Cerpen Ilham Q Moehiddin
Terbit di Suara Merdeka, 16 Desember 2012
Bahan Referensi Cerpen - “Berikan ini, dan sampaikan salamMama padanya. Panggil dia,
Mevrouw. Mathilda punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum
pernah kau tanyakan.”
(1)
ANGIN berembus, menggulung debu di ujung jalan Pasar Luscia,
mengacarnya tinggi-tinggi sebelum melepasnya ke angkasa. Poppy buru-buru
mengejam mata, membekap hidung dan mulutnya sendiri. Tanpa memandang
wanita di depannya, Poppy memelas. “Tolonglah, Nyonya. Ramuan obat dukun
Suku Chumash terlalu mahal. Aku harus menebusnya seharga tiga ayam
betina gemuk ini.”
Wanita itu tak mau bicara, segera menjauh Poppy. Gadis itu mengeluh,
wajahnya berlapis debu tipis laksana pupur, tumitnya berdenyut karena
lama berdiri.
Wajah lelah yang cemas. Sebelum hari ini selesai, ia harus
mendapatkan uang seharga sebotol ramuan obat pada dukun desa di lembah
utara Yucca, 22 mil dari desanya, Coachella. Di barat gurun Mojave ini,
hanya ada dua desa yang dekat dari Coachella: Indio di utara, dan La
Quinto di barat. Tapi tak ada dukun lain sehebat dukun Chumash.
Hampir sore, harapan Poppy habis terbakar matahari. Hawa panas di
gurun ini seperti merambatnya api di permukaan kaca. Mata Poppy meleleh
karena panas, dan mamanya menunggu dalam kecemasan yang sama. Poppy
ingin bisa memilih peruntungan.
Tapi, sejak kapan ada pilihan dalam hidupnya. Masa kecil yang tak ia
ingat dengan sempurna, karena digenangi waktu yang begitu cair. Nasib
yang tenggelam begitu saja, tapi mengapungkan kemalangan demi
kemalangan. Sungguh, ia tak kuasa berkutik.
Kepalanya dipenuhi peristiwa-peristiwa parokial, juga terputus-putus.
Mencagun saat ia tidur, atau datang saat ia diserang demam: orang-orang
ber-sombre dan bergaun mahal, berwajah sinis, seseorang
perempuan yang ketakutan, seekor bangau menari Flamenco, lalu berkelebat
wajah-wajah lain, entah siapa.
(2)
TIGA ayam itu tak laku. Wajah mamanya kembali mendenyuti
kepala Poppy, membuat benaknya seperti membatu. Saat rumah mamanya kian
dekat, cemasnya menari-nari.
“Poppy, kaukah itu, Sayang?” Lirih suara seorang perempuan. Sebentuk wajah kuyu muncul menengok dari balik bilik tak berpintu.
Poppy belum menyahuti. Ia tarik penutup kandang dan melemparkan
ayam-ayam ke dalamnya, membuat tiga hewan itu tergelimpang panik dan
ribut. Poppy tak peduli. Hari yang panas ini telah membunuh
peruntungannya. Poppy segera mendapati mamanya. “Maaf, Mama. Tak ada
uang hari ini.” Poppy lirih, seperti akan terisak.
Perempuan yang dipanggilnya mama itu menarik tangan Poppy agar
mendekat, duduk di sisi ranjang. Bilik kecil yang muram dengan jendela
kecil sepanjang siku, berdaun jendela dari jerami yang dijalin rapat dan
tebal. Ada ranjang sederhana, serta sebuah meja kecil tua. Tak ada
bunga di atasnya, hanya sebuah mangkuk tanah murahan berisi air untuk
berbasuh.
“Jangan sedih, Sayang.” Perempuan itu mengelus punggung Poppy,
berusaha menenangkan gadis remajanya yang gundah. “Selalu ada kebaikan
di setiap hal, walau sedikit.”
Poppy tidak tahu cara meredakan cemas di hatinya. Bukan prihatin
mamanya yang mau didengarnya saat ini. Dia cemas, suara mamanya kian tak
bertenaga.
“Kuatlah, Sayangku. Poppy, Bunga California-ku. Seperti orang-orang
yang datang dari selatan, dan telah mengukir gambar-gambar di dinding
gua tambang, agar menjadi pengingat bagi mereka saat kecemasan datang
menyergap. Mengingatkan mereka pada Cordoba, Catalunya, dan Madrid.
Menanggulangi kerinduan saat malam merayapi gurun kering setelah mereka
rebah. Bersabarlah, Sayang.”
“Mama, maaf…. Tidak ada uang buat Mama.”
Mamanya tersenyum, sabar. Mengibaskan kepalanya dengan ringan. “Tak
mengapa, Sayang. Besok, berkemaslah dan pergilah menemui Mathilda di La
Quinto.”
“Tapi, Mama,” Poppy menyampuk mamanya, “kita bahkan tak punya uang untuk sebotol ramuannya.”
Mamanya mengangkat wajah. Cahaya seperti hendak pergi dari sorot
matanya. “Ini orang berbeda, Sayang. Datangi Mathilda. Gipsi baik hati
itu akan membantumu menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang
belum pernah kau tanyakan.”
Poppy telah memindahkan semua kecemasannya ke setiap helai rambut di
tubuhnya. Permintaan mamanya diartikan sebagai perintah. Mama yang
begitu sabar dan halus perangai kepadanya, sebagaimana luasan samudera
bertepian pasir halus nan putih. Begitulah Poppy menggambarkan sosok
perempuan yang telah 17 tahun ia panggil mama.
(3)
TAHUN 1799, di bulan Juli yang terik. Satu kereta kuda
berangkat menuju kota kecil La Quinto, wilayah California yang panas
sepanjang tahun. Tanah kering berdebu, dan empat kuda mendengus
kelelahan menarik kereta yang ditumpangi Poppy. Kereta itu milik Benito,
pengumpul kulit hewan di pasar La Quinto.
Poppy menyapukan pandangannya pada vegas yang menari-nari diterpa angin yang kering. Warnanya menawan keemasan. Gersang tak merebahkan fescue ini
ke tanah, bergerombol dengan akar yang teguh menggumpal abadi tanpa
rimpang. Elok sekali. Cukuplah meredakan cemas Poppy pada perjalanan
pertamanya meninggalkan Coachella. Kondisi mamanya kian payah. Tetapi,
perjalanan ini lebih penting, menurut mamanya.
Tiga hari melawan panas, menembus kering tepian Gurun Mojave. Poppy harus menemui Mathilda di sebuah paterna di
La Quinto dan menyampaikan salam dari mamanya. Keringat melembabkan
wajah jelita gadis itu, membuat dahinya berkilat. Matahari membakar
kulitnya, membikin warnanya kecokelatan. Wajahnya menyaput kecantikan
istimewa, yang bahkan tak dimiliki perempuan Indian, seperti mamanya. La
Quinto sangat sibuk sejak para don memaksakan wilayah itu sebagai kota mandiri. Kota di mana orang-orang berkantor dalam kepala mereka masing-masing.
Poppy turun dari kereta, memeluk kantong kulit berisi sedikit pakaian
dan sebuah gelang perunggu bermedali aneh. Benda itu harus
diserahkannya pada Mathilda. “Berikan ini, dan sampaikan salam Mama
buatnya. Panggil dia, Mevrouw.”
Poppy terus mengulang pesan mamanya itu agar lekat di benaknya. Atas
permintaan mamanya, Benito mengantar Poppy ke depan Flor Paterna. “Di
sini perempuan gipsi itu tinggal,” kata Benito, lalu lelaki itu pergi
menyelesaikan urusannya.
Saat Poppy menguak pintu Flor Paterna, sebuah suara marah
menghardiknya di keremangan. Poppy seketika merasa rawan. “Saya mencari
Mathilda,” jelas Poppy.
“Saya Mathilda. Siapa yang mencariku.”
Sosok perempuan tua mendekat ke arahnya. Lantai kayu terketuk-ketuk
saat perempuan itu melangkah, meraba-raba langkahnya dibantu sepotong
tongkat. Dia buta.
“Poppy. Saya Poppy, Mevrouw.”
Gipsi tua itu terkesiap. “Mevrouw…,” desis Mathilda, berdiri mematung di tengah ruangan dengan raut muka yang berubah seketika. “Oh, Adonia,” katanya pilu.
“Adonia nama mamaku, Mevrouw,” sambung Poppy segera.
Mathilda seolah tak mendengarkan Poppy. Ia mengibaskan kepalanya
dengan lemah, “akhirnya kau kirimkan dia padaku, Adonia. Romneya, Las
Chicas Perdidas.”
Lalu gipsi tua mengembangkan kedua tangannya, meminta Poppy
menghampirinya. Dipeluknya gadis itu dengan kerinduan yang akut. Mata
buta Mathilda basah. Cukup lama ia memeluk Poppy, sebelum melepaskan
gadis itu dengan sebuah kecupan di dahinya.
Mathilda mengajak Poppy ke ruang lain di Flor Paterna. Gadis itu
menuntun Mathilda duduk pada sebuah kursi kayu oak berwarna kusam. Poppy
menguak kantong kulit yang dibawanya dan meletakkan gelang perunggu ke
tangan Mathilda. Perempuan gipsi itu tersenyum. “Terima kasih, Adonia.
Kau kembalikan Romneya padaku,” bisiknya.
“Romneya?”
Lalu, mulut perempuan tua itu bergerak. Ia kumpulkan semua ingatannya di bulan Juli 1781, 18 tahun silam.
(4)
JULIA terlanga menyaksikan Don Antonio memukul pecah bibir Don
Olvera kekasihnya. Don Antonio murka saat putranya bersikeras akan
menikahi Julia.
Don Olvera telah berjanji akan menikahi Julia selepas ekspedisi
sungai Colorado. Tetapi, Don Antonio bersumpah tak akan memasukkan
seorang lanji ke rumahnya di San Jacinto, setelah apa yang dihasutkan orang kepadanya tentang Julia.
“Kalian telah memfitnahnya. Julia hanyalah penari Flamenco!” Mata Don
Olvera menyala saat menatap enam saudaranya. Para bangsawan ber-sombre dan bergaun mahal itu terdiam.
Don Antonio tak pernah suka putranya mencari wanita di luar kalangan don. Tapi Olvera paham politik para don yang
bersaing demi kekuasaan di California. Semata-mata itulah sebabnya. Don
Olvera tetap memilih Julia, dan berniat menyingkir dari San Jacinto.
“Mereka memilih La Quinto sebelum pintu-pintu kota ditutup. Setahun
kemudian, aku saksikan awan perak melayang dari La Quinto yang kering ke
Sierra Nevada yang teduh. Peristiwa yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Roh gurun dan darah Navajo Julia, ibumu, menyambut kelahiranmu,
Sayangku. Tapi takjubku hanya sesaat, setelahnya terdengar sayup gendang
Navajo berdentam dan ada nyanyian duka dengan suara yang seakan
memekik.”
“Julia adalah Ibuku?” Poppy terenyak, “lalu… Adonia?”
Mathilda menggeleng. “Adonia adalah perempuan yang melepaskan 17
tahun cintanya hanya untukmu, Sayang. Pada tubuhmu mengalir darah para don.
Di wajahmu, ada kecantikan seorang perempuan Navajo, yang menukar
hidupnya demi tangisan pertamamu. Aku, Mathilda, memberikan kesaksian
ini pada dunia.”
“Mevrouw, aku harus pulang ke Coachella.”
Mathilda meremas jemari Poppy. Ia menggeleng. “Arahmu seharusnya ke San Jacinto, bukan Coachella.”
“Tapi, Mevrouw… mamaku….”
“Adonia sudah pergi, Sayangku. Datangnya seorang mestizo ke hadapanku adalah isyarat kepergiannya. Dia tak akan mengirimiku romneya jika waktunya belum tiba.”
Poppy merebahkan kepalanya ke pangkuan Mathilda. Gadis itu menangis
sejadi-jadinya. Dia ingat percakapan terakhirnya dengan Adonia yang
dicintainya itu.
“Pergilah, Sayang. Benito akan mengantarmu ke San Jacinto,” saran Mathilda, “temuilah ayahmu, Don Olivera dan berikan gelang romneya ini padanya. Sesungguhnya, itulah nama yang diberikan ayahmu. Romneya, Bunga California.” (*)
Los Angeles, Juli 2011-2012.
Catatan:
Chumash & Navajo : pribumi Amerika yang mendiami daerah bagian tengah, selatan dan barat daya California.
Sombre : busana lelaki bangsawan Eropa.
Vegas : padang rumput (Spanyol)
Fescue : nama rumput keemasan khas California (Festuca californica).
Romneya : bunga khas California yang tumbuh pada jenis tanah apa pun (Matilija poppy).
Mevrouw : nyonya.
Las Chicas Perdidas : anak gadis yang hilang (Spanyol).
Mestizo : istilah yang digunakan untuk orang berdarah campuran Eropa dan Indian.
Ilham Q Moehiddin, memublikasikan cerpen pada banyak media massa. Bukunya: Kitab & Tafsir Perawan Nemesis (Kumcer dan Puisi, 2000), Unabomber: Gadis Kecil di Elliot House (Novel, 2002), Kabin 21 (Novel, 2003). Garis Merah di Rijswijk (Trilogi Rijswijk #1, Novel Unggulan Republika, 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar