Cerpen Skylashtar Maryam
Terbit di Republika, 23 Desember 2012
Bahan Referensi Cerpen - LENGKUNG punggungnya tenggelam dalam barisan kemuning
padi, bergerak dari satu pematang ke pematang. Tangannya yang kelam
dengan jemari kapalan karena tak pernah menyentuh pelembab macam
manapun itu menggurita, mencabuti satu per satu alang-alang yang
menggemukkan diri, alang-alang yang membunuh padi kami. Capingnya
berayun digigiti angin, menaungi kerut wajah legam, meski legam tapi
dari wajah itu senyum tak pernah berhenti terbit. Senyum itulah yang
menggigiti kemiskinan hingga tinggal sepah.
***
Kereta yang ia tumpangi mulai merayap, membelah debar kerinduan pada
sosok yang selama lima tahun ini ia tinggalkan demi sebuah impian akan
hidup mapan. Seharusnya ia memilih kereta ekonomi dengan berbagai macam
orang yang bisa diamati daripada kereta eksekutif dengan AC melengking
dan tempat duduk luas tapi terasa sepi dan asing.
“Jadi budak lalaki mah kudu loba kahayang tur cita-cita nu luhung, Jang,” [1] begitu selalu kata Ibu.
Anak laki-laki. Ah, betapa kata itu mampu mengiris dadanya hingga
jadi serpihan kecil. Di kampungnya yang terpencil dan terkucil, menjadi
anak laki-laki berarti bukan hanya harus siap menjadi tulang punggung
keluarga, melainkan juga jadi kebanggan warga desa. Semua anak laki-laki
di kampungnya pergi merantau, berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan
berpuluh tahun. Tapi mereka semua selalu tahu jalan pulang dan datang
sebagai orang. Bukan para perantau yang bernasib malang.
Betul saja, perjalanan empat jam dari Jakarta ke Bandung lalu ke
Cicalengka bukan waktu yang sebentar untuk dihabiskan sendirian. Ia
merindukan asap rokok, merindukan buih-buih dalam gelas bir, merindukan
dentum musik dan segala macam hingar bingar. Perjalanan yang sepi
seperti perjalanan menuju mati, pikirnya.
Ia masih ingat, lima tahun yang lalu, tepat di Stasiun Cicalengka,
tangannya masih memagut tangan Ibu. Orang-orang berlalu lalang tapi yang
ingin ia lihat hanyalah raut sederhana Ibu; wajah penuh kegigihan,
wajah yang penuh aura kehidupan.
“Baik-baik di Batam ya, Jang. Tong kabawa ku sakaba-kaba,” [2] kata Ibu.
“Insya Allah, Bu. Ujang pasti jaga diri baik-baik. Nanti, kalau Ujang
sudah punya uang banyak, Ujang pasti pulang. Nanti Ibu Ujang beliin
tanah dan sawah supaya Ibu tidak harus jadi buruh tani terus, biar punya
sawah sendiri,” ia menerawang, menatap langit-langit stasiun yang penuh
sarang laba-laba.
“Sok didoakeun ku Ibu, Jang,” [3] kata Ibu lagi.
Senja itu, tangan Ujang tetap memagut tangan Ibu. Ia bahkan tidak
peduli meski orang-orang memandanginya, bahkan terkikik geli. Laki-laki
berusia dua puluh tahun yang begitu dekat dengan ibunya adalah tontonan
menggelikan, mungkin.
Ujang tidak peduli. Bagi Ujang, Ibu adalah pahlawan. Ibu adalah
satu-satunya orang yang tidak pernah tertawa meski ia lebih senang
bermain boneka daun ketela daripada bermain bola. Ibu satu-satunya orang
yang tidak mencibir walau ia lebih senang belajar memasak daripada
belajar silat kepada Wak Soma seperti teman-teman lelakinya. Ibu adalah
satu-satunya orang yang akan menghibur, memeluk, membela dia dari ejekan
‘banci’ yang dilontarkan teman-teman bermainnya.
Senja itu, Ujang melepas tangan Ibu dengan derai air mata. Ada kereta
yang akan membawanya pergi meninggalkan Cicalengka, meninggalkan Pulau
Jawa. Kereta yang akan menghantarkan ia meraih mimpi-mimpi dan harapan
akan hidup mapan. Sebab ia laki-laki, maka ia harus pergi.
***
Kereta tiba di Stasiun Bandung, selewat tengah hari yang terik. Ia
turun, keluar dari stasiun menuju sebuah restoran yang menyediakan
masakan Sunda lengkap dengan ornamen dan musik ranah Priangan. Ujang
serasa berada di rumah.
Cicalengka masih jauh, masih ada kereta yang harus ia tumpangi.
Sebetulnya, ia bisa saja naik angkutan kota. Tapi, kereta tetap menjadi
pilihan utama sebab mendatangkan rasa dan kenangan yang tak bisa
digantikan oleh kendaraan jenis apa pun.
Sesuai surat yang ia kirimkan dua minggu yang lalu, Ibu sudah diberi
tahu bahwa ia akan datang hari ini, menumpang kereta ekonomi. Ia tak
mengharapkan Ibu akan menjemputnya di stasiun sebab jarak antara
kampung Sindangwangi ke stasiun begitu jauh. Namun, ia tahu Ibu pasti
datang.
Pukul tiga sore, kereta jurusan Bandung-Cicalengka mulai melaju.
Ujang duduk di bangku dekat jendela, hatinya berdebar-debar. Apakah Ibu
akan gembira menyambutnya datang seperti ia yang gembira karena telah
pulang? Apakah Ibu akan tetap menjadi pahlawan baginya, tameng bagi
cibiran orang-orang, bahkan setelah segala sesuatu sudah sedemikian
berubah? Mata Ujang menelusuri bangunan-bangunan yang berkelebat di
luar, tanpa sadar air di matanya menguar.
Ia tak membawa oleh-oleh banyak kecuali tiga stel gamis, satu buah
mukena, dua buah selop berwarna senada, dan sebuah ponsel untuk Ibu.
Tidak afdol rasanya jika para perantau dari Batam kembali ke kampung
halaman tanpa membawa satu pun alat elektronik atau gadget. Ujang
tak membawa oleh-oleh untuk orang lain sebab ia tak memiliki sanak
saudara lain kecuali Ibu yang janda dan hanya memiliki ia sebagai anak
tunggal.
Ransel dengan model dan merk terkenal tercangklong di pundak Ujang.
Di dalamnya berisi uang, tiga buah kartu debit berisi cukup untuk
membeli sepetak sawah dan seekor kerbau. Ia tersenyum, membayangkan
membawa Ibu ke pasar, membeli beras, minyak, ikan, lauk-pauk, dan semua
kebutuhan dapur yang selama ini tak pernah ia dan Ibu punya.
Bertahun-tahun, Ibu memberinya makan dengan lauk seadanya. Ia tak pernah
mengeluh, sebab Ibu juga tak pernah mengeluh.
Tangan Ujang mengusap rambut pendek cepaknya, rambut yang beberapa
minggu lalau masih panjang berwarna cokelat. Kereta berderak-derak di
atas rel, sore semakin menanjak, beranjak. Senja mendekat bersamaan
dengan terlipatnya jarak.
Ujang merapikan kaus dan jaketnya. Sesekali ia mencuri pandang pada
pantulan dirinya yang baru di kaca jendela kereta. Rahang persegi,
rambut pendek, kulit cokelat bersih. Tubuh tegap dibalut kaus, jaket,
dan celana jeans merk terkenal. Ia terlihat tampan seperti pemuda
kebanyakan. Bahkan dua orang gadis di seberang kursinya kerap
melayangkan pandangan pada Ujang. Namun mata Ujang gelisah, duduknya
juga semakin gundah.
“Gue mau pulang ke kampung,” pamit Ujang kepada teman-temannya sesama pegawai salon terkenal di Batam.
“Yakin lu? Dengan keadaan lu yang kayak gini?” tanya Asri.
Ujang diselimuti ketidakyakinan. “Kasian Ibu kalau ditinggal
sendirian. Udah tua, seharusnya gue yang kerja dan dia tinggal di rumah.
Lagian, gue enggak punya keluarga lain selain beliau.”
“Ck ck ck… udah mulai mellow lu? Lu pikir ibu lu bakalan
menerima lu yang sekarang sudah kayak gini? Lu itu salah satu penata
rambut kawakan, kelas internasional. Ngapain balik kampung? Mending lu
di sini, buka salon sendiri. Gue yakin, lu bisa sukses tanpa harus balik
ke kampung,” kata Asri lagi.
“Tapi gue pengen pulang …,” gumam Ujang.
“Di sini, enggak ada yang peduli ama status gender lu. Di sini, elu
enggak akan diteriaki banci seperti teriakan orang-orang di kampung
lu,” Ina angkat bicara.
Ujang diam.
“Lu akan pulang dengan penampilan kayak gini?” Asri menunjuk sosok Ujang yang sedang berpenampilan sebagai Dewi.
“Mungkin gue harus kembali menjadi Ujang yang dulu,” gumam Ujang.
Ya, selama lima tahun di Batam, Ujang telah berubah menjadi Dewi,
seorang penata rambut kawakan di salon terkenal. Dengan ‘isi’ laki-laki
namun berpenampilan perempuan, Ujang kerap merasa nyaman. Baginya, ia
jadi seperti Ibu, perempuan yang sangat ia kagumi. Di Batam, tak ada
yang meneriakinya sebagai banci, ia justru dipuja dan dipuji. Namun,
ketika keinginan untuk pulang sudah sedemikian menyesakkan, Ujang tahu
bahwa sebagai seorang Dewi, ia tak akan mengubah apa-apa kecuali
membenarkan apa yang selama ini diteriakkan orang-orang kampung
kepadanya; banci. Ia lelaki, ia tahu itu. Ia pergi dari kampung sebagai
lelaki, maka akan pulang sebagai lelaki.
Kereta memasuki Stasiun Cicalengka, Ujang terhenyak. Ia berderap turun. Tangannya gemetar, dadanya bergeletar.
Peron penuh dengan orang-orang, mata Ujang mencari-cari satu sosok di
antara kerumunan. Sosok perempuan sederhana yang begitu ia rindukan.
Itu dia! Ujang bersorak. Perempuan setengah baya itu berdiri, memakai
gamis berwarna lembayung dan kerudung.
Ujang bergegas, tangannya mulai kebas, ia ingin sekali tersuruk di
pangkuan Ibu; menangis dan meminta maaf hingga air matanya tandas.
“Bu!” panggilnya.
Perempuan yang ia panggil Ibu mengerutkan kening, menatap Ujang dari ujung rambut ke ujung kaki. Matanya berkaca-kaca.
“Ini Ujang, Bu,” tangan Ujang melayang, menggamit tangan perempuan di depannya.
Mata Ibu kembali menyelidiki sosok pemuda di depannya.
“Ini Ujang, Bu,” ulangnya, masih dengan degup kerinduan di dada.
“Subhanallah!” Ibu menutup mulut, terhenyak, matanya membelalak. “Ujang? Meuni kasep tur gagah kieu. Siga pisan orang kota ayeuna mah.”[4]
Mata Ujang berkaca dan pecah. Ia terjatuh, berlutut, tangannya merangkul kaki Ibu.
“Hampura [5] Ujang, Bu. Ujang baru bisa pulang sekarang. Ujang kangen banget sama Ibu,” tangis deras.
Ibu mengatupkan mata, dadanya naik turun. Air mata meleleh di mata
Ibu. Anak lelakinya telah kembali. Mereka berdua berpelukan erat seperti
dua orang yang sempat terpisah selama jutaan tahun.
Mata Ujang masih berkaca demi melihat binar bangga dari mata ibunya.
Dewi telah mati, bisiknya dalam hati. Kereta meninggalkan stasiun,
meninggalkan apa-apa yang di belakang. (*)
Catatan:
[1] Jadi anak laki-laki itu harus banyak keinginan dan cita-cita yang tinggi (Sunda)
[2] Jangan terbawa yang tidak-tidak. (Sunda)
[3] Silakan, didoakan oleh Ibu. (Sunda)
[4] Tampan dan gagah sekali. Sangat persis orang kota sekarang mah. (Sunda)
[5] Maaf. (Sunda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar