Cerpen Afrizal Malna
Terbit di Kompas, 11 November 2012
Bahan Referensi Cerpen - BAU tanah seperti ladang kenangan, perputaran dari yang
tumbuh tanpa perubahan, dan rumah-rumah air tanpa banjir. Bau daun,
dahan-dahan pohon, lumut yang memberi warna pada batu dan kayu, semua
seperti kalimat padat yang membuat hutan seperti konser kebisuan.
Membuat partiturnya sendiri melalui daun-daun yang tumbuh, layu, dan
membusuk. Siklus kehidupan dan kematian yang rumit dan kompleks
berlangsung sepanjang hari dalam hutan itu, seperti sebuah pertapaan
untuk waktu.
Matahari membuat penggaris-penggaris cahaya, mengukur jarak daun
menjelang tumbuh dan layu. Laba-laba membuat sarang dari air liurnya,
mengubah waktu seperti jaring-jaring kematian. Daun kering melayang
jatuh. Semuanya seperti anak-anak kalimat yang membuat sayatan lain
dalam induk kalimatnya. Sebuah generalisasi yang justru berlangsung
untuk mengukuhkan perbedaan dalam pelukan hutan.
Hutan dengan langit-langit kecilnya di antara daun-daun kering yang
melayang jatuh, menyimpan kenangan tentang yang berlalu dan berulang.
Akar-akarnya saling menjalin, merajut tanah dengan air yang
membasahinya. Waktu membangun arsitektur keheningan di dalamnya,
terjalin dalam konstruksi kekosongan.
“Krak”
Sebuah dahan patah dan jatuh. Lepas dari batang pohonnya. Patah dan
jatuh yang tak terbayangkan. Seperti ada pesawat yang gemetar pada
setiap pohon tua dalam hutan itu. Hutan hanya membuat jalan melalui
sungai yang dibentuknya sendiri berdasarkan gerak dan berat air,
menelusuri relung-relung tanah. Ke bawah dan ke bawah, menemui
relung-relung lainnya. Jalan yang tidak pernah berbalik melawan hutan
itu sendiri. Uap putih tipis terus membubung, berangsur-angsur, dari
daun-daun yang membusuk menjadi udara. Tak ada halaman belakang dan tak
ada halaman depan. Sebuah sirkuit kehidupan dan kematian yang tidak
memisahkan kedatangan dan kepergian. Ruang yang membatalkan semua awal
dan akhir. Denyut hutan menembus ke dalam yang bukan aku lagi.
Nama hutan itu Arca Domas. Dilindungi oleh pikukuh, ketentuan adat yang tak boleh dilanggar. Pikukuh yang membatalkan listrik dan mesin, pikukuh
yang tak boleh melukai tanah. Tanah tidak boleh digali, dipacul atau
dibajak. Kontur tanah harus tetap terjaga dari erosi. Tanah hanya boleh
ditusuk dengan bambu yang ujungnya telah diruncingi untuk kemudian
ditanami. Pikukuh yang melarang menggunakan sabun, kaca maupun cermin. Pikukuh yang terus-terusan membatalkan perubahan. Kayu panjang tak boleh dipotong, kayu pendek tak boleh disambung.
Dalam hutan Arca Domas itu, sepanjang waktu yang terdengar hanyalah
berbagai jenis suara serangga, burung, dan suara binatang lainnya. Tidak
ada suara lain. Kini, hutan dalam rajutan berbagai frekuensi
tinggi-rendahnya desing suara serangga, berulang, konstan, terdapat tiga
orang makhluk. Mereka bertiga merasa telah terperangkap hidup di bumi
melalui sebuah peristiwa yang tidak mereka mengerti. Peristiwa itu
terjadi begitu saja. Berangsur-angsur, seperti berubahnya ulat menjadi
kupu-kupu. Mereka bertiga juga tidak tahu asal-usul mereka.
Telah berhari-hari ketiga makhluk itu mondar-mandir dalam hutan itu,
memakan apa saja yang bisa mereka makan. Di bumi, untuk pertama kalinya
mereka merasakan tentang lapar, lelah, dan sakit. Untuk pertama kalinya
juga mereka mengenal hidup, usia, waktu, cinta, kesepian, bosan. Sesuatu
yang harus membuat mereka waspada. Mulai mengenal kesedihan,
kebahagiaan, kenangan, dan kematian. Untuk pertama kalinya juga mereka
mengenal tentang konsep Tuhan, alam semesta, dan keturunan.
Konsep-konsep yang aneh karena mereka sendiri tidak tahu bagaimana lumut
diciptakan. Bagaimana tanah ada. Kesadaran yang kemudian lebih banyak
dipelihara melalui kepanikan, seakan-akan ada dunia lain sebelum ada dan
setelah ada yang membayanginya.
Bayangan yang membuat malam dan siang. Bayangan yang mulai membelah
ruang di sana dan di sini. Mereka mulai belajar merangkak dalam hutan
itu, belajar berdiri, berjalan, berjalan maju dan mundur, berputar,
melompat, tidur dan belajar menghapus air mata. Belajar memanjat, mandi
dan berenang di sungai. Belajar membedakan bentuk-bentuk dan warna,
cuaca, membedakan bau tanah dan bau tubuh mereka. Belajar mengalami yang
telah berlalu dan yang akan dilalui. Belajar membedakan antara aku,
kamu, dan dia. Mereka mulai memberi nama-nama dari yang mereka alami,
menjadi kata yang menyimpan pengertian-pengertian dari yang pernah
mereka alami. Belajar membuat kalimat untuk menyimpan kisah-kisah dari
yang mereka alami. Akhirnya mereka mengukuhkan keterperangkapannya
melalui bahasa. Mereka ketakutan ketika mengetahui nafsu untuk hidup
begitu menguasai mereka. Sehingga mereka mulai berburu, memakan
binatang, memakan bentuk-bentuk kehidupan lainnya.
“Punten”
Mereka terkejut sendiri dengan ungkapan ini. Rasanya dalam, seperti
ada liang dalam diri mereka. Liang yang membuat tangan mereka seperti
tenggelam ketika mengucapkannya. “Punten.” Ungkapan
permisi yang menghidupkan seorang aku sebagai seorang kamu juga.
Ungkapan yang membuat liang dalam dirinya seperti terbuka dan mengisap
semua keangkuhan dan perbedaan ke dalam konstruksi kekosongan. Ungkapan
yang membuat mereka tahu bahwa hutan juga memiliki ruang dalamnya.
Seperti ruang tamu yang terbuat dari aspal, batubara, berbagai logam,
gas, dan minyak tanah.
Aku tidak bisa melihat ketiga makhluk itu. Aku merasakan mereka hanya
melalui perpindahan gerak angin saat mereka berjalan di sampingku atau
melalui dengus mereka. Mereka tidak bisa aku lihat. Tetapi mereka ada.
Mereka seperti menggerakkan tanganku untuk menuliskan semua ini, sebagai
penulis yang dipinjam.
Awalnya aku melihat seorang gadis yang berjalan bersama seekor
kelinci berwarna merah dalam hutan itu. Gadis dan kelinci berwarna merah
yang berada di tengah hutan seperti ini telah membuatku takjub. Aku
seperti baru saja bertemu dengan kehidupan lain. Aku mengikuti gadis
bersama kelinci merah itu. Sekali-kali gadis itu menoleh ke arahku.
Tetapi mereka tetap berjalan, masuk lebih dalam lagi ke dalam hutan.
Kelinci merahnya melompat-lompat. Matanya hitam, jernih, tanpa
prasangka. Bulu lembutnya seperti menyimpan cahaya. Daun telinganya yang
panjang menjulang ke atas. Kadang kelinci itu menatapku, lalu
melompat-lompat lagi mengejar gadis itu. Kadang aku kehilangan mereka.
Kadang mereka terlihat lagi, masih terus berjalan seperti sebelumnya.
Kadang mereka seperti berada di sebuah padang rumput yang tidak ada
batasnya, mengubah hutan menjadi hamparan rumput yang memenuhi seluruh
yang bisa kulihat.
“Siapakah gadis itu? Siapakah kelinci merah itu?”
Setiap pergantian tahun, Pendeta Bumi, yang telah ada sebelum
keterperangkapan ketiga makhluk itu, melakukan upacara Seren Taun,
upacara pergantian tahun dengan seluruh umatnya sebagai Urang Kanekes,
Baduy. Upacara yang sama juga berlangsung di Kanekes, Lebak, Kasepuhan
Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi, Kampung Naga, Cigugur, dan Kuningan.
Sebuah agama Buhun yang telah ada jauh sebelum agama-agama polytheis dan
monotheis menguasai dunia. Mereka menjaga hidup melalui pikukuh yang mereka rawat.
Mereka semua, sebagai urang Kanekes yang jumlahnya 11.174, termasuk
anak-anak kecil, duduk bersila dalam upacara itu. Semuanya mengenakan
pakaian putih-putih dan hitam-hitam, tanpa alas kaki. Mereka berkumpul
seperti hutan dalam arsitektur keheningan dan konstruksi kekosongan.
Tidak ada satu pun di antara mereka yang bicara atau bercakap-cakap.
Mereka duduk seperti mandita, bertapa untuk menjaga harmoni hutan.
Ketika mereka mulai bernyanyi bersama, jumlah 11.174 orang itu tetap
merupakan bagian dari arsitektur keheningan dan konstruksi kekosongan.
Tidak berubah menjadi kekuasaan mayoritas. Partitur-partitur kekosongan
mengalun melalui nyanyian mereka.
Nyanyian merdu dan indah yang membuat seperti ada angin berembus dari
tubuh mereka, gemericik air sungai, bahkan tanah tidak merasakan
kehadiran dan keberadaan mereka. Mereka yang hanya hidup dengan cara
tidak ingin mencelakakan orang lain atau melakukan yang tidak disenangi
orang lain. Mereka mengikuti jalan air, bukan jalan api. Antiperang,
melukai atau membunuh. Kalau kamu mau hidup, yang lain juga boleh hidup.
Pendeta Bumi menyatakan tiga syarat untuk bisa membebaskan diri dari
bumi: melanggar adat istiadat, menjadi gila atau bunuh diri. Ketiga
orang makhluk itu seperti terbakar mendengar persyaratan itu. Mereka
sudah tidak tahan berada di bumi. Tidak tahan berada bersama planet yang
tidak masuk akal ini, di mana kehidupan dijalani hanya untuk menunggu
datangnya kematian. Dan selama penungguan itu, orang menciptakan
berbagai versi kehidupan: berbuat jahat kepada orang lain atau berbuat
baik. Membunuh orang lain atau menyelamatkan orang lain. Menguasai atau
membebaskan. Merampok orang lain atau menolong orang lain. Korupsi atau
hidup dari kerja keras yang dilakukan sendiri. Bertemu atau berpisah.
Mengakui kepercayaannya sendiri, tetapi menyerang kepercayaan yang lain.
Mereka mulai terbakar mendengar ketiga persyaratan itu. Semakin besar
api membakar mereka untuk bisa membebaskan diri dari dunia, mereka
merasa semakin terperangkap dalam bumi. Lapisan-lapisan perangkapnya
semakin bertambah banyak. Setiap lapisan dipenuhi teriakan, jeritan, dan
tangisan. Benda-benda di sekitar mereka bertambah banyak. Benda-benda
untuk tidur, untuk mandi, untuk makan, untuk berjalan, untuk melihat,
untuk berkata-kata, untuk mencium, untuk membeli dan menjual. Padahal
tubuh mereka hanya satu, tunggal. Tetapi benda-benda yang mengelilingi
mereka membuat tubuh dan diri mereka menjadi majemuk. Mereka berjalan
dan hidup bertambah berat bersama dengan seluruh benda itu. Napas dan
jantung mereka kian sesak.
Mereka bertiga saling melihat dan saling menunggu, syarat apa yang
harus mereka ambil di antara ketiga syarat itu agar mereka bisa
membebaskan diri dari perangkap bumi? Semakin mereka saling melihat,
tubuh dan diri mereka bertambah majemuk. Bertambah banyak dengan lipatan
3, dan lipatan 3 lagi, dan lipatan 3 lainnya yang tak ada ujungnya.
Akhirnya mereka melihat ke dalam diri mereka masing-masing. Mencoba
mendengar tubuh mereka di luar bahasa. Mereka mulai memasuki tubuh
mereka sendiri seperti memasuki air yang dipenuhi akar-akar tanaman dan
daun-daunan. Bau rempah-rempah dan bau sperma.
Aku lihat gadis bersama kelinci merah itu melayang-layang dalam
hutan. Ia menyanyikan nyanyian cinta yang tidak kumengerti. Tubuhnya
mengeluarkan uap yang wangi. Tubuh yang seakan-akan diciptakan dari
wangi kembang melati.
“Punten,” kataku kepada gadis itu, ketika ia melayang
di atas kepalaku. Gadis itu hanya tersenyum, lalu kembali menghilang
dalam kerimbunan hutan. Tetapi wangi kembang melatinya seperti menetap.
Upacara kemudian berakhir. Penguasa bumi dan umatnya meninggalkan tempat
upacara. Hutan kembali hening. Suara-suara serangga, burung, dan
binatang-binatang lainnya mulai kembali terdengar.
Ketiga orang makhluk itu tidak menempuh satu pun dari 3 persyaratan
untuk bisa meninggalkan bumi. Mereka memilih diam, bisu, seperti para
Urang Kanekes itu. Mereka mulai belajar melupakan bahasa. Belajar untuk
tidak percaya bahwa mereka berpikir. Belajar tidak melihat dengan
melihat. Belajar berjalan dengan tidak berjalan. Mereka mulai
membatalkan suara-suara serangga dalam hutan itu dengan mendengar untuk
tidak mendengar. Membatalkan seluruh isi hutan dengan melihat tanpa
mengakui yang dilihat.
Mereka mulai merasakan telah memasuki ketiga persyaratan itu tanpa
patuh dan tanpa mengikuti ketiga persyaratan itu. Yaitu dengan cara
tiada. Menjadi yang hyang. Bersembunyi agar “ada” tidak menjebloskan
mereka kembali ke dalam fiksi “keberadaan”. Ketiga orang makhluk itu
lalu mulai melihat yang dilihat menjadi mengelotok, mengelupas, lalu
berubah menjadi yang tak terlihat. Pohon, daun-daun, batang-batang
pohon, batu, lumut, tanah, serangga, burung, semua dalam hutan itu mulai
mengelotok, mengelupas, dan berubah menjadi yang tak terlihat. Semuanya
bergerak menjadi yang hyang, yang hilang tetapi ada. Tak terlacak,
tetapi ada.
Gadis bersama kelinci merah itu kembali muncul. Ia berdiri di atas
sebuah batu besar. Kelinci merahnya melompat-lompat, berjalan ke arahku.
Kedua daun telinganya seperti antena yang bergerak-gerak. Kelinci merah
itu kini telah berada di depanku. Aku menyentuhnya, lalu memeluk dan
menggendongnya. Ia mulai mengendus-endus hidungku, seperti berusaha
mengenali bau tubuhku. Lalu ia mengembuskan napasnya berkali-kali ke
hidungku. Aku mengisap bau napasnya. Gadis itu memanggilnya. Kelinci
merah bergerak, dan melompat dari gendonganku, berlari ke arah gadis
itu.
Mereka kemudian kembali menghilang. Kini sunyi. Suara serangga juga
tidak terdengar. Aku mencoba mengingat kembali bau napas yang
dikeluarkan dari hidung kelinci itu. Aku mencoba membandingkannya dengan
bau napasku sendiri, dengan cara mengembuskan napasku ke telapak
tanganku yang kubuat seperti bentuk mangkuk. Lalu aku mencium bau bekas
napasku yang masih tertinggal di telapak tanganku.
Bau napasku ternyata sama dengan bau napas kelinci merah itu.
Setelah peristiwa itu, aku tidak pernah melihat bayanganku lagi.
Tubuhku seperti tidak memiliki lagi bayangan, walau cahaya datang dari
berbagai sudut. Sementara itu ketiga orang makhluk itu, kini tinggal di
hulu sebuah sungai. Sungai Ciujung di pegunungan Kendeng. Mereka hidup
hanya untuk menjaga air di hulu sungai itu. Mereka tidak lagi meminjam
tanganku untuk menulis. Karena air terus mengalir, menulis
kisah-kisahnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar