Cerpen Benny Arnas
Terbit di Jawa Pos, 9 Desember 2012
NAMAKU Lili, ujarmu di perkenalan kalian dua tahun yang lalu,
perkenalan yang akhirnya mengantarkan kalian ke pelaminan, pernikahan
yang melempar kalian ke kesemuan yang lucu, kenyataan yang menyeret
kalian ke dalam lakon berdarah siang itu!
***
SEJAK dipromosikan menjadi sekretaris direktur, sebagian besar
waktumu kauhabiskan untuk urusan pekerjaan. Kau tak pernah tahu, sedari
kauputar kunci Avanza lalu meluncur ke kantor di utara kota, Illy
selalu berhasil membawamu kembali. Dari pagi hingga malam meninggi,
kalian membincangkan banyak hal. Dari pekerjaan, kesetaraan gender, kurs
rupiah yang makin anjlok, anggota-anggota DPR yang beradu mulut dan
saling tonjok, isu naiknya harga BBM, hingga perkara asmara.
Untuk yang terakhir, kalian tidak hanya terlibat dalam perbincangan
yang hangat, tapi juga kerap bercumbu bagai tak menenggang keberadaan
tetangga. Kadang Illy tertawa keras-keras, kadang memekik penuh gairah,
dan tak jarang melenguh seolah tengah menuntaskan pertarungan-ranjang.
Kalian selalu melakukannya sepanjang hari. Bila kau pulang cepat, di
waktu yang sama, kauburu-buru menyelinap keluar dari pintu belakang.
Illy juga selalu pandai berakting seolah sepanjang hari sibuk menulis
artikel budaya untuk koran lokal, beberapa puisi picisan untuk majalah
remaja, menghitung untung-rugi beberapa usaha alternatif yang hingga
kini belum direalisasikan, atau membereskan pekerjaan rumah sebagaimana
dilakukan oleh para ibu rumahtangga—atau bahkan para pembantu
rumahtangga. (Bukan, bukan kau yang meminta Illy melakukannya. Dia
sendirilah yang mengajukan diri seolah menenggang kesibukan yang
membelitmu, seolah tahu diri dengan status penganggurannya).
Selayang pandang, Illy memang tampil sebagai suami yang sayang istri.
Ya, walau menjadi penopang keuangan keluarga, kau tak pernah berpikir
untuk membabukan suami.
Kau hanya sering heran, mengapa Illy selalu lupa merapikan seprei
ranjang atau sofa panjang ruang tengah. Kau selalu mendapati dua
perabotan itu dalam keadaan kusut atau berantakan. Kau tak pernah
menaruh curiga kepadanya. Kau seolah lupa, sepengangguran apa pun, Illy
adalah seorang sarjana, Illy adalah laki-laki normal yang haus
kehangatan, Illy bukanlah seorang dungu yang setia-buta menantikan
kaupulang larut malam dalam keadaan lelah yang sangat (dan Illy
menyiapkan air hangat yang akan membilas lelahmu agar kau dapat
menyongsong malam dengan mimpi yang menerbangkan kepenatan). Lagipula
takkah kau merindukan kehadiran seorang anak, Lili?
Ah, yang terang, kau tak pernah tahu, Illy hanya memandangimu yang
pulas di sampingnya (Oh Lili, takkah kau iba kepadanya?); kau tak pernah
sadar bahwa kau tak pernah punya waktu untuk bertarung dengannya di
dalam kelambu brokat tembus pandang; kau juga tak pernah tahu, akhirnya
Illy melampiaskan gairah kepada kesepiannya, kepada yang tiba-tiba
meluangkan waktu untuk mendengar curhatnya, kepada yang tiba-tiba
mendengarkan setiap keluh-kesahnya, kepada yang selalu memberi
pertimbangan perihal usaha yang akan ia buka, kepada yang selalu memberi
kenikmatan tak tertanggungkan tanpa harus berlaku sepertimu dulu:
menerapkan kamasutra yang aneh-aneh lalu menganggurkannya sekian lama
hingga saat ini!
Kau sangat kejam, Lili!
***
PAGI itu, kau tergesa-gesa mengunyah nasi goreng masakan Illy
ketika ponselmu berdering nyaring. Direktur memintamu ke kantor lebih
awal. Ada rapat mendadak dengan klien di perusahaan. Tanpa banyak
ba-bi-bu, kau-oke-kan saja. Kautinggalkan sarapan yang baru kaulahap dua
sendok. Terburu-buru kauambil segelas sirup-sunkis dan meminumnya
seperempat isi. Setengah berteriak kaupamit. Kaututup pintu serampangan.
Menuju Avanza yang baru selesai dicuci Illy pagi tadi. Tak sampai dua
menit, mobil metalik itu sudah membawamu menyusur jalanan yang bingar
oleh perang klakson.
Di kantor, kau akan mendampingi laki-laki flamboyan yang kaupanggil
“Pak Direktur” untuk mengikuti rapat yang akan dimulai satu jam lagi.
Kau tahu kalau laki-laki itu sudah lama menaruh hati kepadamu. Namun kau
mengabaikannya saja. Tentu saja kau tidak menunjukkanya. Kau masih
cukup cerdas memilih; kapan melengkungkan senyum, kapan mengejek
ketakberdayaan pimpinan. Kau selalu pandai berkilah bila rekan-rekan
kantor (khususnya yang wanita) kerap mengolok-olokmu. Kepada mereka
kaunyatakan bahwa kau memang tak membantah perihal Pak Direktur yang
sangat perhatian, namun kau menolak dikatakan mendapatkannya dalam porsi
lebih, apalagi dengan cara yang tak semestinya.
Pak Direktur hanya ingin menunjukkan bahwa karyawan yang baik akan mendapat tempat yang lebih layak, ujarmu sok bijak.
Kau terenyak mendapati berkas-berkas di dalam mapmu. Ada yang kurang.
Kaulirik arloji mungil yang melilit pergelangan tangan kirimu. Tiga
puluh menit lagi rapat akan dimulai. Kauminta izin keluar sebentar. Pak
Direktur menunjukkan air muka keberatan. Namun senyum manis yang
kausunggingkan, seolah-olah meyakinkan pimpinan perusahaan itu bahwa kau
akan kembali sebelum rapat dibuka. Ya, tentu saja tak kaukatakan bahwa
kaupulang mengambil beberapa nota kesepakatan yang akan ditandatangani
klien perusahaan di akhir rapat.
Kaunyalakan mobil. Kautarik napas agak panjang sebelum menginjak
pedal gas. Kau akan mengemudi dalam kecepatan tinggi. Mobil melaju.
Cepat. Kaupasang konsentrasi tinggi. Mobilmu meliuk dengan mulus di
beberapa simpang dan jalan yang tak rata. Baru kali ini kaudapati bukti
bahwa keadaan genting dapat melecutkan keberanian hingga beberapa kali
lipat.
Kaubunyikan klakson beberapa kali namun Illy tak kunjung membukakan
pagar. Kau pun kesal. Kauturun dari mobil. Kau menggeret pagar dengan
muka kusut. Kauparkir mobil sekenanya di halaman (sebenarnya bisa saja
kau memarkirkan mobil di depan pagar tapi kaukhawatir ada mobil lain
yang akan melintas di jalan kompleks yang sempit itu). Kau menarik
gerendel pintu depan dengan gerakan malas. Kaubanting pintu. Kaugegas ke
ruang kerja. Kau membuka lemari yang biasa kaugunakan untuk menyimpan
berkas-berkas kantor. Sembari memeriksa berkas-berkas yang belum juga
ditemukan, kau memanggil-manggil suamimu. Tentu saja kau bukan hendak
meminta bantuannya untuk mencarikan beberapa map penting karena ia
memang tak tahu apa-apa tentang pekerjaanmu. Kau hanya ingin memastikan
bahwa suamimu ada di rumah. Kau hanya ingin tahu mengapa ia tidak
mengunci sekaligus membukakan pagar dan pintu untukmu… mengapa ia
mengabaikanmu!
Praaanggggg!!
Kau menoleh. Vas bunga kristal yang dihadiahkan Pak Direktur di hari
ulangtahunmu beberapa bulan yang lalu, tersenggol siku tanganmu. Pecah.
Beling-beling berserakan di lantai. Kau makin kesal. Mulutmu mulai
merunyam. Beberapa kali kaupanggil suamimu dengan berteriak. Tak juga
ada tanggapan. Ponselmu berdering. Nama Pak Direktur mengedap-kedipkan
layarnya. Irama degup jantungmu mulai timpang. Butir-butir keringat
berebutan menerobos pori-pori kulitmu. Kau menarik napas panjang sebelum
memutuskan menjawab panggilan.
Klek!
Perasaan lega dan khawatir bertabrakan dalam dadamu ketika mendapati
panggilan terputus sebelum sempat kaujawab. Kaugegas menekuri lemari
berkasmu. Ups! Matamu berbinar cerlang. Kau akhirnya menemukan apa yang
kaucari. Kau melirik arloji di tangan. O, rapat pasti baru saja dimulai,
gumammu. Kau tahu, Pak Direktur pasti marah. Tapi memilih
mendampinginya tanpa berkas yang harus ditandatangani, tentu dapat
membuatmu terdepak dari posisi nyaman.
Baru saja hendak menuju pintu, kau mendengar suara dari arah kamarmu.
O, suara itu memang berasal dari sana. Dan suara itu. O, benarkah suara
itu benar-benar dari kamar? Itu suara suamiku, batinmu bergetar. Suara
itu, suara itu, desahan itu, desahan yang menggambarkan kenikmatan yang
tengah didaki.
Benarkah desahan itu memanggil-manggil namaku, batinmu menggigil.
Bahumu turun-naik. Perasaanmu benar-benar tak tentu. O, tidakkah
kausadar, sudah lama nian kau tidak membuat suamimu mengeluarkan
suara-suara yang meremangkan gairah? Dan kini…. O kini, kepalamu
bergasing demi menerka siapa yang telah membuat suamimu sebergelora saat
ini!
Kau bersijingkat mendekati pintu kamar. Pelan-pelan kaubuka pintunya
yang tidak terkunci. Kau mengintip. Awalnya kausipitkan sebelah mata
sebelum akhirnya tanpa kendali kaubelalakkan kedua indera penglihatanmu
itu. Kau berteriak sembari berlari menuju suamimu yang bergeliat di atas
seprei ranjang yang kusut.
Paaakkkk!
Sebelah tanganmu terasa berdenyar sehabis menampar sebelah pipi laki-laki yang sedari tadi sibuk memegangi kelaminnya sendiri!
Illy pun terkesiap tak alang kepalang. Refleks ia bangun, mengeret
tubuhnya ke pojok ranjang, lalu meraih selimut untuk menutupi
kemaluannya. Ia benar-benar malu dengan apa yang baru saja terjadi. Kau
pun memandanginya dengan tatapan iba. Sekujur tubuh suamimu simbah oleh
keringat.
Tampaknya kau benar-benar merinduiku, Sayang… ujarmu seperti bergumam. Suaramu seperti merasa sangat berdosa.
Illy masih menggigil. Ia seperti remaja yang habis digagahi tiga
orang sekaligus. Tatapannya kosong. Ia terus memanggil-manggil namamu.
Kau tak kuasa meneteskan airmata. Kau seolah baru sadar telah
mengabaikan suamimu lebih dari setahun belakangan.
Kaulepaskan stiletto-mu. Kaunaik ke atas ranjang. Kaupeluk
suamimu seolah menenangkan seorang anak kecil yang habis dihajar ayah
tiri. Kaurapat-rapatkan dadamu ke wajahnya dan ia terus saja
memanggil-manggil namamu.
Aku di sini, Sayang, ujarmu lagi dengan nada menenangkan seraya
melepaskan syal yang melilit lehermu. Aku juga sangat merinduimu,
lanjutmu dengan wajah penuh rona. Kini, kaulepaskan semua yang menutupi
tubuhmu. Kaupikir, bercinta dengan suamimu siang itu adalah salah satu
cara untuk mengakui kealpaanmu selama ini. Kau seperti mendadak tak
peduli pada rapat di kantor yang akan segera berakhir. Kau tak tahu
kalau suamimu benar-benar bingung apa yang tengah dihadapi. Sungguh, ia
ingin melanjutkan percintaan denganmu, perempuan yang menggiring
jemarinya mencumbui selangkangan sendiri….
Gubrraaakkk!!
Tendangan kaki kanan Illy membuatmu terjerengkang dari atas ranjang.
Tubuhmu berguling-guling di lantai. Kaurasakan banyak kunang-kunang
mengitari kepala. Pelipismu meneteskan cairan marun kental. Samar-samar
kaulihat Illy meraih tembikar seukuran tubuh bayi dan… o o o, ia
mengarahkannya ke arahmu, ke kepalamu!
Kau tak sempat berteriak, seolah membiarkan deringan ponsel dalam tas
kerjamu (nama Pak Direktur mengedap-kedipkan layarnya) membisingkan
siang itu, seolah membiarkan kematian datang bersama ketaktahuan yang
mengenaskan:
Yang Illy inginkan bukan Lili, tapi Lily! (*)
Tabarenah, April-Juni 2012
Benny Arnas, lahir dan tinggal di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Buku cerita pendeknya adalah Bulan Celurit Api (2010) dan Jatuh dari Cinta (2011). Bersama sang istri, mengelola BENNY INSTITTUTE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar