Cerpen Sophie Kiwelu (Suara Merdeka, 29 April 2012)
SETELAH Mize menyelesaikan satu bulan masa jando
[1] seperti yang dikenal dalam masyarakat Konde, dia terlihat luar
biasa. Wajahnya merona oleh pesona yang tak biasa. Berdasarkan adat
Konde, seorang pengantin perempuan harus selalu berada di dalam rumah
selama sebulan penuh bersama ibu mertuanya, dan bersama dengan bibi
suaminya, dia memasak hidangan tradisional istimewa untuk sang ibu
mertua.
Orang tua Mize tak henti-hentinya memanjatkan rasa syukur pada Tuhan.
Anak perempuan mereka telah mendapat suami kaya. Chelule begitu kaya
saat menikahi Mize. Dia memiliki rantai bisnis di kota Sawai dan
beberapa kota lain di negeri tersebut. Di desa Chelule, gadis-gadis
bersaing sengit, tapi Mize-lah yang jadi pemenangnya. Tak pelak,
perkawinannya dengan Chelule membuat iri banyak orang. Dan Mize harus
menjaga pernikahannya dari kecemburuan seperti itu.
Kakak Mize, Chiku, begitu tersiksa oleh keirian terhadap saudarinya
itu. Dia membandingkan suaminya Kazungu yang hanya jadi guru TK dengan
adik iparnya yang berlimpahan harta. Kazungu itu seorang tradisionalis
dan penganut Katolik kolot yang menolak mati-matian terhadap metode
Keluarga Berencana ala orang kulit putih. Suatu ketika dia pernah
menghajar Chiku hingga babak-belur lantaran sang istri mengikuti seminar
KB yang diselenggarakan Women Frontier Group di daerah mereka. Selama
enam tahun perkawinan mereka, Kazungu dan Chiku punya tujuh anak. Gaji
Kazungu sebagai guru TK tak cukup untuk menghidup keluarganya. Sebagian
besar hidup mereka ditopang teman-teman dan kerabatnya, khususnya Mize.
Tapi saudari Mize lainnya, Mishi, sama sekali tak iri pada
saudari-saudarinya yang sudah menikah. Sudah sejak lama dia menjadi
pendukung setia gagasan mengenai kehidupan selibat.
Suatu saat dia pernah berkata pada saudari-saudarinya yang sudah
menikah, “Aku tak punya waktu untuk hal-hal yang berkenaan dengan
tetek-bengek pernikahan. Aku menyukai kebebasan dengan hidup lajang.”
Saat saudari-saudarinya berbicara mengenai kehidupan perkawinan
mereka, Mishi justru membanggakan kisah penaklukan terbarunya terhadap
banyak pria. Tiga tahun kemudian, Chelule dan Mize sudah memiliki dua
anak, laki-laki dan perempuan. Menurut mereka, jumlah itu sudah
sempurna.
“Lebih baik punya anak sedikit tapi kau bisa memberikan perhatian
yang cukup dan pendidikan berkualitas untuk mereka,” ujar Chelule pada
para kerabat yang bertanya-tanya kenapa dengan kekayaan melimpah-ruah
dia hanya punya dua anak. Buat dirinya, punya banyak anak bukan ukuran
kemakmuran seperti persepsi orang-orang sesukunya. Pendidikan yang dia
peroleh dari sekolah misionaris menjadikan dirinya memandang konsep
seperti itu dengan cara berbeda.
***
SUATU pagi, Mize terbangun dengan kepala terasa
sakit. Awalnya, dia tidak menganggapnya serius. Menjelang tengah hari,
sakitnya masih terasa. Dia segera meminta pembantunya pergi ke toko obat
terdekat untuk membeli beberapa Panadol, setidaknya untuk meringankan
rasa sakitnya. Selanjutnya dia tetap keluar dari rumahnya menuju ke
tempat bisnisnya di Pasar Keiyo. Saat sedang mengawasi para pekerjanya,
mendadak dia jatuh dan pingsan. Para pekerjanya berteriak meminta
pertolongan orang-orang di sekitar yang segera memanggil ambulans. Pasar
itu jadi riuh saat mobil ambulans berhenti di lapak Mize dengan raungan
tinggi sirenenya. Gumaman terdengar di antara orang-orang yang
berkerumun ketika petugas medis membawa tubuh Mize ke dalam mobil.
Kejadian itu membuat para pekerjanya kebingungan.
Sesampainya di RS Misionaris Mikocheni, Mize dibawa ke bangsal gawat
darurat. Dokter yang memeriksanya memerintahkan para petugas medis
membawa Mize ke ruang ICU. Berikutnya diketahui bahwa Mize menderita
stroke berat akibat salah satu pembuluh darah pada sisi kanan kepalanya
mengalami pendarahan internal.
Selama dua hari para dokter berupaya serius menyelamatkan hidupnya,
tapi pada hari ketiga mereka benar-benar gagal. Mize tak tertolong lagi.
Berita kematiannya bergaung di seluruh kota Sawai. Chelule tampak bisa
menerima kematian itu meskipun dia tak sanggup menahan tangisnya saat
pemakaman berlangsung.
***
EMPAT puluh hari perkabungan berakhir. Para tetua
suku mulai mendesak Chelule dalam soal warisan. Meskipun ajaran
kristiani tersebar di daerah itu, konsep turun-ranjang masih
diyakini dan dihargai benar-benar oleh orang-orang Konde. Berdasarkan
adat, Mishi, adik mendiang Mize yang paling berhak menggantikannya
sebagai istri Chelule. Tapi perempuan yang sudah memutuskan hidup lajang
itu tak terpengaruh tekanan sukunya untuk menjadi pengganti mendiang
saudarinya. Dia tak perlu khawatir sebab menurut norma yang berlaku,
seseorang tak bisa dipaksa untuk menerima hal seperti itu.
“Para Tetua, biarkan saya berterus-terang bahwa saya tidak bisa
melangkah dengan mengenakan sepatu mendiang saudari saya. Intinya, saya
bukan orang yang menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang penting,”
ujarnya tegas.
Ketika Mishi tak bisa dipengaruhi lagi, para tetua memikirkan calon
berikutnya. Kandidat satu-satunya yang bisa menggantikan Mize adalah
saudari termudanya, Kadongo. Kadongo baru berusia 20 tahun dan setelah
menyelesaikan SMA, dia tengah menunggu hasil tes dari Politeknik untuk
kursus Akuntansi. Dia gadis yang menawan. Dia sangat cermat untuk
urusan-urusan domestik. Saat para tetua memintanya menggantikan mendiang
kakak perempuannya, si pemalu Kadongo menyambut baik gagasan itu.
Pada suatu sore yang cerah, para perempuan suku berkumpul di sebuah gubuk kecil dalam busana regalia
[2]. Itu saat yang dikenal sebagai “pesta bubur” dengan menyiapkan
bubur bercampur krim susu asam di dalam bejana-bejana besar. Ini juga
saat buat Kadongo mempersiapkan diri sebagai calon pengantin.
Gagasan bahwa Kadongo-lah yang bakal menggantikan mendiang kakak
perempuannya tak membuat gembira Chiku. Para perempuan suku tentu saja
melibatkan Chiku dalam acara mengantar pengantin, tapi tak ada yang tahu
maksud terselubung Chiku.
Perempuan itu memandang kematian Mize dengan cara berbeda. Dia merasa
kematian itu menjadi saat menguntungkan buat dirinya. Meski
adat-istiadat tak membolehkan, Chiku siap lari dari suami dan ketujuh
anaknya.
“Akhirnya aku bisa merasakan kekayaan Chelule. Aku selalu iri pada mendiang adikku itu,” batinnya.
Saat para perempuan suku bergembira menikmati bubur, Chiku masuk dan
dengan percaya diri, dia berkata, “Kalian semua tak tahu kalau Kadongo
masih benar-benar hijau, dan masih begitu totol untuk mengetahui cara
memenuhi kebutuhan seorang laki-laki yang baru saja ditinggal mati
istrinya. Suami itu milikku.” Perilaku Chiku benar-benar membuat bingung
para perempuan suku.
***
SUATU petang, Charo, pembantu Chelule sedang
menyeterika pakaian. Tiba-tiba ia mendengar ketukan di pintu gerbang.
Dia melihat Chiku dengan sejumlah kopor. Ketika dia membuka pintu, Chiku
menyerobot masuk. Charo hanya bisa terbengong-bengong.
“Nyonya, boleh saya tahu keperluan Anda?” tanya Charo.
“Keperluanku cuma satu, tinggal dan merawat anak-anak mendiang
saudariku,” ujar Chiku dengan suara mantap dan segera masuk ke kamar
tidur Chelule.
Segera Chiku ke kamar mandi dan menyiram tubuhnya dengan air hangat.
Begitu selesai, dia membuka kopornya dan mengambil gaun malam tembus
pandang yang dia beli dari lapak baju bekas di pasar. Sambil menunggu
Chelule, dia berbaring di ranjang lelaki itu dengan posisi merangsang.
Chiku benar-benar seorang oportunis.
Dalam kondisi sangat lelah, Chelule pulang agak terlambat, sekitar
pukul 10 malam. Pada Charo dia mengeluhkan penundaan pengiriman
barangnya ke kota Kabanas. Saat itu, Charo memberitahukan ada tamu tak
diundang di ranjang sang majikan.
“Tuan, petang tadi Bibi Chiku datang dan memaksa tinggal hingga Tuan pulang,” ujar Charo dengan gemetar.
Terkejutkah Chelule?
Ya, tentu saja. Ketika dia masuk ke kamar tidurnya, Chiku segera menghampiri dan berlutut di hadapannya.
“Izinkan saya yang mengenakan sepatu mendiang adik saya,” ujar Chiku
memohon-mohon. Chelule tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia segera
pergi ke kamar mandi untuk menyegarkan diri setelah bekerja keras
seharian. Keluar dari kamar mandi dia melihat Chiku berbaring di tempat
tidur. Posisi tubuhnya yang merangsang membuat jantung Chelule berdebur
kencang. Mereka menghabiskan malam bersama.
Keesokan paginya, Chelule memandangi Chiku yang berbaring di sisinya,
dan dia merasa ada secercah keindahan dalam diri perempuan itu yang
tidak ia sadari selama ini.
Para tetua, bersama dengan semua wanita suku, mengirimkan beberapa
orang menghadap Chelule. Mereka diutus untuk membahas kepastian tanggal
pernikahannya dengan Kadogo. Hari itu hujan, dan ketika para utusan tiba
di rumah Chelule, mereka disambut wajah ceria Charo. Segera setelah
menyampaikan tujuan kedatangan, mereka meminta bertemu dengan Chelule.
Chelule memasuki ruang tamu dengan mengenakan piyama.
“Para Tetua, salam untuk Anda semua,” ujar Chelule.
Kedatangan mereka jelas untuk membahas kepastian tanggal pernikahan dan dengan segera mereka mengatakan hal itu pada Chelule.
“Lebih cepat kita membahas kepastian tanggal pernikahan itu lebih bagus,” ujar salah seorang dari tetua itu.
“Para Tetua terhormat, Anda semua tahu bahwa dalam adat kita, bila
seorang perempuan memasuki rumah seorang lelaki, dan si lelaki
bersetubuh dengannya, secara otomatis ia menjadi istrinya. Saya merasa
bangga mengumumkan pada Anda semua bahwa Chiku sekarang menjadi
istriku,” ujar Chelule.
Pada saat itu, Chiku keluar dari kamar tidur dan memandang para tetua dengan tatapan menantang.
“Ya, akulah perempuan itu. Suami itu milikku,” ujarnya dengan berani sebelum kembali masuk kamar tidur. (*)
.
.
Catatan:
[1] Jando: bulan madu masyarakat Konde di Kenya.
[2] Regalia: busana tradisional Kenya dan beberapa negara Afrika lainnya.
.
.
Sophie Kiwelu, seorang penulis inspiratif dari Kenya. Cerpen ini dimuat dalam hollerafrica.com edisi 1 Agustus 2006 bertajuk “The Husband is Mine” dan diterjemahkan oleh Saroni Asikin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar