Cerpen Triyanto Triwikromo
Terbit di Kompas, 16 Desember 2012
Bahan Referensi Cerpen - GERIMIS mengguyur Paris pada akhir musim gugur yang agak
menggigilkan tubuh rapuh Nicole. Meskipun tak ada badai yang
menerbangkan tenda-tenda kafe, mencerabut tiang-tiang listrik, atau
sekadar menumbangkan pepohonan rapuh berdaun kuning kemerahan, dia tak
hendak menerabas jalanan yang dipenuhi para gadis berpayung hitam.
Setelah membisikkan keinginan untuk mati lebih cepat jika aku tak
segera mengadopsi Edgard, bayi mungil itu, Nicole justru menyeretku ke
keriuhan Galeries Lafayette dan mendesiskan hasrat menyebalkan. “Sebelum
mati, aku akan membeli aneka parfum di sini. Aku ingin mengguyurkan
seluruh wewangian itu ke tubuhku. Aku ingin pada saat kau menemukanku di
bathtub dengan urat nadi yang putus, tubuh indahku hanya akan menguarkan keharuman bebauan….”
Tentu saja kuabaikan perkataan konyol Nicole pada Sabtu yang penuh
penjaja bunga di jalanan. Aku menduga dia sedang melucu dan humor
murahan memang tak perlu kupedulikan.
“Kau tahu aku tidak pernah main-main, Gabriel. Ayolah, segera penuhi
keiginanku. Kau tinggal mendatangi keluarga Edgard dan bayi tampan itu
akan kuasuh dengan sepenuh hati…,” kata Nicole sambil terus
menggandengku ke gerai kosmetik di mal yang riuh itu.
Hmm, aku selalu tak ingin terlibat dalam percakapan konyol tentang
satwa kecil atau monster menjijikkan bernama Edgard itu. Melihat orok
siapa pun, aku selalu merasa berhadapan dengan hantu mungil. Karena itu,
meskipun aku sangat mencintai Nicole, sama sekali tidak kuharapkan dari
rahim kekasih kencanaku itu muncul setan-setan kecil jorok yang
memuakkan.
“Aku sudah memberimu apa pun yang kau inginkan, Gabriel. Kini
giliranmu memberiku bayi mungil itu. Ini bukan permintaan sulit. Kau
bisa dengan gampang melakukannya…,” Nicole mencerocos lagi sambil
mencoba-coba mengoleskan aneka lipstik ke punggung tangan.
Aku masih malas merespons permintaan Nicole. Dia lalu mengoleskan bedak dan memintaku menatap wajahnya di cermin.
“Kau tidak takut kehilangan aku, Gabriel? Lihatlah aku begitu cantik
dan wangi. Kau tidak ingin tubuhku membusuk pelan-pelan bukan? Hmm,
tubuhku akan selalu wangi jika kau segera memberiku momongan….”
Saat itu, di tengah lalu lalang para perempuan yang memborong tas,
parfum, aneka kosmetik, kuperhatikan wajah Nicole di cermin dengan
cermat. Dia memang cantik. Tetapi saat kubayangkan dia menimang bayi, di
wajahnya seperti tumbuh moncong berliur. Nicole jadi mirip babi merah
menjulur-julurkan lidah dan menetes-neteskan lendir kental.
Tentu saja aku tersiksa melihat pemandangan seperti itu. Tak ada cara
lain, aku harus meninggalkan Nicole. Aku harus berjingkat pelan-pelan
menghindar dari gerai lipstik, bedak, atau apa pun yang bisa membuat
wajah Nicole bercahaya.
Aku lalu menuju ke gerai parfum yang malam itu begitu dipenuhi oleh
perempuan-perempuan yang begitu berhasrat memiliki tubuh wangi. Aku
dikepung Bvlgari, Dior, dan Estée Lauder. Aku terjebak dalam labirin
Chanel, Nina Ricci, Yves Saint Laurent, Kenzo, dan Gucci. Aku terjebak
dalam wewangian yang tidak kuinginkan karena para penjaga gerai
mengibas-ngibaskan potongan kertas penguji parfum pada saat bersamaan.
Aku memang karib dengan Chanel Nicole yang lembut. Tetapi aku tak
bisa mencium Bvlgari, Dior, Chanel, dan Coco dalam waktu bersamaan.
Dalam kepungan aneka wewangian, aku justru pusing dan mual. Jadi,
bagaimana mungkin Nicole tahan membaui aneka parfum yang telah
diguyurkan ke tubuh menjelang dia bunuh diri, menjelang dia memotong
urat nadi dengan pisau paling tajam?
“Parfum yang kubelikan seminggu yang lalu sudah habis, Gabriel?” Nicole ternyata menguntit dan mengagetkanku.
Aku menggeleng.
“Jadi mengapa kau meninggalkanku? Kau ingin menghindar dariku, Sayang?”
Tak kujawab pertanyaan Nicole. Aku masih terjebak dalam kepungan
wewangian yang setiap kuhirup membuat kepalaku pusing. Mengapa semua
wewangian tidak dibuat dalam satu bau saja?
“Kau jangan diam saja, Gabriel. Kau tidak ingin aku cepat mati bukan?”
Tentu saja aku tak ingin Nicole mengiris urat nadi di bathtub.
Akan tetapi tak kularang dia memborong aneka parfum. Dan agar suasana
romantis tidak hilang, kukecup kening Nicole dengan lembut, kupagut dan
sedikit kugigit bibirnya di tengah keriuhan Galeries Lafayette yang kian
memusingkan kepala dan memualkan perut.
“Kita bicarakan apa pun yang kau inginkan di Cafe du Rendez-vous ya,” aku berbisik kepada Nicole.
Kusangka dia akan segera menyepakati ajakanku. Kusangka sebagaimana
biasa meniru Sartre, Albert Camus, dan filsuf lain, di kafe itu kami
akan mempercakapkan ide-ide indah untuk kehidupan. Atau kalaupun kami
bergeming duduk sambil menyeruput cappuccino atau expresso coffee,
Nicole akan asyik dengan pensil dan rancangan-rancangan terbaru pakaian
panggung seksi untuk para penari Lido di Champs-Elysées, sedangkan aku
hanyut dalam pikiran-pikiran kosong mengembangkan apartemen dan hotel
kecil keluargaku di Rue Didot. Akan tetapi, Nicole punya pilihan lain.
Dia memang tidak berminat ke kafe atau menonton film Skyfall.
“Tidak, Gabriel. Kita pulang saja. Aku ingin segera mandi. Aku ingin….”
“Ingin segera kupeluk, Sayang. Ingin segera bercumbu semalaman?”
***
MALAM itu Nicole langsung ke bathtub. Karena tidak
ingin ditodong untuk segera mengadopsi Edgard, aku tidak memandikan
Nicole. Padahal, kau tahu, itulah kebiasaan yang selalu sangat kami
inginkan sebelum bercumbu, sebelum saling sedikit mencakar punggung.
Andai tidak ada persoalan, mungkin malam itu aku akan memberi kejutan
Nicole dengan memenuhi bathtub dengan Salade Alexandre Dumas yang
kupesan dari Ladurée di Rue Royale. Nicole pasti kaget karena pada saat
mandi tubuhnya akan berlumur salmon, bayam, stroberi, rasberi, red
currant, minyak zaitun, dan jus jeruk. Tidak! Tidak! Karena dia suka
Salade Concorde, kupastikan Nicole akan menyelam di antara minyak
zaitun, chicken fillet, timun, bayam muda, tomat, kecut cuka, dan
kekentalan saus meaux mustard vinaigrette.
Jadi, sedikit pun tidak kubayangkan Nicole akan bunuh diri malam itu.
Karena itu, kupastikan setelah tidur semalaman, kami akan bangun pagi
dan seperti biasa berlari-lari kecil ke Boulevard Brune. Di tempat
itulah aku dan Nicole seperti menyusup dalam kehidupan yang
sesungguhnya. Tak ada wangi parfum—yang mengingatkanku pada surga palsu
yang diburu oleh pelacur kelas tinggi, courtesant Violetta Valery dalam
opera La Traviata—yang menyengat. Saat melebur di marche du dimanche,
pasar yang buka khusus pada hari Minggu itu, semua parfum yang melekat
di tubuhku sebelumnya akan terserap ke dalam amis daging, prengus
keringat para penjaja dan pembeli, sengat tiram atau udang, dan pada
saat sama bisa kami hirup kesegaran sayuran dan buah-buahan. Hmm,
mengapa dunia tidak dicipta dalam bau-bauan yang menyegarkan jiwa?
***
AKU menduga persoalan Edgard akan selesai malam itu.
Rupa-rupanya Nicole masih terus menjeratku dengan persoalan pengadopsian
Edgard saat kami menonton peluncuran rancangan kostum terbaru Nicole
dalam pertunjukan kabaret erotis di Lido yang menjemukan itu.
“Apakah rancanganku masih indah, Gabriel?”
Sambil menenggak champagne, aku mengangguk.
“Tapi akan lebih indah jika kau segera menandatangani pengadopsian Edgard, Sayang….”
Aku hampir tak bisa menahan kemarahan ketika Nicole membicarakan
Edgard pada saat dan tempat yang salah. Aku tahu sebagai transvestive,
dia memang tidak mungkin hamil. Dan karena tidak bisa hamil, seharusnya
dia tidak perlu ngotot punya orok. Tidak perlu dia menghadirkan setan
busuk dalam kehidupan kami. Toh meskipun Nicole menyembunyikan rahasia
tubuh dan jiwanya, aku toh tidak pernah mempersoalkannya. Tidak penting
bagiku Nicole perempuan atau laki-laki. Tidak penting Nicole iblis atau
malaikat. Aku sangat mencintainya dan bagiku identitas apa pun yang dia
kenakan, tidak akan mengurangi kecintaanku kepada kekasih kencanaku itu.
Bagiku Nicole saja sudah cukup. Tidak perlu ada manusia lain di rumah
kami.
“Kau tahu, Gabriel, semua busana dan aneka sayap yang dikenakan para
penari yang kau lihat malam ini lahir karena aku membayangkan kita akan
jadi malaikat indah jika di rumah kita ada bayi mungil yang senantiasa
kita timang bersama. Tapi kau tampaknya selalu tak menginginkan Edgard,
Sayang. Kau….”
Tak kuberi kesempatan Nicole meneruskan kalimat yang masih
menggantung itu. Kali ini kemarahanku benar-benar memuncak. Kutinggalkan
cahaya Lido dan Nicole yang takjub menatap ledakan kemarahanku. Saat
itu, kau tahu, aku tak peduli apakah rancangan-rancangan busana Nicole
kali ini menggetarkan Lido atau tidak. Tanpa kostum yang dia buat toh
aneka tubuh telanjang dan kabaret di Lido tetap ditonton orang.
***
MENINGGALKAN keriuhan Champs-Elysées, aku ingin menancap gas menuju Rue Didot. Aku ingin segera sampai di apartemen, mandi di bathtub
dengan air hangat, menenggak Vodka, dan melupakan Nicole dan Edgard
sialan. Tetapi tak semua hasrat terwujud dengan mudah. Gerimis akhir
musim gugur kian mengguyur dan kabut menghambat laju mobilku. Ah,
mengapa tak sekalian saja badai tornado dari belahan dunia mana pun
bertiup ke Paris, mengacak-acak rumah sakit penuh orok, menerbangkan
Edgard dan hantu-hantu mungil itu ke langit berkabut, dan melesatkan
mereka ke kegelapan?
Tak ada yang menjawab pertanyaan konyolku. Aku justru merasa mobilku
kian sarat beban. Aku merasa puluhan orok dari masa depan menembus kaca,
memenuhi mobil, dan menangis bersama-sama dalam nada yang merusak
pendengaran. Dalam keriuhan semacam itu, kau tahu, aku justru merasa
menjadi Adam yang menggigil, kesepian, dan diabaikan. Tak ada Eve. Tak
ada sesuatu yang dulu kusapa dengan sangat mesra: mon Dieu!
Tak ada…. (*)
Paris, Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar