Cerpen Seno Gumira Ajidarma
Terbit di Kompas, 9 Desember 2012
SEBETULNYA mereka berdua tidak ingin melihat jam tangan
masing-masing, juga tidak ingin melihat jam dinding, karena hanya akan
memperlihatkan kenyataan menyakitkan.
“Aku tidak mau berpisah.”
“Aku juga.”
“Aku tidak mau.”
“Aku juga tidak mau.”
‘Tidak mau. Pokoknya tidak mau.”
“Jangan mau. Pokoknya jangan mau.”
Mereka saling memandang. Tidak ada waktu. Mungkinkah waktu 60 menit menggantikan waktu 60 tahun? Tidak ada waktu.
Tidak adakah waktu?
Tidak ada yang pernah tahu apakah waktu ada awal dan ada akhirnya. Tidak ada. Tidak pernah. Tidak mungkin. Tidak perlu.
Tidak ada waktu lagi. Mereka berdua melihat jam tangan. Deru pesawat terbang melintas di kejauhan.
Masih ada waktu!
“Lima menit lagi.”
“Hanya lima menit!”
Detak jam dinding bagai dentum yang bergaung di langit.
“Aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak mau….”
Lelaki tua itu menggeleng-gelengkan kepala. Perempuan tua itu
tertunduk, selalu tertunduk, seperti yang selalu dilakukannya sejak
belia. Bukankah memang dia, pikir lelaki tua itu, yang wajahnya kelam
seperti lubang hitam di langit yang membuatku terhisap sejuta pusaran?
Dalam 60 tahun, segalanya memang sudah berubah, tetapi setelah 60 tahun
mata mereka masing-masing masih berbicara dengan bahasa yang sama.
“Aku juga tidak mau…,” kata perempuan tua itu setengah berbisik, “tapi bagaimana?”
Bagaimana. Itulah soalnya. Bagaimana.
Waktu lima menit itu pun berjalan. Pesawat terbang mendarat. Pesawat
terbang lepas landas. Kolam renang biru muda. Taman di bawah matahari.
Orang-orang makan dan minum dan tertawa-tawa dalam berbagai bahasa.
Pramugari menyeret kopornya.
“Aduuuuuhhh,” kata lelaki itu lagi dengan kedua tangan memegang kepalanya, “kenapa ini mesti terjadi.”
Perempuan itu mengangkat kepalanya yang tadi selalu tertunduk.
“Pertemuan ini?”
“Perpisahan ini!”
Perempuan itu tertunduk lagi. Itulah kenyataannya. Mereka telah
berpisah 60 tahun yang lalu tanpa pernah bertemu kembali, tanpa pernah
mengucapkan sepatah kata sama sekali, tetapi kini harus berpisah lagi.
“Padahal selama itu aku selalu mengingatmu.”
“Aku juga.”
Mereka telah saling mengingat tanpa saling mengetahui isi hati
masing-masing meski hati mereka telah bersua. Mereka telah mendengar
kata hatinya masing-masing yang telah menyampaikan segalanya tanpa
bahasa apa pun selain rasa, hanya rasa, dan tiada lain selain rasa tanpa
pernah mendapat terjemahan nalarnya dalam kepala.
“Kenapa aku bisa begitu bodoh waktu itu ya?”
“Aku juga bodoh.”
Kini keduanya sama-sama tertunduk. Mereka telah bertemu kembali 60
tahun kemudian dan merasa tidak perlu berpisah lagi apa pun yang terjadi
bahkan ketika hal itu sama sekali tidak mungkin.
“Tapi bagaimana?”
Itulah soalnya! Bagaimana!
“Satu menit lagi!”
Perempuan tua itu mengusap matanya. Lelaki tua itu memegang tangannya.
“Tidak! Kita tidak perlu berpisah lagi! Tidak usah!”
Tidak ada waktu lagi!
Tangan mereka saling menggenggam dengan erat, sangat amat erat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih erat.
“Aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak mau!”
Hanya seperti bisikan, tetapi dalam dunia mereka semesta
berdentam-dentam. Dengan segala daya mereka renggangkan detak-detak dari
detik ke detik sehingga detak yang satu bertambah jauh jarak waktunya
dari detak yang lain, dan begitu jauh jaraknya, makin lama makin jauh,
begitu rupa jauhnya membuat setiap detak bagaikan bergaung sendirian
dalam semesta waktu nan sunyi begitu sunyi bagaikan tiada lagi yang
lebih sunyi sampai jarak yang begitu jauh membuat gaung tak menemukan
sarana bunyi sama sekali karena waktu seperti telah tertahan!
***
Di restoran itu terlihat jarum jam bergetar dengan dahsyat, begitu
dahsyat sampai tak bisa dilihat karena jika waktu yang tak tertahankan
telah tertahan tentulah mengakibatkan tolak menolak yang dahsyat pada
jarum jam!
Seperseribu detik sebelum pukul 16 waktu setempat, jarum jam di
seluruh dunia bergetar dahsyat dalam waktu setempatnya masing-masing!
Waktu telah tertahan! Orang-orang berhenti berjalan. Sendok berhenti di
muka mulut. Minuman tak jadi tertuang. Airnya mengambang karena waktu
memang berhenti. Busyet!
Namun meski segala pergerakan tertahan, bergetar dahsyat dalam
dorongan waktu yang tak tertahankan tetapi dalam kenyataannya tertahan,
pikiran orang-orang yang gerakannya terhenti masih berjalan dan mereka
masih dapat berkata-kata untuk menyalurkan kepanikan! Ibarat bendungan
raksasa yang menahan air bah, waktu yang sesungguhnyalah mengalirnya tak
tertahankan dalam ketertahanannya mengalir juga di sana-sini dengan
sangat tidak beraturan….
“Busyet! Ada apa ini? Ada apa ini?”
Mobil-mobil berhenti melaju, tetapi radionya tetap berbunyi, karena
penyiar yang tangannya terhenti ketika memegang mikrofon masih bisa
berbicara dan melaporkan pandangan mata yang didengarnya lewat
perangkat-suara di telinganya.
“Para pendengar di segala penjuru tanah air yang dapat dicapai oleh
siaran ini, mohon perhatian sejenak atas peristiwa luar biasa yang
dilaporkan para wartawan kami di lapangan, yang sementara tubuhnya
takbisa lagi bergerak maju, masih bisa menyampaikan pandangan mata lewat
mikrofon yang katanya kebetulan terangkat di depan mulutnya. Para
pendengar sekalian, di jalanan mobil-mobil berhenti dengan mesin masih
hidup, seperti bersama waktu tetap mau berjalan tapi takberdaya karena
waktu tertahan. Bahkan pesawat terbang berhenti di udara dan tidak jatuh
saudara-saudara, karena memang rupa-rupanya adalah waktu yang tertahan
dan takbisa berjalan bersama segala sesuatu yang bergerak dalam waktu!
Namun takseluruh waktu tertahan saudara-saudara, waktu yang arus dan
alirannya taktertahankan merembes dan mengalir di sana-sini sehingga
kami masih bisa bicara saudara-saudara! Orang-orang tertahan takbisa
maju di jalanan, tetapi masih bisa saling berbicara dengan panik karena
mengira akhir dunia telah tiba! Ahhhh, ada-ada saja bukan
saudara-saudara? Hehehehe!”
Seperseribu detik sebelum pukul 16:00 waktu telah tertahan.
Seperseribu detik yang tersisa menjadi sejuta tahun semilyar tahun
setrilyun tahun takterhitung! Apalah artinya 60 tahun yang terpadatkan
dalam waktu yang terhenti, tertahan, berkutat maju dengan penuh
perjuangan dan daya di luar perhitungan manusia? Angin berhenti,
mega-mega berhenti, sungai berhenti, samudera diam takberombak, burung
elang takberkepak, semesta dan segala langitnya menjadi gambar.
Dalam dunia yang terhenti seperti gambar, tetapi gambar yang
tergetar-getar dengan daya semesta yang waktunya tertahan ketika
seharusnya taktertahankan, kata-kata dan hanya kata-kata yang bertebaran
di luar ruang dan di luar waktu sebagai gagasan. Inilah gagasan yang
menembus lembaran-lembaran ruang dan lembaran-lembaran waktu dan
mempertanyakan.
“Ada apa ini? Ada apa ini?”
“Aneh-aneh saja waktu berhenti! Mengapa tidak kiamat saja sekalian? Dasar kurang pekerjaan!”
“Memangnya ada yang ngerjain? Memangnya siapa yang kurang pekerjaan sampai bisa jadi kayak gini?”
Di pasar, meskipun segala gerakan tubuh terhenti, mulut-mulut juga taksudi ditahan.
“Bener-bener deh! Apa sih ini maksudnya?”
“Tau deh, siape ni nyang punya mau, nyang pasti nggak peduli kalau bisa nyilakain orang.”
“Iye ni! Kebangetan!”
Gagasan terucap di antara orang-orang yang sendok berisi nasi
gorengnya sudah terangkat ke depan mulut tapi takbisa dilanjutkan, yang
minuman dalam botolnya tertuang ke dalam mulut kehausan tetapi airnya
terhenti sebelum masuk tenggorokan, yang sedang berjalan sambil
melamunkan kekasih sedang menunggu tetapi lantas kaki terhenti takbisa
berjalan meski maksud hati terus melangkah ke depan, yang melenggang di cat-walk
karena memang peragawati tapi lantas berhenti seperti patung untuk
pajangan, yang sedang bersalto di udara dalam lomba senam tetapi
berhenti di udara tanpa bisa diturunkan karena memang seluruh umat
manusia dalam semesta gerakannya tertahan. Busyet…
Tiada lagi peristiwa akan terjadi. Cerita terhenti dan tanpa cerita
tiadalah berarti segala keberadaan dunia ini. Waktu yang tertahan harus
dilawan dan memang sedang dilawan tetapi apakah kiranya yang akan
menjamin keberhasilan perlawanan jika justru waktu yang taktertahankan
tertahan sehingga bahkan rinai hujan tetap berada di tempatnya
takbergerak seperti halaman gambar yang meruang? Namun nun di suatu
tempat tersunyi pisau belati bergerigi yang siap menembus perut pun
tertahan takdapat dilanjutkan. Dalam waktu tertahan yang mengacaukan,
nasib malang tertunda, tetapi takjelas juga apakah akan dapat
dibatalkan.
Seperseribu detik sebelum pukul 16:00. Para pelayan di restoran
melihat dua orang tua masih saling menggenggam tangan karena keduanya
takmenghendaki perpisahan. Keduanya hanya ingin berada di sana saja
selama-lamanya, begitu lama, bagaikan tiada lagi yang lama, karena
memang maunya selama-lamanya. Tertelungkup dan berpegangan tangan dengan
erat seolah bertahan dari waktu yang berusaha menyeret dan memisahkan.
“Kenapa kamu menghilang begitu saja, ketika aku selalu menantimu sebelumnya….”
“Aku taktahu kamu selalu menantiku, takpernah tahu dan tak akan
pernah pergi kalau tahu kamu selalu menantiku, tak akan pernah….”
“Bagaimana kamu bisa tidak tahu aku selalu menantimu seperti itu….”
“Bagaimana aku bisa tahu kamu selalu menantiku seperti itu….”
“Padahal aku bahagia setiap kali kamu datang, sampai pada suatu hari
kamu tidak pernah datang lagi, hilang lenyap seperti ditelan bumi….”
“Aku tidak tahu, takpernah tahu, kepalamu selalu tertunduk seperti itu, sampai aku mengira kamu taksuka dengan kehadiranku….”
“Aku selalu menantimu, menunggu seperti perempuan dalam dongeng, sampai aku tahu harus menghadapi kenyataan dan melupakanmu….”
“Sekarang kamu tetap akan pergi dan melupakan aku….”
“Tidak. Tidak mungkin. Tidak mau.…”
Tapi waktu check-in paling lambat pukul 16:00. Jika tidak
perempuan tua itu bisa terlambat, dan jika terlambat serta ketinggalan
pesawat, cerita akan jadi berlarat-larat.
“Seandainya waktu….”
Mereka tak ingin waktu mencapai pukul 16:00. Mereka sangat
menginginkan waktu tertahan sehingga semesta takberedar dan karenanya
bergetar-getar sehingga membuat langit berdenyar-denyar.
Namun waktu tetap berjalan, sampai seperseribu detik sebelum pukul 16:00.
“Seandainya…,” kata lelaki tua itu akhirnya, menggenggam tangan
perempuan tua itu dengan erat, seperti ingin menyatu dan tidak akan
terpisahkan lagi setelah 60 tahun berlalu tanpa perjumpaan.
Seperseribu detik sebelum pukul 16:00, jika waktu tetap tertahan
semesta akan menjelma serbuk cahaya dan segera meruap selamanya seperti
lenyapnya bisikan, seolah cinta memang begitu besar sehingga dunia harus
dikorbankan.
Seperseribu detik sebelum pukul 16:00, jarum jam bergerak menuju angka IV.
Kedua orang tua itu saling menatap, dengan mata yang telah menjadi basah tanpa dapat ditahan…. (*)
Jalan Panjang — Kampung Utan
-----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar