Cerpen G Budi Subanar
Terbit di Kompas, 23 Desember 2012
Bahan Referensi Cerpen - AKU bukan seorang pelukis terkenal. Hanya, setiap kali aku
harus melakukannya untuk menyambung hidup. Ajaib, ada saja orang yang
berminat memiliki goresan tanganku. Memajangnya di dinding-dinding
rumahnya.
“Kamu itu, setiap kali membuat gambar selalu saja dimulai dengan
membuat bulatan. Lingkaran macam apa itu? Ada yang bulat, ada dua
sejajar seperti buah kenari. Kali ini apa lagi? Aneh-aneh saja kamu
ini,” komentar istriku yang melongok dari balik punggungku.
Aku menoleh ke arahnya, dan menyerianginya pasrah. Aku tidak sadar
bahwa dia sedang mengamatiku. Jadi, aku diam tak menyahut. Tak mau
berbantah dengannya.
Memang, selalu saja aku memulai gambarku dengan mata. Itu yang
dimaksudkan istriku dengan bulatan itu. Entah mata kayu, untuk mulai
menggambar pohon. Dua bola mata, kalau mau menggambar wajah orang. Atau,
bulatan matahari untuk mulai menggambar alam. Dari situ semua yang lain
ditempatkan. Macam-macam benda, makhluk, atau manusia, semua
kutempatkan seturut imajinasiku. Entah dari mana aku mempelajarinya. Aku
tak ingat. Mungkin dari kedudukanku sebagai juru gambar waktu bekerja
sebagai awak kapal. Setiap kali, aku bertugas menggoreskan titik-titik
dan garis sesuai dengan arah-arah yang diperoleh dari petunjuk bintang.
Setelah menjadi pelukis, bulatan itu selalu yang mengawalinya. Bukannya
titik, atau garis. Menggambar mata, selalu saja dorongannya demikian.
Dari mata itu, tanganku bergerak mengikuti imajinasi yang menuntun
untuk melengkapinya di atas kanvas. Melengkapi dengan bermacam-macam
figur dan benda. Banyak tempat yang pernah kusinggahi saat menjadi awak
kapal, hadir sebagai imajinasi yang kutuang pada kanvas berbagai ukuran.
Orang-orang dari Benggala, sampai Ceylon, dan pantai Malabar di India.
Atau suasana pelabuhan di Bantam, pemandangan di Andanam. Semua pernah
kutuang pada kanvas, dan kuulangi berkali-kali. Kulakukan itu dengan
menggunakan pena dari bulu elang laut yang ujungnya dilengkapi dengan
buluh bambu. Kanvas itu kuwarnai dengan pewarna yang dipakai mencelup
benang-benang kain tenun. Merah, coklat tua, hitam, hijau, kuning, biru
dan kesumba. Itu warna-warna dari berbagai daun, akar, atau umbi kunyit.
Dikentalkan dengan campuran getah, menjadi warna-warna yang terhampar
di kanvasku. Kuoleskan pakai kuas yang dibuat secara khusus, atau dari
sabut-sabut kelapa sederhana. Dari sana aku menggantungkan hidupku
sebagai juru gambar.
Sudah tiga hari ini, dua mata itu tidak mendapat kelengkapan apa pun.
Berlama-lama aku di sana. Hari pertama, berlalu. Tak ada tambahan benda
atau figur apa pun. Bahkan, satu garis pun tidak. Pada akhir hari,
kanvas itu kusembunyikan dan kututupi menggunakan kain bekas. Hari
kedua, kembali lagi seharian di depan kanvas itu. Tangan ini tidak juga
menambahkan hal apa pun. Hari ketiga pun sama. Sampai istriku
memergokinya, dan mengomentariku.
Aku berhenti dengan dua lingkaran buah kenari. Dua kenari oval
arahnya horizontal. Kuarahkan ke kanan dan ke kiri. Ini memang tidak
seperti biasanya. Dua benda oval yang tidak mengarah vertikal. Biasanya,
aku selalu menempatkan bentuk kenari dengan kedua ujungnya ke atas
bawah. Layaknya buah kenari di pohon-pohon tinggi menjulang. Kali ini,
tidak. Barangkali itu yang membuat berhentinya dua mata itu.
Aneh, rasanya. Aku sendiri tak mengerti. Padahal, sudah sejak sebelum
aku menyediakan kanvas, mata jiwaku sudah menata lengkap semua
imajinasi yang akan kugelar di atas kanvas. Dua lingkaran kenari di kiri
bawah, akan menjadi mata seseorang. Dan semua benda yang lain berjajar
menutupi seluruh permukaan kanvas. Setelah garis pantai, mendatar ke
arah kanan, perahu layar besar yang siap menuju samudera. Di atasnya,
ada gugusan bintang yang akan menuntunnya ke utara. Gugusan bintang
beruang besar. Komposisi tiga bagian itu sudah terbayang rapi dalam
imajinasiku. Dan untuk memulainya, kutempatkan dua mata itu ke arah
mukaku. Bukan sejalan kearah kapal yang akan berlayar, atau searah
gugusan bintang yang akan menuntunnya.
Tidak, aku tak akan mengarahkan dua mata itu mengikuti ke mana kapal
berlayar, dan ke mana bintang beruang besar berjajar-jajar menunjuk arah
utara. Mata itu tetap kuarahkan padaku. Ujung penaku sudah
menggoreskannya demikian. Aku tak mau mengganti dengan kanvas lain, dan
mengarahkan dua mata mengikuti arah kapal yang akan berlayar dan arah
gugusan bintang yang berjajar-jajar.
Aku bertahan sampai seminggu.
Istriku tak bertanya lagi sampai di mana gambarku. Memang adat
kebiasaannya tidak pernah berbuat demikian. Aku sendiri yang jadi
menunduk tiap kali berdua makan berhadapan di atas tikar, atau berjajar
di bangku. Ada keengganan untuk bicara. Beruntung, dia memahami
keadaanku.
Pada hari ketujuh, aku mencelupkan ibu jariku pada cairan hitam, dan
membubuhkan secara perlahan-lahan dan penuh kehati-hatian lima sidik
jari berjajar-jajar ke kanan. Imajinasi kapal layar dan bintang-bintang
tak jadi kugoreskan di kanvas.
***
Aku pernah menemuinya di wilayah Madras sana, sebuah gambar berwarna
keemasan, dengan figur seorang perempuan dan seorang anak kecil dalam
gendongannya. Ikon, aku pernah mendengar sebutan itu. Tertempel di
tempat ibadat yang menjadi tempatku berteduh di pelabuhan wilayah
Madras. Waktu itu uangku ludes karena lengah. Tak kukira seorang
pencopet telah berhasil menggaet kantong uangku. Entah di mana.
Seperti biasa, sebagai awak kapal, kami turun berombongan. Mencari
tempat minum-minum, entah aku lupa namanya di kota pelabuhan itu.
Tatkala beranjak pindah ke panti pijat, kantong uangku tak ada lagi. Aku
tak mau merepotkan teman-teman pelautku. Terpaksa, aku diam-diam
menyelinap memisahkan diri dari tengah-tengah mereka. Sampai akhirnya,
aku menemukan tempat ibadat yang bisa untuk membaringkan tubuh sampai
seminggu lamanya. Sampai saatnya, kapal bertolak kembali.
Di tempat itu, aku mengalami hidup tidak seperti biasanya. Makan dan
minum dari pemberian orang yang datang ke tempat ibadat itu. Dan,
waktu-waktu berikutnya, aku mendengarkan penjaga tempat ibadat itu
berkisah tentang ikon yang kukagumi itu.
“Lihat, gambar itu. Mandylion, bukan yang digambar oleh tangan
manusia. Terpapar pada sebuah kain wajah penuh kelembutan pada orang
yang berhadapan denganNya.” Kata penjaga tempat ibadat itu menjelaskan.
“Di sebelahnya, hoditigria, Ibu dan Anak, yang ilahi sekaligus manusiawi
sekaligus menyatu,” katanya lagi.
Menurut kisahnya, beberapa benda itu hadiah dari mereka yang datang
dari pedalaman belahan lain di seberang benua besar. Entah dari
Konstantinopel atau dari pelabuhan-pelabuhan di jazirah seberang yang
aku belum pernah ke sana. Ikon itu ditempatkan di beberapa sudut. Ada
yang di dekat mimbar-mimbar, ada yang di samping kanan kiri. Menjadi
semacam tembok tempat ibadat itu.
Tempat ibadat itu selalu beraroma. Dengan kemenyan, gaharu, dan damar
semacam mur yang datang bersama kapal yang kuawaki. Kuceritakan kepada
penjaga tempat ibadat, tempat asal dari wewangian yang mereka gunakan
itu. Penjaga tempat ibadat mengangguk-angguk paham. Jadi aku diberinya
tempat untuk bisa meminta sedekah. Dan, malamnya aku bisa membaringkan
badan, sambil mengagumi bermacam gambar itu di tengah keremangan cahaya
yang ada.
***
Saat tubuhku tak lagi mampu ikut berlayar, aku turun kapal untuk
selamanya. Tidak lagi menjadi pelaut yang berpetualang ke sana ke mari.
Jadi, kualihkan keahlianku sebagai juru gambar di kapal, menjadi pelukis
berbagai macam obyek dan pemandangan.
Sepekan setelah kuletakkan kanvas yang kububuhi sidik ibu jariku, aku
mulai menggunakan kanvas kayu. Aku memajang bilah-bilah kayu yang
disambung-sambung sebagai kanvas baru. Aku sudah mengusahakan dan
mempersiapkannya dengan seksama. Papan itu kuperoleh dari tukang kayu
kenalanku. Permukaannya digosok sangat halus, pori-porinya rapat. Layak
untuk menjadi sebuah kanvas. Bahan pewarnanya sebagian dengan bahan baru
yang kuperoleh dari orang-orang yang pulang berdagang dari India.
Aku mulai menggoreskan gambar seorang perempuan dengan anak laki-laki
di gendongannya itu. Lagi-lagi, aku memulainya dengan menggambarkan
mata. Kali ini, dua pasang mata. Mata perempuan itu, dan mata anak
lelaki yang ada di gendongannya. Sejak saat itu, aku menjadi pelukis
ikon di pinggiran kota Fansur, wilayah pelabuhan Barus, tanah
kelahiranku. (*)
Yogyakarta, 2012
Catatan:
ikon: lukisan dari tradisi Gereja Katolik Ortodoks Ritus Timur di Byzantium dengan pusatnya di Konstantinopel
mandylion: wajah Kristus pada selembar kain
hoditigria: gambar Maria dan Kanak-kanak Yesus
Fansur: nama lain dari Barus, kota kuno di wilayah Pantai Barat Sumatera, Sumatera Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar