Cerpen Nukila Amal (Koran Tempo, 29 Januari 2012)
SYAM, tak seperti namanya, bukan seorang matahari.
Ia antitesis cahaya dan segala yang terang. Semisal lukisan, ia bukan
figur di tengah yang terang-benderang berdiri gagah berkacak pinggang,
namun siluet gelap berjubah hitam yang bersandar di sudut. Siluet yang
mengamati segala di sekitar, di dalam dan di luar lukisan
Syam manusia temaram. Yang cemerlang adalah benaknya. Dan matanya.
Matanya menatap tajam wajah dan tingkah-polah orang-orang di sekitarnya.
Menghunjam cemerlang, daya hunusnya kerap membuat orang tak nyaman, dan
mereka dalam hati menganggapnya menjengkelkan atau menggentarkan.
Matanya bisa tak berkedip lama, menatap siapa pun yang bicara di
depannya. Jika ia sedang begitu, hanya Tuhan dan dirinya yang tahu apa
yang sedang ia pikirkan.
Syam seorang ironis sejati, bicaranya kerap tampak berlawanan dengan
akal sehat banyak manusia. Ini dilakukannya nyaris tanpa usaha. Ia
memasang muka jernih, muka bingung, muka jemu, muka tolol, muka dingin,
muka apa saja sesuai orang yang dihadapi. Tetapi, selalu ada jejak
semacam sinisme halus, keisengan, kalau bukan kekurangajaran. Jejak itu
sudah permanen, apa pun ekspresi wajahnya. Lalu Syam menjawab bicara
setelah membiarkan mereka bicara panjang-lebar secara sok aksi dan
bergaya. Keterampilan bicaranya yang tenang tapi akrobatik mampu
menjungkirbalikkan pikiran dan perasaan orang-orang. Ia mampu
mengeluarkan sifat paling buruk dari dalam diri seseorang. Orang-orang,
yang umumnya berlalu darinya dengan satu kesimpulan serupa: ia bajingan,
sembari menyesali dan mengutuk hari perjumpaan dengannya. Bicaranya
kerap baru dipahami orang-orang seminggu, sebulan atau setahun kemudian,
seakan punya masa inkubasi tertentu. Maka suaranya lalu terngiang
menyiksa jam-jam larut mereka sebelum tidur, mencabik kepastian dan
kepalsuan diri mereka sebagai manusia. Ia sangat mungkin sering muncul
dalam mimpi buruk sejumlah orang.
Syam, sesekali saja melihat terbit matahari. Jarang berbaju rapi,
atau mencukur jenggot dan rambut. Sekilas ia tampak awut-awutan, tapi
jika diamati lebih dekat, kuku-kuku tangannya selalu pendek dan bersih.
Sebersih kemeja dan telinganya. Perawakannya tinggi kurus, seakan tidak
teratur makan—dan memang demikian adanya. Ia makan tiga kali sehari
hanya jika sedang bersama ketiga sahabatnya—Batara, Anya, dan Ale. Syam
lebih suka mengurung diri membaca buku. Begitu banyak buku dihabiskan
dalam kecepatan di atas rata-rata orang. Ia suka mengutip perkataan atau
tulisan siapalah yang sesuai kesempatan apalah—sering ia lakukan untuk
sekadar menjengkelkan ketiga temannya. Ia mengutip Heraklitus atau
Konfusius, Isutzu dan Lao Tzu, Charles atau Jean Fourier, Ibnu ‘Arabi
dan Hammurabi, Novalis, dan sejumlah novelis. Juga Rilke dan Roethke,
atau penyair Cina dinasti T’ang dan penyair Polandia pascaperang. Jika
tidak sedang mengutip, Syam senang mendefinisikan. Maka, cinta adalah
“lirisisme cengeng berdua bertiga berjamaah”, keseksian adalah
“kemampuan untuk merefleksikan kenikmatan potensial.”
Syam sudah sering mempermalukan para sahabatnya. Ketiganya mesti
menanggung malu oleh ujar atau ulah Syam di pelbagai acara pergaulan.
Biasanya melibatkan korban yang menantang berkelahi, sakit hati atau
menangis.
“Oh, benjol memar biru ungu….”
“Nggak bakal begini kalau kamu tadi pura-pura pingsan.”
“Atau pura-pura cacat. Pulang sana….”
Begitulah ketiga temannya mengeluh dan mengumpat sepulang dari suatu
acara. Syam tak menjawab, ia santai rebahan di sofa dengan kompres es
batu di dahi.
.
SYAM dulu tak seperti ini. Syam 1.0 seambisius
pemuda-pemuda lain seumurnya, menatap penuh harap masa depan yang masih
panjang terbentang, menerakan mimpi-mimpi sepanjang jalan. Syam dulu
bersinar-sinar seperti nama Arabnya. Ia arsitek, penganut dan penganjur
penggunaan bahan-bahan setempat dalam bangunan yang dirancangnya. Ia tak
peduli dengan konsep arsitektur modern yang diterapkan rekan-rekan
arsitek—mereka yang tentu kariernya lebih laju—dan kerap menolak proyek
properti kepingin modern yang tak menerima konsep “muatan lokal” yang
diajukannya. Begitu banyak prospek yang dilewatkannya begitu saja. Ia
lebih mirip tukang ketimbang arsitek, mengerjakan sendiri detail
bangunan sembari menebarkan ilmu pada mandor hingga kuli bangunan
tamatan SMP . Jika sedang tidak menggambar di kertas kalkir besar, ia
mencorat-coret sketsa di buku gambar besar. Ia juga suka mencorat-coret
buku kecil, atau mengetik di laptop. Sesekali ia menulis sejumlah esai
kritis yang panjang, tak hanya tentang arsitektur namun melebar ke
hal-hal lain. Sesekali ia pacaran, datang ke pesta-pesta, naik-turun
gunung, ke kelab jazz—cara-cara melupa yang dapat dimengerti manusia.
Di akhir 2005, tiba-tiba segala berubah. Sesuatu telah mengubah Syam
luar-dalam. Sesuatu yang biasa terpandang mata, namun mampu membelokkan
dan menekuk takdir seseorang dengan teramat fatal. Sesuatu yang akan
sangat dikenali seseorang, takkan pernah tampak sama di matanya,
menjelma doa dan mimpi buruk, membayang pada benda yang disentuh dan
wajah yang ditatap, melekat di langkah kaki sepanjang jalan. Adalah air
yang telah meredupkan matahari dalam diri Syam. Matahari yang dulu tak
garang kini tinggal temaram.
Air telah mengingkarinya. Mengingkari umat manusia dan kepastian
matematika hitungan mereka. 1 + 1 = 2 tak berlaku bagi air. Setitik
tambah setitik tetaplah setitik air. Titik-titik air yang
bergabung-gabung memperbanyak diri. Merambah pergi dari Sumatra ke Jawa
dan entah ke terus ke mana, menyusuri pelan-pelan jarak, menjelma jadi
segala warna dan rupa. Selalu akan dikenalinya. Air yang cuma singgah.
Sementara. Seperti dirinya.
Air telah singgah menerjang kampung halamannya, menjelma jadi luapan
bah dengan mahadaya penghancur apa pun dan siapa pun. Dan Syam tak ada
di sana, berada jauh dari segala mala, dari keluarga. Mereka yang mesti
mengalah dalam kuasa air, tertelan di dalam murkanya yang buta. Syam
tiba di sana pada hari kedua, ketika mayat-mayat masih segar berlumur
lempung berserakan di jalanan. Telah beberapa tahun lalu, namun masih
seperti kemarin dirasakannya, masih keluar dalam mimpi buruk berulang
yang terus menghantui malam-malamnya.
Air bah telah mengubah Syam jadi pertapa, ia tiba-tiba seakan
bertambah tua. Uban tiba-tiba memenuhi kepalanya, wajahnya dibiarkan
berjanggut. Ia mengalihkan cicilan apartemennya pada seorang rekan
arsitek lajang yang masih ingin bermimpi dan ia pindah ke rumah
pamannya, menempati paviliun teduh yang telah lama kosong. Di suatu
malam paman tertuanya telah meminta, “Syam, tinggallah di sini….”
Bibinya telah lebih dulu berlinang. Ini terjadi setelah Syam sempat lama
menghilang dari Jakarta. Ia pulang kampung mengerjakan proyek
pembangunan rumah-rumah yang hancur bersama beberapa teman arsiteknya.
Ia juga membangun kembali mesjid dan SD bersama para penyintas di
kampungnya. Ini kerja konstruksinya yang terakhir kali, ia lalu berhenti
sama sekali.
Syam di malam-malam hari sering bercakap dengan bibi, paman, bibi
tertua yang sudah agak pikun dan sepupunya yang masih sekolah. Selalu ia
menghindari percakapan tentang masa lalu atau kampung halaman mereka.
Ia kemudian lebih banyak mengurung diri di kamar. Sesekali ia menghilang
pergi entah ke mana, tak berkabar. Kemudian muncul lagi di Jakarta. Di
banyak akhir pekan, ia ke rumah Ale dan Anya, namun lebih sering
bercakap dengan Om Nala, ayah si kembar. Topik obrolan mereka seakan tak
pernah habis, juga punya lelucon sendiri yang hanya dimengerti
keduanya. Lalu Anya dan Ale merasa sebal dan pergi tidur. Sesekali Syam
kelamaan mengobrol lalu menginap di kamar tamu atau di kamar Ale.
Ketiga temannya sering datang menyambangi paviliun Syam. Mereka
sering datang mengendap-endap mirip pasukan khusus dalam misi rahasia.
Masalahnya, bibi tertua suka mencegat dan menyuruh mereka duduk dulu
membaca surat-surat Alquran. Bibi tertua mendengarkan sambil
manggut-manggut setuju jika lafalan mereka benar dan memarahi dengan
galak jika keliru. Ketiganya sungguh gentar dibuatnya. Batara memakai
kalung salib besar jika ke sana, sebab bibi tertua sering lupa dan
selalu ia kena giliran pertama.
Mereka saksikan bagaimana kamar Syam kian lama kian dipenuhi
buku-buku. Berjejer di rak, bertumpuk di atas lantai, berserakan di meja
tulis. Meja arsitek tak lagi ada, bernasib sama dengan sejumlah piranti
arsitektur yang dihibahkannya. Syam masih sering menulis. Beberapa esai
panjang-pendek masih ditulisnya. Ada yang dikirimnya untuk publikasi,
ada yang tidak. Dua kali ia menerjemahkan novel tebal yang ia suka. Satu
kali ia iseng menulis novel lebih tebal. Itu sebuah novel aneh; judul,
isi, juga nama penulis—anagram dari nama aslinya—namun novel aneh itu
dipuji para kritikus padahal sesungguhnya mereka kebingungan. Tak ada
foto penulis atau riwayat hidup, peluncuran buku, wawancara, Syam hanya
bersurat dengan penerbit. Cuma tiga temannya yang tahu siapa penulis
novel serba aneh itu. Hanya Anya yang membaca novel aneh sampai tamat,
Ale menyerah di bab lima, Batara membeli tapi tidak baca sama sekali.
“Dengar bicaranya saja aku mau semaput, apalagi baca buku tulisnya.”
Saat itu tak seorang pun menyana, di kemudian hari akan ada pula “buku tulis Anya”.
.
KAKIKU berat di atas tanah. Dalam satu
sapuan mata, kulihat segala berserak. Kudengar gumam istighfar berulang,
begitu samar, gamang, hingga kuragukan jika kalimat itu memang milikku,
jika keluar dari mulutku, ataukah langkah kakiku. Apakah kakiku menapak
satu-satu, ataukah panjang-panjang berlari.Yang pasti hanya rasa
keintiman lama itu, seperti mengenali wajah seseorang yang
bertahun-tahun kemudian kutemui, namun ia terlanjur jenazah. Wajah yang
masih kukenali, tetapi raut mati.
Ini kampung yang pernah. Jalanan yang pernah. Aku mencari jejak
rumahku. Jalanan penuh puing dan rangka bangunan, lumpur serupa enamel
yang melapisi semua yang pernah. Semacam bebauan bergerak di udara, di
atas kelupas aspal dan gelimpangan mayat. Begitu banyak mereka…. Bau
ini, kutahu kelak akan menghantuiku di antara banyak aroma lain di
tempat-tempat lain. Maka aku menukar aroma itu dengan harum gardamun di
kain ibu, wangi deterjen kemeja ayah saat salat Jumat, semerbak tiga
tangkai mawar di tangan adikku, melati kering di seprai nenek.
Kukenali masjid. Empat dinding putihnya masih berdiri tegak
menandu kubah, tak berpucuk. Di halaman masjid, seseorang berwajah putih
mengangkat bulan sabit dan bintang jatuh. Di langit, matahari seperti
daun melayang. Pecahan kaca dan patahan kayu timpa-menimpa dengan pohon
tumbang dan bongkah beton di mana-mana.Tak jauh dari masjid, kedai nasi
yang pernah. Tempat aku dan ayahku duduk minum kopi di sore-sore hari
seusai mengaduk semen dinding mesjid bertahun lalu.
Kukenali dua tiga wajah akrab tetangga. Mereka berwajah putih.
Mereka bukan mendiang, telah diluputkan maut. Sedang yang berserakan,
wajah-wajah mereka berwarna lempung. Aku tak tahu apa warna wajahku.
Rumahku. Dinding-dindingnya masih tegak berdiri meski rompal,
mengangakan luka. Berserakan bilah-bilah kayu, bongkahan bata kelabu,
retakan ubin dan kaca. Kukenali setiap detail yang pernah, suatu kali
telah tergenggam tanganku dan ayahku. Kami membangun kembali rumah tua
warisan kakek, dalam satu pulangku ketika cuti. Dengan lihai aku
mengamalkan ilmu dan pekerjaanku di ibukota. Aku buruh yang menyusun
batu-bata, aku arsitek yang menggambar cetak biru rumah, aku pengunjung
yang datang tak teratur. Ke rumah yang pernah.
Kukenali seketika. Ayah, ibu, nenek, adik. Wajah mereka jernih
bersenyum. Mereka duduk di atas tikar pandan, mendengarkan nenekku
menyanyi lagu berbahasa lama yang tak kumengerti, seperti pernah dulu
kala. Nenek jeda menyanyi, menyapaku, “Kau sudah pulang.” Mereka tak
sedih, sebab “Maut datang terlalu cepat untuk sempat bersedih, biarlah
kau ingat kami dalam bahagia ini.” Wajah-wajah mereka lempung cemerlang.
Mereka melambai, gerak menyuruh pergi. “Mulailah kerjamu di sini.”
Aku berpaling. Kurasakan air di lempung wajah mereka, air di
pipiku dingin, apa bedanya. Aku tak tahu apa warna wajahku. Melangkah
keluar, di jalanan kulihat seorang anak lelaki berwajah putih, memeluk
sebuah sisa tiang. Ia menatapku, tertawa senang memperlihatkan gigi
putih susu. Ia menandak-nandak gembira, melompat, menari, masih tertawa.
Aku menghampirinya, heran mengapa ia begini riang di tengah semua yang
muram.
Anak lelaki menatapku, dahinya berkeringat oleh tarian dan
lompatan. Peluh turun ke bajunya yang berdebu, ada banyak bekas luka di
badannya. Ia menyeka dahi dan mendongak menatap wajahku yang menjulang.
Jarinya memberi isyarat agar aku membungkuk ke arahnya. Aku membungkuk,
menatap bola matanya yang bundar. Seakan kukenali ia.
Anak lelaki mengamati mata dan keningku, lalu menepuk-nepuk pipiku. “Air melukakan kita.”
“Siapa namamu?”
“Syam. Kau sudah besar sekarang.”
“Kau tak seperti yang kuingat. Aku… aku dulu tak seriang ini.”
“Aku harus bergembira ria.”
“Mengapa?”
“Sebab sudah harus begitu. Tambah malam, aku akan tambah bahagia. Mestinya kau lihat aku nanti jam dua belas malam nanti.”
“Mengapa?”
“Sebab sudah harus begitu. Dirimu besok hari akan berduka,
terlalu berduka. Maka aku, dirimu yang kemarin, harus melewatkan waktuku
dengan sangat bahagia.”
Anak lelaki berpaling, “Aku pergi dulu, temanku sudah memanggil.
Dia tahu.” Anak lelaki menunjuk ke arah seorang anak perempuan yang
berdiri tak jauh, berbaju kuning-hitam dengan pita, tengah menatapku
lekat. Kurasa anak perempuan memang sudah tahu.
“Sedih. Jangan. Berkepanjangan ” Anak lelaki berkata sembari melompat tiga kali. “Bahkan mesjid ini pun akan berdiri lagi.”
Anak lelaki berlari menuju temannya. Mereka lalu berjongkok dan
bermain. Anak perempuan mulai menyanyi, suaranya bening tinggi, mengalir
seringan udara. Sebuah kidung dalam bahasa lama.
Dan tiba-tiba bahasa lama itu kupahami. Anak perempuan menyanyi
kidung tentang jelmaan-jelmaan air. Seiring kidung, segala warna dan
rupa air berkilasan. Air di tepian mata, air di dahi anak lelaki, air
yang menggumpal berarak di atas kepala, air yang mundur menuju
cakrawala, air di dalam lumpur di kakiku, air di dalam tubuh para
jenazah…. Air yang sama, yang pernah berayun di kelopak mawar adikku, di
dahi ayahku kala subuh hari, gelembung sabun yang pecah di basuhan kain
ibuku, kopi dan kue halia buatan nenekku…. Air yang sama, dalam banyak
jelmaannya. Akan kukenali rupa dan warna mereka semua. Sedang aku masih
tak tahu, apa warna wajahku—
Syam terjaga. Selalu, ia terjaga dari mimpi itu dengan dada sesak dan
pipi lembab. Dirasanya ada jari yang menyeka pipinya. Syam membuka
mata, melihat Anya tengah membungkuk ke dekatnya dengan mata risau
sambil memanggil namanya, “Syam, Syam….”
Dalam beberapa lintas detik Syam melihat Anya berwajah putih anak
kecil perempuan berpita. Syam mengerjapkan mata dan kembali melihat
wajah Anya yang biasa. Di latar belakang, dikenalinya bentuk-bentuk
temaram di kamar tamu rumah Anya. Syam meraih jari Anya di rahangnya,
mendekapnya erat-erat seakan tangan Anya sauh terakhir tempat berpegang
seusai laut terjauh. Anya berbaring di sisinya, tak bicara apa-apa.
Ruang temaram sempurna, hening begitu lama. Di suatu saat, manusia
temaram bersuara. Suara Syam lamat-lamat mengalir ke telinga Anya,
satu-satunya manusia di dunia yang ia ceritakan tentang mimpi itu. Anya
merasakan denyut jantung di dada Syam, setiap hirup nafasnya. Syam
merasakan basah mengumpul di bahu kemejanya. Tetes peluhnya, linang air
mata Anya, apa bedanya. Anya masih tak bicara apa-apa hingga Syam
selesai bicara dan ruangan kembali hening. Mereka berbaring seperti itu
sepanjang sisa malam. (*)
.
.
Nukila Amal lahir di Ternate, Maluku Utara. Novelnya Cala Ibi (2003) dan buku cerita pendeknya Laluba (2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar