa yang satu belum tentu sama dengan lainnya. Dia bertanya-tanya, bagaimana bisa cuma dia seorang yang tak punya keserasian lidah dan telinga dengan satu manusia mana pun di penjuru kota ini. Pernah dia mencoba menguji lidahnya, mencoba-coba melafalkan apa yang baru saja keluar dari mulut seorang tetua bermulut besar di satu sisi pasar. Hasilnya sama saja. Yang keluar dari lidahnya tak bisa dimengerti tetua itu. Yang dibalas tetua itu pun tak bisa ditangkap oleh telinganya.
Akhirnya Amananunna memutuskan berkelana dengan harapan menemukan bahasa yang bisa berserasi dengan telinga juga lidahnya. Gurun-gemurun diarunginya, jajaran jejabalan ditalukannya. Tanah Lullubi. Kota Hamazi. Uri-ki. Susin. Shubur. Sampai ke tanah orang-orang Mar-tu. Dilmun. Bahkan suku-suku tanpa nama yang tinggal di Tanah Anshan. Lapar dan lelah harus dia tahan. Kadang-kadang, kalau mujur nasibnya, dia mendapat buruan atau sekadar penganan dari orang-orang nomad baik hati yang ditemuinya—sekalipun untuk berkomunikasi, dia mesti menggunakan isyarat badan, bukan lisan. Tersebab tuntutan perutnya sudah tak bisa ditunda-tunda, pernah juga dia terpaksa makan rerumputan, reptil gurun pasir, juga bangkai yang dirasanya masih layak makan. Semua itu dilakukan Amananunna demi pencarian bahasa.
Namun, tidak satu pun lidah yang dia temui bisa berserasi dengan telinganya. Telinganya serasa terlaknat sehingga tidak lagi punya kuasa menangkap kata-kata. Dia tidak tuli. Beberapa orang yang dia temui mengira dia tuli. Telinganya mampu menangkap suara-suara, tapi tidak kata-kata. Beberapa orang lagi malah menuduhnya idiot. Dia pernah diusir oleh salah satu suku tribal penghuni kaki sebuah jabal karena dianggap membawa kemalangan. Betapapun, dia terus melangkah. Dia terus berkelana mencari bahasa. Hingga melampaui Tanah Sinar. Menumpang sekoci pemukat—beruntunglah keterampilan isyarat badannya sudah dilatih pengalaman—menaungi Laut Merah. Eridu. Uruk. Uru. Samarra. Sungai Tigris. Sampai Tanah Mediterania. Entah sudah berapa masa dia berkelana. Entah sudah sampai mana akhirnya dia merasa lelah.

Dia terduduk di sepucuk batu di wilayah yang sama sekali tidak dia mengerti. Ngarai terjal berdiri gagah di hadapannya. Sialnya ngarai itu berpacak di sisi yang salah sehingga tubuhnya tak terlindung dari sengatan siang. Bercucurlah keringatnya, mengalir dari puncak kepala; beberapa bulir yang singgah di mulut sengaja ditelannya, beberapa lagi dibiarkan menitik pada tanah yang kering-panas. Entah bagaimana dia merasa mendengar bunyi bebuliran peluhnya menyentuh muka tanah. Semacam bebunyian menguap di telinganya. Tahu-tahu ada hawa panas mengembusi liang telinganya—berbisik! Bahasa. Detik selanjutnya dia siuman. Tubuhnya telah terkapar di tengah hamparan tanah tandus. Sengatan siang masih juga menampar-nampar kulit pipinya yang sudah begitu menyala-nyala. Pepasiran mengembus pori-pori kulit mukanya. Itu juga kali pertama dia merasa begitu tercerahkan. Amananunna memutuskan: dia akan merumuskan bahasanya sendiri.
***
DIA melanjutkan pengelanaan dengan tujuan baru. Dia menciptakan kata-katanya sendiri berdasarkan apa saja yang bisa dia dengar dan dia lihat. Tak jarang pula dia menciptakannya sepatah kata secara tiba-tiba. Dan, pernah pula dia menyadur dan mengutak-atik ucapan-ucapan manusia-manusia yang pernah ditangkapnya yang sebetulnya dia tidak mengerti makna aslinyamenjadi bahasanya sendiri. Dia berkelana dari kota ke kota, suku ke suku, tanah ke tanah, selain untuk merumuskan bahasanya sendiri, juga untuk menyebarluaskan khazanah lisannya pada manusia-manusia lain. Sebab, apalah artinya merumuskan bahasa bila hanya dia sendiri penggunanya.
Namun, apadaya Amananunna yang jelaslah bukan siapa-siapa selain pengelana malang di tengah rimbunan bahasa asing yang sudah duluan merajalela. Orang-orang yang ditawarinya berbahasa menggunakan bahasanya selalu menganggapnya gila atau idiot. Tak ada yang memedulikannya; tak ada yang menyeriusinya. Bagaimana pula dia bisa menyebarluaskan bahasanya di tengah rimbunan bahasa-bahasa yang telinganya sendiri tidak bisa memahami? Dia tak punya kuasa ilahiah untuk itu.
Amananunna perlu berpikir keras.
Maka, berpikirlah Amananunna di tepian sungai di dekat pemukiman suku-suku tribal. Dipandangnya erat arus-arus juga sinaran siang yang sudah merasuk ke dalam gelombang larung sungai. Pantulannya terombang-ambing. Cuma bayangannya yang menetap di sana. Menetap di dekat bayang-bayang manusia lain. Manusia lain! Ada perempuan di sampingnya! Sungguh, belum pernah dia menyaksikan keindahan yang seperti itu! Wujud indah itu dililit kain-kain bening; rambut ikalnya panjang sepinggang. Setipis senyum timbul manakala mendapati mata Amananunna menancap pada matanya.
Perempuan itu cuma menumpang minum. Barangkali dia juga pengelana. Dengan seranting kayu Amananunna mengukir suatu aksara baru pada tanah basah: Ketika itulah dia menemukan kata yang maknanya kurang lebih “cinta.” Senyum perempuan itu jadi tumpah-ruah.
Singkat cerita, Amananunna mendapat teman berkelana. Perempuan yang tidak dia ketahui namanya dan kelak dia beri nama Manatumanna—sesuai dengan aksara dan lafal lisan ciptaannya—juga merasa cinta pada dirinya. Perempuan itu diberi pengetahuan aksara dan bahasa Amananunna. Perempuan itu rela menanggalkan aksara dan bahasanya sendiri demi cintanya. Perempuan itu pulalah yang diyakini Amananunna sebagai mukjizat ilahiah, jembatan bagi keberlanjutan bahasanya. Pada pemberhentian tertentu, keduanya bercinta di bawah naungan restu Inanna—dewi asmara dan kesuburan. Entah pada pemberhentian keberapa Manatumanna mengandung bakal keturunan. Amananunna girang sejadi-jadinya. Bakal penerus bahasanya sudah di depan mata. Tersebab kondisi itu pula keduanya memutuskan menetap di sebuah pedusunan suku tribal yang tak pernah bisa mereka eja namanya.
Puluhan minggu berlalu dan tibalah masa kelahiran. Putranya diberi nama Ilanumanna, sesuai dengan aksara dan bahasa Amananunna. Beberapa minggu selanjutnya mereka sudah melanjutkan pengelanaan dengan satu tambahan anggota. Kota ke kota, suku ke suku, tanah ke tanah. Sambil sesekali mencoba menawarkan bahasa ke manusia-manusia yang mereka temui, walaupun hasilnya percuma. Entah sudah berapa masa mereka berkelana. Entah sudah berapa perhentian dan berapa malam bernaungan restu Inanna. Mereka tidak peduli lapar ataupun lelah. Seiring itu, Ilanumanna tumbuh besar, gagah, dan rupawan. Kepiawaiannya berburu serta kebugaran jasmaninya jauh melampaui Amananunna. Juga, sesuai dengan kehendak ayahandanya, pemuda itu tumbuh dalam aksara dan bahasa Amananunna, bukan yang lain.
***
ENTAH pada masa keberapa pula Dewi Inanna menjatuhkan restu kedua. Putra kedua Amananunna lahir dan diberi nama Ilalumanna. Harapan Amananunna pada si bungsu sama besarnya dengan si sulung. Sayang harapan itu terlalu muluk. Ilalumanna tumbuh sebagai lelaki lemah dan pesakitan. Ketimbang turut serta dalam perburuan, Ilalumanna malah membantu tugas ringan ibundanya. Karena dua alasan, tuntutan kesejahteraan dan ketakutan akan pengaruh bahasa-bahasa lain, Amananunna memutuskan untuk membentuk koloni sendiri. Tanah yang dipilihnya: tanah ngarai tempat dia pertama kali mendapati bisikan ilham untuk mencipta bahasa. Seingatnya, ada sungai dan sabana yang bisa jadi sumber hidup mereka tak jauh ngarai itu.
Bertahun-tahun mereka menetap, berburu, bercocok-tanam, juga mengembala sapi dan domba, masih ada satu pikiran yang mengusik Amananunna: keturunan.
Keberlanjutan keturunan diperlukannya untuk melanjutkan tradisi lisan, tapi Inanna tak lagi memberi restu pada mereka. Dia tak punya anak perempuan yang bisa dikawinkan dengan putra-putranya. Tubuhnya sendiri sudah mulai tua dan renta. Dia merasa perlu mengambil langkah segera. Maka, diperintahkannya putra sulungnya, yang semakin hari semakin gagah nan rupawan, mengawini perempuan dari kota terdekat. Ilanumanna patuh dan bersicepat menjalankan tugas ayahandanya. Sial bagi Ilalumanna, sebab si bungsu itu jadi dibebani tugas-tugas kakandanya.
Berminggu-minggu, berbulan-bulan, entah sudah berapa masa, Ilanumanna tak juga pulang membawa pinangan. Ketika Amananunna mendatangi kota tempat putranya berlabuh, si putra sulung tidak lagi memahami aksara dan bahasa ayahandanya. Ilanumanna sudah menanggalkan aksara dan bahasa ayahandanya demi cintanya pada satu perempuan. Amananunna cuma bisa menyaksikan cucu-cucunya tanpa bisa menurunkan pengetahuan lisannya. Telinga dan lidahnya kehilangan kuasa di tengah keturunannya sendiri.
Amananunna pulang dengan harapan yang sudah lebur. Tersebab kerja berlebihan yang bagai tak tertanggungkan, putra bungsunya semakin hari semakin lemah dan pesakitan. Amananunna tak bisa melihat harapan pada si bungsu. Betapapun, dia tidak ingin aksara dan bahasa ciptaannya lenyap begitu saja. Amananunna menempuh cara terakhir. Pria renta itu mengukir aksara-aksara bahasanya di ceruk-ceruk ngarai, pada bebatuan besar, juga di dinding gua. Setidaknya, dengan cara itu dia bisa meninggalkan jejak ciptaannya. (*)


Surakarta, 19-11-2012
Rio Johan, mahasiswa penyuka sastra dan film dan aktif di Komunitas Pawon, Surakarta.