Cerpen Veven Sp. Wardhana
Terbit di Koran Tempo, 9 Desember 2012
#1. Kesaksian Entah
BRC - BANYAK yang sudah mencatat mengenai makam tanpa nisan.
Catatan-catatan itu tergurat dalam banyak hikayat, juga babad, bahkan
sejarah. Bisa saja itu makam massal, yang berisi mayat-mayat korban
bencana, korban pembantaian, mati ramai-ramai bunuh diri, lalu karena
jumlahnya sangat banyak dan dimakamkan dalam satu lubang, atau satu
galian, atau satu kubangan, satu tonggak nisan yang ditancapkan sudah
dianggap cukup untuk menandainya. Nisan itu sendiri tanpa nama. Satu
nisan untuk sangat banyak jenazah sama maknanya dengan banyak makam
tanpa nisan.
Kini: nisan-nisan ditancapkan di atas sehamparan lahan sebagai
penanda bahwa yang dinisani adalah sebuah makam. Dinamakan makam karena
di dalamnya ada jenazah yang disemayamkan. Ada mayat yang dikubur, atau
ada kerangka manusia yang dipendam, atau ada abu hasil pembakaran yang
diendapkan di dalamnya. Namun, yang belakang-belakang hari saya hadapi
adalah begitu banyak beronggok nisan yang ditancapkan di salahsatu ujung
gundukan tanah sebagai penanda ada jenazah di baliknya, ternyata
jenazah itu sudah tak lagi ada pada esok harinya—begitu saja lenyap,
tanpa sama sekali ada tanda-tanda habis dibongkar saat dinihari yang
sangar.
Jenazah selalu buru-buru dimakamkan sebelum matahari benar-benar
tenggelam. Tak ada yang menginginkan—bahkan karena alasan terpaksa
sekalipun—menginapkan jenazah untuk dikubur esok saja. Kalau sampai
mayat itu diinapkan, kata mereka, warga kampung kami akan membaui mayat
yang terlambat dimakamkan itu. Apalagi jika yang meninggal itu bukan
karena usia tua. Mayat yang tewas terbunuh, katanya, menguarkan bau yang
sangat busuk pada tengah malam. Karena itu, jenazah buru-buru
dimakamkan, sebisanya sebelum ujung cahaya matahari meninggalkan jejak
senja; esoknya, sebelum cahaya matahari pagi menerobos rimbunan daun,
yang tertinggal hanya nisan yang tertancap, dengan posisi yang sama
persis dengan saat senja kemarin. Tak ada yang berubah. Tak ada yang
bergeser. Tak lagi ada jenazah di balik gundukan tanah, yang posisinya
sedikit pun tak tergoyah.
Baru senja kemarin….
#2. Kesaksian Penggangsir Makam
MAKAM itu terletak tepat di kaki tebing. Tebing itu sendiri
menghadap ke arah matahari tenggelam, sehingga jika senja tiba, tebing
itu seperti menjadi satu-satunya saksi yang menatap matahari yang
perlahan terbenam menyusup di balik rerimbunan hutan, yang tak satu pun
orang pernah menembus dan melintasinya. Hutan itu tampak lebih dari
sekadar hijau kelam. Tentu, bukan karena hutan itu benar yang
menyebabkan tak seorang pun memasuki dan melintasi hutan; pinggiran
hutan itu sendiri dibatasi oleh endapan lumpur yang sesekali menggelegak
dan menyemburatkan uap panas bercampur lelehan lumpur cair. Bahkan bau
yang sangat menyengat dari genangan lumpur itu sudah membuat orang
enggan mendekat.
Awalnya, penduduk mengebumikan jenazah di dekat-dekat pinggiran
genangan lumpur itu. Namun, karena jarak wilayah pemakaman begitu dekat
dan lumpur itu dirasa bakal merambat ke wilayah pemakaman, penduduk
memilih mengalihkan tempat pemakaman yang sekalian saja jauh dari
genangan lumpur. Pilihan yang paling mudah adalah menentukan lahan yang
paling akhir ditimpa sinar matahari senja. Hamparan tanah yang paling
akhir mendapatkan sinar matahari itu adalah kaki-kaki tebing itu.
Lahannya juga yang paling mudah dicangkul dan digali di antara hamparan
berpadas, keras, layaknya cadas.
Di antara deretan tanah yang terkadang gembur itulah penduduk menanam
tumbuhan. Berbagai tumbuhan yang bahkan tak mereka kenal namanya. Ada
yang memanfaatkan lembar-lembar daun untuk dimakan—jika memungkinkan—ada
pula di antara jenis lain tumbuhan yang menumbuhkan buah, yang awalnya
juga diragukan bisa dimakan ataukah bahkan mengacaukan pencernaan, yang
bisa menghantarkan pada pencabutan nyawa, karena menyimpan racun dan
tuba.
Tak ada umbian yang muncul dari akar tumbuhan yang tertanam. Saat ada
yang mencoba menjebol akar salah satu tumbuhan, pangkal tumbuhan malah
patah, sementara akarnya tetap tertanam di balik gundukan, dan ketika
patahan akar yang masih terpendam dicoba digali, yang mereka dapatkan
adalah bebatuan. Akar-akar yang tertanam itu telah berubah menjadi batu.
Bahkan ada yang lebih keras dari sekadar batu…. Besi. Besi berserabut.
Besi bertunjang. Tak ditemukan tumbuhan yang berbuah. Adanya hanya
bunga—dan putik bunga itulah yang biasanya dipetik sebelum ditaburkan ke
atas gundukan tanah pemakaman.
BEBERAPA butir putik bunga itu masih tertebar di atas tanah
makam. Posisi buliran dan kelopak bunga itu sama sekali tidak berubah
sejak kemarin senja ditaburkan setelah jenazah selesai dikebumikan.
Kebetulan angin tak berkelebat. Dia, lelaki, tahu benar posisi kelopak
kembang itu, karena senja kemarin dialah salah satu yang menjemba
kembang itu sekaligus menebarkan sekuntuman kembang itu di atas makam.
Malam itu, saat semuanya lelap dan suara senyap, udara terasa
nyenyap, dari balik rimbunan yang gelap lelaki itu mengendap. Dia biasa
menggangsir makam. Dia gali tanah beberapa jengkal dari makam hingga
kedalaman tertentu, lalu dia gali lagi ke samping ke arah makam hingga
sebongkah lobang menembus sampai makam, bahkan persis di mana jenazah
dibaringkan. Karenanya, pucuk-pucuk kembang di atas gundukan makam tak
sempat talimburan.
Bukan jenazah itu yang dia arah. Barang-barang bawaan jenazah itulah
yang hendak dia rayah. Cincin emas, gelang dan kalung emas, juga barang
berharga lainnya. Penggangsir itu paham, jenazah yang dimakamkan senja
kemarin tak disertai barang bawaan. Hanya berderet gerahamnya bersepuh
emas.
Penggansir itu tak butuh gemuruh halilintar dan derasnya air hujan
yang runtuh untuk menyembunyikan suara cangkulannya menggali dan
menggangsir tanah di sekitar makam. Kelesik malam yang senyap, penduduk
yang senantiasa berangkat tidur dengan cepat, semuanya bahkan menjadikan
percikan debu pun bisa terbekap.
Penggangsir itu mendadak tercekat ketika cangkul dan linggisnya
bahkan sudah melampaui jarak lokasi jenazah direbahkan. Penggangsir itu
tidak mendapati sesosok jenazah itu. Cangkul dan linggisnya sama sekali
bahkan tak terantuk kayu papan penyekat jenazah dari urugan tanah.
Jenazah itu tak ada. Gigi-gigi bersepuh emas ikut lenyap.
“Siapa yang berani mendahului aku?” penggangsir itu bergumam.
Dia paham, di kawasan ini, tak ada yang seahli dirinya menggangsir
makam. Dia paham, belum ada yang menggangsir makam itu, karena dia tak
menemukan bekas tanah galian di sekitaran makam, sementara putik bunga
di atas makam juga tak bergeser sama sekali, bahkan pun setengah senti.
#3. Kesaksian Bunga Rumah Minum
BUNGA bukan nama saya. Hanya saja, orang-orang yang datang ke
rumah minum kami senantiasa memanggil saya Bunga. “Kamu satu-satunya
perempuan di sini. Karena itu kamu dipanggil Bunga,” Pak Nangla, pemilik
rumah minum membisik ke telinga saya.
Istri Pak Nangla juga perempuan. Saya bukanlah satu-satunya perempuan di rumah minum ini.
Saya hanyalah salah satu pengantar minuman yang dipesan para tamu di
rumah minum atau kedai tempat kami. Saya hanya pengantar, bukan pemilik,
bukan salah satu pemilik kedai—jadi, salah besar saya katakan “kedai
kami”. Saya sebut “kedai kami” lebih untuk menggampangkan penyebutan. Saya mengambil gelas-gelas berisi air minum, meletakkannya di atas
nampan, untuk kemudian saya hantarkan ke meja para tamu yang memesan.
Ada yang memesan air butek warna kelam, campuran air panas adukan serbuk
entah apa; ada yang menginginkan air hangat berwarna kecoklatan; ada
juga yang hanya memesan air bening dingin—dan itu tak perlu dimasak
lebih dulu. Kata beberapa tamu yang pernah datang, air yang memancar
dari belik [1], perigi kecil di belakang kedai kami langsung layak
tenggak. Jika kami harus menjerangnya, itu lebih untuk melarutkan serbuk
yang akan sempurna jika menggunakan air mendidih.
“Pak Nangla harus menjaga air perigi Bapak. Jangan sampai tercemar,
jangan sampai ada yang jahat menaburkan racun…,” kata beberapa di antara
tamu yang datang. Mereka, tamu dari seberang. Maksud saya, dari
seberang hutan, yang harus melewati lumut licin dan endapan lumpur panas
yang terkadang memuncrat dadakan.
Pak Nangla juga tak tahu nama asli saya. Bahkan Pak Nangla tak tahu
siapa orangtua saya. Katanya, dalam sebuah percakapan diam-diam dengan
istrinya, yang sempat saya curi dengar dari bilik sebelah, saya adalah
sosok yang tak jelas asal-usuknya. Tak hanya saya sebetulnya, istri Pak
Nangla juga tak jelas silsilahnya. Kejadiannya begitu saja terbentang di
hadapan. Kami sama-sama merasa baru siuman. Saya terbangun di bawah
kursi rumah minum. Pak Nangla terbangun di bawah ranjang di dalam kamar,
berdekapan dengan seseorang, sama-sama dalam keadaan telanjang. Maka
perempuan itu dianggap sebagai istrinya.
“Kalau saja waktu bangun itu yang ada dalam pelukan itu Bunga,
pastilah Bunga istriku,” kata Pak Nangla setengah berbisik pada
istrinya. Dia hendak mengatakan bahwa dia merasa beruntung yang ada
dalam pelukannya adalah yang kini menjadi istrinya. Bukan karena dia
lebih cantik ketimbang saya, tapi karena usianya tampak lebih sepadan
dengan Pak Nangla dibandingkan dengan usia saya yang sangat jauh lebih
muda—dan saya memanggilnya Bu Nangla, sekalipun kami tahu nama aslinya
Qodwei.
SAYA hapal benar: sebentar lagi suara pintu kedai kami akan
dikuak lebar-lebar oleh serombongan orang dari seberang. Seberang hutan,
seberang kawasan. Suara kulik burung nasar [2] yang memekik di atas
bubungan, setelah sebelumnya memusar-musar di langit, menjadi
penandanya. Begitu selalu. Setelah daun pintu kedai dikuak dan menutup
kembali dengan sendirinya—setelah beberapa orang melintas—burung pemakan
bangkai itu ikut meliuk menerobos masuk kedai dan hinggap di salah satu
cuatan kayu di atas kami, untuk kemudian bertengger.
Hmmm, siapa lagi yang akan duel hingga senja hari ini? Siapa pula
yang bakal jadi bangkai—dan buru-buru dikubur sebelum matahari
benar-benar tenggelam menyelusup dan disungkup dalam rimbunan hutan?
Seperti itulah biasanya. Saban kali rombongan yang kedatangannya ke
kedai kami disertai burung nasar itu, seusai makan siang, bahkan saat
makanan baru mulai disantap, selalu ada pertikaian yang diawali oleh
mereka yang saling mengata-ngatai dan diakhiri dengan baku pukul yang
dipungkasi oleh tersungkurnya salah satu dari mereka.
Saya semakin hapal: suara gebrakan dari kayu balok yang dipukulkan ke
papan kayu muncul dari arah dapur. Untuk itu, saya buru-buru segera
menuju arah dapur, karena minuman yang dipesan para tamu sudah siap saya
pindahkan ke nampan untuk segera saya suguhkan ke mereka.
Saya terus belajar menghapal: jika ada suara meja digebrak, itu pasti
para tamu kedai memukulkan kepalan tangannya ke atas meja di hadapan
mereka. Jika bukan karena ada yang marah pada kami yang dianggap lamban
melayani pesanan, bisa jadi itu gebrakan tamu yang ingin menambah
pesanan minuman, atau hendak membayar karena perut mereka sudah dirasa
cukup kenyang. Saya benar-benar harus belajar untuk bisa membedakan
macam-macam suara meja digebrak, termasuk gebrakan yang nyaris menjadi
dentuman—karena yang dihantamkan ke atas meja adalah genggaman
tangan—itu pertanda ada tamu yang murka pada tamu lainnya, entah
lantaran apa. Saya akan tahu musababnya jika mendengar isi kata-kata
yang saling mereka serapahkan.
Kali ini saya dengar dua suara gebrakan dalam waktu hampir bersamaan.
Dalam dentuman yang sama berdentam. Muasalnya dari meja yang sama, meja
serombongan yang disertai seekor burung nasar. Di antara mereka telah
terjadi saling gebrak.
“Diam-diam kau menikam dalam lipatan!” tuding salah seorang.
“Kamu sendiri menikam kawan setilam!” balas satunya.
“Kau tebar sesuatu ke perigi agar kamu punya alasan membantu Pak
Nangla untuk mengelola sucinya air perigi,” tuding salah seorang.
“Kamu tak punya cukup bukti. Tak ada bukti apa pun untuk membuktikan alasan itu,” tangkis satunya.
“Bukan alasan itu yang penting. Tapi, kamu diam-diam mendekati, kamu tempel anak Pak Nangla,” sembur salah seorang.
Anak Pak Nangla? Tak ada lain, itu saya.
“Kamu perdaya Bunga!”
Nama saya disebut.
“Kamu pelet Bunga!”
Saya tak mendengar nama saya disebut lagi, karena seseorang satunya kembali menggebrak meja lebih keras.
“Jika kau cemburu, tak pantas kau bawa-bawa ke persoalan bersama kita!”
Saya tak tahu, apa benar salah seorang itu cemburu, karena saya tak
pernah merasa dia dekati. Hanya yang satu itu yang mendekati saya.
Bahkan mendekap saya. Saya merasa nyaman berada dalam dekapan yang satu
itu. Ada rasa hangat menjalar dalam tubuh saya, dan itu bukan kehangatan
pertama. Saya merasa sudah pernah merasakan sebelumnya—entah kapan.
Saya merasa tenteram—entah kenapa.
“Dengan mendekati Bunga, kamu bisa punya alasan untuk buang air kecil di bilik dekat belik.” Seseorang menuding satu lainnya.
Saya ingat, sehabis kami bergumul, seseorang satunya beringsut pamit
ke balik bilik. Katanya, mau cuci muka. Saya sedang berada dalam
kelelahan yang sangat. Malam menyengatkan rasa hangat.
Ketika saya mulai merasa berhasil menguntai lagi ingatan saya, burung
nasar itu mendadak meliuk meninggalkan tempatnya bertengger sambil
mengibaskan sayapnya di atas para pengunjung kedai, menuju keluar kedai.
Saya paham, perkelahian dua lelaki satu rombongan itu segera
dilanjutkan di halaman luar kedai.
Saya mendadak disergap rasa cemas. Saya mengkhawatirkan lelaki yang
kerap mendekap dan menyingkap tubuh saya itu gagal memenangi
perkelahian. Sedari kedatangannya tadi saya membayangkan dia tak ikutan
kembali ke seberang hutan seberang kawasan bersama-sama rombongan
sebagaimana sering dia lakukan.
Firasat saya terbukti. Lelaki itu langsung terkapar begitu dia
mengambil ancang-ancang pasang kuda-kuda. Lelaki sebelumnya begitu
mendadak menyarangkan belatinya ke dada lelaki saya.
Burung nasar terbang menjulang. Kuliknya seperti suara jerit panjang
menancap batas langit bersamaan dengan membenamnya belati itu ke ulu
hati lelaki saya yang tak sempat memekik menahan rasa sakit. Dan burung
itu kemudian menukik meliuk-liukkan badannya sebelum kemudian melesat
menuju arah hutan seakan menjadi penunjuk jalan rombongan kembali pulang
ke seberang.
Matahari redup. Senja mempersegera temaram. [3] Penduduk segera
merubung tubuh yang terkapar itu untuk segera dikuburkan. Saya meminta
izin Pak Nangla untuk beberapa bentar meninggalkan kedai. Saya hendak
mengantar kekasih saya ke pemakaman. Sekawanan rombongan sudah lebih
dulu mencongklang kuda-kuda mereka yang menghela kereta menyeberang
hutan menyeberang kawasan.
Pemakaman selesai bersamaan dengan kian menipisnya bias sinar
matahari senja. Saya sendiri yang menancapkan kayu nisan di ujung
gundukan. Saat satu per satu yang memakamkan kekasih saya meninggalkan
tempat pemakaman, saya memilih tinggal bersimpuh di salah satu sisi
makam kekasih saya. Saya ingin merasakan sisa-sisa kelebatan kenangan
kami membilas-bilas hati saya.
“Saya sepertinya sudah pernah ketemu kamu sebelumnya,” kata saya pada kekasih saya.
“Itu tanda berjodoh, Bunga. Tapi, maaf, aku sama sekali belum pernah mengenal perempuan sebelum kamu.”
“Tapi aku merasa pernah bersamamu sebelum-sebelumnya,” saya menegaskan.
“Mungkin bukan aku yang kamu temui. Mungkin lelaki lain. Bisa saja kamu sudah pernah kelonan dengan lelaki lain.”
“Kok….”
“Tak apa, Bunga. Tak soal untukku. Aku tetap mencintaimu. Maaf,
apakah kamu juga sudah pernah ham…, sudah pernah merasa mengandung?”
Kekasih saya mengelus perut saya yang sedikit lebih mengeras. Ada janin
di dalamnya. Janin yang tumbuh setelah kekasih saya kerap mendekap,
menyingkap, dan menyelinapi tubuh saya.
Berarti masih ada yang tersisa yang ditinggal kekasih saya. Janin
dalam perut saya adalah bawaan lelaki saya yang harus dibawa serta jika
dia meninggal.
“Aku tetap sayang kamu, Bunga,” lelaki saya meyakinkan saya. Seraya
berkata demikian, dia keluarkan sekeping binggel [4] emas dari balik
pinggangnya, yang kemudian diselusupkan ke pergelangan kaki saya.
“Ini
tanda aku terikat kamu, kamu terikat aku. Kita saling terikat.”
Ah, janin bukan semata milik lelaki saya. Itu milik kami. Milik
lelaki saya yang masih ada di saya tinggal binggel emas di pergelangan
kaki saya. Binggel itu masih milik lelaki saya karena kami belum resmi
mengikatkan diri. Saya harus sertakan binggel ini bersama jenazah lelaki
saya di balik gundukan makam.
Angin berkelebat. Udara dingin menjilat-jilat. Sekeliling gelap
sangat. Hanya karena makin terbiasa, mata saya masih dapat melihat yang
berjarak dekat.
Cepat-cepat saya lepaskan binggel di kaki saya. Saya tak tahu
bagaimana caranya menyertakan binggel itu bersama jenazah kekasih saya.
Di saat saya memikir mencari cara untuk memasukkan binggel itu ke balik
gundukan makam, tanah tempat saya taruh binggel itu tampak mendadak
melunak, dan binggel itu membenam. Begitu cepat membenam sampai-sampai
saya gagal menahannya agar binggel itu tak terserap gundukan tanah yang
mendadak gembur.
Saya bongkar makam lelaki kekasih saya untuk meyakinkan bahwa binggel
itu benar-benar sudah bersama bapak bagi janin yang ada dalam perut
saya. Saya gali dengan cepat gundukan tanah yang belum benar-benar
mengeras itu. Binggel itu sudah benar-benar lenyap, seperti mencair dan
merembes menuju jasad jenazah lelaki saya.
Tidak hanya binggel, gelang kaki itu, jasad lelaki saya juga tak saya
temukan. Seperti ada yang menyerap. Seperti ada yang menyesap. Lesap.
SAYA tak mau lagi menghapal suara burung nasar dan derap
kaki-kaki kuda mencongklang menyeret kereta berisi sekelompok orang dari
seberang. Saya enggan menghapalnya karena tak ada lagi lelaki saya
dalam kelompok yang datang esoknya. Saya mendengar mereka memasuki rumah
minum kami. Saya dengar salah seorang dari mereka bertanya pada Pak
Nangla: apakah jasad kawan mereka yang dikubur kemarin senja—setelah
terkapar kalah ditikam belati kawan lainnya—juga sudah lesap pagi tadi.
Saya tak mendengar jawaban Pak Nangla. Sejak kedai dibuka pagi tadi,
Pak Nangla menyarankan agar saya beristirahat tak melayani pengunjung
rumah minum kami. Saya berada di balik bilik.
“Tampaknya, petaka akan terus terjadi di kampung ini, Pak Nangla,”
seseorang berkata. Saya tak hendak menghapal itu suara siapa. Suara
lelaki yang berduel dengan kekasih saya ataukah seseorang yang dituakan
dalam kelompoknya atau….
“Mayat yang hilang belum lama setelah dikubur adalah petaka. Tanda-tanda bencana,” seseorang yang tadi menambahkan.
“Penyebab petaka itu harus dicari. Pak Nangla bisa kabarkan itu pada penduduk. Pada pengunjung kedai Bapak….”
“Penyebab itu ada di kawasan ini sendiri.”
“Mungkin ada yang murtad, berpindah keyakinan?”
Tak ada suara yang menanggapi.
“Dulu, ada sebuah kerajaan yang didera wabah penyakit gara-gara ada raja yang mengawini ibu kandungnya sendiri.”
“Sebelumnya, raja itu membunuh ayah kandungnya.”
“Raja itu kemudian mencucuk kedua belah matanya karena merasa gagal
menggunakan matanya untuk melihat ketidakberesan yang ada di kawasan
yang dia perintah. Dia cucuk matanya karena dia bertekad hendak melihat
dengan mata batinnya.”
Saya ingin menyela pembicaraan di luar bilik. Saya berharap Pak
Nangla, atau Bu Nangla—Qodwei!—menimpali kelompok orang dari seberang
itu. Saya berharap mereka menegaskan: di kampung kami tak ada raja.
#4. Lagi, Kesaksian Entah—Yang Lain
DI kemudian waktu—entah berapa puluh tahun kemudian—penduduk
kawasan itu tak pernah lagi memakamkan jenazah di tanah lapang atau di
dataran biasa. Jenazah dimakamkan dalam batu yang lebih dulu dilobangi,
yang banyak ditemukan di pinggir jalan; atau dimakamkan dalam goa-goa di
tebing yang susah dijangkau. Jika di kawasan itu tak didapatkan
bongkahan-bongkahan batu besar yang cukup untuk menampung jenazah, juga
tak ada lereng tebing, mayat itu dimakamkan dalam rongga pokok pohon
besar yang menjulang ke langit.
Ada yang mencatat: jika yang meninggal itu tak mempunyai keluarga,
atau kerabat, atau tetangga yang ringan tangan memakamkannya, jenazah
itu akan mencari sendiri lokasi pemakamannya—mengembara hingga menemukan
batu besar berlobang, tebing bergoa, pohon besar yang menusuk
cakrawala. (*)
------
Lambhuk, Aceh; Makale, Tana Toraja, Januari 2006-Januari 2011; Jakarta, November 2012.
Catatan:
[1] belik: mata air kecil.
[2] burung nasar: Rüppell’s Griffon Vulture (Gyps rueppellii).
[3] Terkait frasa “senja mempersegera temaram”, di kemudian waktu,
saya temukan (lagi) lirik “gerimis mempercepat kelam” tulisan Chairil
Anwar, dalam sajak Senja di Pelabuhan Kecil (1946).
[4] binggel: gelang kaki.
Veven Sp. Wardhana, sejak akhir 2005,
bekerja di BUMN Jerman. Lebih banyak menulis tentang budaya massa,
beberapa karya fiksinya: Panggil Aku Pheng Hwa (kumpulan ceritapendek, 2002), Dari Mana Datangnya Mata (kumpulan ceritapendek, 2004), Stamboel Selebritas (novel, 2004), dan Hilang Identitas di Metropolitan (film animasi, 2011—sebagai creative advisory dan penulis lirik lagu“Rap Jatidiri”).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar