Cerpen Hermawan Aksan
Terbit di Suara Merdeka, 28 Oktober 2012
Bahan Referensi Cerpen - BUKANKAH sudah kuingatkan kau, Kanda Jayadrata, jangan
sekali-sekali menjulurkan kepala di bingkai jendela. Terbukti, sekejap
saja kau lengah, nyawa taruhannya. Ah, andai kau mau menunggu hingga
beberapa saat lagi. Andai kau lebih dulu yakin bahwa semua yang terjadi
bukanlah tipuan, entah siapa yang melakukan. Andai kau mau mendengar
suaraku, istrimu, meskipun lirih dan tidak lebih dari suara perempuan.
“Lihatlah, Dinda,” seperti biasa, suaramu tegar, dengan wajah yang
menunjukkan tidak akan ada apa pun yang bisa menghalangimu, wajah yang
kadang masih juga mengingatkanku pada seseorang yang tidak mungkin lagi
kugapai, “Langit gelap, pertanda matahari sudah tenggelam dan tibalah
waktunya bagi Arjuna untuk segera memenuhi sumpahnya membunuh dirinya
sendiri.” Senyum menghias wajahmu. Juga senyum yang mengingatkanku pada
senyum dia—lelaki yang sangat kucinta sekaligus kubenci setengah mati.
“Tidak, Kanda,” jemariku menegang. “Kegelapan ini terlalu aneh dan
membuatku curiga. Aku merasa bahwa waktunya terlalu tiba-tiba. Aku juga
merasa bahwa kegelapan ini hanya sementara.”
Beberapa jenak kau masih memandang langit yang remang, lalu menoleh
menatapku dengan kepala sedikit miring dan mata sebelah memicing.
“Bagaimana Dinda bisa mengukur kecepatan waktu yang berlalu?”
“Aku tidak bisa mengukur, Kanda. Aku hanya merasakan.”
Kau tertawa nyaris tanpa suara. Ada nada tak percaya. “Bagaimana perasaan dapat menentukan sebuah keniscayaan mengenai waktu?”
“Entahlah. Mungkin karena aku wanita.”
Kau tertawa lagi. Kali ini dengan suara. “Seperti itulah alasan yang selalu disampaikan perempuan.”
Kau memalingkan lagi wajahmu menatap langit, lalu melangkah mendekati jendela.
“Jangan, Kanda!”
Tanganku meraih pundakmu. “Sabarlah beberapa saat lagi, Kanda.”
Langkahmu tertahan. “Tunggu sejenak hingga bintang-bintang benar-benar
bekerlipan dan rasi gubuk penceng tegak lurus di langit selatan.”
Hanya sekilas kau menatapku dengan sudut matamu. “Kau tahu, Dinda,”
lalu kautatap lagi langit, “barangkali awan menaburi cahaya bebintang,
dan aku tidak ingin ketinggalan menjadi saksi ketika Arjuna menghunus
Kiai Kala Nadah, atau pusaka yang mana pun, dan menusukkan pusakanya itu
ke dasar ulu hatinya sendiri. Pastilah itu peristiwa yang indah tak
terperi, yang pantas dikenang hingga kemudian hari.”
“Siapa yang ingin melewatkan adegan itu? Itulah adegan yang paling
ditunggu dari seluruh rangkaian peristiwa panjang Baratayuda.” Dadaku
sesak dan sesuatu yang hangat dan basah membuat pandanganku menjadi
sedikit kabur. “Air mataku sudah nyaris kering, Kanda, menyaksikan satu
demi satu saudaraku gugur di padang Kurusetra. Sembilan puluh sembilan
saudaraku, dan kini hanya menyisakan segelintir saja. Aku bisa merasakan
betapa tersayatnya hati Bunda Gendari menyaksikan semua ini. Aku tak
ingin Kanda gugur menambah panjang derita, apalagi jika dengan cara yang
jauh dari lazimnya kesatria.”
Ada jeda yang panjang.
Aku tidak tahu apakah aku anak yang sangat ditunggu di antara seratus putra Ayah dan Bunda.
Aku, si bungsu, satu-satunya perempuan dari seratus bersaudara keturunan Kuru.
Tutur yang sampai kepadaku tidaklah selalu sepenuhnya utuh. Dan dari
potongan-potongan cerita itulah aku adakalanya membayangkan betapa
kecewanya Bunda Gendari ketika mengetahui putranya tidak benar-benar
bulat seratus—sebuah angka yang sangat bermakna karena konon bundaku
pernah mendapat isyarat dari para dewa bahwa akan terjadi perang besar
di antara keturunan Barata dan untuk menghadapinya dibutuhkan sebanyak
mungkin kesatria.
Benarkah hanya pria yang bisa menjadi kesatria? Tidakkah perempuan punya kesempatan yang sama?
Kadang aku merasa bahwa kehadiranku menjadi ganjalan bagi sembilan
puluh sembilan saudaraku. Sebab, aku anak yang berbeda, baik dilihat
dari jenis kelamin maupun dari rupa. Aku perempuan dan orang bilang aku
berparas putih rupawan dan penuh kelembutan, sedangkan mereka lelaki dan
hampir semua berwajah merah sarat amarah.
Aku juga kerap mendengar dan menyaksikan betapa pertemuan dan
pembicaraan di antara saudara-saudaraku tidak akan pernah menyimpang
dari pedang, pertempuran, panah, dan darah yang tertumpah.
Meskipun demikian, seburuk apa pun penilaian pihak lain terhadap
mereka, bahkan oleh para dewa, mereka adalah saudaraku dan aku
menyayangi mereka. Apalagi setelah aku menikah denganmu, Kanda, aku
makin yakin bahwa saudara-saudaraku punya alasan yang kuat untuk itu.
Dan kini, keyakinanku kian tebal setelah melihat betapa Kurusetra
menimbulkan duka mendalam bagi kita. Satu demi satu saudaraku tumpas
menjelma pahlawan, setidaknya aku yakin bahwa mereka gugur sebagai
pahlawan, termasuk putra pertama kita, yang belum juga kudengar
kabarnya, apakah ia sudah tiada atau masih bersembunyi sebelum terjun
lagi ke medan laga.
Sunyi masih membekap ruang benteng pertahanan ini. Di kejauhan di bawah sana, di Padang Kurusetra, juga nyaris tanpa suara.
Hanya kudengar dengus tak sabar dari lubang hidungmu. “Lalu aku mesti menunggu apa lagi?”
Aku menghela napas yang masih sesak. “Menunggu kepastian.”
“Inilah kepastian itu.”
“Bukan, Kanda.”
“Bagaimana Dinda yakin ini bukan kepastian?”
“Bukankah menjelang gelap tadi kita tidak melihat semburat lembayung di langit barat?”
Kau tertawa. “Tidak selalu ada lembayung yang menandai kedatangan senja hari.”
“Tidakkah Kanda melihat hewan-hewan yang kebingungan karena tiba-tiba
saja langit menjadi gelap? Tidakkah Kanda lihat tak satu binatang pun
pulang ke kandang?”
Lalu kau menarik napas panjang. “Menurut Dinda, mengapa langit tiba-tiba menjadi gelap?”
“Mungkin sang surya terhalang oleh rembulan. Kau tahu, Kanda, itulah
yang dinamakan gerhana, ketika orang-orang masih percaya bahwa sang
surya ditelan oleh naga raksasa.”
“Gerhana akan berlangsung perlahan, sedikit demi sedikit, Dinda. Tapi
kegelapan ini, seperti yang kaubilang, terjadi begitu tiba-tiba.”
“Bukankah tenggelamnya mentari di ufuk barat juga tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan perlahan-lahan?”
“Lalu, bagaimana menurut Dinda?”
“Sudah kukatakan, tunggulah beberapa saat lagi.”
Kau terdiam. Tapi dari raut wajahmu aku yakin bahwa kau tidak sabar lagi. Ah, kau memang kesatria yang tidak sabaran.
Mirip dengan Bima—lelaki yang pernah kudamba….
Maafkan aku, Kanda, kalau aku mengungkapkan pengakuan ini. Aku memang
bersedia mendampingimu karena kau mirip sekali dengan dia. Dan menurut
tutur yang sampai ke telingaku, kau tercipta dari bungkus ketuban Bima,
yang tersia-sia, kemudian diangkat putra oleh Resi Sempani dari
Padepokan Kalingga. Bahkan kau kemudian menjadi penguasa di negara Sindu
dengan gelar Prabu Sinduraja.
Tidak orangnya, bungkus ketubannya pun tidak apa-apa.
Tapi percayalah, Kanda, cinta bisa tumbuh seiring dengan perjalanan
waktu, seperti yang terjadi kepadamu. Sebaliknya, cinta dapat memudar
dan bahkan berganti menjadi benci tak terperi, seperti yang terjadi
kepada Bima putra Kunti.
Aku sudah merasakannya bahwa kau adalah lelaki yang berani, penuh
kesungguhan dalam pengabdian, dan tak diragukan dalam hal kesetiaan.
Kesungguhan dalam menuntut ilmu, misalnya, membawamu dari negeri yang
jauh hingga ke Negeri Astina, lalu bergabung dengan keluarga Kurawa
seraya menimba pengetahuan dari Resi Drona.
Kau tahu, Kanda, mula-mula aku terpikat olehmu karena kemiripan
wajahmu dengan wajahnya, tapi lama kelamaan ada sesuatu yang membuatku
benar-benar jatuh cinta. Ketegasan. Karena itulah aku tidak menolak
ketika Ayahanda Drestarasta, lelaki yang paling menyayangiku,
menjodohkanku denganmu.
Begitu tegasnya tindakanmu, hingga kau membuat Angkawijaya perlaya di
medan laga, dalam sebuah pertempuran paling indah di mataku yang,
anehnya, di mata mereka, sebaliknya disebut pertempuran paling
menjijikkan. Mereka kira kau menewaskan Angkawijaya saat dia sudah tak
berdaya. Padahal kau dan Angkawijaya berperang secara kesatria. Namun
Arjuna, ayah Angkawijaya, entah menerima kabar dari mana, murka dan
bersumpah sebelum matahari tenggelam akan membalas kematian anaknya
dengan membunuh Kanda.
Sungguh dendam yang aneh. Aku, serta ayah-bundaku, sudah kehilangan
hampir semua, dan tidak pernah ada yang memuntahkan sumpah, selain terus
melakukan perlawanan secara kesatria.
Sorak-sorai menggemuruh di Padang Kurusetra. Kau melangkah mendekati
jendela. “Apakah itu sorak-sorai bala Astina? Biarkan aku mengintai
sekejap, Dinda. Hanya sebelah mata. Untuk memastikan bahwa Arjuna sudah
menuntaskan sumpahnya sebagai seorang kesatria.”
Tapi kau tidak hanya mengintai. Kau menjulurkan kepala di bidang jendela.
Aku terkesiap. “Jangan, Kanda….”
Saat itu pastilah kau tidak melihat seleret cahaya keperakan melesat
dari kejauhan. Aku pun hanya melihat sekilas dan tidak memahami apa yang
terjadi serta bagaimana prosesnya. Hanya kudengar desis seperti dengus
naga, lalu kepalamu, Kanda Jayadrata, menggelinding seperti bola, dan
amis darah mengambang di udara.
Bahkan menangis pun aku tak kuasa ketika perlahan-lahan kegelapan
langit menyibak. Sedikit demi sedikit garis-garis sinar sang surya rebah
di luar jendela. Langit menjadi benderang seperti semula.
Hanya seorang yang bisa melakukannya.
Aku pernah mendengar kisah yang dituturkan Ayahanda.
Lelaki yang hanya ada muslihat di kepalanya.
Kresna.
O, para dewa, di manakah makna kesatria jika para pemangku kuasa
sendiri yang justru melakukan perilaku tanpa tatakrama? Mengapa kalian
biarkan tipu muslihat laknat terus merajalela menguasai jagat? Bagaimana
mungkin makna luhur kesatria, yang senantiasa diagungkan leluhur kaum
Barata, mesti dikorbankan sekadar demi memenuhi suratan pada kitab
dewata bahwa pemenang perang besar ini adalah Pandawa?
O, Kanda Jayadrata, tidak ada lagi tangis kendati batin ini pedih teriris.
Barangkali sebentar lagi tak bakal tersisa kesatria dari Negeri Astina. Barangkali semua akan tumpas demi kejayaan Pandawa.
Sebagai seorang wanita, aku tidak mampu berbuat apa-apa. Atau
setidaknya, kalian para pria menganggap kami tak bisa berbuat apa-apa.
Kau pun mungkin tidak pernah menyangka, Ayahanda Drestarasta sudah
mewariskan ilmunya yang tiada dua kepadaku, untuk digunakan hanya jika
diperlukan. Ayah bilang kesaktian ini suatu saat akan menyebar di tanah
Jawa.
Lebur Saketi.
Kau lihat, Kanda, dengan ajian ini, bahkan pusaka Arjuna pun menjadi debu oleh genggaman jemariku.
Apalagi hanya kepala Kresna.
Setidaknya, itulah yang bergejolak di pikiranku.
Tunggulah saatnya. (*)
-------------
Bumiayu, 2012
Hermawan Aksan lahir di Brebes. Kumpulan cerpennya Sang Jelata (Grasindo, Desember 2004) dan Ketika Bulan Pucat, Dia Pergi seperti Angin (Saroba, 2009). Novelnya Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit (C Publishing, Desember 2005), Niskala (Bentang Pustaka, Juli 2008), dan Cincin Cinta Miss Titin (Kakilangit, September 2009). Mengikuti Ubud Writers and Readers Festival 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar