Cerpen Iksaka Banu
Terbit di Koran Tempo, 28 Oktober 2012
Bahan Referensi Cerpen - CHEVROLET tua yang kutumpangi semakin melambat, sebelum
akhirnya berhenti di muka barikade bambu yang dipasang melintang di
ujung jalan Noordwijk. Sebentar kemudian, seperti sebuah mimpi buruk,
dari sebelah kiri bangunan muncul beberapa orang pria berambut panjang
dengan ikat kepala merah putih dan aneka seragam lusuh, menodongkan
senapan.
“Laskar,” gumam Dullah, sopirku.
“Pastikan mereka melihat tanda pengenal wartawan itu,” bisikku.
Dullah menunjuk kertas di kaca depan mobil. Salah seorang penghadang melongok melalui jendela.
“Ke mana?” tanya orang itu. Ia berpeci hitam. Kumisnya lebat, membelah wajah. Sepasang matanya menebar ancaman.
“Merdeka, Pak! Ke Gunung Sahari. Ini wartawan. Orang baik,” Dullah,
dengan raut muka yang dibuat setenang mungkin, mengarahkan ibu jarinya
kepadaku.
“Turun dulu baru bicara, sontoloyo!” bentak si kumis sambil memukul bagian depan mobil. “Suruh bule itu turun juga!” sambungnya.
Tergesa, Dullah dan aku menuruti perintahnya. Dibantu beberapa
rekannya, si kumis menggeledah seluruh tubuh kami. Sebungkus rokok
Davros yang baru kunikmati sebatang segera berpindah ke saku bajunya.
Demikian pula beberapa lembar uang militer Jepang di dalam dompet.
Seorang laskar lain masuk ke dalam mobil, memeriksa laci, lalu duduk di
kursi sopir, memutar-mutar roda kemudi seperti seorang anak kecil.
“Martinus Witkerk. De Telegraaf,” si kumis membaca surat tugas, lalu menoleh kepadaku. “Belanda?”
“Tidak bisa bahasa Melayu, asli dari sana,” sergah Dullah. Tentu saja ia berdusta.
“Aku tanya dia, bukan kamu. Sompret!” si komandan menampar
pipi Dullah. “Teman-temanmu mati kena peluru, kamu ikut penjajah. Sana,
minggat!” ia mengembalikan dompetku sambil menikmati rokok rampasannya.
“Terima kasih, Dullah,” kataku setelah kendaraan kembali melaju. “Kamu baik-baik saja?”
“Tak apa, Tuan. Begitulah sebagian dari mereka. Mengaku pejuang, tapi
masuk-keluar rumah penduduk, minta makanan atau uang. Sering juga
mengganggu perempuan,” sahut Dullah. “Untung saya yang mengemudi. Bila
Tuan Schurck yang pegang, saya rasa tuan berdua tidak akan selamat.
Mereka suka menghabisi orang Eropa yang mudah marah seperti Tuan
Schurck. Tidak peduli wartawan.”
“Jan Schurck memang pandai membahayakan diri,” aku tersenyum. “Itu sebabnya majalah Life memberinya gaji tinggi.”
“Tuan yakin alamat si nona ini?”
“Ya, seberang Topografisch Bureau. Tidak mau pergi dari situ. Si Kepala Batu.”
Kepala batu. Maria Geertruida Welwillend. Geertje. Aku bertemu wanita
itu di kamp internir Struiswijk, tak lama setelah pengumuman resmi
takluknya Jepang kepada Sekutu.
Waktu itu, di hotel Des Indes, yang sudah kembali ditangani oleh
manajemen Belanda, aku dan beberapa rekan wartawan tengah membahas
dampak sosial di Hindia seiring kekalahan Jepang.
“Proklamasi kemerdekaan serta lumpuhnya otoritas setempat membuat
para pemuda pribumi kehilangan batas logika antara ‘berjuang’ dan
‘bertindak jahat’. Rasa benci turun-temurun terhadap orang kulit putih
serta mereka yang dianggap kolaborator, tiba-tiba seperti menemukan
pelampiasannya di jalan-jalan lengang, di permukiman orang Eropa yang
berbatasan langsung dengan kampung pribumi,” Jan Schurck melemparkan
seonggok foto ke atas meja.
“God Almachtig. Mayat-mayat ini seperti daging giling,” Hermanus Schrijven dari Utrechts Nieuwsblad
membuat tanda salib setelah mengamati foto-foto itu. “Kabarnya, para
jagal ini adalah jawara atau perampok yang direkrut menjadi tentara.
Sebagian rampasan dibagikan kepada penduduk. Tapi kerap pula diambil
sendiri.”
“Bandit patriot,” Jan mengangkat bahu. “Terjadi pula semasa Revolusi
Prancis, Revoulsi Bolshevik, dan di antara para partisan Yugoslavia hari
ini.”
“Anak-anak haram revolusi,” aku menimpali.
“Aku benci perang,” Hermanus membuang puntung rokoknya
“Warga Eropa tidak menyadari bahaya itu,” kataku. “Setelah lama
menderita di kamp, tak ada lagi yang mereka inginkan kecuali selekasnya
pulang. Mereka tak tahu, si Jongos dan si Kacung telah berubah menjadi
pejuang.”
“Kurasa banyak yang tidak mendengar maklumat dari Lord Mounbatten
agar tetap tinggal di kamp sampai pasukan Sekutu datang,” Eddy Tayor,
dari The Manchester Guardian, angkat bicara.
“Ya. Dan para komandan Jepang, yang sudah tidak memiliki semangat
hidup sejak kekalahan mereka, cenderung membiarkan tawanannya minggat.
Ini mengkhawatirkan,” Jan menyulut rokok, entah yang ke berapa.
“Bisa lebih buruk. Tanggal 15 September kemarin, pasukan Inggris tiba di Teluk Batavia,” aku menujuk peta di meja. “Sebuah cruiser
Belanda yang menyertai pendaratan itu konon telah memicu keresahan
kalangan militan di sini. Bagi mereka, hal itu seperti menguatkan dugaan
bahwa Belanda akan kembali masuk Hindia.”
“Well, ini di antara kita saja. Menurut kalian, apakah Belanda berniat kembali?” Eddy Taylor menatap Jan dan aku, ganti-berganti.
Mendadak pembicaraan terpotong teriakan Andrew Waller, wartawan Sydney Morning Herald,
yang setia memantau perkembangan situasi melalui radio: “Menarik! Ini
menarik! Para mantan tentara KNIL dan tentara Inggris pagi ini
memindahkan para penghuni kamp Cideng dan Struiswijk.”
Tak membuang waktu, kami semua berangkat pergi. Aku dan Jan memilih mengunjungi Kamp Tawanan Struiswijk.
Mayor Adachi, komandan Jepang yang kami temui, menyambut gembira upaya pemindahan besar-besaran ini.
“Patroli kami kerap menjumpai mayat orang Eropa yang melarikan diri dari kamp. Tercincang dalam karung di tepi jalan,” katanya.
Aku mengangguk sembari mencatat. Tetapi sesungguhnya mataku terpaku
pada Geertje yang berjalan santai menenteng koper. Bukan menuju
rombongan truk, melainkan ke jalan Drukkerijweg, bersiap memilih becak.
“Hei, Martin!” teriak Jan Schruck. “Gadis itu melirikmu sejak tadi. Jangan tolak keberuntunganmu. Kejar!”
Aku memang mengejarnya, tetapi segera menerima kejutan besar.
“Aku tidak ikut,” Geertje menatapku tajam. “Truk-truk ini menuju
Bandung. Ke tempat penampungan di Kapel Ursulin. Sebagian lagi ke
Tanjung Priok. Aku harus pulang ke Gunung Sahari. Banyak yang harus
kukerjakan,” katanya.
“Maksudmu, sebelum Jepang datang, engkau tinggal di Gunung Sahari, dan sekarang hendak kembali ke sana?” tanyaku.
“Ada yang salah?” Geertje balik bertanya.
“Ya. Salah waktu dan tempat. Pembunuhan terhadap orang kulit putih,
Tionghoa, dan orang-orang yang dianggap kolaborator Belanda semakin
menjadi. Mengapa ke sana?”
“Karena itu rumahku. Permisi,” Geertje membalikkan badan, kembali menenteng kopernya.
Aku tertegun. Dari jauh, kulihat si keparat Jan menjungkirkan ibu jarinya ke bawah.
“Tunggu!” aku mengejar Geertje. “Biar kuantar.”
Kali ini Geertje tak menolak. Dan aku bersyukur, Jan bersedia meminjamkan motornya.
“Hati-hati sinyo satu ini, Nyonya,” Jan mengedipkan mata. “Di Nederland banyak wanita merana menunggu kedatangannya.”
“Begitukah? Panggil ‘nona’, atau sebut namaku saja,” sahut Geertje.
“Oh, kalau begitu panggil aku Jan.”
“Dan ini Martin,” aku menebah dada. “Apakah kau tak ingin membuang
bakiak kamp itu?” tanyaku sambil melirik kaki Geertje. ”Bukankah para
tentara di sana menyediakan sepatu untuk wanita dan anak-anak? Mereka
juga membagikan gincu dan bedak. Kalian akan kembali rupawan.”
“Sepatunya di dalam koper. Di kamp, aku mahir berlari dengan bakiak,” Geertje tertawa, meletakkan tubuhnya di jok belakang.
Mijn God. Tawa dan lesung pipinya. Betapa ganjil berpadu
dengan sepasang alis curam itu. Wajah yang sarat teka-teki. Apakah
wanita ini masih memiliki keluarga? Suami? Tapi tadi ia minta dipanggil
‘nona’.
“Gunung Sahari sering dilewati Batalyon X. Mereka menjaga permukiman
Eropa. Tetapi tentu saja tak ada yang tahu, kapan serangan datang. Coba
pikirkan usulku tadi,” dari kaca spion, kutengok Geertje. Ia tampak
ingin mengatakan sesuatu, tetapi suara motor Jan teramat bising.
Akhirnya kami membisu saja sepanjang perjalanan.
Di perempatan Kwitang aku meliuk ke kanan, meninggalkan iringan truk
berisi wanita dan anak-anak di belakangku. Ah, anak-anak itu. Riuh
bertepuk tangan, menyanyikan lagu-lagu gembira. Tidak menyadari bahwa
kemungkinan besar tanah Hindia, tempat mereka lahir, sebentar lagi
tinggal kenangan.
“Depan empang itu,” Geertje melambai.
Aku membelokkan motor. Rumah besar itu terlihat menyedihkan.
Dindingnya kotor. Kaca jendela pecah di sana-sini. Anehnya, rumput
pekarangan tampak seperti belum lama dipangkas.
“Sebentar!” kuraih lengan Geertje saat ia ingin berlari ke teras.
Dari tas di belakang motor, kukeluarkan belati yang tadi dipinjamkan
oleh Jan. Kudorong pintu depan. Terkunci.
“Masih ingin masuk?” tanyaku.
“Ya,” jawab Geertje. “Singkirkan belatimu. Biar aku yang mengetuk. Semoga rumah ini belum diambil alih keluarga Eropa lain.”
“Atau oleh laskar,” sahutku.
Geertje mengetuk beberapa kali. Tak ada jawaban. Kami berputar ke
belakang. Pintunya terbuka sedikit. Saat hendak masuk, terdengar langkah
kaki dari kebun. Seorang wanita pribumi. Mungkin berusia lima puluh
tahun.
“Nona!” wanita itu meraung, memeluk kaki Geertje.
Geertje menarik bahu si wanita agar berdiri. “Jepang sudah kalah. Aku
pulang, Iyah. Mana suamimu? Apakah selama ini engkau tinggal di sini?”
tanya Geertje. “Ini Tuan Witkerk, teman saya. Martin, ini Iyah. Pengurus
rumah tangga kami.”
Iyah membungkuk kepadaku, lalu kembali menoleh kepada Geertje.
“Setelah terakhir menengok Nona, rumah ini diambil Jepang. Tempat
tinggal para perwira. Saya memasak untuk mereka. Tidak boleh pergi.
Itulah sebabnya saya tidak bisa menengok Nona,” Iyah kembali terisak.
“Mana Tuan, Ibu, dan Sinyo Robert?”
“Mama meninggal bulan lalu. Kolera,” Geertje mendorong pintu lebih
lebar, lalu masuk rumah. Aku dan Iyah menyusul. “Papa dan Robert,
dikirim ke Burma. Sudah kuminta komandan kamp mencari berita tentang
mereka,” lanjut Geertje.
“Barang berharga disita. Foto-foto di dinding musnah. Diganti bendera
Jepang. Tapi belum lama ini mereka buru-buru pergi. Entah ke mana.
Banyak barang tidak dibawa,” kata Iyah. “Saya ambil alat-alat masak dulu
di gubuk. Sekalian ajak suami ke sini. Sejak jadi koki Jepang, saya
pindah ke gubuk belakang. Setelah mereka pergi, saya tetap tidak berani
tinggal di sini. Tapi setiap ada kesempatan, pasti menengok,
membersihkan yang perlu.”
“Ajak suamimu. Kita bangun rumah ini. Kalau bank sudah berjalan
normal, mungkin aku bisa mengambil sedikit simpanan,” Geertje membiarkan
Iyah berlari ke luar, lalu meneruskan memeriksa rumah. Meja-kursi
tersisa beberapa, juga lemari. Tetapi tak ada isinya. Sebuah kejutan
kami temukan di ruang keluarga: piano hitam yang anggun. Cukup
mengherankan, Jepang tidak menyita atau merusaknya. Mungkin dulu dipakai
sebagai hiburan.
Geertje meniup debu tipis, membuka penutup tuts. Sepotong irama riang menjelajahi ruangan.
“Lagu rakyat?” tanyaku.
“Si Patoka’an,” Geertje mengangguk, lalu bersenandung menimpali ketukan tuts.
“Engkau menyatu dengan alam dan penduduk di sini. Mereka juga
menyukaimu. Mungkin mencintaimu setulus hati,” kataku. “Tapi zaman
‘tuan’ dan ‘babu’ ini akan segera berakhir. Amerika semakin
memperlihatkan ketidaksukaan mereka akan kolonialisme. Dunia luar juga
mulai mengawasi setiap denyut perubahan yang terjadi di sini. Dan
kehadiran kita selama tiga ratus tahun lebih sebagai penguasa negeri
ini, makan jantung negeri ini, semakin memperburuk posisi tawar kita.
Kurasa Hindia Belanda tak mungkin kembali, sekeras apa pun upaya kita
merebut dari tangan para nasionalis pribumi ini.”
“Bila api revolusi telah berkobar, tak ada yang bisa menahan,”
Geertje menghentikan laju jemarinya di atas tuts. “Mereka hanya ingin
mandiri, seperti kata ayahku dulu. Ayah pengagum Sneevlit. Ia siap
kehilangan hak-hak istimewanya di sini. Aku sendiri seorang guru sekolah
pribumi. Lahir, besar di tengah para pribumi. Saat Jepang berkuasa,
kusadari bahwa Hindia Belanda bersama segala keningratannya telah usai.
Aku harus berani mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Dan apa pun yang
ada di ujung nasib, aku akan tetap tinggal di sini. Bukan sebagai
‘penguasa’, seperti istilahmu. Entah sebagai apa. Jepang telah memberi
pelajaran, pahitnya menjadi jongos atau babu. Setelah kemarin hidup
makmur, bukankah memalukan lari di saat orang-orang ini butuh bimbingan
kita?”
“Orang-orang itu…” aku tidak meneruskan kalimat. Sunyi sesaat.
“Konon, seorang pemburu menemukan bayi harimau,” akhirnya aku
menghela napas. “Dirawatnya hewan itu penuh kasih. Ia menjadi jinak.
Makan-tidur bersama si pemburu hingga dewasa. Tak pernah diberi daging.
Suatu hari, tangan si pemburu tergores piring kaleng milik si harimau.
Darah mengucur.”
“Si harimau menjilati darah itu, menjadi buas, lalu menerkam si
pemburu,” potong Geertje. “Engkau mencoba mengatakan bahwa suatu saat
para pribumi akan menikamku dari belakang. Betul?”
“Kita ada di tengah pergolakan besar dunia. Nilai-nilai bergeser.
Setelah berabad, kita menyadari tanah ini bukan Ibu Pertiwi kita,”
jawabku.
“Untuk ketigakalinya kuminta, pergilah selagi bisa.”
“Ke Belanda?” Geertje menurunkan tutup piano. “Aku bahkan tak tahu, di mana letak negara nenek moyangku itu.”
“Di kampung halamanku, di Zundert, ada beberapa rumah kontrakan
dengan harga terjangkau. Sambil menunggu kabar tentang ayahmu, kau bisa
tinggal di sana.”
“Terima kasih,“ Geertje tersenyum. “Kau sudah tahu di mana aku ingin tinggal.”
Itu jawaban Geertje beberapa bulan lalu. Sempat dua kali aku
menemuinya kembali. Memasang kaca jendela, dan mengantarnya ke pasar.
Setelah itu, aku tenggelam dalam pekerjaan. Geertje juga tak memikirkan
hal lain kecuali membangun rumah. Sulit mengharapkan percik asmara hadir
di antara kami.
Lalu datanglah berita tentang pertempuran keras tadi malam, yang
merambat dari Meester Cornelis sampai ke Kramat. Beberapa kesatuan
pemuda melancarkan serangan besar-besaran ke pelbagai wilayah secara
rapi dan terencana. Di sekitar Senen-Gunung Sahari, sebuah tank NICA
bahkan berhasil dilumpuhkan.
Aku mengkhawatirkan Geertje. Sebaiknya wanita itu kujemput saja.
Biarlah ia tinggal bersama kami sementara waktu. Semoga ia tidak
menolak. Schurck sedang ke luar kota. Tak bisa meminjam motornya.
Untunglah, meski agak mahal, pihak hotel bersedia menyewakan mobil
berikut sopirnya.
“Di depan itu, Tuan?” suara Dullah membawa diriku kembali berada di dalam kabin Chevrolet yang panas ini.
“Betul. Tunggu sini,” aku melompat ke luar dengan cemas. Di muka
rumah Geertje, beberapa tentara NICA berdiri dalam posisi siaga.
Sebagian hilir-mudik di halaman belakang. Beranda rumah rusak. Pintu
depan roboh, penuh lubang peluru. Lantai dan tembok pecah, menghitam,
bekas ledakan granat.
“Permisi, wartawan!” sambil menerobos kerumunan, kuacungkan kartu
pengenal. Mataku nyalang. Kumasuki setiap kamar dengan perasaan teraduk,
seolah berharap melihat tubuh Geertje tergolek mandi darah di lantai.
Tetapi tak kunjung kutemui pemandangan mengerikan semacam itu. Seorang
tentara mendekat. Agaknya komandan mereka. Kusodorkan kartu pengenal.
“Apa yang terjadi, Sersan Zwart?” tanyaku sambil melirik nama dada
tentara itu. “Korban serangan tadi malam? Di mana penghuni rumah?”
“Kami yang menyerang. Penghuninya lari. Anda wartawan, kebetulan
sekali. Kita sebarkan berita ini, agar semua waspada,” Sersan Zwart
mengajak berjalan ke arah dapur. “Ini tempat para pemberontak berkumpul.
Banyak bahan propaganda anti NICA,” lanjutnya.
“Maaf,” aku menyela. “Setahuku rumah ini milik Nona Geertje, seorang warga Belanda.”
“Kenal? Kami akan banyak bertanya nanti. Ada dugaan bahwa Nona
Geertje alias ‘Zamrud Khatulistiwa’ alias ‘Ibu Pertiwi’, yaitu nama-nama
yang sering kami tangkap dalam siaran radio gelap belakangan ini, telah
berpindah haluan.”
Geertje? Aku ternganga, siap protes. namun Sersan Zwart terlalu sibuk
menarik pintu besar yang terletak di tanah, dekat gudang. Sebuah bunker. Luput dari perhatianku saat mengunjungi Geertje tempo hari. Kuikuti Sersan menuruni tangga.
Tak ada yang aneh. Warga Belanda yang sejahtera biasanya memiliki
ruangan semacam ini. Tempat berlindung saat terjadi serangan udara di
awal perang kemarin. Sebuah ruangan lembab, kira-kira empat meter
persegi. Ada meja panjang, kursi, serta lemari usang berisi peralatan
makan dan tumpukan kertas. Benar, kertas itu berisi propaganda anti
NICA.
Sersan Zwart membuka kain selubung sebuah obyek di balik lemari. Pemancar radio!
“Warisan Jepang,” kata Sersan.
Aku membisu. Sulit mempercayai ini semua. Tetapi yang membuat tubuhku
membeku sesungguhnya adalah pemandangan di dinding sebelah kiri. Pada
dinding lapuk itu, tergantung satu set wastafel lengkap dengan cermin.
Di atas permukaan cermin, tampak sederetan tulisan. Digores bergegas,
menggunakan pemerah bibir: ‘Selamat tinggal Hindia Belanda. Selamat
datang Repoeblik Indonesia’.
Aku membayangkan Geertje dan lesung pipinya, duduk di tengah hamparan
sawah, bernyanyi bersama orang-orang yang ia cintai: “Ini tanahku. Ini
rumahku. Apa pun yang ada di ujung nasib, aku tetap tinggal di sini.”
Sejak awal Geertje tahu, di mana harus berpijak. Perlahan-lahan
kuhapus kata ‘pengkhianat’ yang tadi sempat hinggap di benak. (*)
Jakarta, 12 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar