Cerpen Adi Ekopriyono
Terbit di Suara Merdeka, 11 November 2012
Bahan Referensi Cerpen - DI TERAS bungalow itu. Di sela-sela bunyi serangga
malam. Lolong anjing di kejauhan. Pada semilir angin sepoi-sepoi basah.
Gemericik air sungai.
Di sela dingin yang menggelayut. Di kesunyian yang mendera.
Mataku nanap, menatap samar-samar kelebatan pepohonan yang ditelan gelap.
Inikah keteduhan yang Engkau kirim kepadaku lewat keheningan malam di tepi Sungai Campuhan?
Jiwaku bergejolak. Antara ada dan tiada. Antara fenomena dan nomena.
Apakah Engkau sedang mengajariku tentang makna kehidupan sesungguhnya,
yang sama sekali lain? Seperti kata Krishnamurti, manusia harus melewati
sekat-sekat pikiran, karena pikiran hanyalah langit-langit yang
membatasiku untuk mencapai-Mu?
Jiwaku terus bergejolak. Bergetar di antara kepastian dan
ketidakpastian. Apakah Engkau sedang memberi terang? Tentang
kekeliruan-kekeliruan pikiran dan tindakan? Tentang nurani yang lebih
sering terkalahkan oleh pikiran yang tak berujung? Sak dawa-dawane lurung, isih luwih dawa gurung [1]. Bahwa, nurani itu menenteramkan, tapi pikiran mengacaukan karena tak pernah puas.
Bunyi serangga malam bak mengetuk-ngetuk jiwa.
Dengarlah wahai manusia, kami hidup dalam kedamaian, dalam keteduhan,
yang jauh dari kegelisahan dan keangkaramurkaan. Rasakan wahai manusia,
bahwa jiwamu lebih bermakna daripada pikiran-pikiranmu yang tak
berujung pangkal.
Jiwaku bertanya-tanya, apakah Engkau sedang menarikku memasuki
keseimbangan jiwa dan semesta? Menyelaraskan jiwaku, yang sering
terantuk dan terjerembab dalam kenistaan hawa nafsu?
Dingin udara dan angin Campuhan yang semilir menerabas masuk pori-poriku. Menggapai-gapai jiwaku yang tertunduk lesu. Om swastiastu, Allahu Akbar, haleluyah….
Di mana Engkau, Sang Hyang Widhi Wasa? Jiwaku memanggil-manggil-Mu,
tapi Engkau diam seribu bahasa. Tanyaku berkepanjangan. Tak berjawab.
Haruskah aku mencari jawab sendiri, seperti sering Engkau katakan
bahwa manusia harus memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan
persoalan-persoalannya sendiri? Mungkin benar kata Rendra, Engkau adalah
“seniman tak terduga” yang hanya memperhatikan hal-hal yang besar saja.
Selebihnya adalah tanggung jawab manusia. Atau benar kredo humanisme,
adalah tidak bermoral kalau manusia menyerahkan semua urusan kehidupan
kepada-Mu.
***
DI tengah kegelapan malam, jiwaku antara ada dan mengada.
Tanyaku berkepanjangan. Tak berjawab. Pikiranku menerawang entah ke
mana. Tuhan, bicaralah, berikan petunjuk padaku, apa arti semua ini?
Tentang kejadian-kejadian yang saling bertautan. Tentang nilai-nilai
yang saling berhubungan dalam relasi kejadian-kejadian itu.
Tadi pagi, baru saja aku dengar ucapan Pak Made, bahwa leluhur mereka
adalah orang-orang dari dataran tinggi Dieng. Itu sebabnya, balai
kampung di Bali dinamakan banjar; dari kata “Banjarnegara”, nama
kabupaten di kaki Dieng. Budaya Hindu Bali adalah budaya Hindu Jawa yang
sampai saat ini menjadi panutan masyarakat di Pulau Dewata.
Keseimbangan pikiran, jiwa, dan semesta adalah intinya. Maka, semua
benda punya jiwa. Rawatlah, damailah dalam hidup yang berkelanjutan. Santi, santi, santi….
Tadi pagi, Pak Sunarsa bercerita tentang perlunya manusia berdamai
dengan makhluk-makhluk lain di alam lain. Makhluk-makhluk lain itu juga
ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa, yang harus kita hormati. Sayang, katanya,
sekarang banyak manusia yang sudah lupa pada nasihat-nasihat leluhur.
Orang sudah menghamba pada keduniawian dan menjadikan harta benda
sebagai tuhan. Manusia tidak lagi bisa mendengar kata nurani. Nurani
sudah bangkrut.
Malam makin larut. Dingin makin menggelayut. Tanyaku tetap tak
berjawab. Jiwaku makin terperosok ke dalam kehampaan. Pikiranku makin
tak berujung pangkal. Di mana Engkau, Sang Hyang Widhi Wasa; Tuhan yang
Mahamengetahui, Mahapengasih dan penyayang, yang menguasai hidup dan
matiku?
***
BAYANGAN itu tiba-tiba berkelebat. Bukan bayangan orang lain. Kakang kawah adhi ari-ari
[2]. Aku ingat nasihat nenekku, bahwa hidup semua orang selalu ditemani
oleh “saudara kembarnya”, yang berasal dari air ketuban (kawah) dan plasenta (ari-ari).
Suaraku seperti bergema. Gema itu kembali memasuki relung-relung
jiwaku. Ya, manusia memang harus bertanggung jawab atas kehidupannya
sendiri.
Pelan-pelan pikiranku mulai tertata. Jiwaku mulai terisi. Bayangan
itu merasuki tubuhku, yang sudah sangat letih setelah seharian mengayuh
sepeda berkilometer-kilometer, menyusuri jalan-jalan yang dilalui Julia
Robert dalam film Eat, Pray, Love, yang diambil dari novel karya Elizabeth Gilbert.
Tubuhku letih, tidak sepadan dengan keteguhan fisik Ketut Liyer, yang
tadi aku temui di Banjar Pengosekan. Meski sudah menginjak umur 99
tahun, Ketut Liyer masih mampu membaca garis tangan orang-orang yang
datang kepadanya. Fisiknya memang sudah kelihatan agak rapuh, tapi sorot
matanya menandakan keteguhan dan keseimbangan jiwa.
Aku mulai menemukan spirit Pulau Dewata. Spirit yang sama dengan
spirit Jawa yang selama ini aku jalani. Aku mulai menemukan ketenangan
dalam keharmonisan antara otak dan hati.
Manusia memang harus mengembalikan segala sesuatu pada keharmonisan
itu. Aku mulai menyatu dengan suara serangga-serangga malam, dengan
gemericiknya air, dengan keheningan dan kegelapan Campuhan.
Kemanusiaanku mulai menyatu dengan alam di sekitarku. Jiwaku tak lagi terlepas dari pikiranku. Perlahan, bahkan menguasainya.
Daun-daun yang samar-samar dalam gelap itu menyeruak. Pelan-pelan,
satu per satu, seperti menari-nari memasuki ragaku. Angin malam yang
dingin menghinggapiku penuh kasih. Suara-suara serangga dan gemericik
air, menyiramiku penuh keteduhan. Langit yang semula gelap, membiru dan
mewarnai jiwaku. Teduh dan damai. Alam adalah sumber ilmu. Kata-kata itu
yang sering aku dengar dari orang-orang bijak. Aku mulai belajar ilmu
maklum. Memaklumi diri sendiri, memaklumi sesama manusia, memaklumi alam
semesta.
***
SEKARANG aku ada dan mengada. Kekinian, ke-di-sini-an. Seperti kata Ki Ageng Suryamentaram, “saiki, neng kene, aku gelem”
[3]. Sekarang, di sini, aku mau. Bahwa, aku harus ikhlas dan pasrah
menerima apa pun yang harus aku alami, kapan pun, di mana pun.
Aku bercengkerama dengan alam. Aku merasakan kasih-Mu tiada tara.
Mikrokosmos sudah menyatu dengan makrokosmos. Nuraniku berkata-kata.
Kata-kata itu bukan lagi kata-kataku. Aku ada, tapi aku tidak ada.
Seperti gelombang dan samuderanya; tidak lagi terpisahkan.
Tapi, aku bukan Syeh Siti Jenar yang berkata, “Ora ana Syeh Siti Jenar sing ana Allah, ora ana Allah sing ana Syeh Siti Jenar.” Aku bukan Al Halaj yang berkata, “Ana al haq.” Aku juga bukan Yesus yang berkata, “Siapa melihat aku, maka ia melihat Bapaku di surga.”
Aku adalah manusia yang berada dalam proses “menjadi”. Manusia yang
belum lepas dari keduniawian. Manusia yang masih takut pada kematian.
Manusia yang masih sering berhitung untung-rugi dalam relasi dengan Yang
Mahahidup. Aku sadar, tidak ada yang absolut di dunia ini, karena yang
absolut hanyalah Yang Mahaabsolut.
Dalam pertautan nurani dengan Sang Mahaagung aku menemukan
kemanusiaanku. Dalam keheningan Campuhan, bukan dalam keingarbingaran
kehidupan. Eksistensiku ada dan mengada. Aku ada karena Engkau, bukan
sekadar cogito ergo sum-nya Rene Descartes. Bukan pula sekadar superego-nya Sigmund Freud.
Aku ada karena Engkau. Tapi, aku ada juga karena diriku sendiri.
Mulutku terasa kelu, ketika alam semesta memenuhi jiwaku. Pikiranku
bak kuda-kuda liar yang patuh pada sais pedati. Nurani adalah pemimpin
yang sesungguhnya; yang harus tidak tunduk pada pikiran, apalagi hawa
nafsu.
***
MALAM makin larut. Selarut semesta ke dalam jiwaku. Dunia
menjadi tanpa batas. Bukan sekadar menjadi datar seperti kata Thomas
Friedman. Bukan pula menjadi desa global seperti kata Kenici Ohmae. Alam
sungguh mencair, seperti mencairnya air Sungai Campuhan. Segar,
menyehatkan. Kesegaran itu bukan hanya menyehatkan ragaku, melainkan
juga pikiran dan hatiku.
Dunia tanpa batas. Satu-satunya batas adalah diriku sendiri. Batas
antara semesta dan jiwa, batas antara nafsu dan nurani, batas antara
keakuan dan Engkau.
Pilihan ada di tangan manusia. Nur Ilahi, roh kudus, atau apa pun
namanya, ternyata hanya cahaya seperti sinar bulan di malam purnama,
yang memantulkan cahaya matahari ke bumi. Bumi adalah manusia, bulan
adalah nur Ilahi, matahari adalah Sang Mahacahaya.
Eksistensi kemanusiaanku menggebu-gebu. Tuhan pun berfirman, tidak
akan mengubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu tidak berusaha mengubah
nasibnya sendiri. Tuhan merencanakan, manusia memilih. Tuntunlah aku
Sang Hyang Widhi Wasa, agar pilihanku adalah juga pilihan-Mu.
Matur nuwun, Gusti. Engkau tetap setia bersinggasana di dalam
hatiku. Aku tidak perlu lagi memanggil-manggil-Mu dengan suara yang
lantang. Engkau Mahamendengar, Mahapeduli.
***
BAYANGAN itu berkelebat lagi. Bukan bayangan orang lain. Kakang kawah adhi ari-ari.
Perlahan aku lipat kakiku. Bersimpuh dalam keheningan malam. Jiwaku.
Pikiranku. Imanen dan transenden. Engkau dekat. Lebih dekat dari urat
leherku. Tapi, Engkau jauh, bukan karena Engkau jauh, melainkan karena
aku menjauh.
Lirih aku alunkan kidung “Rumeksa ing Wengi” [4]. Aku membayangkan,
betapa hening dan khusuk ketika Kanjeng Sunan Kalijaga dulu mencipta
kidung yang sangat meneduhkan itu.
Tiba-tiba jendela kamar sebelah terbuka. Seorang perempuan bule menyapaku, “Hello… what are you doing, Sir?”
Sejenak aku terdiam, lalu melanjutkan kidungan. Suaraku lirih sekali,
menyeruak di sela-sela keheningan malam Campuhan. Daun-daun itu seolah
ikut mengalunkan kidung. Gemericik air seperti mengiringi kidunganku.
Perempuan bule itu menatapku penuh tanya.
Pada bait terakhir, aku mengatupkan kedua telapak tangan ke wajahku. Aku ada dan mengada.
“Good night,” kataku. “Good night,” jawab perempuan itu, sambil menutup jendela dan mematikan lampu. (*)
Ubud, akhir Oktober 2012
Catatan:
[1] Sak dawa-dawane lurung, isih luwih dawa gurung:
Sepanjang-panjangnya jalan, masih lebih panjang pikiran. Artinya,
pikiran itu tidak terbatas, selalu mengejar segala sesuatu dan tidak
pernah puas.
[2] Kakang kawah adhi ari-ari: air ketuban, plasenta. Orang Jawa memercayai bahwa hidup manusia selalu didampingi oleh kakang kawah adhi ari-ari.
[3] Saiki, neng kene, aku gelem: ajaran Ki Ageng Soerjamentaram, bahwa hidup harus pasrah, kapan pun, di mana pun.
[4] Rumeksa ing Wengi: konon kidung ciptaan Kanjeng Sunan
Kalijaga yang berupa doa (mantra) untuk menjauhkan manusia dari segala
godaan, roh jahat, roh kegelapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar