Cerpen Awit Radiani
Terbit di Kompas, 25 November 2012
Bahan Referensi Cerpen - BAHASA Inggris dengan pengucapan payah petugas bandara membuat aku
semakin sakit kepala. Sebenarnya aku enggan datang ke negeri ini. Tapi
Satoshi-san mengirim undangan kehormatan kongres seni budaya Asia,
yang mewajibkanku hadir. Atau aku dianggap tak menghargai hubungan baik antar
negara.
Angin musim semi mengibarkan ujung rambutku. Kesejukan Tokyo ramah
menyambut. Sebuah airport limousine menghampiri, membuka pintu dan membawaku ke
Tobu Levant di Sumida-ku. Daerah pinggiran kota itu ditempuh dalam waktu satu setengah
jam. Aku sedikit mual, mabuk perjalanan. Penyakit kampungan yang menunjukkan
asal-usulku. Seniman kampung yang tiba-tiba menjadi duta seni mewakili
negaraku. Sebenarnya aku tak siap dengan perjalanan ini.
Di sepanjang jalan kulihat banyak kedai makanan yang membuatku sumringah.
Aku ingin mencoba semuanya. Mencicipi sushi asli di tempat asalnya. Pengalaman
yang tak bisa dinikmati setiap hari. Dari jendela kamar 1820, Tokyo Sky Tower berdiri menusuk langit. Ah,
lagi-lagi sebuah menara landmark kota
yang pamer ketinggian. Aku selalu menemukan bangunan seperti itu di setiap
negara yang kukunjungi. Menara-menara yang saling adu tinggi, semuanya
menyuguhkan pengalaman yang sama. Pemandangan kota dari tempat tinggi atau bentuk khas dari
menara itu sendiri.
Bila berdiri di bawahnya takkan terlihat ujungnya, bila naik ke puncak tak
terlihat pangkalnya. Terasa angkuh tak tersentuh, butuh waktu lama untuk
memahami seluk-beluknya. Tahun lalu saat liburan ke China, aku tersesat di Shanghai TV
Tower saat mencari toilet. Hal memalukan yang tak mungkin terjadi di Tugu
Yogya. Landmark yang lugu, sederhana, akrab, dan merakyat. Dalam sekali pandang
akan terlihat pangkal dan ujung sekaligus. Bisa dipeluk, dicium, diusap sebagai
kenangan.
Aku meluruskan kaki di ofuro. Air hangat beraroma bunga merendam lelahku. Di
depan cermin kulihat sabun bermerek sama dengan yang di toilet bandara. Aku
geleng kepala. Merek Jepang memang ada di mana-mana. Di seberang hotel aku pun
melihat papan nama restoran dengan brand yang sama seperti di Jakarta. Produk Jepang
benar-benar menguasai dunia. Lalu apa yang akan kunikmati di sini? Semuanya ada
di Indonesia.
Selesai mandi aku jalan-jalan seorang diri. Berbekal peta dan buku percakapan
bahasa Jepang. Tak lupa kartu nama hotel terselip di saku. Berani bertanya
tetap sesat di jalan. Karena orang Jepang sulit berbahasa Inggris. Daripada
bingung tak bisa kembali ke hotel, aku berjalan hanya sampai Kinshi-co, stasiun
kereta. Lima
menit jalan santai dari hotelku. Kaki-kaki manusia Jepang begitu cepat
berjalan. Semuanya menyalip langkahku. Tak ada wajah yang bisa kuamati dengan
jelas karena semuanya begitu bergegas. Sebentar saja tinggal punggung yang
semakin menjauh. Keluar masuk gerbang stasiun seperti kerumunan hatarakibachi
di mulut chikatetsu, kutu pekerja yang keluar masuk lorong kereta bawah tanah.
***
“Benar-benar seperti menyeret kambing ke air membujuk Endo menemuimu.”
Satoshi menuang sake ke gelasku. Lalu mengangkat gelasnya, “Kampai!” Mengajak
seluruh peserta kongres minum. Kuteguk sedikit saja, sekadar penghormatan pada
tuan rumah. Tak lama rasa hangat naik ke muka. Wajahku memerah. Tapi tak
semerah Satoshi, ia menenggak sakenya sekaligus. Orang Jepang minum untuk
menghilangkan lelah dan stres karena pekerjaan. Minum sampai mabuk
diperbolehkan asal tak mengganggu orang. Beda di kampungku, orang minum karena
tak ada pekerjaan lalu mengganggu orang.
“Ikki! Ikki!” Teriakan mengajak kosongkan gelas terlontar. Tawa dan omongan
ngawur mulai terdengar. Aku merasa tak nyaman. Perempuan dalam kumpulan lelaki
mabuk tidaklah aman. Diam-diam kutinggalkan bilik restoran hotel tempat jamuan
makan malam, hendak kembali ke kamarku. Pintu lift terbuka sebelum aku memencet
tombol. Sosok yang sangat kukenal keluar dari dalam kamar angkut itu. Lalu kami
saling bertatapan hingga pintu lift menutup. Aku tak jadi naik dan lelaki itu
terpaku di depanku. Endo!
“Apa kabar? Aku mencarimu di atas.” Endo berkata dalam bahasa Indonesia
berlogat Jepang. Melakukan ojigi, membungkuk dalam-dalam. Yang segera
kubalas dengan gerakan yang sama. Lalu ia mengajak duduk-duduk di lobby.
Setelah obrolan basa-basi kami sepakat jalan keluar hotel.
“Kau harus merasakan dengan kulitmu sendiri udara malam kampung halamanku,
Nina-chan.” Aku tersenyum, dulu aku pun pernah mengajakmu semalam suntuk
menjelajah Malioboro sampai Prawirotaman. Boncengan dengan sepeda onthel tua
yang disewa dari rental sepeda. Makan di lesehan, lalu bercengkerama di
perempatan titik nol. Di antara Benteng Vredeburg, Gedung Agung, kantor pos,
dan bank negara, bangunan tua peninggalan Belanda yang masih kokoh hingga kini.
Endo menggombal bahwa ia punya cinta seawet gedung-gedung itu. Aku sedikit
mengejek. Mengawetkan cinta butuh formalin seberapa? Sementara memelihara kasih
yang ada pun malas-malasan.
“Kenapa kau tak ikut makan malam?” Tanyaku dalam langkah pertama di luar
hotel. Lelaki muda itu menunduk. Poni lurus hitamnya jatuh menutupi mata. “Kau
merekomendasikan namaku pada Satoshi agar aku bisa mengikuti kongres budaya
ini, tapi kau sendiri tak hadir.” Sejak awal aku merasa kurang layak berada di
dalam kumpulan seniman-seniman besar Asia itu. Karyaku belum ada apa-apanya.
Aku curiga Endo melakukan rekayasa. Entah bagaimana sehingga namaku terpilih.
Begitu banyak nama besar dengan jam terbang tinggi yang lebih pantas diundang
daripada aku. Di kotaku aku masih dianggap anak kemarin sore. Rasanya aneh
dihormati dengan segala fasilitas kelas satu. Sementara di negeri sendiri belum
diakui.
“Aku merekomendasikan beberapa nama, mereka yang memilih. Aku tak punya
kuasa untuk mempengaruhi mereka. Tapi menurut Satoshi karena kau cantik. Dan
aku setuju.” Endo tetawa sambil meraih tanganku. Kutepis dengan segera. Baru
bertemu sudah merayu! Aku tak suka kata-kata Endo. Jika tak memenuhi
kualifikasi tak perlu dipaksa. Apalagi bila dinilai dari fisik semata. Aku tak
mau jadi wanita pemenuh kuota! Sebuah hinaan atas karya perempuan. Di negara
semaju ini kesetaraan pun masih berjalan timpang. Mana ada karya diukur dari
tampang!
“Jangan cemberut, kau seniwati muda berbakat. Tak perlu inferior pada yang
lebih berumur. Lebih tua belum tentu lebih bagus. Hanya lebih dulu eksis saja.
Soal pengalaman bisa dipelajari. Kau sangat produktif dan pantas
dipertimbangkan. Asal tahu saja kami memiliki kurator terbaik di dunia. Dan
mereka takkan mendengarku walau aku berteriak dari menara Tokyo.” Aku merasa
lega dengan penjelasan Endo.
Kami memasuki shokudo, memesan semangkuk ramen. Endo mengambil dua pasang hashi.
Diberikan sepasang padaku. “Ayo makan berdua seperti di angkringan.” Endo
tertawa, tawa yang seperti boneka. Menguak kenangan lama. Kuakui pernah ada
saat indah bersamanya. Saat kami masih saling cinta. Tapi aku tak yakin mampu
hidup rukun beradu kulit dengan orang asing. Endo menuangkan soyu
banyak-banyak. Aku tak suka kecap asin itu. Lidahku terbiasa dengan kecap manis
sejak kecil. Ah, selalu saja ada bahan pertentangan di antara kami.
Pemuda Machida itu lahap menyeruput mi. Ia tampak begitu lapar. Keheranan
aku bertanya, “Kalau kau selapar itu mengapa tak makan malam bersama yang
lain?” Endo pun peserta kongres, ia punya jatah makan malam yang sama dengan
kami. Kuletakkan sumpit bambu yang tak kubuka kertas pembungkusnya di meja. Tak
kuterima tawaran makan Endo. Aku masih kenyang dan tak punya minat untuk
beromansa dengannya.
“Aku tak suka keramaian, kumpulan orang-orang membuatku berdebar-debar dan
emosional. Lebih baik aku tak datang daripada bertingkah memalukan.” Kuhela
napas, setelah sekian lama kukira ia sudah sembuh. Endo adalah seorang perupa
muda yang jenius. Namun, menderita Asperger Syndrome. Penyakit orang kreatif
yang penyendiri dan eksentrik. Korban tuntutan keadaan. Kemajuan zaman
menciptakan kemunduran mental. Hari-hari sibuk dan persaingan ketat tak
menyisakan ruang untuk menarik napas. Menciptakan kaum hatarakibachi. Kutu
pekerja yang tak mengenal diam, justru merasa bersalah jika harus istirahat.
Bahkan menganggap tidur adalah kesia-siaan.
“Kau lebih suka berkumpul dengan serangga-seranggamu kan?” Sejak kecil Endo memiliki
ketertarikan luar biasa pada serangga. Hampir seluruh karyanya terinspirasi
dari makhluk kecil itu. Ia pun terus mencari cara dan lokasi baru untuk
menangkap serangga. Perburuan serangga pula yang membawanya ke Indonesia. Dan
mempertemukan kami.
“Ya, dan sekarang aku sedang merancang perangkap canggih untuk menangkap
serangga langka. Satu-satunya di dunia.” Aku mengangguk. Paham akan etos
kerjanya. Orang Jepang bila ingin naik ke puncak gunung dengan sepeda takkan
memotong gunung memperpendek puncaknya atau membangun jalan super mulus hingga
ke pucuk gunung. Tapi berinovasi dengan sepeda itu. Tekun mengotak-atik hingga
tercipta sebuah temuan baru. Mungkin sebuah sepeda yang bisa merayap di tebing,
atau sepeda yang mampu berjalan di atas pohon. Siapa yang tahu? Hidup di tanah
penuh tantangan bencana, membuat selalu berpikir bagaimana membuat potensi
kecil menjadi besar. Sedangkan tanah negeriku begitu memanjakanku, tongkat kayu
pun bisa menjadi lagu.
“Serangga apa itu?” Tanyaku dengan polos tanpa menyadari perubahan wajah
Endo. Ia menggeser tubuh merapat padaku. Lalu mendekatkan bibirnya ke
telingaku. Berbisik. Manja dan bernada mesum.
“Seekor kutu buku, berkaca-mata, cantik, dan baik hati.” Seketika di mataku
Endo berubah menjadi seekor laba-laba yang sedang menebar jaring penangkap
mangsa. Sepintas teringat sakit hati di masa lalu. Ia mengaku cintanya padaku
hanya sementara, selama di Indonesia. Bila pergi ke negara lain, ia akan
mencintai yang lain. Baginya perempuan tak lebih dari serangga. Selama masih
tergila-gila ia akan memuja dan terus memburu. Lalu bila menemukan jenis baru
yang lama tinggal serangga mati terpigura, tersimpan dalam lemari koleksi.
Cintanya seperti kutu loncat. Menjadi hama pengganggu kesuburan sawah yang baru
saja hendak membulirkan kasih sayang.
Ah tidak, bagiku ia hanyalah seekor kutu pekerja yang terburu memburu dunia.
Aku meninggalkan Endo. Dengan anggun seperti seekor kupu-kupu yang lolos dari
jebakan jaring laba-laba. (*)
Tokyo,
2011
----
Ofuro
: bak mandi
Hatarakibachi : kutu pekerja
Chikatetsu :
stasiun bawah tanah
Shokudo
: kantin kecil
Hashi
: sumpit
Machida
: kota kecil di pinggiran Tokyo
Soyu
: kecap Jepang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar