Cerpen Sungging Raga
Terbit di Jawa Pos, 4 November 2012
Bahan Referensi Cerpen - GADIS itu bernama Kunnaila, lahir di bawah rembulan, tumbuh
sepanjang ilalang. Orangtuanya hidup bergelantungan tepat di garis
kemiskinan, ibunya sering bersedih kalau sedang memandangi senja,
ayahnya lebih suka duduk melamun dan membayangkan dirinya sebagai
masinis kereta yang pergi mengunjungi kota demi kota. Mereka tinggal di
rumah susun, yang tali jemurannya melintang sampai ke tetangga, yang
suara televisinya tembus sampai ke dapur tetangga, yang semua
seluk-beluk rumah tangga berhubungan erat dengan tetangga.
Di usia lima belas tahun, Kunnaila sudah bisa mengatakan bahwa hidup
ini penuh liku-liku seperti dalam sebuah lagu. Pada suatu pagi, ketika
sedang bermain di stasiun Kertasemaya, seorang masinis kereta api jatuh
cinta kepadanya di pandangan pertama. Masinis itu masih cukup muda,
belum tiga puluh tiga tahun, baru saja naik pangkat setelah lama jadi
asisten. Ia melihat Kunnaila seperti melihat bidadari versi 0.6 beta,
diunduh dari langit dan dilepaskan di platform bumi yang fana.
Saat itu Kunnaila sedang duduk menunggui barang dagangan milik ibunya,
yang memang sudah cukup lama menjadi asongan di kereta api Kutojaya,
sebuah kereta murah dari Tanah Abang tujuan akhir Kutoarjo dan
sekitarnya.
Pandangan pertama itu pun mengirimkan pengikutnya. Beberapa bulan
kemudian, masinis itu mencari-cari alamat Kunnaila untuk melamarnya,
tanya sana-sini, mencoba dan mencoba lagi, akhirnya ketemulah sebuah
rumah susun yang miring seperti menara Pisa di kota Roma. Singkat
cerita, lamaran diterima, ayah Kunnaila sangat senang karena anaknya
dipinang masinis, sebuah pekerjaan yang gagal diwujudkannya. Kunnaila
akhirnya menikah di jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan abad yang
sebenarnya tak cukup baik menurut perhitungan weton Jawa, tetapi
Kunnaila tak menisbahkan nasib pada kalender dan catatan orang kuno,
maka rumah tangga tetap diresmikan.
Oleh suaminya, Kunnaila dibawa ke daerah terpencil di Banyumas, di
tepi sungai Serayu. Masa romantisme itu berlalu cepat, berganti
hari-hari yang keras perangainya. Kunnaila tinggal di rumah kecil yang
asri, ada pekarangan, ayam-ayam tetangga berkeliaran, juga bau kandang
sapi. Kalau suaminya sedang bertugas mengemudikan kereta, Kunnaila suka
main ke rumah tetangga, berkenalan akrab dengan lingkungan, ikut
membicarakan gosip kelas kampung, tetapi kalau tidak, ia duduk melamun
di depan tanaman kesayangannya, bernyanyi lagu yang sedang tenar di
radio. Sebenarnya Kunnaila ingin juga main ke stasiun Kroya, duduk
menunggu senja seperti gadis-gadis belia dalam cerita pendek, atau makan
pecel kecombrang, atau sekadar melambai pada suaminya yang
memberangkatkan kereta sambil menarik tuas klakson semboyan 35, nguoooongngng, “Selamat jalan, sayang, jangan lupa oleh-oleh bawang merah asli Brebes….”
Namun semua itu tak mungkin dilakukannya. Kunnaila jarang ke stasiun,
ia harus betah mendekam di rumah, tak ada memori perjalanan, bahkan
Kunnaila lupa kalau mereka sebenarnya belum berbulan madu. Hanya pernah
sekali suaminya mengajaknya ke Kafe Mercusi, di tepi sungai Serayu,
menelusuri jalan setapak di persawahan, menyeberangi jembatan kereta dan
jalan raya. Kunnaila berharap bahwa itulah saat paling indah untuk
ditulis di buku harian “Biografi Kunnaila” halaman pertama. Meski tanpa
bulan madu, hidup Kunnaila bahagia dan berkecukupan. Oleh sang suami, ia
dibelikan handphone, majalah wanita, dan parfum beraroma musim
semi. Kebahagiaan itu bertambah lengkap satu setengah tahun kemudian,
Kunnaila hamil dan melahirkan anak lelaki.
Anaknya lahir dengan sangat sehat berkat bantuan dukun yang tinggal
di seberang Serayu, tetapi dukun itu tidak mau dibayar dengan uang, dia
hanya minta dibelikan satu tiket kereta eksekutif Purwojaya jurusan
Cilacap-Jakarta, katanya mau jenguk anaknya yang sudah jadi pengusaha.
Bayi Kunnaila lucu sekali wajahnya, selalu nampak tersenyum, selalu
terbayang bagi Kunnaila bahwa butiran senja bisa terpeleset di pipi
bayinya. Kunnaila berangsur bahagia, hidupnya menuju sempurna. Apalagi
beberapa tetangga bilang, anak itu kelak akan membawa keberuntungan,
sebab anak itu jarang menangis.
Namun ternyata, ucapan itu tak berdasarkan ramalan yang valid. Rotasi
hidup tiba-tiba memutar Kunnaila seperti jarum jam yang bertabrakan.
Suatu malam, pukul dua, Kunnaila menerima telepon, katanya, kereta
suaminya mengalami kecelakaan, tabrakan. Menabrak apa? Pohon asam? Gardu
listrik? Warung makan Tegal? Oh, ternyata menabrak kereta…. Apa? Kereta
suaminya sedang berhenti, lalu datang ditabrak kereta lain dari arah
depan? Astaga. Kunnaila bersyukur, suaminya ternyata tak apa-apa, justru
masinis kereta yang menabrak lebih tragis, dipanggil Yang Kuasa. Tetapi
sepertinya tak semudah itu koreografi musibah melepaskan tengkuk
Kunnaila. Setelah malam itu, suaminya belum pulang, ia bingung, ingin
datang ke lokasi kejadian tapi tak tahu bagaimana. Akhirnya, sang suami
pulang tiga hari kemudian, hanya untuk memberi kabar bahwa suaminya
terancam jadi tersangka.
Setengah tahun kemudian, Kunnaila mulai hidup terlunta, anaknya
memang tumbuh sehat, tetapi suaminya tak hebat. Pekerjaannya sebagai
masinis akhirnya berhenti karena ia dituduh bersalah di kasus tabrakan
itu. Apakah orang yang diam dan ditabrak bisa dianggap bersalah? Tanya
Kunnaila pada keadilan yang sebenarnya tak pernah ada. Tetangga bilang,
itu karena yang menabrak sudah tiada, jadi, segala kesalahan ditimpakan
pada yang masih hidup.
Kunnaila ingin menjerit saja rasanya. Suaminya dipecat tanpa pesangon dari perusahaan, dan dihukum penjara tujuh tahun.
Bayangkan, tujuh tahun! Kunnaila memang sudah biasa ditinggal bekerja
oleh suaminya selama beberapa hari, tapi kalau tahun? Nanti dulu.
Kunnaila tak punya kemampuan bekerja, anaknya semakin besar saja, sudah
hampir berhenti menyusu. Kunnaila mencoba untuk menjadi buruh cuci,
cuciannya tak bersih, Kunnaila menyapu di kompleks kelurahan, selalu
saja ada sampah yang tertinggal. Kunnaila menjahit, semua kain bolong
tak ada bentuknya. Kunnaila diam, ia lapar. Akhirnya ia ikut menjadi
penambang pasir di tepi sungai Serayu, kadang juga pencari batu,
pokoknya pekerjaan yang tak terlalu menuntut kualitas, tetapi
mengedepankan tenaga dan kuantitas. Kunnaila jadi lebih sering bekerja,
ia sudah bosan mengunjungi suaminya di penjara, sebab setiap kunjungan
pasti dimintai biaya oleh petugas Lapas.
“Dasar buaya,” begitu Kunnaila mengumpat dalam hatinya.
Maka jadilah ia hidup seolah tanpa siapa-siapa, kecuali anaknya yang
selalu menangis kalau lapar tiba. Walhasil, bukannya menemukan jalan
keluar, Kunnaila semakin menjerit dalam hati. Ia jadi suka
sakit-sakitan, kena darah tinggi, kadang terjatuh ketika mengangkut
pasir, atau merasa pusing ketika sedang menyiapkan masakan. Untung ada
tetangga yang baik hati, Watono namanya, lelaki yang sudah lama duda,
ditinggal pergi istrinya yang kena guna-guna. Watono sering memberi
perhatian pada Kunnaila, kadang membantu menyapu pekarangan, menimba air
di sumur, menggendong bayi Kunnaila, bahkan sebenarnya ingin
menggendong Kunnaila juga. Namun Watono telah berjanji bahwa dalam
cerita pendek ini dia tak berniat macam-macam pada Kunnaila, dia tak mau
memaksakan konflik dan jalan cerita sesuai kehendaknya, dia hanya ingin
dirinya muncul dalam cerita pendek ini meski cuma satu paragraf.
Katanya, agar bisa diceritakan kembali kelak pada anak dan cucunya.
Hidup memang selalu menawarkan perpindahan tokoh yang kadang tak diduga.
Namun meski ada Watono, Kunnaila tetap merasa sia-sia. Orangtuanya di
Kertasemaya nyaris tak pernah menjenguk. Sementara dalam benak Kunnaila,
sosok suaminya hanya tinggal foto 3×4 pada buku nikah, tak ada figura
terpajang di ruang depan, tak ada aroma di atas bantal, hanya kasur yang
senyap, dengan bekas kotoran tikus dan liur entah milik siapa.
Barang-barang mulai dijual, Kunnaila juga sering kali berhutang di
warung Engkong Sarap, sementara pendapatan dari kuli batu dan pasir tak
juga menunjukkan grafik perubahan signifikan. Kunnaila stres, tetapi
anaknya tidak, hanya menangis kalau lapar kembali tiba. “Menangislah
sepuasmu anakku, toh aku tak akan mengutukmu jadi batu….”
***
Wanita itu bernama Kunnaila. Hidupnya meliuk seperti ilalang,
penderitaannya setebal hujan. Malam ini, Kunnaila seolah menemukan jalan
pintas untuk mengakhiri semuanya. Ia diberi dua bungkus racun tikus
gratis dari warung Engkong Sarap. Satu untuk anaknya, satu untuk
dirinya. Ia siapkan gelas dan air. Hampir tak ada lagi yang bisa
menghalangi Kunnaila dari rencananya ini, bahkan malaikat maut sudah
memarkir kudanya di pekarangan, istirahat sebentar memandangi rembulan.
Namun di saat-saat terakhir Kunnaila tersadar, ini tak menyelesaikan
masalah, justru akan membuat matinya tidak tenang, gentayangan seperti
kenangan. Maka Kunnaila segera membuang benda beracun itu jauh-jauh,
lalu ia gendong anaknya masuk kamar, ia timang-timang penuh kasih
sayang, ia tidurkan dengan sabar.
Di kamar tak gemerlap itu, Kunnaila meletakkan anaknya di kasur, ia
usap kening anaknya yang berangsur terlelap dalam pakaian bayi bermotif
bunga, “Besok kau jadi orang hebat, anakku.” Begitu ia berharap. Dan
setelah mengusir malam dari jendela, Kunnaila pun ikut merebahkan diri
di samping anaknya, ia menghela napas, merasa lelah dengan semuanya,
hingga tak terasa airmatanya terbit begitu saja…. (*)
Sungging Raga. Tinggal di Situbondo, Jawa Timur. Banyak menulis fiksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar