Cerpen Sori Siregar
Terbit di Kompas, 14 Oktober 2012
Bahan Referensi Cerpen - MALAM telah merangkak jauh. Perlahan. Sebentar lagi
pagi terjangkau. Hujan rintik-rintik di luar. Maludin yang letih masih
tidak dapat tidur. Sepanjang malam menjelang pagi itu ia tetap terjaga.
Risiko seperti ini tidak pernah terbayangkannya dua puluh tahun lalu.
Ia, istrinya, Maryam, dan putranya, Muammar, datang ke negeri yang jauh
ini untuk memulai kontrak kerjanya dengan sebuah lembaga pemerintah.
Ketika itu Muammar baru berusia dua tahun. Adiknya, Fatur, lahir di
negeri yang jauh ini dua tahun kemudian, disusul oleh Fayed dua tahun
setelah itu.
Bagi Maludin hidup di negeri baru ini jauh lebih menyenangkan
daripada di kota yang ditinggalkannya. Bukan saja karena pendapatannya
lebih besar daripada yang dulu diperolehnya sebagai guru SMA di kotanya,
tetapi juga karena ia berdomisili di lingkungan permukiman yang lebih
baik, tidak sumpek dan bersih serta berbagai hal lain seperti dekatnya
jarak kantor dan rumahnya, transportasi umum yang selalu tepat waktu dan
dapatnya Maryam sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga tanpa harus
membantu Maludin mencari nafkah dengan menjahit pakaian anak-anak.
Waktu berjalan seirama dengan peredaran bumi mengitari titik pusat
tata surya. Perjalanan waktu itu sering luput dari perhatian. Maludin
dan Maryam baru menyadari bahwa mereka telah empat tahun tinggal di
negeri yang jauh ini, ketika Muammar memasuki usia sekolah. Semula suami
istri itu menduga beban ekonomi akan meningkat dengan masuknya Muammar
ke sekolah.
Ternyata tidak. Muammar dapat belajar tanpa biaya apa pun. Bahkan,
Maludin tak perlu mengeluarkan sepeser pun untuk membayar ongkos bus
yang setiap hari mengantar dan menjemput anaknya ke sekolah. Hidup
sehari-hari pun semakin menyenangkan buat Maludin dan Maryam. Pada saat
tiba giliran bagi Fatur dan Fayed untuk bersekolah, perasaan senang
Maludin tetap tidak berkurang, karena kedua anak ini pun tidak
membebaninya dengan biaya sekolah.
Sekolah gratis ini dilalui ketiga anak Maludin dalam kurun waktu yang
cukup lama, sehingga Maludin terkejut ketika anaknya harus membayar
uang kuliah untuk dapat belajar di perguruan tinggi. Beban pertama dalam
dunia pendidikan ini pun akhirnya tak perlu disandangnya, karena
Muammar dapat memperoleh pinjaman dari bank mana pun, dengan jaminan
ayahnya. Kelonggaran yang diberikan merupakan pertolongan yang tidak
terbayangkan sebelumnya, karena Muammar diizinkan untuk membayar
pinjamannya setelah ia bekerja, seusai menyelesaikan pendidikannya di
perguruan tinggi.
Tanpa disadari Maludin dan Maryam, Muammar, Fatur, dan Fayed melebur
dengan sempurna ke dalam kondisi lingkungan mereka. Satu-satunya
kehidupan yang mereka kenal adalah kehidupan di sekitar mereka itu dan
semua nilai yang melekat di sana. Tak ada yang perlu dikhawatirkan
sebenarnya, jika mereka bertiga masih mau mendengarkan suara ayah dan
ibu mereka, suara yang mengandung makna hidup, jalan yang tidak berliku,
tetap berpijak pada tempat asal dan keyakinan yang harus dipegang teguh
di mana pun berada.
Namun, mendengarkan suara ayah dan ibunya itulah yang sangat sukar
bagi Muammar, berbeda dengan Fatur dan Fayed. Kedua putra Maludin yang
disebutkan belakangan ini masih tetap anak-anak yang menilai suara ayah
dan ibu mereka sebagai pemandu jalan agar tidak terpeleset di kegelapan.
Ini menyejukkan perasaan kedua orang tua mereka, yang tetap berpegang
teguh kepada keyakinan yang mereka kenal sejak masa kanak-kanak.
Karena itu, alangkah terkejutnya Maludin dan Maryam, juga Fatur dan
Fayed, ketika pada suatu hari Muammar mengatakan akan membawa pacarnya
menginap di kamarnya di rumah mereka. Guntur menggelegar bagi Maludin
dan Maryam. Bencana apa yang akan dibawa anak sulung mereka itu? Itulah
pertanyaan yang menyerbu ke dalam benak Maludin dan Maryam. Mungkin
pertanyaan itu pula yang hinggap di kepala Fatur dan Fayed.
Maludin dengan halus meyakinkan Muammar bahwa berdasarkan keyakinan
yang mereka peluk, tindakan yang akan dilakukan Muammar itu adalah
salah. Bahkan, agama apa pun tidak akan membenarkan hal itu. Mendengar
keterangan ayahnya, Muammar menjelaskan, Joyce, pacarnya itu, ingin
menginap di rumah mereka karena ingin mengenal lebih jauh Maludin,
Maryam, Fatur, dan Fayed.
Maludin kembali meyakinkan Muammar, kalau ingin mengenal keluarga
mereka lebih jauh silakan saja Joyce berkunjung setiap hari. Kemudian
Maludin yang bertanya, mengapa Joyce ingin mengenal mereka lebih jauh.
Kan dia hanya teman akrab Muammar. Bolehlah kalau anak sulung Maludin
itu menyebut Joyce pacarnya. Tapi Muammar harus ingat bahwa Joyce belum
menjadi pacarnya secara resmi.
Mendengar kalimat-kalimat yang meluncur dengan lancar dari mulut
ayahnya, Muammar tersenyum. Masih sekuno ini ayahku, katanya dalam hati.
Bukan hanya ayah, tetapi juga ibu dan kedua adikku, kata hatinya
melanjutkan. Ini harus diterobos untuk membuka jalan baru. Pemikiran
seperti itu muncul tiba-tiba dalam kepala Muammar. Itulah yang
dilakukannya keesokan harinya.
Pada suatu tengah malam setelah pembicaraan ayah dan anak itu,
Muammar pulang dengan membawa Joyce. Empat anggota di rumah itu merasa
dipojokkan, terutama Maludin yang saleh itu. Setelah mempersilakan Joyce
duduk dan bertanya sedikit tentang keluarganya, Maludin meminta Muammar
untuk mengikutinya ke ruangan kerjanya. Begitu Maludin menutup pintu,
dengan wajah merah padam ia menghardik Muammar dengan suara keras. Ia
berani berteriak seperti itu karena ia tahu suaranya tidak akan
terdengar ke ruang tamu.
“Apa maksudmu membawa perempuan itu ke rumah ini? Kan Bapak telah
berbicara panjang lebar denganmu tentang hal ini. Sebagai mahasiswa
semester empat tidak mungkin kau tidak tahu apa yang Bapak jelaskan.”
Muammar mendengarkan hardikan ayahnya dengan tenang. Baginya,
kekunoan ayahnya semakin dipertegas dengan teriakan itu. Muammar merasa
ayah, ibu, dan kedua adiknya telah terperangkap dalam kepicikan yang
mengekang. Dua puluh tahun di negeri yang jauh ini tidak membuat mereka
dapat menyerap keragaman nilai di sekitar mereka.
“Ajaklah Joyce pergi. Yakinkan dia bahwa keluarga kita tidak menolak
kehadirannya. Tapi, kita tidak dapat memberikan ruang kepadanya untuk
menginap di rumah ini sebelum ia resmi menjadi istrimu. Joyce boleh
menganggap Bapak kuno, konservatif, atau apa saja karena sikap Bapak
yang tak dapat ditawar ini.”
Tanpa memberikan komentar sepatah kata pun, Muammar meninggalkan
ayahnya seorang diri di ruang kerja itu. Ia kembali ke ruang tamu
menemui Joyce yang sedang berbicara dengan Maryam. Ia membisikkan
sesuatu ke telinga perempuan kulit putih itu. Perempuan itu mengangguk
dan tersenyum kepada Maryam. Kemudian ia meminta diri untuk meninggalkan
rumah itu. Ketika Joyce dan Muammar melangkah keluar ruang tamu mereka
dilepas Maryam dengan ucapan selamat malam.
Satu minggu setelah peristiwa malam itu, Muammar menelepon ayahnya.
Dengan suara tenang dan perlahan ia menyatakan kecewa dengan sikap
ayahnya. Ia meminta ayahnya untuk membebaskan diri dari belenggu
keyakinan yang menghimpitnya. Keyakinan atau agama, apa pun agama dan
keyakinan itu seharusnya tidak membuat pemeluknya senantiasa berdiri di
tempat dan tidak berupaya untuk melangkah maju.
“Ananda dibesarkan di negeri ini, di negeri yang jauh dari tempat
kita berasal. Negeri ini telah membentuk ananda menjadi orang yang
sangat mengutamakan otak. Karena itu ananda tidak ingin mencampuradukkan
keyakinan dan rasio. Salah satu di antaranya harus diutamakan. Dan,
ananda senantiasa memberi tempat utama kepada isi kepala. Dengan alasan
itu pula ananda telah melepaskan keyakinan keluarga kita, yang juga
keyakinan yang ananda pegang selama ini.”
Begitu mendengar kalimat Muammar terakhir, Maludin tidak mendengarkan
lagi apa yang diucapkan anaknya, walaupun gagang telepon masih tetap
terpegang erat di tangannya. Lama ia terdiam sebelum meletakkan gagang
telepon ke tempatnya. Begitu mudahnya Muammar melepas keyakinan
keagamaannya hanya karena persoalan yang masih dapat dicari
pemecahannya.
Sebenarnya ada kalimat terakhir yang ingin diucapkan Maludin kepada
Muammar sebelum anak muda itu meninggalkan ruang kerjanya. Ia ingin
menyarankan agar Joyce menikmati malam yang dingin itu seorang diri di
kamar Muammar, sedangkan Muammar bergabung dengan kedua adiknya di kamar
lain. Tetapi, Muammar tanpa komentar apa pun telah meninggalkannya di
ruang kerja itu sebelum ia sempat melontarkan kalimatnya terakhir.
Berat bagi Maludin untuk menyampaikan keputusan yang telah diambil
Muammar itu. Ia masih ingin bertemu dengan anaknya itu untuk menemukan
jalan keluar yang dapat diterima Muammar. Namun, ia tidak tahu bagaimana
menemukan jalan keluar itu, karena ia dan Muammar telah berada pada
posisi berseberangan. Kompromi untuk hal-hal prinsipil terutama untuk
keyakinan yang berkaitan langsung dengan Tuhan, adalah langkah yang
tidak akan pernah diambil oleh Maludin. Ia lebih siap untuk kehilangan
anaknya daripada mengingkari keyakinan yang telah dipeluknya puluhan
tahun.
Malam ini, sebenarnya hingga pagi ini, Maludin tetap terjaga.
Keputusan Muammar telah membuatnya menoleh ke masa lampau. Ke masa pada
saat ia dan istrinya merasakan kesenangan dan kegembiraan ketika
menjejakkan kaki di negeri ini. Kegembiraan dan kesenangan yang juga
mereka rasakan pada saat anak-anak mereka dapat bersekolah tanpa harus
mengeluarkan biaya, di samping mereka dapat berdomisili di lingkungan
yang tidak sumpek. Ditambah lagi dengan pendapatan yang jauh melebihi
kebutuhan. Dalam kondisi seperti itulah mereka membesarkan Muammar dan
kedua adiknya.
Beberapa hari Maludin menyimpan rahasia itu dalam dirinya. Akhirnya
ia tak mampu memiliki rahasia itu seorang diri. Ia harus berbagi rahasia
ini dengan istrinya Maryam, karena Muammar adalah putra mereka berdua.
Dan ia tidak ingin terlalu sering terjaga pada saat ketika ia seharusnya
menikmati istirahat pada malam hari.
Saat yang ditunggunya itu akhirnya tiba ketika Maryam bertanya
mengapa Muammar tidak pernah pulang beberapa hari terakhir. Maryam
mendengarkan dengan hati teriris ketika suaminya membuka lembar-lembar
cerita itu kepadanya. Ia benar-benar merasa tersayat pada saat Maludin
mengutarakan bahwa Muammar bukan saja telah meninggalkan keyakinan yang
dipeluknya, tetapi juga berniat melepaskan ikatan keluarga dengan
ayahnya kalau saja hal itu tidak menyebabkan terputusnya jaminan untuk
memperoleh pinjaman dari bank yang digunakan untuk membiayai kuliahnya.
Anak kesayanganku telah memilih jalannya sendiri, ujar Maryam dalam
hati. Setelah itu ia memandang suaminya dengan penuh pengertian.
“Kesenangan dan kegembiraan kita selama ini harus kita bayar terlalu mahal,” ujar Maludin kepada Maryam.
Perempuan itu mengangguk. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar