Cerpen Dafriansyah Putra
Terbit di Republika, 25 November 2012
Bahan Referensi Cerpen - SURAU mendadak ramai. Biasanya, meskipun waktu shalat wajib
tiba, hanya seorang Gaek Puai yang senantiasa menjaga sujudnya di
hamparan sajadah surau ini. Entahlah, apakah masyarakat di sekitar
banyak melaksanakan shalat di masjid-masjid besar bersajadah harum di
sana, atau malah mereka mungkin lupa untuk shalat. Akan tetapi ramainya
surau kali ini bukanlah untuk beribadah.
Aku terpaku menyaksikan orang-orang bertopeng dan berpakaian aneh
sibuk memorak-porandakan surau. Bahkan, mimbar tempat biasa meletakkan
kitab dan mik bagi penceramah kini tak tentu bentuk lagi. Ukiran “itiak
pulang patang” yang biasa mengelilingi panggung kecil tempat berkhutbah
itu sudah hancur sehancur-hancurnya. Di luar surau, excavator berjejer.
Aku tak bisa berbuat apa-apa terhadap perlakuan mereka. Sempat,
sekali, mereka arahkan bongkahan tinju ke hadapan Gaek Puai, kala lelaki
tua berjanggut itu mencoba menghalang-halalangi langkah mereka saat
akan menghempaskan kaligrafi berlatar hijau muda yang terpajang indah di
dinding.
***
Lelaki itu ringkih lagi renta. Langkahnya hampir sama dengan laju
kura-kura. Lekuk tulang belakangnya kurang sedikit empat puluh lima
derajat. Karena itu, ia sangat berharap banyak kepada sebatang kayu
sejenis basung berdiameter dua kali ibu jari yang selalu ada di mana ia
melangkah. Meski demikian, orang tua itu rajin melaksanakan shalat di
surau. Tak akan ia mau melubangi barang serakaat pun.
Seluruh tubuhnya keriput dan legam tak ubahnya aspal. Akan tetapi
tidak pada wajahnya, seperti ada cahaya yang memancar dengan teramat
terang. Barangkali air wudhu telah mempersembahkan sepercik nur alam
nirwana teruntuknya.
Lelaki tua itu khusyuk mematuk sujud. Ia tengah melaksanakan shalat
dhuha. Mulutnya bergerak-gerak mengeja bacaan shalat. Selepas salam, ia
lanjut memainkan butir-butir tasbih hijau mudanya. Jemarinya pulas
mengecup tiap bulatan seirama dengan lafaz zikir yang ia utarakan.
Matanya memicing, menjadi wujud kian menghayati tiap kalimat yang
dilisankan lirih.
Setelah diakhiri dengan munajat, kemudian ia beranjak meninggal
surau. Dibantu tongkat ia perlahan tegak untuk mengayunkan tubuhnya
kembali setapak demi setapak menuju gubuk kecilnya. Setelah agak lama
melangkah, terdengar desah nafas lemah setara usianya.
Gaek Puai, begitu orang memanggilnya. Mungkin ia adalah sedikit dari
orang asli perkampungan Indaruang yang masih hidup dan menetap. Sebab,
seiring perjalanan waktu, makin banyak saja masyarakat yang menyuruh
anak-anak mereka pergi merantau. Entah ke pulau seberang, atau ke negeri
seberang. Hingga matilah generasi penegak kampung seiring dengan
matinya orang-orang tua mereka. Namun, tanpa disangka, tanah yang
dulunya sepi penduduk dan dianggap tak punya potensi, tiba-tiba saja
membentuk barisan pabrik di mana-mana seperti sederet batu domino.
Seperti sekarang ini, takkan tuan dan puan temui lagi sawah
menghijau, sebab semua disulap menjadi lahan industri. Tiada lagi
nyanyian pipit-pipit kecil menyambut pagi, semua berganti suara mesin
pabrik yang kian menggelegar. Wajar memang, terlebih daerah ini terletak
di kaki bukit yang notabene sangat layak untuk didirikan lahan
industri.
Setiba di gubuk sederhananya yang beratap rumbia dan bertonggak
batang kelapa itu, Gaek Puai merebahkan badan tuanya ke atas dipan
peninggalan yang jauh lebih tua darinya. Hampir seluruh perkakas yang
terletak di dalamnya adalah barang-barang kuno. Lampu misalnya, itu
bukan sejenis bohlam atau neon. Namun, sangatlah terang. Dan, juga kursi
di dekat pintu masuk itu, terbuat dari rotan pilihan. Di zamannya,
kursi itu sangatlah mahal, namun sekarang dijual murah sekalipun tak ada
yang minat.
Konon, mendiang orang tua Gaek Puai adalah orang kaya raya. Bapaknya
dulu kaki tangan Belanda. Ya, orang pribumi yang dijadikan mata-mata.
Tak dipungkiri, Meneer Belanda akan boros membagi kepeng kepada siapa
saja agar kepentingannya terlaksana.
Lelaki tua itu terkelap. Sepertinya ia begitu lelah. Tenaganya habis
setelah berjalan sepulang dari surau. Ukuran setengah kilo bagi orang
setua itu adalah perjalanan yang sangat berat. Namun, niat kuat
mengalahkan keadaan.
Pernah, sekali, aku menemukan Gaek Puai kala sedang berjalan menuju surau.
“Gaek, ayo naik motorku saja, kebetulan ambo (saya) pintas, lewat muka surau,” pintaku menawarkan.
“Ndak usahlah, Gaek jalan saja. Kau doakan saja tiap langkahku menjadi pahala agar aku masuk surga,” katanya yakin.
Tak tahu apa yang harus kulakukan setelah mendengar jawabannya. Salut
aku melihatnya. Jika membandingkan dengan diri sendiri, malu aku
rasanya; kepada dia, lebih-lebih kepada Tuhan. Lelaki tua itu memang
benar-benar mengidam-idamkan surga.
Asal kau tahu. Menurut cerita, dulu Gaek Puai adalah manusia yang bermandikan dosa. Ia orang paling bagak (berani),
kuat dan tak mempan senjata. Semua itu didapatnya setelah berguru pada
Mak Tamam, dukun sakti di perkampungan Indarung.
Bahkan, ketika terjadi pembunuhan besar-besaran, sewaktu Jepang masuk
dulu, ia seorang yang selamat. Semua keluarganya mati di tangan
serdadu-serdadu sipit itu. Setelah hidup sebatang kara, sifat Gaek Puai
pun berubah. Ilmu kebatinan yang dulu diajarkan untuk memperkecil
kesombongan serta medekat diri ke Yang Kuasa, malah kemudian
digunakannya untuk unjuk gigi dengan terus membuat keonaran di tengah
pasar.
Pernah ia coba kupak toko emas milik Ajo Azwar. Meski polisi datang,
namun tak ada yang bisa mereka lakukan. Peluru yang ditembakan mental,
lalu jatuh ke lantai. Setiap mencoba menjerat, tubuh muda Gaek Puai
selalu lincah mengelak. Pukulan yang dilayangkan pun serasa kosong
belaka baginya. Habislah daya bagi pihak kepolisian.
Bahkan, polisi sengaja mencoba menabrak tubuhnya dengan mobil
bersirine, namun apalah daya, dengan sebelah tangan Gaek Puai mampu
menaikan kedua roda depan mobil kemudian membalikkannya, hingga matilah
seorang dari anggota kepolisian akibat tertimpa. Tenaga Gaek sebanding inyiak balang (harimau belang).
Mungkin lantaran itu pula Gaek Puai ingin berserah kepada Sang Kuasa,
sebisa mungkin menghapus dosa-dosa masa lalunya. Memang tak ada kata
terlambat untuk bertaubat. Hampir pukul dua belas siang, Gaek Puai
terbangun dari tidurnya. Setelah membasuh muka, ia raih kopiah lusuhnya
yang tergantung di belakang pintu. Segera ia kenakan sarung sulam Pandai
Sikek-nya. Tak lupa sebatang tongkat kayu, penopang langkahnya.
Seperempat jam lagi waktu azan masuk. Ia cepatkan langkahnya (meski
terlihat masih sangat lambat). Seperti biasa, ia yang akan
mengumandangkan adzan. Meskipun sedikit, bahkan terkadang tak ada jamaah
yang datang, namun Gaek Puai rajin memanggil orang dengan mik yang di
bulatan kepalanya dikebat kain berlapis-lapis, supaya lebih nyaring
katanya.
Terkadang aku turut serta menjadi makmum. Entah mengapa aku merasakan
sesuatu yang berbeda setiap kali shalat bersamanya. Suara Gaek dengan
nafas terbata-bata membaca ayat dan sering dipenggan-penggal, namun
menjadi yang terindah bagiku. Sering aku menangis saat ia membacakan
doa, dari dalam hati ia meminta.
Suasana surau di kaki bukit ini memang seadanya. Sajadah shalat
hanyalah tikar plastik yang bolong di sana-sini akibat gigitan tikus.
Jarum panjang jam dinding tak pernah bergerak sebab setiap kali diganti
dengan baterai baru, selalu saja hilang dimaling anak-anak untuk
mobil-mobilan. Wajar saja hal itu terjadi, surau ini tak berpenghuni,
sedang pintunya tak pernah dikunci, “Mana tahu ada hendak shalat,” kata
Gaek ketika kutanya perihal pintu surau. Atap surau pun banyak yang
bocor. Bila hujan tiba, Gaek akan sibuk mengusir air tergenang dengan
apa saja.
Pernah aku memberikan sebuah lukisan kaligrafi buatanku kepadanya
untuk setidaknya memberikan hiasan pada ornamen surau yang kosong. Gaek
Puai sangat senang menerimanya kala itu. Langsung tubuh tuanya mengambil
kursi untuk segera memakukannya karyaku di dinding surau. Mana mungkin
akan kubiarkan tubuh renta itu kesulitan memanjat kursi. Tanpa pikir
panjang aku bantu ia memasangkan lukisan, aba-aba ia berikan agar
letaknya tidak miring.
***
Sudah hampir tiga kali subuh Gaek Puai tidak ke surau. Ada apa
dengannya? Aku cemas. Tak biasanya begini. Bahkan selebat apa pun hujan
ia tetap menjaga shalat jamaahnya, walaupun ketika hujan lebat
sebenarnya diperbolehkan untuk shalat sendiri.
Selepas kemudian, kuputuskan untuk menemui Gaek di rumahnya. Hatiku
risau, takut terjadi apa-apa dengannya. Meski aku baru tinggal di sini,
selepas diangkat menjadi pegawai di salah satu pabrik, aku sudah
menganggapnya seperti orang tuaku. Aku banyak belajar tentang kehidupan
darinya, meski tak langsung dilisankan.
Setiba di gubuknya, aku mendapati tak ada kecemasan atau rona pucat
dari muka Gaek Puai. Seperti biasa, ia senang menggemeretakkan giginya
seperti orang sedang makan kacang. Pun tongkat di tangannya masih setia
mengawaninya.
“Ada apa dengan Gaek, sudah beberapa hari ini ambo tak nampak Gaek di surau?
“Gaek tak bersurau lagi.”
“Maksud Gaek?”
“Besok, surau itu akan dirobohkan. Benar-benar roboh. Beberapa hari
ke belakang, orang kota mendatangi Gaek. Mereka akan menjadikan lahan
surau untuk ditegakkan pabrik.”
“Lantas, tidak Gaek cegah?”
“Sudah, namun dia berkata: ‘akan kuganti surau burukmu dengan masjid semegah apa pun dan di manapun kau mau,’ begitu.”
“Nah, kalau begitu bolehlah, Gaek bisa mendapat tempat ibadah yang lebih megah bukan?”
“Megah itu bukan bersebab temboknya tinggi atau lantainya keramik.
Tak akan nampak kemegah-mewahnya rumah ibadah apabila tak ada umat yang
mau meramaikannya. Sekalipun itu surau lapuk, jika selalu ramai di saat
waktu ibadah tiba, itulah kemegahan yang tak terkira.” (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar