Cerpen Surahmat
Terbit di Suara Merdeka, 4 November 2012
Bahan Referensi Cerpen - DI ATAS KAPAL, hanya wajah papanya yang Kinan ingat. Laki-laki
itu terasa begitu dekat sekaligus begitu jauh. Kesalahan besar telah
Kinan lakukan pada papanya tiga tahun silam. Kesalahan yang bahkan tak
tertebus dengan perjalanan seminggu Tanjung Emas-Biak.
Tiga tahun lalu Kinan menerima panggilan dari Dinas Pendidikan Biak
Numfor. Aplikasi beasiswanya untuk belajar di universitas keguruan di
Semarang diterima. Kesempatan mengenyam pendidikan berkualitas terbuka.
Sejak dulu di daerahnya sudah beredar kabar, kampus di Jawa bagus-bagus.
Bahkan jauh lebih bagus dari kampus terbagus di Papua: Universitas
Cendrawasih.
“Mama, Kinan bisa belajar di Jawa sekarang,” kata Kinan sepulang dari
kota. Mamanya mendekat sambil menggendong si bungsu yang berumur empat
tahun.
Kinan dan mamanya paham, tantangan terbesarnya akan datang dari Papa
Wayeni. Memperoleh izin dari papanya, jauh lebih berat dari memenangi
persaingan dengan pelamar beasiswa lain. Mamanya paham kondisi itu.
“Biar nanti Mama bantu bilang sama Papa Wayeni,” jawab mamanya.
Sabtu malam, Desa Sapuyone tenggelam oleh pesta. Semua orang bergembira. Daging, minuman, dan ubi-ubian tersaji bersama sopi, minuman keras khas Papua. Kinan berpikir, inilah saat yang tepat meminta restu pada papanya, Papa Wayeni.
Kinan merasa kikuk harus berterus terang. Di mata Kinan, Papa Wayeni
lelaki yang amat terhormat. Dia menghormati Papa Wayeni,
setidak-tidaknya sama dengan rasa hormat yang ditunjukkan warga desa.
Lebih dari itu, Kinan sebenarnya tak ingin membuat papanya terluka.
Berpisah dengan anak gadis satu-satunya selama empat tahun, bakal
menyakitkan.
Oleh warga, Papa Wayeni diangkat menjadi pemimpin. Itu karena
kejadian yang tidak disengaja. Dua truk tentara, pada sebuah pagi yang
tak terduga, datang mengacak-acak desa. Mereka menodongkan laras panjang
meski tak satu pun memuntahkan pelurunya. Berteriak-teriak mereka
menyebut “pemberontak” berulang-ulang.
Papa Wayeni datang menghampiri komandan.
“Tak ada pemberontak di sini. Kalian pergilah dari desa kami,” katanya.
Tentara tak langsung percaya. Dua tentara masuk menggeledah rumah
Kinan. Dan celaka, mereka menemukan bendera bintang kejora. Itu bukti
yang cukup buat para tentara. Seperti telah terencana, mereka membawa
Papa Wayeni pergi. Dia kembali keesokan hari. Papa Wayeni tak bisa
berjalan. Kedua kakinya ditembak.
Itu kejadian lima tahun silam. Kinan masih SMP.
“Papa sudah tak sakit, kan?” tanya Kinan sangat pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh sorai warga yang berpesta.
Papa Wayeni memegang lengan Kinan, membimbingnya duduk di sebuah bongkah batu, persis di depannya.
“Seberapa pun sakit. Kalau ada Kinan, jadi hilang semua….”
Kinan menatap wajah papanya dengan tajam. Ia coba menguatkan diri
untuk meminta restu pergi ke Jawa. Tapi rasa takut berlebih membuat
lidahnya kaku. Ia khawatir papanya marah-marah. Lebih-lebih Kinan izin
pergi ke Jawa.
Jawa, bagi Papa Wayeni, sudah kelewat jeleknya. Jawa itu jahat.
Orang-orang Jawa jahat. Dari Jawalah tentara dikirim ke Papua.
Orang-orang Jawa datang mendirikan toko di sepanjang jalan. Mereka
membikin desa sendiri, dengan gedung berlantai dua, jauh dari desa.
“Tidak semua orang Jawa begitu,” jawab mama Kinan, tiap kali Papa
Wayeni mengumpati orang Jawa. Mama Kinan bernama Inayah, perempuan asal
Tulungagung. Karena itulah ia memberi nama anak gadisnya Kinan, nama
yang lebih sering digunakan di Jawa
“Ya, kecuali kau,” jawab Papa Wayeni.
Papa dan mama Kinan dipertemukan oleh jodoh. Tahun 1970-an terjadi
gelombang transmigrasi. Kedua orang tua mama Kinan termasuk salah
satunya. Mereka datang ke Biak dengan belasan keluarga lain. Tanpa
persiapan panjang, mereka menggarap lahan liar. Setelah panen perdana
baru mereka membangun rumah gedung dengan teras agak lebar.
***
AYAH mama Kinan, sebutlah kakek Kinan, tak mau kembali ke
Jawa. Betapa pun ia sebenarnya merindukan kampungnya di Tulungagung, dia
bersumpah tak akan pulang. Dia kelewat trauma dengan teror-teror yang
bertahun-tahun dia terima.
Teror bermula pada akhir tahun 1960-an. Seorang laki-laki menaruh
karung berisi kepala manusia di pojok halaman. Hari berikutnya, seluruh
sapinya disembelih. Pelaku memisahkan kepala dengan badan dan
meninggalkannya begitu saja. Puncaknya terjadi pada malam hari. Puluhan
orang membawa celurit menyerbu rumah. Mereka membawa kakek Kinan dengan
truk besar. Pagi hari kakek Kinan pulang dengan badan menggigil. Sabetan
celurit membekas di punggung.
Kakek Kinan sadar aktivitas politiknya yang membuat dirinya menerima
teror. Demi keselamatan keluarga, ia memilih pergi jauh. Pilihan jatuh
ke Biak, tempat yang bahkan harus ditempuh sehari dari Manokwari.
Kakek Kinan meninggal ketika Kinan belum lahir. Ia dikebumikan di
sebuah pemakaman umum lintas agama. Dua tahun kemudian, mama Kinan
menikah dengan papa Wayeni, pemuda desa perantau dari Manokwari.
“Papamu jarang mandi, tapi dia baik sama Mama,” kata Mama Kinan pada malam-malam di mana Kinan sulit tidur.
“Waktu kamu masih dalam kandungan, Mama ngidam madu. Tapi papamu tak
pintar cari madu. Badannya kelewat besar untuk naik pohon. Akhirnya dia
ajak semua kawan-kawannya ke hutan. Mereka tak pulang seharian. Jelang
petang papamu datang membawa satu ember madu. Badannya bengkak di
sana-sini disengat lebah.”
“Mama sayang Papa Wayeni?” pertanyaan Kinan terjawab oleh helaan napas panjang. Mama Kinan seperti coba merenungkan sesuatu.
“Iya, Kinan. Kecuali saat dia menghardik orang Jawa.”
“Kenapa Papa benci orang Jawa?”
Mama Kinan, untuk kedua kalinya, menarik napas panjang. Ia memandangi
Kinan, berpikir apakah tepat anak remaja seusia Kinan diajak bicara
soal politik.
“Kakekmu dari Papa Wayeni juga punya nasib yang sama dengan kakek
dari Mama. Mereka punya gagasan menjadikan negeri ini lebih baik. Tapi
orang lain tak suka dengan gagasan mereka.”
Saat itu Kinan tak mengerti maksud mamanya. Kemudian hari ia mencari tahu sendiri, apa yang dilakukan kakeknya dari Papa Wayeni.
Dulu, tak terang tahunnya, kakek Kinan dari Papa Wayeni tinggal di
Manokwari. Bersama ratusan orang lain ia bergerilya. Citanya-citanya
membikin Tanah Papua merdeka. Dalam bahasa lain, mereka tak ingin
kekayaan Tanah Papua disedot, dibawa entah ke mana.
Kakek Kinan menjadi tentara organisasi. Dia yakin kebebasan Papua
adalah jalan paling baik. Sekalipun tak menjanjikan kesejahteraan,
pembebasan bisa menghindarkan mereka dari sakit hati. Sakit hati
lantaran mereka jadi kuli di kampung sendiri.
Ada pertempuran sore hari di Arfai. Kakek Kinan mengadang rombongan
tentara. Seperti pengadangan lain, mereka tak menghitung jumlah lawan.
Penyerangan dilakukan secara sporadis. Kakek Kinan tewas. Sudah jadi
kebiasaan, keluarga hanya dikirimi bendera sebagai pembawa kabar duka.
Itulah bintang kejora yang disimpan Papa Wayeni sebagai kenangan.
Tentara agaknya punya dendam. Mereka memburu keluarga kakek Kinan,
bahkan jauh hingga ke Biak. Itulah kenapa dua truk tentara menyergap
desa beberapa tahun lalu. Mereka membawa Papa Wayeni dan melumpuhkan
kedua kakinya.
***
SORAK-SORAI masih terdengar dari kerumunan pria yang berpesta. Kinan menatap wajah papanya dengan tajam.
“Papa, Kinan ingin belajar ke Jawa. Kinan baru dapat beasiswa kuliah di sana. Empat tahun.”
Papa Wayeni menaruh gelas berisi sopi. Seperti dugaan Kinan, Papa Wayeni marah.
“Kinan ingin tinggalkan Papa? Mau cari apa di sana? Kau ingin belajar
dari orang-orang jahat itu? Tak puas kau hidup sama Papa, sama Mama?”
Kinan tertunduk. Itu pilihan terbaik.
“Sudahlah. Orang-orang Jawa sudah meracuni kau. Mereka ingin merebut
kau dari kami. Mereka tahu kau pintar. Mereka tak ingin kau membangun
Papua.”
Papa Wayeni berusaha berdiri. Tapi kedua kakinya sudah lama mati.
“Kau tahu, siapa yang bikin Papa begini? Kau tahu siapa yang membunuh
kakek kau? Kinan, kau tidak bakal dapat apa-apa di sana. Belajarlah di
sini, belajar bersama orang-orang Papua.”
Kinan masih tertunduk.
“Mereka sudah minta terlalu banyak dari Papua. Jangan kau pergi juga.”
***
DI balik jendela asrama Kinan memandangi langit. Praktik microteaching membuatnya pulang lebih sore. Teman-teman Kinan sesama mahasiswa Papua menggedor pintu.
“Kau sudah baca ini?” Mereka menunjukan layar ponsel. Kinan bergegas.
“Mereka membawa Papa lagi, Kinan. Mama tidak tahu harus bagaimana.” (*)
Banjarnegara, 1 Oktober 2012
Surahmat, penulis kelahiran Banjarnegara
1988. Bergiat pada komunitas Nawaksara. Menulis esai pendidikan dan
kebudayaan di berbagai surat kabar. Novelnya berjudul Bonang terbit tahun 2009 oleh Cipta Prima Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar