Bocah Pengulum Jempol

Cerpen Setia Naka Andrian

Terbit di Suara Merdeka, 21 Oktober 2012





Bahan Referensi Cerpen - SEANDAINYA itu permen, pasti ia akan menangis karena bisa habis. Namun itu jempol. Dikulum berjam-jam, berhari-hari hingga bertahun-tahun pun tak akan pernah kikis. Paling-paling hanya lumutan saja karena terlalu kerap dibasahi air liur. Begitulah, mengulum jempol yang selalu dia lakukan.

Munyu, nama pemberian Pak RT pada masa itu. Ditiupkan selepas melihat si pengulum jempol itu mukim di dunia ini. Kami cukup heran. Bayi laki-laki itu sejak lahir sudah mengulum jempol. Ia tidak menangis ketika lahir dari rahim ibunya. Begitu mbrojol ia langsung tertawa-tawa, dan pada sesela tawanya, dia melumati jempolnya. Sontak kami yang melihatnya kaget sekaget-kagetnya.

Kini Munyu berumur 15 tahun. Masih selalu mengulum jempol. Namun kali ini yang dikulum bukan jempolnya sendiri. Setiap hari ada beberapa jempol orang yang selalu ia rebut untuk dikulum. Tak seorang pun berani menolaknya. Itu lantaran Munyu begitu kekar dan beringas walaupun usianya baru belasan. Ia akan sangat marah jika ada seseorang yang melawan untuk tidak menyerahkan salah satu jempolnya untuk dikulum.

Jika marah, matanya akan mendadak melotot dan memerah. Giginya tiba-tiba mengeluarkan taring yang begitu lancip. Lalu jari-jari tangannya pun seketika menumbuhkan kuku-kuku hitam yang tajam dan panjang seperti kuku iblis yang siap menikam.

Ia tak pernah makan. Entah, barangkali gantinya makan ya mengulum jempol itu. Air liurnya sendiri ia telan. Ia juga tak pernah membeda-bedakan jempol siapa yang dikulum. Entah itu laki-laki atau perempuan, cantik atau jelek, tampan atau buruk muka. Tak masalah itu jempol hitam, bolang-bolang atau putih mulus. Bahkan jempol kudisan pun tetap ia lahap dengan begitu lunyam.

***

MUNYU terlahir di suatu liang lahat. Bocah berperawakan besar dan hitam itu awalnya dikira sudah mati semasa dalam kandungan, sebab ibunya meninggal karena bunuh diri. Akibat depresi atas penciptaan janinnya oleh beberapa lelaki berandal yang sering meresahkan warga Kalinyowo ini. Beberapa lelaki tak bertanggung jawab yang menitipkan sperma cikal bakalnya untuk muncul di dunia ini. Namun, beberapa detik lagi cangkul ditancapkan ke tanah untuk menimbun mayat ibunya, tiba-tiba terdengar suara bayi yang tertawa-tawa. Semua orang di pemakaman itu sempat ketakutan. Teringat film-film tentang “beranak dalam kubur”. Ingatan kami membuncah, ternyata fiksi itu benar-benar terjadi di kampung kami.

Sore itu, langit begitu muram menyambut kelahiran Munyu yang tertawa-tawa. Seperti hendak hujan. Namun ternyata mendung urung menumpahkan tangis demi menyambut kelahiran bayi yang begitu riang keluar dari rahim ibunya yang sudah tak bernyawa.

Orang sekampung pun khawatir terhadap bocah yang tumbuh dengan asing itu. Munyu, nama yang begitu akrab bagi kami. Karena bagaimanapun ia merupakan segala sesuatu yang begitu eksis menebar ke telinga rumah-rumah. Orang-orang sering memperbincangkannya di warung-warung, pos ronda, atau bahkan di masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya.

Semasa kecil, Munyu sering ditakut-takuti ketika sedang asyik mengulum jempolnya.

“Jangan kamu kulum terus jempolmu! Nanti bisa habis,” begitulah yang sering dikatakan pengasuhnya, Pak RT masa itu—Sujai. Lelaki setengah baya yang kini lurah di kampung kami. Namun Munyu tak juga bergidik walau padanya sempat juga diperlihatkan Mbah Jaman yang beberapa jarinya lenyap akibat terkikis suatu penyakit.

Bayi Munyu dulunya dicela-cela oleh orang sekampung. Sebab, kelahirannya begitu tak diinginkan, bahkan tak dikehendaki oleh ibunya sendiri. Kami menganggap pasti susah mengurus anak haram semacam itu. Malah bisa jadi pembawa sial. Lebih-lebih ibunya juga tak jelas asal-usulnya. Dulu ibunya tinggal sebatang kara di kampung kami.

Namun karena kebaikan hati Sujai, ia tetap diasuh dengan penuh kasih sayang. Walaupun waktu itu tak ada seorang pun yang mau mengasuh atau sekadar menimang sebelum menjualnya beberapa hari berselang. Ya, sesungguhnya kampung kami terkenal sebagai pasar anak. Posisi kami sebagai bandar, pemegang sah laju perdagangan anak. Setiap hari berdatangan orang yang hendak berjual-beli anak. Mereka kebanyakan datang dari luar kampung, bahkan hingga luar daerah.

Entah, barangkali kami tak mau mengasuh Munyu karena takut terhadap kemungkinan terjadinya malapetaka. Sebab, kami meyakini akan timbul bencana besar jika seseorang mengasuh anak haram semacam Munyu. Lebih-lebih ia lahir di liang lahat. Sungguh menakutkan. Kami sangat ciut, walaupun kami akui sesungguhnya dosa atas perdagangan anak telah menjadi tradisi turun-temurun di kampung kami. Namun bagi kami, anak yang kami perjualbelikan setidaknya bukan anak haram. Benar-benar terlahir dari pasangan suami-istri sah, dan tentunya anak-anak itu bersertifikat yang dilindungi undang-undang.

Sujai sering disuguhi berbagai wejangan dari para tetangga mengenai pengasuhannya terhadap Munyu. Juga tak jarang ia dilempari umpatan yang memerahkan telinga. Namun tetap saja ia ikhlas merawat Munyu. Istri tercintanya yang bernama Rukinah pun menganggap Munyu selayaknya anak kandung sendiri. Itu lantaran takdir seolah-olah tak berpihak pada mereka: berpuluh tahun menikah, mereka belum juga dikaruniai keturunan.

Rukinah terkadang berkecil hati ketika jadi sasaran umpatan dari warga. Tapi dengan berlapang dada, Sujai tak pernah menyalahkan atau memarahi orang-orang yang mengumpati keluarga kecilnya. Ia juga berusaha menjelaskan kepada istri tercintanya, bahwa Munyu tak berdosa. Jadi kenapa ia harus disalahkan? Ia tak tahu apa-apa tentang sejarahnya. Pula mengenai benih yang tertanam hingga berujung kelahirannya ke dunia ini.

***

MUNYU tak mau mengenyam bangku sekolah. Ia sudah mulai malas sekolah dan memutuskan untuk tidak mengenyam pendidikan sejak kali pertama didaftarkan ke sekolah dasar. Ia sempat masuk kelas selama satu hari, dan hanya bertahan pada hari itu saja. Selanjutnya ia tak lagi mau berangkat sekolah. Itu karena ia diejek danjuga dimusuhi teman-temannya ketika ia mulai merebut jempol mereka untuk dikulum.

Ia pun marah-marah ketika teman-temannya tak menghendaki salah satu jempolnya dikulum. Namun waktu itu jika marah matanya tidak melotot dan belum memerah seperti sekarang ini. Ia hanya menangis saja semacam rengekan anak-anak kecil pada umumnya, sambil mengeluarkan air mata. Giginya pun belum bertaring. Juga jari-jari tangannya belum menumbuhkan kuku-kuku hitam yang tajam dan panjang layaknya yang kami ketahui saat ini.

Entah, kami tak tahu awal mulanya kenapa Munyu menjadi buas dan menyeramkan semacam sekarang ini. Kami dibuatnya resah. Seluruh warga merasa semakin ketakutan setiap kali harus bertemu atau sekadar memperbincangkannya di warung-warung, pos ronda, atau bahkan di masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya.

Munyu semakin menjadi-jadi. Sebagai lurah, Sujai tak mampu menangani. Walaupun itu anak asuhnya sendiri. Barangkali ia menyimpan rahasia lain, atau entah. Kami tak paham.

***

KIAN hari Munyu kian merajalela. Setiap hari harus ada beberapa jempol untuk dikulumnya. Semakin tak ada orang yang berani menolaknya. Kian hari Munyu semakin kekar dan beringas. Ia akan semakin marah jika ada seseorang yang melawan untuk tidak menyerahkan salah satu jempolnya untuk dikulum dengan lunyam. Matanya memerah dan melotot nyaris lepas. Giginya yang bertaring seakan semakin lancip saja setelah sempat menggigit jempol Salim, seorang pemuda gagah di kampung kami. Salim tak sanggup berkutik saat ia berkeras melawan dan tidak memberikan jempolnya untuk dikulum. Munyu menggigit hingga jempol Salim putus. Jari-jari tangannya yang ditumbuhi kuku-kuku hitam yang tajam itu pun mencakar-cakar sekujur tubuh Salim. Menusuk-nusuk mata dan lehernya hingga mati.

Setelah itu Munyu meninggalkan begitu saja mayat Salim yang tergeletak. Ia bergegas mencari orang lain untuk dikulum jempolnya. Kecanduannya terhadap jempol terlihat semakin akut. Ia akan semacam sakaw jika sehari saja tidak mengulum jempol.

***

KERESAHAN dan kecemasan warga semakin meledak-ledak semenjak si pengulum jempol itu memakan korban jiwa. Kampung kami tampak sepi tanpa aktivitas. Kami lebih memilih untuk mengunci pintu dan berdiam di rumah. Anak-anak kecil di kampung kami pun kami larang untuk bermain di luar rumah. Kami benar-benar tidak ke mana-mana. Anak-anak di kampung kami pun tidak berangkat sekolah.

Kampung kami benar-benar mati mendadak. Siang yang seharusnya untuk beraktivitas, kami gunakan untuk menimbun resah satu per satu di dalam kamar. Malam pun semakin mencekam. Lampu-lampu di depan rumah atau di jalan-jalan juga tak menyala. Kami sengaja mematikan lampu-lampu itu agar Munyu mengira kampungnya telah mati, juga seiring kebrutalannya merenggut nyawa Salim.

Selepas pagi atau ketika petang, kami sering mengintip keluar rumah dengan penuh kecemasan serta keresahan yang bercampur dengan bertumpuk ketakutan. Beberapa kali kami mendapati Munyu masih terus melaju menyisir jalan. Kali ini ia kelihatan sedih. Walau matanya masih melotot dan memerah. Namun ronanya tampak pekat oleh kesedihan. Giginya pun masih bertaring yang seakan membuat mulutnya susah menutup. Ia meraung-raung kesedihan. Tak seperti biasanya ketika suaranya menukik liar dengan nada beringas marah. Jari-jari tangannya dengan kuku-kuku hitam yang tajam itu pun masih terlihat matang untuk siap mencakar-cakar dan menerkam apa saja.

***

BERHARI-HARI, oh hampir berbulan-bulan, kampung kami masih saja sepi. Barangkali kampung kami telah mati ketakutan selepas kematian lampu di jalan-jalan dan di seluruh rumah kami yang telah berduka atas kepergian Salim.

Jika dilihat dari luar, rumah-rumah di kampung kami pun tampak muram. Lampu-lampu di dalam rumah dan di kamar-kamar tertutup tirai yang begitu tebal. Membuat nyala benderang di rumah kami tak mampu menyelinap keluar lewat jendela.

Orang-orang di kampung kami telah benar-benar ketakutan untuk keluar rumah. Tak mau mati konyol dimangsa keganasan bocah pengulum jempol itu. Kami lebih memilih untuk berdiam di kamar bersama istri kami. Sepanjang hari, siang atau malam terus bergulingan di kasur. Mendekam dalam selimut sambil memegang ponsel, memburu pelanggan yang mengantre anak-anak kami yang lahir dari kolong ranjang. Kamar kami semakin ramai. Ranjang bergelayut ke atas dan ke bawah. Ke kanan dan ke kiri. (*)

 -----------
Rumah Diksi, Agustus 2012
Setia Naka Andrian lahir di Kendal, 4 Februari 1989. Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP PGRI Semarang (2011) ini mengabdikan diri di Teater Gema, Komunitas Sastra Lembah Kelelawar Semarang, dan Rumah Diksi Kendal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar