Cerpen Yanusa Nugroho (Kompas, 29 April 2012)
NAMANYA Arjuna. Laki-laki, kurus,
bujangan, 45 tahun-an. Ada yang memanggilnya “Mas Ar”, ada juga yang
memanggilnya dengan “Kang Juna”. Siapa yang benar? Kurasa dua-duanya
benar, karena Arjuna hanya tersenyum.
Ketika ada yang penasaran mengapa dia diberi nama Arjuna, laki-laki
itu hanya tersenyum ramah. Lalu, biasanya, dia akan melanjutkan dengan
suaranya yang ragu dan sedikit gemetar bahwa itu pilihan ibunya. Ibunya
hanya penjual bunga di makam.
“Apa ibu sampean penggemar wayang?” ada saja yang bertanya begitu.
“Saya tidak tahu. Dan saya juga tidak tertarik untuk bertanya,” jawabnya seperti biasa.
Arjuna juga tidak setampan yang dibayangkan banyak gadis; paling
tidak itu yang dialaminya dulu ketika masih remaja. Wajahnya berkesan
layu, apalagi dengan rambutnya yang lurus tipis dan selalu berantakan.
Belum lagi ada beberapa bopeng bekas cacar semasa bocah, maka Arjuna
sangat jauh dari bayangan kegantengan pemuda idola.
Dia sahabat sepermainanku, sejak masa belum sekolah, kemudian taman
kanak-kanak, ngaji bersama, sampai kelas 3 sekolah dasar. Setelah itu,
kami terpisahkan oleh nasib orangtua kami. Maksudku, aku terpaksa pindah
ke Jakarta dan dia tetap di sana. Akan tetapi, nasib pula yang
mempertemukan kami di tempat ini. Aku tinggal di dekat Bogor, dan ketika
aku dan istri iseng-iseng mencari tanaman untuk rumah baru kami, aku
dipertemukan dengan Arjuna.
Begitulah, tanpa upacara, nyaris tanpa kata, aku bertemu dengan
Arjuna, yang masih kurus, layu dan wajah berbopeng luka cacar. Namun
sejak itu—dua tahun lalu—aku sering bertandang ke kediaman sekaligus
kebunnya.
***
Arjuna dan mawar memang tak terpisahkan. Maksudku, Arjuna adalah
sahabatku, dan siapakah mawar? Bukan siapa-siapa, karena memang bukan
manusia, tetapi tanaman. Mawar kampung.
“Kenapa?” tanyaku, suatu kali.
“Apanya yang kenapa?” jawabnya sambil membuat wadah dari sabut kelapa
dan pelepah pisang untuk bibit. Tangannya sangat terampil menciptakan
wadah-wadah sederhana itu.
“Mawar. Kenapa bukan Anthurium, atau Anggrek Hitam, misalnya?”
“Sudah pernah dan ketika anthurium merajai pasaran, aku bisa beli
tanah ini, seluas ini,” ujarnya datar saja, tetap berkonsentrasi pada
pekerjaannya. Kupandangi tanah seluas seribu meter persegi di tepi jalan
itu. Ada patok-patok kayu.
“Mereka mau membangun mal,” ucapnya dingin.
“Maksudmu?”
“Mereka memaksaku untuk menjual tanah ini dan membangun mal di atas lahan ini.”
“Hmm… kalau harganya bagus, kenapa tidak dilepas.”
“Harganya bagus. Tapi aku tidak mau melepas.”
“Kenapa?”
Dia diam, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan sedikit kesal. “Lantas di mana aku menanam mawar-mawarku?”
***
Sepulangku dari kediaman Arjuna, aku tak bisa tidur. Aneh, manusia
satu itu. Kuperkirakan, dia bisa mengantungi sedikitnya dua miliar;
dengan luas dan posisi dekat jalan raya, dan dengan uang itu dia bisa
membeli tanah yang lebih luas…lebih daripada cukup kalau untuk menanam
mawar kampung! Gila.
Tapi, entah mengapa, aku diserang rasa gelisah. Ada yang begitu
murni, bodoh—mungkin—dan rasa cinta yang tulus, ketika dia
mempertanyakan di mana akan menanam mawarnya. Ah, jangan-jangan aku
sudah tertular penyakit gila yang dideritanya. Sangat tidak masuk akal.
Sangat bodoh.
***
Beberapa bulan berlalu, aku tidak main ke rumahnya. Mungkin karena
jengkel, mungkin juga karena merasa berhadapan dengan orang sinting, aku
tidak berminat menemuinya. Tapi, mungkin juga karena aku memang ditelan
kesibukan pekerjaan. Aku harus mengawasi proyek, yang kadang-kadang
membuatku berhari-hari di luar kota. Ketika pulang pun, aku hanya bisa
bertemu dengan kesunyian rumah dan si Min, pembantu kami, karena istriku
pun ditelan kesibukan kantornya, dan saat itu dia di Makassar.
“Dua hari yang lalu, ada orang ke rumah, nyari bapak…,” ujar Min sambil membongkar tasku.
Aku diam, mencoba menikmati kehampaan yang tiba-tiba menganga ini.
Kusimak pembicaraan Min dan aku tahu bahwa orang itu pastilah Arjuna.
Apalagi ketika kutanyakan apakah di wajahnya ada bekas bopeng cacar dan
Min mengiyakan sambil tertawa, aku yakin, orang itu pasti Arjuna.
“Keberatan nama Pak, Arjuna, kok, nyekingkring.” tambahnya sambil tertawa geli sendiri.
“Ada pesan apa?”
“Ndak ada… dia cuma bilang, ‘o, ya, sudah’… terus pulang.”
***
Lama setelah itu, aku masih saja belum sempat menemui Arjuna. Aku mau
telepon, tapi seingatku, dia tak pernah memberiku nomor HP. Manusia
primitif satu ini memang istimewa sekali.
Sementara itu persoalanku sendiri dengan Andin—istriku—muncul lagi.
Persoalan yang sebetulnya sudah bisa diduga dan diurai dengan mudah,
tapi, sekali lagi, emosi dan tenaga kami habis disedot pekerjaan. Siang
dan malam hanyalah soal terang dan gelap belaka. Rumah berkamar tidur
dengan pendingin udara, bahkan bukan sebuah kesejukan di rumah kami.
Kami adalah dua orang yang saling bermusuhan diam-diam dan
menyembunyikan diri di balik laptop atau BB, untuk saling… entahlah. Aku
bahkan kehilangan semua kosakata, dan anehnya dia yang dulu terkenal
bawel—dan itu yang membuatku jatuh cinta—kini lebih bisu daripada batu.
Aku sendiri sudah tidak tahu lagi, sudah berapa jauh jarak kehidupan
cinta kami terentang. Sejak kapan hal itu dimulai, kurasa dia pun tak
punya jawaban. Yang ada hanyalah kami harus punya foto perkawinan yang
bahagia, senyum manis tak terkira dan handai taulan, sanak saudara,
kenalan, relasi, bos menganggap kami manusia bahagia yang patut
dijadikan contoh.
Beruntunglah Arjuna, barangkali dia tidak menemukan neraka itu di rumahnya, karena dia hanya mengikatkan diri pada mawarnya.
***
Siang itu di proyek, yang kurasakan adalah tusukan sepi yang luar
biasa. Di kantin, ketika makan siang, mataku tertuju pada televisi yang
menyiarkan peristiwa. Ah, ini membuatku kian merasa terpuruk menjadi
manusia; apa sebetulnya yang ingin kucari? Protes, demo, penembakan oleh
aparat, korupsi, artis dilecehkan, wartawan dan pelajar saling jotos,
guru menggampar murid, murid membunuh guru…; coba sebut satu saja yang
mampu memberikan harapan hidup lebih baik.
Tapi, ketika seorang penyiar menyebut satu nama—sambil sedikit
tersenyum, aku seperti tersengat lebah. Arjuna jadi berita. Ah, pastilah
kasus tanahnya. Ah, bagaimana dia? Kusimak berita, tapi tak kulihat si
Arjuna. Hanya ada massa yang kulihat mendukung Arjuna—di halaman Kantor
Pengadilan Negeri.
***
Entah mengapa, berita tv siang itu menggangguku; paling tidak, telah
berubah menjadi semacam isu di antara kami. Sambil makan malam bersama
kolega bisnis properti dan beberapa investor, percakapan tentang Arjuna
menjadi bagian dari menu malam itu. Aku tentu saja harus bersama Andin,
yang sejak semula harus merasa bahagia bersamaku.
“Andin, coba kalau kamu punya tanah seluas itu dengan harga jual yang
sangat bagus—di atas NJOP di wilayah itu—kamu bertahan?” ucap bosku
sambil menyuapkan potongan steik ke mulutnya.
Andin hanya tersenyum saja, menjawab tanpa jawaban. Sempat kulirik
senyumnya. Masih senyum yang dulu kukenali dan kusukai. Sesaat kemudian
pandangan kami bertemu di suatu sudut yang dulu pernah kami singgahi;
sudut kecil saja di kenanganku—paling tidak.
“Kalau saya, maaf, tanah itu tidak akan saya jual…,” entah mengapa,
aku tiba-tiba seperti didorong oleh tenaga aneh, meloncat begitu saja
dari mulutku.
Meja makan seperti tersiram es. Aku tahu, tak seorang pun boleh membantah ucapan bosku, karena dia adalah bos.
“Mmm… bukan itu jawaban yang aku harapkan, apalagi dari kamu. Tapi, …
mm… tolong, buat aku bisa memahami ‘kebodohan’ yang…,” dia menebar
pandangan kemudian tertawa, diikuti orang semeja. Kulihat Andin salah
tingkah.
“Mmm… (aku menelan ludah)… maksud saya, saya paham pada apa yang dilakukan Arjuna….”
“Ooo, jadi kamu kenal juga dengan si Arjuna?” sela bosku, yang melanjutkannya dengan gelak tawa.
“Mmm… ya, Pak. Dia sahabat sepermainan….”
“Maaf… bilang sama Arjuna, dia boleh saja menikmati kemenangannya kali ini. Tapi itu tidak lama….”
Di perjalanan pulang, aku membisu. Andin membeku. Entah mengapa, aku merasa tiba-tiba menjadi ancaman bagi Arjuna.
Entah mengapa, tiba-tiba Andin membuka pembicaraan yang membuatku
merasa kian bodoh. Bermula dari celaannya tentang mengapa aku tiba-tiba
berkomentar tentang pertanyaan yang bahkan bukan untukku, sampai sebuah
hubungan antara kantorku dengan Arjuna yang selama ini sama sekali tak
kusadari.
“Makanya, jangan asyik sendiri. Jelas sekali, siapa pun tahu kalau
kantormu itu gurita dengan sejuta tentakel. Terus mau apa? Demi Arjuna
dan mawarnya itu, kamu mau apa?”
Aku diam. Aku hanya ingin sampai di rumah.
***
Sejak peristiwa makan malam itu, aku jadi makin kehilangan
kegembiraan bekerja. Semua perhatianku, bahkan mimpiku, tersedot pada
Arjuna dan mawarnya. Dan entah mengapa, di mata bosku, aku seperti duri
dalam daging. Kusadari semuanya tanpa perasaan apa-apa. Kuterima semua
penilaian atas dedikasiku selama ini, dari bosku, dengan jiwa kosong.
Aneh juga rasanya, tapi itulah yang kualami. Termasuk ketika bos
menawariku posisi lain di salah satu perusahaannya yang lain—untuk
menghilangkan ‘duri’ yang ada di ‘daging’-nya, aku menolak dengan halus.
Aku memilih duduk di samping Arjuna yang tenang membuat wadah-wadah
sederhana dari tapas kelapa dan pelepah pisang.
***
Itulah yang kulakukan. Dan ketika aku sampai di rumah Arjuna, aku
dibuat terperangah. Rupanya, selama ini, ketika proses pengadilan
berlangsung, pihak ‘pembeli’ bahkan sudah membangun bangunan, memang
belum finishing, tapi bangunan itu sudah berdiri. Ya, Tuhan, sudah berapa lama aku tidak berhubungan dengan Arjuna?
Dan bangunan itu, oleh Arjuna sengaja tidak dihancurkan. Orang gila
satu ini memang selalu aneh-aneh. Dia bahkan menggali tanah di
sekeliling bangunan belum jadi itu dan menguruk seluruh bangunan itu
hingga menjelma bukit. Bukit tanah merah yang dikelilingi parit dalam.
Kusaksikan orang-orang kampung yang mendukung tindakan Arjuna di
pengadilan sibuk melakukan ini-itu. Kami duduk di tanah menatap ‘bukit’
yang baru lahir itu.
“Apa yang akan kamu lakukan dengan bukit ini?”
“Bayangkan, Tom. Ini nanti akan jadi bukit mawar. Seluruhnya aku tanami mawar kampung.”
“Seluruhnya?” dan kudengar Arjuna tertawa bahagia. Kemudian dia
menyambung bahwa parit yang lebar dan panjang mengelilingi bukit ini
akan jadi lahan pemancingan, yang mengurusi nanti adalah—dia menyebutkan
beberapa nama yang kuduga orang kampung situ.
Sambil membayangkan di sana-sini muncul warung makan kecil, dan
orang-orang makan ikan bakar, atau sekadar minum kopi, mereka menikmati
“keajaiban dunia”: bukit mawar. Arjuna bukan hanya membangun keajaiban,
bukan juga membangun mimpi, tetapi harapan bagi orang banyak. Aku jadi
kian merasa tak ada apa-apanya berhadapan dengan anak janda penjual
bunga di makam ini.
“Terima kasih, kamu mau datang,” ucapnya dengan senyum mawarnya. “Mmm… ngajak Mbak Andin, ya….”
Andin menyusulku? Dan kulihat Andin gembira, gelak tawanya lepas,
seperti murai yang berkicau di pagi hari, dia pun mengoceh dan mengoceh.
Aku terkunci dalam kebingunganku sendiri.
“Aku suka ini. Aku gembira ada yang bisa memutus rantai kebekuan. Dan
aku bangga, kau pun melakukan itu.” Ucapnya dengan wajahnya, yang—ah,
kenapa jadi cantik sekali?
“Aku tidak melakukan apa-apa….”
“Kau keluar dari gurita raksasa, itu adalah sebuah perbuatan gila,
sinting, tapi benar. Dan… aku bangga bahwa aku masih punya seseorang
yang mau berbuat benar.”
“Meskipun gila?” godaku.
“Plus sinting dan nekat,” tambahnya diikuti gelak tawa.
***
Setelah dia jelaskan apa yang akan dilakukannya dengan bukit itu, dia
pun merangkak memanjat bukitnya. Di tangan kanannya tergenggam sebatang
mawar.
Sebuah ritual pun dimulai. (*)
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar