Cerpen El Hadiansyah
Terbit di Kompas, 21 Oktober 2012
Bahan Referensi Cerpen - NAMANYA Sri. Hanya Sri. Sangat singkat bukan? Awalnya, aku pun
menyangka ada kelanjutan dari tiga huruf itu. Namun tidak. Namanya
benar-benar Sri, hanya Sri. Entah di mana ia sekarang.
Bilur matahari langsung sampai ke lapangan sekolah. Menjadi jejak.
Cukup panas. Aku sendiri gerah dibuatnya. Angin dari beringin yang
berkeliling tak juga mengurangi rasa. Tetap menyengat. Hanya satu dua
dedaunan menggelinding disertai bungkus permen, juga bungkus snack
yang terserak dari bawah tempat sampah. Namun Sri tak juga menyerah
pada hukuman. Tubuh kecilnya berdiri di bawah tiang bendera warna putih.
Membuatku miris.
Aku hanya melihatnya sesekali.
Pak Broto terus menerangkan tentang masa lalu. Sejarah yang mesti
kami ketahui demi hari esok. Entah apa. Inilah pelajaran yang membawa
hukuman demi hukuman berjejer kian panjang bagi Sri, menunggu
dilaksanakan.
Hampir satu bulan ke belakang. Ketika Pak Broto mengurai
pemberontakan sebuah partai yang pernah dilakukan sekian puluh tahun
lampau, tiba-tiba suara Sri memecah ketegangan. Sebuah pertanyaan
meloncat malu-malu, saling bersusulan, seperti tontonan. Kami hanya diam
mendengarkan dua suara saling berlanjut, membentuk dialog panjang yang
akhirnya berujung ngambang. Pak Broto seperti kehilangan kalimat, lalu
kelas selesai lebih awal.
“Memangnya kamu tahu dari mana to Sri?” tanyaku mendekatinya.
Anak-anak lain tak ketinggalan mengerubung mirip semut. Ini pertama
kalinya ia jadi pusat perhatian kelas.
“Kakekku yang cerita. Katanya, yang ada dibuku itu bohong.”
“Kalau itu bohong, kenapa bisa tertulis di buku pelajaran? Aneh.”
“Makanya tadi tanyakan.”
Pertanyaan dan sanggahan lebih mirip dengung lebah mengisi kelas. Aku
sendiri kian pengap dibuatnya. Meski rasa penasaran belum terbayar atas
jawaban Sri, tetap saja tak mungkin dilanjutkan.
“Pokoknya kamu tanyakan itu terus saja Sri, biar kita bisa pulang
cepat. Hahahaha,” kata Budi. Yang lain sorak menyetujui usul tersebut.
Aku memilih pergi.
Tak lama, sebelum bel tanda berakhirnya pelajaran istirahat memenuhi
lorong kelas, tiba-tiba Mas Karnaen, pak bon sekolah kami mendekati Sri,
menyampaikan sebuah pesan yang mesti ia patuhi. Menghadap guru.
Kerumunan mengurai cepat, membawa tanda tanya juga ketegangan pada wajah
masing-masing. Bibir terkatup rapat.
Dua jam pelajaran, Sri tak juga kembali ke kelas. Aku dilanda debar
tak stabil dalam dada. Keras, bersusulan. Ada rasa khawatir yang lebih
berwarna takut membayangkan ia. Apa sedang menerima hukuman karena
masalah tadi? Bisa jadi. Ketegangan tak juga lepas dari wajah
masing-masing siswa di kelas, merangsang bisik-bisik hingga ke meja
guru.
“Jangan suka ngomong ngawur di sekolahan ya?” kata Bu Dewi tiba-tiba. Di sela pelajaran Agama Islam yang ia terangkan.
Tak ada yang merespons.
“Kalian tahu kenapa teman kalian belum juga balik ke kelas?”
Heran. Aku pikir, masalahnya hanya tentang perbedaan pendapat antara
dirinya dan Pak Broto. Sesuatu yang mestinya wajar, dan tak perlu
diperpanjang. Bukankah pertanyaan menjadi rutinitas saat proses belajar
berlangsung? Bahkan di luar jam kelas! Namun pertanyaan Sri beberapa
waktu lalu justru menjadi momok berkepanjangan. Menghantui kami,
terlebih bagi Sri sendiri.
***
Satu hari setelah “perselisihan” Sri dan Pak Broto, sebuah kabar
menggemparkan sampai di sekolah. Kakek Sri ditangkap polisi. Masalahnya
tak lain karena cerita yang ia sampaikan pada cucunya. Sekolah kian
tegang, terlebih kelasku. Ternyata pihak sekolah melaporkan apa yang
diungkapkan Sri pagi itu. Tentang ilmu sejarah yang katanya simpang
siur.
Yang aku tahu, sebenarnya tak sekalipun Sri menuduh pemalsuan untuk
materi yang disampaikan Pak Broto pagi itu. Tidak. Seluruh murid di
kelas kami pun sepakat, ucapan Sri lebih pada pertanyaan yang nyatanya
tak mampu dijawab pak guru.
“Apa benar banyak orang tidak bersalah dihukum tanpa diadili terlebih dahulu, Pak?”
“Itu tidak benar.”
“Dari mana bapak tahu?”
Lalu perdebatan melebar, dan Sri justru dituduh mengganggu pelajaran.
Kasus penangkapan sang kakek membuat Sri kian terpojok. Beberapa
terhasut isu, menudingnya cucu seorang penjahat. Menjauh. Praktis tak
ada yang mau berteman dengannya, kecuali siswa satu kelas, yang
benar-benar paham kondisinya.
Anehnya, makin hari, perlakuan buruk makin menjadi. Tidak hanya
datang dari satu guru, namun semua guru dan siswa-siswa di kelas lain.
Aku prihatin melihat apa yang Sri alami. Sedih, tanpa bisa berbuat apa
pun.
***
Sri masih saja bertahan. Tak sekali, aku dan teman-teman satu kelas
membujuknya agar menyerah. Pindah ke sekolah lain yang lebih baik.
Rasanya tak tega melihat ia setiap hari mendapat hukuman, tanpa jelas
kesalahannya. Namun hasilnya sama. Sri tetap ingin bertahan.
“Aku sudah kelas tiga, Din. Bentar lagi kelulusan. Kalau aku pindah
sekolah, justru akan merepotkanku sendiri. Terlebih, cuma di sekolah ini
aku bisa dapat beasiswa.”
‘Tapi kamu akan terus menjalani hukuman demi hukuman setiap hari. Aku
tahu tujuan mereka sebenarnya. Ingin membuatmu tidak betah, lalu keluar
dari sekolah. Tapi bagaimana lagi. Kita tak mungkin bisa melawan ini.
Jadi….”
“Jadi aku harus keluar?” sahut Sri.
Kami terdiam lama. Larut dalam pikiran masing-masing. Aku sendiri
sangat bingung menghadapi masalah yang kini menghadang Sri. Ah, kadang
aku menyesali cerita dari kakeknya. Kenapa harus membantah materi
sekolah!
“Sekarang, apa yang akan kamu lakukan, Sri?” tanyaku.
“Aku pasti bisa melaluinya, Din.”
Selesai.
Tiap hari, ada saja kesalahan yang ditimpakan pada Sri. Dari satu
guru ke guru lain, dari tugas satu ke tugas lain. Peraturan baru
bermunculan. Hanya untuk Sri. Semua anak di kelas kami tahu hal itu.
Pernah, tiba-tiba Sri dipanggil ke ruang guru hanya karena ada garis
putih tipis di sepatunya. Mendadak. Padahal sebelumnya hal itu tak
pernah dipermasalahkan. Tak cukup dua jam pelajaran, kurungan ruang bagi
Sri dilakukan hingga waktu pulang tiba. Hasilnya, Sri harus menyalin
enam materi pelajaran yang tak ia ikuti.
Pada kesempatan lain, tiba-tiba Sri diberi tugas membersihkan ruang guru, tanpa sebab akibat. Atau diminta untuk foto copy
buku oleh guru, yang entah mengapa membutuhkan waktu satu jam
pelajaran. Aneh. Namun tak ada yang berani menentang keganjilan itu.
Tidak juga Sri.
“Taruhannya beasiswaku.” Sri menangis saat kami membicarakannya. “Aku ingin tetap sekolah.”
Aku terdiam.
“Aku harus bertahan. Tinggal empat bulan lagi. setelah itu masa kelulusan tiba. Aku tak ingin menyerah begitu saja, Din.”
“Yang sabar ya.” Tak ada kalimat lain yang bisa kuucapkan.
***
Sri akhirnya memang kalah. Entahlah. Memasuki bulan kedua masa
sulitnya, tiba-tiba gadis cerdas yang selalu jadi kebanggaan di kelas,
tak tampak lagi di sekolah. Tak ada surat izin. Tak juga keterangan dari
teman terdekat.
Aku sendiri bingung dengan apa yang terjadi.
Hari kedua Sri tetap tak datang, hari ketiga, keempat, sepekan,
sebulan, hingga muncul surat dari sekolah. Isinya, ia dikeluarkan dengan
tidak hormat. Terang saja, ini menyisakan beban tak ringan bagi kami,
teman-teman satu kelasnya.
Sri benar-benar menghilang. Tak hanya dari sekolah. Ia dan keluarga
pun pindah ke kota lain. Tak ada yang tahu di mana tepatnya. Dari kabar
yang beredar, satu hari sebelum mereka pindah dari desa, segerombol
polisi mendatangi rumahnya. Menangkap sang ayah. Aku kaget dibuatnya.
Ah, sebegitu besarkah dampak yang harus diterima Sri? Hanya karena
bertanya tentang ilmu sejarah yang dianggapnya tak sesuai dengan
kenyataan? Tiba-tiba aku takut bertanya tentang apa pun.
Sangat takut.
***
Namanya Sri. Hanya Sri. Sangat singkat bukan? Awalnya, aku pun
menyangka ada kelanjutan dari tiga huruf itu. Namun tidak. Namanya
benar-benar Sri, hanya Sri. Entah di mana ia sekarang.
Lima belas tahun tak ada kabar. Aku sendiri telah beranak tiga. Yang
terakhir, perempuan, dan sengaja kuberi nama Sri. Hanya Sri. Nama yang
sama bukan? Namun aku tak ingin menceritakan tentang sejarah kepadanya.
Tidak. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar