Sepatu Baru untuk Marilyn

Cerpen Tri Shubhi A

Terbit di Republika, 6 Januari 2012






Bahan Referensi Cerpen - “IKHLAS ialah jalan menuju surga dan sarat mutlak diterimanya suatu amal oleh Allah SWT. Amal yang dilakukan seseorang karena ingin dipuji manusia, amal itu tidak akan sampai kepada Allah”

Begitulah kata-kata khatib yang terus diingat Marzuki yang tengah makan di Warung Tenda Sumber Rezeki Halal di pasar kecamatan. Memang tidak biasanya Marzuki tidak terkantuk-kantuk ketika khutbah jumat diuraikan. Pada Jumat inilah kantuknya tak hinggap dan ia tiba-tiba saja menjadi mustamik yang baik, mendengarkan khatib dengan seksama. Mungkin karena nyaris tak pernah menyimak serius perkataan khatib hampir di seluruh Jumatan yang pernah ia lalui, Marzuki amat terkesan dengan khutbah pertama yang ia simak baik-baik. Tema basar khutbah itu masih terngiang sampai makan siangnya tandas.

“Bagaimana caranya ikhlas?” renung Marzuki sembari mengorek giginya dengan tusuk gigi. Marzuki tiba-tiba merasa takut. Sejak selesai sembahyang Jumat itu ia berkeras mengingat-ingat jalan hidupnya.

“Pernahkan aku ikhlas sekali saja?” Rasanya belum.

Marzuki merasa setiap ibadah yang ia jalani ia lakukan hanya karena tuntutan lingkungan semata. Ia tidak yakin pernah ikhlas dalam hidupnya. Rasanya tidak ada amal yang sampai kepada Allah. Marzuki merasa belum pernah ikhlas.

Ketika Marzuki tengah khusyu merenung, datanglah Bu Deswinta bersama anaknya yang lucu bernama Marilyn. Perempuan paruh baya itu membeli lauk-pauk. Dulu mereka ini orang kaya tetapi kemudian jatuh miskin karena Pak Jhon Bambang Nasrullah, ayah Marilyn, tersangkut rasywah. Dipenjara.

“Mam, Marilyn mau sepatu merah itu” tiba-tiba Marilyn merengek kepada Mamanya sembari menunjuk ke toko sepatu yang ada di seberang warung tenda tersebut.

“Nanti ya, Nak, kalau Papamu bebas dari tahanan” bujuk Sang Mama.

“Tapi kan Papa bebasnya 20 tahun lagi, Ma, sepatu itu nanti tidak cukup lagi di kaki Marilyn,” Marilyn tabah merengek. Mamanya menghela napas sembari mengusap kepala Marilyn. Mata perempuan yang dulunya sosialita itu berkaca-kaca.

“Ini, Bu, lauknya,” Mbak penjaga warteg tiba-tiba memotong adegan mengharukan itu.

“Oh iya, terimakasih,” Bu Deswinta bergegas pergi selepas membayar lauk belanjaannya.

Tak ada orang yang kaprah ketika mata Bu Deswinta berkaca-kaca kecuali Marzuki yang kekhusuannya merenungkan perkara ikhlas koyak oleh percakapan mama dan anak itu.

“Ini saatnya untuk ikhlas,” Marzuki bertekad.

Dibayarnya makan siangnya kepada Mbak penjaga Warung. Lepas itu ia melangkah menuju toko sepatu.

“Berapa harga sepatu yang di etalase itu?” Tanya Marzuki tegas pada penjaga.

“Yang warna merah?” penjaga toko memastikan pertanyaan Marzuki.

“Ya,” jawab Marzuki tetap tegas.

“120 ribu Bang.”

“Apa awal bulan nanti harganya masih sama?”

“Mungkin.”

“Kalau begitu jangan jual sepatu merah itu. Awal bulan nanti aku akan membelinya…,” nada Marzuki tetap tegas. Lantas ia melangkah pergi. Penjaga toko kurang mengerti apa yang dimaksud oleh Marzuki.

***

Marzuki ialah seorang lelaki berusia 35 tahun yang sehari-hari memburuh di pabrik konveksi dekat pasar kecamatan. Ia punya istri bernama Maimunah yang kadang-kadang suka menyesal menikah dengan Marzuki. Dulu ia kira Marzuki akan sukses menjadi pengusaha, tapi ternyata tidak. Pasangan ini dikaruniai seorang putri bernama Tuti Astuti yang usianya hampir sama dengan Marilyn.

Ketika Marzuki gajian, setelah ia mendengarkan khutbah tentang ikhlas itu, Maimunah mengerang protes karena gaji suaminya kurang 120 ribu. Dan Marzuki tidak mau bilang ke mana uang itu. Mereka pun melakukan kegiatan rutin dalam kehidupan mereka: bertengkar!

“Bang Marzuki pasti selingkuh. Pasti!” Maimunah menggugat sembari terisak.

“Coba kamu pikir baik-baik Maimunah, apa cukup 120 ribu untuk selingkuh? Menafkahi kamu 1,8 juta sebulan saja kamu bilang kurang. Masa 120 ribu kamu curigai untuk selingkuh?”

“Ya terus ke mana uang itu? Abang korupsi!” jerit Maimunah sembari terus menghamburkan air mata.

“Maimunah! Jangan tuduh Abang seperti itu. Abang kira engkau adalah perempuan yang punya pribadi. Tetapi ternyata, kau sama saja dengan perempuan yang lain!” suara Marzuki meninggi, tak peduli pada air mata Maimunah.

“Abang juga sama seperti lelaki lain! Pembohong!!!” suara Maimunah tak kalah tinggi.

“Maimunah, berarti ada lelaki lain yang pernah membohongi kamu? Bukan hanya Abang? Jawab Maimunah!” Marzuki membentak.

“Abang…!!! Jangan tuduh Maimunah seperti itu. Sakit hati ini, Abang. Tak ada lelaki lain. Cuma Abang satu-satunya lelaki yang selama ini membohongi Maimunah. Satu-satunya dalam hidup Maimunah. Tak ada yang lain. Percayalah Abang….”

Maimunah bercucuran air mata. Lantas ia berlari secara dramatik, masuk ke kamar. Air matanya belum juga reda. Di dalam kamar, di atas kasur, ia terus menangis sembari menggigit-gigit ujung sarung bantal.

Tak ada maksud dari pihak Marzuki untuk menyakiti hati Maimunah. Ia cuma mau ikhlas. Uang itu akan ia gunakan membeli sepasang sepatu. Ia tak mau ada satu orang pun yang tahu ia hendak membeli sepatu untuk Marilyn. Ia mau benar-benar ikhlas. Cukup ia dan Allah saja yang tahu. Dan betapa beratnya laku ikhlas itu.
“Ini cobaan-Mu, ya Allah. Hamba akan terus berikhtiar untuk berbuat ikhlas walau cuma sekali ini. Hamba rela meskipun terpaksa bertengkar dengan istri hamba….”

***

Pada suatu malam yang sepi Marzuki mengendap-ngendap keluar rumah. Meninggal Maimunah dan Tuti Astuti yang terlelap. Ia berjalan di kegelapan. Di balik jaketnya ada sepasang sepatu mungil berwarna merah. Marzuki menuju rumah Bu Deswinta yang ada di bagian atas kampung. Rumah Marzuki sendiri berada di sebuah kelokan di bagian bawah kampung arah menuju sungai. Jarak dua rumah itu kira-kira 1,5 Km dengan gang-gang menanjak-menurun berkelok-kelok di antara pemukiman teramat padat.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba hujan turun begitu deras. Marzuki mencoba menembus hujan tapi hujan semakin deras. Akhirnya ia menepi di jongko Mie Ayam Bang Amat. Marzuki berteduh. Bukan ia tak berani menembus hujan guna menunaikan laku keikhlasannya, tapi ia segan masuk angin. Ia sudah bertengkar dengan istrinya untuk ikhlas, masa harus ditambah masuk angin. Begitu kilatan pikiran Marzuki.

Waktu terus berlalu dan hujan tak kunjung reda. Malah kian menderas. Marzuki bersidekap menahan dingin. Kilat menyambar-nyambar di angkasa. Marzuki mulai meringkuk di atas jongko, matanya tak lagi kuat untuk melawan kantuk. Rasa lelah selepas bekerja seharian di pabrik konveksi ditambah dengan udara hujan membuat Marzuki terlelap perlahan. Marzuki menggelesot di jongko Mie Ayam Bang Amat.

Hujan tak hendak henti sampai dini hari. Alir mulai naik, menggenangi jongko Bang Amat. Air terus naik.

***

“Zuk, bangun Lu!” sergah Bang Amat. Marzuki tergeragap.

“Ngapain Lu tidur di Jongko Gue? Berantem ama bini Lu ya?” Bang Amat menuduh.

“Nggak, Bang…,” jawab Marzuki polos.

“Terus ngapain Lu tidur di sini?” Bang Amat memburu jawaban Marzuki.

“Mmh…, itu Bang…, anu…,” Marzuki hendak menjawab, tapi ingat ia mau ikhlas. Tak ada yang boleh tahu.

“Kenape Lu?” Bang Amat terus memburu.

“Mmmmppphhh…,” Marzuki kelu, meraba-raba jaketnya. Menggeledah jongko Bang Amat. Memeriksa kolong bangku. Tak ada apa-apa, hanya bekas alir air.

“Nyari apa, Lu?” Bang Amat heran.

“Itu Bang…, sesuatu!” jawab Marzuki yang mulai resah sembari mencari-cari di setiap sudut.

“Udah-udah… ayo ke mushola. Shalat Shubuh!” Bang Amat hendak menyeret Marzuki.

“Bentar Bang…,” Marzuki mencari sepatu mungilnya, tapi tak ada.

***

“Ya Allah, hamba sudah berusaha ikhlas untuk satu amal saja sampai hamba harus bertengkar dengan istri hamba, kedinginan tidur di jongko dan dianggap ngelantur sama Bang Amat. Tapi ternyata keihlasan hamba gagal, ya Allah. Apa hamba harus bertengkar lebih keras dengan istri hamba? Ya Allah, apa pun keputusan-Mu, hamba menerima, ya Allah. Jikalah hamba tidak diperkenankan untuk berlaku ikhlas hari ini, mudah-mudahan masih ada umur dan kemampuan bagi hamba untuk berbuat ikhlas. Hamba sudah mencari sepatu untuk Marilyn itu sampai ke kolong jongko Bang Amat, tapi nggak ada ya Allah. Ya Allah jikalah sepatu itu dicuri orang, jangan masukan itu sebagai dosa bagi orang itu. Jika sepatu itu jatuh dan hanyut dibawa arus hujan, mudah-mudahan ia bisa ditemukan seseorang dan bermanfaat untuknya. Hamba mohon, biarkanlah sepatu itu bermanfaat bagi yang mendapatkannya. Hamba mohon ya Allah….”

Begitulah kepasrahan Marzuki yang agak panjang di hadapan Allah SWT yang ia panjatkan selepas shalat shubuh di Mushola Al-Ikhlas. Bang Amat dan beberapa jamaah lain merasa heran melihat Marzuki bercucuran air mata setelah shalat shubuh. Ini pertama kali dalam sejarah Mushola Al-Ikhlas, Marzuki berdoa sekhusyuk itu. Begitu khusyuk sampai jamaah mengira Marzuki diminta menceraikan Maimunah oleh mertuanya.

Namun apalah arti pandangan manusia. Toh Marzuki sudah lega meskipun niat ikhlasnya gagal menjadi nyata. Ia juga tak keberatan dianggap aneh oleh jamaah seshalat shubuh. Marzuki sedih tapi pasrah. Menyesal tapi pelan-pelan rela. Semua rasa sudah ia sampaikan kepada Tuhan. Mau apalagi. Batas kemanusiaannya sudah ia sentuh. Ia sudah berusaha sebaik mungkin. Toh sepatu itu tak sampai juga ke tangan Marilyn.

Dengan langkah gontai namun tenang Marzuki berjalan menuju rumahnya. Ketika tiba di jalan menurun dan berkelok di depan rumahnya, ia tahu ia akan bertengkar lagi dengan istrinya.

Namun itu tidak terjadi. Maimunah justru tersenyum di depan pintu. Manis sekali ia menyambut kepulangan Marzuki.

“Si Abang, mau beliin sepatu buat Tuti aja pake sembunyi-sembunyi. Padahal udah lamaaaa… si Tuti pengen punya sepatu baru. Mana sepatunya ditaro di depan pintu lagi. Jadi aja keujuanan.” Maimunah memanja sambil menguwel-nguwel secarik kertas bertuliskan Sepatu baru untuk anak manis, dari orang yang sedang belajar ikhlas. Maimunah tahu persis itu tulisan tangan Marzuki.

“Tutiiiii…!!! Sini, Nak!!! Ini papah pulang…, salim dulu…,cepat Nak!!!” Maimunah yang kini sudah tidak menyesal bersuamikan Marzuki memanggil anaknya.

Sementara Marzuki masih terpaku tak mengerti. Lidahnya kelu. Sepatu baru untuk Marilyn hanyut ke rumahnya sendiri. (*)



Depok, 16 Muharram 1434 H
Penulis lahir di Bandung 14 September 1985. Saat ini aktif berkegiatan bersama Komunitas Nuun, Depok, Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar