Cerpen Khrisna Pabichara
Terbit di Republika, 31 Januari 2010
[Kepada M Aan Mansyur dan Puang Matowa Saidi’]
1
Sudahkah kau memeluk dirimu hari ini?
Bahan Referensi Cerpen - TIDAK mudah menjadi lelaki. Begitu pun menjadi perempuan. Tapi, lebih tidak mudah lagi menjadi calabai––lelaki
yang menyerupai perempuan. Di kampung kelahiranku, Malakaji––sebuah
kampung di kaki Gunung Bawakaraeng––lelaki hanya butuh mahir berkuda,
bela diri, bertani, atau berdagang. Menjadi perempuan lebih gampang
lagi. Yang penting bisa masak, mencuci, serta mengasuh suami dan anak.
Tapi, tidak begitu jika kamu calabai. Kamu akan digiring takdir ke negeri antara, merasakan pedihnya dicaci dan dilecehkan, serta berulang seolah sarapan pagi yang harus kamu santap setiap hari.
Begitulah nasib yang harus kuterima sebagai suratan. Lima tahun
silam, dari tahun kugubah kisah ini, dengan kasar Ayah mengusirku dari
rumah. Sungguh, sabda Ayah selalu tak terbantahkan. Ayah memang diktator
ulung, suka mengambil keputusan semaunya. Ibu hanya terisak di tepi
dipan kayu yang tak bertilam, tak berseprai. Aku bergeming. Tidak
dibenarkan membantah meski sebatas membela diri. Aku tahu Ibu akan
menahanku, tapi aku harus tetap pergi. Kalau tak salah, usiaku kala itu
sepuluh tahun. Masih terlalu muda untuk mengadu untung di rantau.
“Jangan kembali ke rumah ini sebelum kamu jadi lelaki,” begitu kata
Ayah dengan muka merah dan mata nyaris meloncat dari pelupuknya.
Aku berjalan menuruni tangga. Tak menoleh barang sekilas. Padahal,
aku sangat ingin bersimpuh di kaki Ibu atau setidaknya berucap selamat
tinggal. Atau, “Jaga diri baik-baik, Ammak.” Kamu tahu? Aku
sangat ingin memeluk Ibu, seperti setiap pagi beliau rajin membangunkan
aku dengan pertanyaan sama yang diulang setiap hari.
“Sudahkah kau memeluk dirimu hari ini?”
Tapi, aku harus tetap pergi meski aku tak pernah berniat menjadi lelaki.
2
Lenganmu memang terlalu pendek buat tubuhmu, tetapi tentu saja cukup panjang buat tubuhku.
Baiklah. Sebelum kutuntaskan kisah ini, akan kuceritakan padamu
riwayat kelahiranku yang dulu kudengar bak renjana setiap hari. Konon,
aku adalah bayi paling dinantikan oleh Ayah. Ya, kamu perlu tahu.
Kebanggaan bagi setiap Ayah ketika berhasil memiliki anak lelaki. Dan,
tiga kakakku semuanya perempuan. Pantas kiranya jika kelahiranku
disambut penuh suka cita. Satu ekor kuda, dua ekor kambing, dan
berpuluh-puluh ayam dikorbankan. Hari itu Ayah menghamburkan uang tunai
tiga juta demi sebuah pesta akikah.
Lalu, aku tumbuh menjadi bayi ajaib. Belum sembilan bulan aku sudah
fasih bicara. Memasuki bulan kesepuluh, aku mampu berdiri tanpa harus
disangga lembut lengan Ibu. Inilah awal mula mitos kemasyhuranku. Ayah
selalu bangga dengan mata berbinar acapkali bertutur tentang kelebihanku
dibandingkan balita lain. Betapa tidak, pada tahun keempat setelah
kelahiranku, 1994, aku meramal bahwa Brasil akan keluar sebagai Juara
Dunia FIFA World Cup 1994. Ayahku percaya. Alhasil, dia sukses
memenangkan banyak taruhan. Dan, hadiah bagiku sebuah kecupan lembut di
kening. Waktu itu, aku masih ingat, Ayah berkata dengan mata sarat
cahaya, “Kamu memang lelaki paling hebat, Nak. Hidupmu bakal disesaki
teka-teki, tapi kamu tak akan sendiri. Ayah akan selalu menemanimu.”
Aku selalu ingat peristiwa itu. Mengharukan. Membahagiakan.
Kamu juga harus tahu. Pada umur lima tahun, aku sering bermimpi
tentang sebuah rumah panggung dengan pesta tari, bau dupa, gemuruh
gendang, dan lengking puik-puik. Juga, rancak penari
mengelilingi sebuah tempat––dulu aku belum tahu namanya––dan keris atau
badik yang dihunjamkan ke bagian tubuh paling rentan tikaman senjata.
Sesekali, aku bermimpi tentang lelaki asing berwajah perempuan. Aku
benar-benar tak tahu apakah itu imaji kehidupan masa kini yang sedang
kujalani, kehidupan sebelumnya, atau berhubungan dengan kehidupanku pada
masa datang. Kadang, aku seolah berada di tengah sebuah ruang lapang
dan semua orang serentak menyeretku ke masa kehidupan lain.
Kamu pasti merasa ganjil, tapi begitulah adanya. Ayah sangat bangga
padaku. “Kamu anak ajaib. Ada banyak kekuatan mengeram di tubuhmu,”
katanya setiap matahari terbit. Saat itu, aku sudah bisa membaca pikiran
orang. Aku juga sudah bisa meramalkan bahaya yang bisa mengintai orang
yang ada di dekatku. Suatu ketika, aku sedang berada di pinggir jalan
bersama Ibu. Kemudian, aku mendengar lirih suara menyuruhku segera
menyeberang. Lalu, kutarik lengan Ibu menjauh. Tak lama berselang,
sebuah pete-pete menabrak rumah tempat tadi kami berdiri di
depannya. Banyak lagi kejadian lain yang jika kuceritakan semua, kamu
akan lelah mendengarnya.
Ketika umurku menjelang tiga belas, nasib mulai berubah. Aku tidak
punya jakun seperti lumrahnya lelaki. Suaraku lebih mirip suara
perempuan. Tak ada satu sisi pun pada diriku yang layak disebut gagah,
apalagi lelaki. Sejak itu pula, bencana bermula. Ayah mulai berubah. Tak
ada lagi pelukan, tak ada lagi kecupan. Tidak juga dongeng menjelang
tidur atau tutur lembut yang meneduhkan hati. Sungguh, itu kiamat
bagiku.
3
tubuh memang ditakdirkan
awalnya jadi milik pelukan
lalu kemudian milik peluru
Tahukah kamu apa yang terjadi sesudah itu? Setelah menumpang truk
sayur dari Malakaji ke Jeneponto, aku berjalan sepanjang sembilan puluh
kilometer ke Makassar. Tiga hari tiga malam. Aku berjalan bak orang
kesetanan dengan kaki telanjang. Tak pernah berhenti meski sekadar
melemaskan kaki. Tak merasa lapar, tak merasa haus. Terus berjalan. Tak
menoleh kanan-kiri. Tak menyapa sesiapa. Aku seolah sudah hafal arah
jalan, padahal baru kali ini aku menapakinya. Anehnya, imaji itu terus
bergelayut di benakku: lelaki berdandan bak perempuan; musik dan tari
saling berlaga; dan bau dupa. Sesekali terdengar cekikikan roh-roh.
Tapi, tak ada yang tampak. Semuanya lamur dan samar. Kemudian, aku
dengar nyanyian mendayu-dayu, seperti puja-puji yang entah ditujukan
untuk siapa. Lututku gemetaran, langkahku terhuyung. Aku tetap berjalan
menyemburkan bau kecut keringat dan amarah. Dan, ah, tiba-tiba aku ingat Ibu. Kamu pasti tahu bagaimana rasanya merindukan Ibu, kan?
Ibu, engkaulah perempuan paling ibu di dunia.
Oh, ya, aku ringkas saja ceritanya. Tibalah aku di lapangan Karebosi.
Entah siapa yang menuntunku ke sini. Yang pasti, tiga orang perempuan
tiba-tiba berdiri di hadapanku. Wanita pertama memakai baju adat kurung
berwarna kuning keemasan, yang kedua berwarna merah, yang ketiga
berwarna hitam. Mereka mengajakku berjalan, menembus pekat malam, dan
udara yang berkabut di kota Makassar yang sedang mendengkur. Dingin.
Ngilu menyelusup di pori. Semuanya melangkah gemulai sepertiku. Ajaib,
aku sama sekali tak mampu membaca pikiran mereka. Jadilah aku memilih
diam, tak berkata apa-apa.
Lalu, sekonyong-konyong aku diserang kantuk luar biasa. Dan, pulas.
4
Setelah Kau pergi, aku segera mencari Rumah tak berpintu tak berjendela.
Tunggu, riwayat yang kuceritakan ini belum tamat. Seperti yang
kujelaskan tadi, aku tertidur sepanjang perjalanan dan tak tahu ke mana
ketiga perempuan itu membawaku. Oh, sebentar, aku ingat sekarang. Merekalah yang kerap mengisi mimpi dan imaji-imajiku. Ya, tidak salah lagi. Itu mereka. Para bissu yang kuyakini bakal jadi ibu baru bagiku selama di rantau. Ya, andai saja kamu bisa berada di sini. Dan, ommalek!
Lihatlah! Mereka sedang mempersiapkan upacara mapparebba, ritus sakral yang hanya dilakukan setiap hendak melantik anggota bissu baru. Tahukah kamu siapa yang akan dilantik? Aku. Ya, aku. Lihat, mereka duduk mengelilingi arajang, tempat bakal muncul Batara––Tuhan yang mereka imani. Belakangan, aku tahu, tidak semua calabai bisa menjadi bissu.
Hanya yang terpilih. Mereka kelak akan meneruskan lelaku penghubung
antara Tuhan, penguasa, dan manusia. Yang akan menentukan kapan musim
tanam tiba, membilang tanggal bajik, dan rupa-rupa amanat lain. Dulu,
mereka nyaris punah diberangus karena dituding musyrik dan menyimpang
dari ajaran agama. Hari ini, aku jadi bagian tak terpisahkan dari
mereka.
Sekarang, aku tak pernah lagi berniat jadi lelaki.
5
Pada seorang perempuan, aku dikepung kenangan.
Sejak itu, aku merasa dilahirkan kembali. Tanpa caci maki, tanpa cibiran. Kini, aku jadi bissu termuda. Lelaki paling lelaki yang piawai memainkan atraksi maggiri––menusuk
tubuh dengan pisau, kelewang, keris, atau badik. Aku pun menjelma
perempuan paling perempuan yang suci karena tak pernah menstruasi dan
tak berdarah karena tubuh tak tembus besi atau timah. Tapi, tahukah kamu
apa yang paling kurindukan hari ini?
Aku rindu hangat pelukmu, Ibu.
Oh, maaf, hampir saja aku lupa. Tadi, Kanang, kakak
sulungku, datang bertandang. Dia kabarkan Ayah sedang sekarat dan
memanggil namaku dalam igau dan sadarnya. Ah, meleleh air mataku. Tapi, aku tak berniat pulang karena aku merasa gagal jadi lelaki, seperti harapan Ayah.
“Pulanglah, andik. Sebentar saja,” bujuk kakakku.
“Tidak, daeng. Aku tidak pernah utuh sebagai lelaki. Ayah pasti kecewa,” jawabku.
Kakakku pulang dengan tangan hampa.
Tapi, bagaimana menurutmu? Apakah aku harus menemui Ayah?
Hah! Aku harus temui Ayah? Oh, tidak bisa, kawan. Maaf, kali ini, aku tak bisa menuruti saranmu.
Bukan karena hatiku disungkupi dendam. Ada ihwal lain yang perlu kamu ingat: kesetiaan pada janji. Ya, dulu kamu pernah bilang: sekali kata terujar, pantang ludah terjilat kembali.
Maaf, ya. Tapi, tunggu dulu! Terima kasih telah mengingatkanku. Kamu
telah menyentuh kedalaman rasaku. Ya, aku tak boleh egois. Baiklah, aku
segera berkemas. Aku mendapat firasat umur Ayah tak lagi panjang. Lalu,
aku akan pamitan pada Puang Matowa.
Tiba-tiba handphone-ku berdering. Dan, oh, ternyata Ibu.
“Kenapa, Ammak?”
“Ikhlaskan semuanya, Nak.”
Klik. Telepon terputus. (*)
Khrisna Pabichara lahir di Makassar, 10
November 1975. Saat ini, bergiat di Kosakata, Komunitas Mata Aksara, dan
Komunitas Planet Senen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar