Cerpen Isbedy Stiawan ZS
Terbit di Jawa Pos, 25 November 2012
BRC - CINTA
Betapa tua usia cinta. Tak terjelaskan oleh hitungan: angka-angka.
Semenjak Tuhan ingin dicintai dan disembah oleh manusia, Dia jadikan
seorang lelaki yang kemudian diberinya nama Adam.
Tuhan menghendaki dari tubuh Adam ini mengalir cinta, kasih sayang,
dan juga—tentu pula—benci dan dendam. Cuma untuk melahirkan dan
mengalirkan cinta itu, mesti ada kawan. Maka diciptakan lagi seorang
teman bagi Adam, yaitu seseorang berkelamin perempuan. Namanya Hawa.
Hawa dicipta bukan dari tulang rusuk lelaki—yaitu Adam—seperti kerap
kalian dicekoki selama ini. Tuhan tak perlu harus mencopot satu tulang
rusuk Adam hanya untuk mencipta Hawa. Apa guna kun fayakun-Nya?
Setelah kedua manusia pertama itu dicipta, mulailah benih-benih cinta
tumbuh di dalam tubuh mereka. Mengalir bagai air, berkecambah layaknya
biji. Lalu mengakar dan menjadi pohon. Pohon cinta.
Karena cinta, Tuhan memerintahkan kedua makhluk manusia itu menempati surga. Alangkah indahnya taman eden itu.
Betapa kalian tak perlu bekerja banting badan, memutar tubuh, mengubah
letak kaki menjadi tangan dan sebaliknya. Di taman surga, segala sudah
tersedia.
Buah-buah anggur nan manis, apel dan lezat. Bahkan pula, sungai yang
di dalamnya sebagaimana dikatakan Chairil Anwar: mengalir susu.
Bayangkan, kalian tak perlu ke luar surga jika hendak meminum susu.
Apatah lagi menginginkan daging, tentulah sudah tersedia.
Bahkan, tak kalian lihat perempuan dan lelaki menjadi tua-keriput.
Para wanita adalah bidadari, sedangkan lelakinya ialah pangeran nan
tampan. Para ustad akan menggambarkan kira-kira seperti itu di hadapan umatnya.
Itulah cinta Tuhan kepada Adam dan Hawa. Dia tempatkan kedua manusia
pertama hasil perdebatan-Nya dengan malaikat dan iblis saat-saat
berencana mencipta manusia untuk menjadi “wakil-Nya” di muka bumi. Untuk
sementara kedua pasang manusia itu digodok di dalam surga, sebelum
menjalani kehidupan yang sesungguhnya di bumi.
Sudah suratan, Adam dan Hawa tergoda rayuan iblis. Setan memang
mendapat lisensi untuk bisa mendengar yang paling rahasia sekalipun di
langit. Maka karena Adam dan Hawa boleh hidup sesukanya di surga, hanya
satu catatan usah dekati (bayangkan, hanya mendekati!) salah satu pohon
yang tumbuh di dalam surga, apatah lagi memetik buahnya yang bernama
khuldi.
Lalu iblis merayu Adam. Dia tak tergoda, sebab Adam mencintai Tuhan
yang telah menciptakannya. Maka iblis tak habis rayu. Didekati Hawa. Dia
bisikkan ke telinga perempuan, yang konon ditakdirkan memiliki perasaan
lebih besar ketimbang perhitungan akal, bahwa pohon itu tak masalah
kalau hanya didekati.
Lalu Hawa mendekati. Adam melarang tersebab cinta. Dibujuknya sang
kekasih itu agar jangan mendekat apa yang telah dilarang Tuhan.
“Pohon ini indah sekali, aku takjub. Buahnya amat memesona,” ujar Hawa makin mendekati pohon itu.
Dan iblis makin melancarkan tipudayanya. Dibisikkan lagi ke telinga
kiri Hawa: sekiranya buah itu dipetik lalu segera makan, abadilah kalian
berdua di surga ini. Untuk apa menetap di bumi, jika apa yang
kami—iblis, malaikat—nuzumkan akan terjadi pertumpahan darah? Apakah
tidak ingin kalian tinggal di sini hingga kiamat, tanpa bekerja keras
untuk menghidupi diri dan keturunan sebagaimana jika berada di bumi?
Hawa kian mabuk oleh rayu-bujuk. Dia dekati teman hidupnya, dia
katakan kalau yang diuapkan makhluk asing itu benar adanya. Siapa pun
mau hidup abadi, tak mengalami kematian, menetap bahagia berlimpah buah,
makanan, serta minuman.
Adam mulai mengerjap-ngerjapkan matanya. Lidahnya keluar masuk, jakunnya naik turun, ludahnya mengences. Ingin sekali rasanya mencicipi buah dari satu pohon yang Tuhan larang itu.
Kisah Adam dan Hawa adalah karena cinta. Mereka dikeluarkan dari
surga lalu diturunkan ke bumi secara berpisah, juga agar keduanya
menemui cintanya. Di Bukit Rahma, setelah beratus-ratus tahun sejak
keduanya diturunkan bisa bertemu.
Bukit Rahma atawa “bukit cinta” yang kemudian menjadi simbol
bagi pertemuan seluruh jamaah haji (juga umroh) untuk bermalam. Di
Padang Arafah untuk berwukuf, sebelum melempar jumroh.
***
KECANTIKAN
Beruntunglah aku dilahirkan menjadi perempuan cantik. Bersyukurlah
aku dititahkan untuk memimpin sekumpulan orang di wilayah ini. Tetapi,
berwajah cantik tanpa memiliki cinta, adakah hidup menjadi gempita?
Namaku Rindang Sedayu. Rambutku memanglah rindang layaknya tubuh
cemara. Aku ayu atau dayu, maka kedua orang tuaku menyebutnya Sedayu.
Di kelompok semendo ini akulah ratu. Aku memimpin rakyatku penuh
bijaksana dan lemah lembut. Namun aku tegas dan keras di hadapan
kerajaan lain ataupun lawan. Aku sakti. Itu sebabnya, aku berani menetap
di Canguk [1] bukan di tanah orang semendo, yakni Sumatera Selatan.
Tetapi, benarkah kami tak punya tanah kelahiran sehingga berpindah ke
dekat arus Way Abung [2]? Lalu menetap, mungkin, hingga turun-temurun.
Orang Semendo juga mendapat tanah untuk berkebun, terutama kopi,
cengkih, dan lada.
Kami diterima di daerah ini dan memiliki kampung. Cuma bukan
sebagaimana kaum Yahudi yang mencaplok tanah Palestina setelah
berpindah-pindah dari berbagai negara!
Kalau ditanya apakah kami orang Lampung? Kami akan mengangguk, sebab
kami meminum dan mencari makan dari tanah Lampung. Namun, darah yang
mengalir di tubuh kami tetaplah darah Semendo.
Dan! Asimiliasi juga berlangsung. Orang Semendo bisa menikah dengan
orang Lampung. Begitu sebaliknya, orang Lampung mengambil perempuan
Semendo. Walaupun kadang perkawinan ini diawali dengan ketidaksetujuan
di dua pihak keluarga.
Aku Rindang Sedayu. Seluruh pria di daerah ini terpesona pada
kecantikanku. Negeri tetangga baik yang jauh ataupun dekat, juga memuji
parasku dan ingin menjadikan aku sebagai isteri.
Tidak kecuali, Minak Trio Diso. Pangeran dari lereng Canguk. Dia amat tergila-gila, ingin menyuntingku menjadi permaisurinya.
O tidak! Aku adalah ratu bagi orang-orang Semendo di Canguk ini.
Kedudukanku setingkat dengan Minak Trio Diso. Apa kata warga Semendo
jika aku menjadi permaisuri Trio Diso? Keratuan Semendo di sini akan
hilang. Titah keratuan tidak bisa diturunkan kepada anak-anak cucuku.
Putus tali titah.
Sebagai perempuan nan cantik sekaligus ratu bagi orang Semendo di
Canguk ini, tak heranlah banyak pria ingin menyuntingku. Mereka hendak
kepercik anugerah. Ingin dipandang tak sebelah mata oleh masyarakat
lantaran beristri seorang Ratu.
Kehadiran kami di Canguk dianggap membawa permusuhan, terutama dari
orang-orang Minak Trio Diso. Itulah muasal permusuhan di antara kami.
Pertikaian kerap berlangsung, baik siang maupun malam. Perang di lereng,
di bukit, atau di dekat aliran Sungai Abung.
Darah mengaliri way. Mayat bergelimpangan di hutan, di ladang, di tepi sungai, ataupun di lereng dan bebukitan.
“Kita datang jauh-jauh dari Selatan. Hutan sudah kita masuki dan
keluar, sungai kita susuri bersampan, binatang buas ditundukkan, serta
alam yang mengancam kita tekuk di kaki. Apakah harus menyerah di Canguk
ini di tangan mereka?” kataku pada hulubalang.
Hulubalang berseru: “Tidak!”
“Kita datang dan menempati lahan ini untuk berhuma. Kita ditakdirkan
oleh alam mesti hidup dan beranak-cucu di daerah ini, lalu bolehlah
menyebar menuju lahan kosong yang baru. Kenapa pula kita harus kalah?”
lanjutku.
“Segala jiwa dan tenaga kami, untuk puan Rindang Sedayu….” balas hulubalang dan masyarakat.
Maka kami tetap bertahan di Canguk. Tak seinci tanah pun kami mau
mundur. Jika Minak Trio Diso datang menyerang, parang-parang kami akan
menghadang. Apabila Minak Trio Diso menyerbu wilayah kami, kaki-kaki
kokoh bagai kaki kuda dan siap memuntahkan debu.
Memang Minak Trio Diso tak bisa dipandang remeh. Dia sakti
mandradiguna. Tuturkatanya mampu menidurkan orang. Sekali erang,
badiknya [3] bagai kilat mendarat di badan musuh. Hentakkan bagaikan
tendangan kuda jantan yang lapar: sekali tendang musuh bisa terbang ke
seberang way.
Perawakan Minak Trio Diso tinggi besar. Urat badannya menonjol
seperti sebentang kawat. Dan ototnya keras, kulitnya putih sebersih
sutera. Tiada berminyak.
Selain itu, Minak Trio Diso tampan wajahnya. Perempuan mana tak akan jatuh dalam pelukannya karena pesonanya?
Aku mengakui itu. Aku terpesona.
Ah, tidak! Tak sudi aku besuami dia, meski akan jadi permaisurinya.
Apalagi seluruh keluargaku tak merestui jika aku disuntingnya. Terutama
kakak-kakaku menolak. Mereka siap berkubur tanah untuk mempertahankan
diriku.
“Aku siap bertarung dengan Minak Trio Diso. Kalah atau menang, kamu
tetap tak boleh menjadi isterinya. Apa kata rakyat Semendo, Rindang
Sedayu mau dipersunting orang Canguk? Ini memalukan, jauh-jauh dari
seberang hutan namun kalah di sini dengan orang sini?” kata kakak
tertuaku yang diaminkan kakak kedua.
“Kecantikanmu, Ananda, bisa mendatangkan raja dari Malaya sekalipun….” bisik ayahanda.
Ibunda ikut berujar: “Kau putriku satu-satunya, cantik pula. Rindang
Sedayu ditakdirkan menjadi pemimpin bagi orang Semendo. Tak baik
mengelak dari takdir….”
***
MUSYAWARAH
Dan perang tak juga henti. Kedua belah pihak tak ikhlas melucuti
senjata masing-masing. Canguk cekam. Way Abung mencatat setiap mayat
hanyut dan darah mengalir.
Warna daun bercampur merah. Tanah basah. Udara gerah. Badik dan parang menari dan bergemirincing.
Kedua belah pihak sudah sangat lelah. Tetapi keduanya tak ada yang
mau mengalah. Badik telanjur diacungkan, pantang masuk sarung sebelum
ada yang bergulung di tanah. Begitu pula parang sudah disiapkan, tak
boleh disimpan kalau tak ada yang bersimbah di bumi.
Akhirnya aku tak bisa menolak, ketika Minak Trio Diso mengutus orang
untuk menemuiku. Utusan Minak Trio Diso yang berjumlah lima orang
menyerahkan badik dan sarungnya, dan bawaan tangan lainnya: buah, sayur,
padi, dan lain-lain.
“Kami datang ke mari atas perintah Minak Trio Diso, tak lain untuk
menyampaikan harapan untuk sebuah pertemuan. Jikalah puan Rindang Sedayu
berkenan, esok bertemu di tepi Way Abung….”
“Apa gerangan yang diinginkan Minak Trio Diso, wahai tuan-tuan utusan Minak?”
“Menyelesaikan pertikaian, menyudahi permusuhan….”
“Apakah patut pertemuan itu? Adakah muslihat di baliknya?” tanyaku curiga.
“Tiada puan Rindang Sedayu. Hamba tak mampu menyelam dalamnya hati Minak Trio Diso….”
“Baiklah, besok aku datang. Ini semua aku terima,” kataku sambil
memerintah orang membawa masuk bawaan tangan utusan Minak Trio Diso.
***
BERSAMPAN
Tidak jauh dari Way Abung pertemuan digelar. Sungguh, hatiku bergetar
manakala menatap mata Minak Trio Diso. Aku tertunduk-sipu. Minak Trio
Diso semakin menghunjam pandangnya. Menyapu dari rambut, kening, mata,
hidung, pipi, bibir, dagu, dada, hingga ke ujung jemari kakiku.
Wow, aku nyaris jatuh tak sadar. Betapa benar banyak cerita, bahwa
Minak Trio Diso memang tampan rupawan. Rambutnya hitam dan tidak panjang
tak juga pendek. Perawakannya kekar-tegap dan besar.
Dadaku berdegup kencang.
Aku lawan tatapannya. Minak Trio Diso menunduk. Aku menunggu ia
berkata, namun bibirnya semakin mengatup. Suasana mulai terasa gaduh.
Mungkin mengira aku dan Minak Trio Diso akan beradu tanding.
Dia mendekat. Aku diam. Semakin dekat. Aku tak bergerak.
“Aku mengundangmu ke sini, karena aku ingin mengutarakan isi hatiku….”
“Apakah itu?”
“Aku menginginkan kau jadi isteriku. Jadi ibu dari anak-anakku yang akan melahirkan anak-anak keturunan Abung….”
Aku tak mampu berkata apa-apa.
Kakak-kakakku berang. Mereka ingin menarik tubuhku ke belakang. Orang
tuaku juga maju ke depan, namun tak mampu menyentuh badanku.
Entah aku menyukai Minak Trio Diso ataukah menolak keinginannya. Tak mampu kuceritakan kepada siapa pun.
Aku sadar ketika kami bersampan mengikuti aliran air Way Abung hingga
ke suatu tempat [4] lalu menetap cukup lama di daerah baru ini.
Minak Trio Diso membawa lari aku untuk kemudian menjadikan aku
isterinya. Lalu lahirlah anak-anak dari rahimku. Anak-anak yang terlahir
dari sebuah pertikaian, dan berakhir tanpa bermusuhan.
Bayangkan, Saudara, orang Semendo dinikahi oleh orang Abung. Dari
dendam, bermusuhan, saling tikam. Akhirnya menyatu dalam rumah tangga
yang besar: masyarakat Abung [5] yang terbuka bagi setiap pendatang.
Adalah keluargaku, terutama kakakku, tetap menaruh dendam pada Minak
Trio Diso. Hanya kukatakan padanya: “Untuk apa dendam, bila Minak Trio
Diso sudah menjadi bagian keluarga kita. Pernikahanku dengannya untuk
menyudahi permusuhan dan dendam yang akan merugikan seluruh orang di
sini….”
Di Canguk kami kembali setelah bertahun-tahun lamanya. Membuka lahan
menjadi hunian. Menurunkan anak keterunan dari percampuran dua suku:
Lampung dan Semendo.
Suamiku meninggal dan makamnya berada di lurah, sedangkan jasadku
dimakamkan di atas bukit. Sebenarnya kedua makam kami tak berjauhan,
namun terasa amat berjarak karena ketinggian dan tertutup oleh
belantara. [6]
Way Abung airnya jernih. Banyak bujang gadis berbasuh di airnya, setiap pagi ataupun petang. Canguk pun menjadi ramai…. [7]
***
CINTA
Betapa tua usia cinta. Tak terjelaskan oleh hitungan: angka-angka.
Semenjak Tuhan ingin dicintai dan disembah oleh manusia, Dia jadikan
seorang lelaki yang kemudian diberinya nama Adam.
Tuhan menghendaki dari tubuh Adam ini mengalir cinta, kasih sayang,
dan juga—tentu pula—benci dan dendam. Cuma untuk melahirkan dan
mengalirkan cinta itu, mesti ada kawan. Maka diciptakan lagi seorang
teman bagi Adam, yaitu seseorang berkelamin perempuan. Namanya Hawa.
Aku Rindang Sedayu keturunan Semendo, dinikahi Minak Trio Diso
puyangnya orang Lampung Abung. Kami berladang sekaligus membangun
kampung di Canguk, beberapa tahun setelah aku dilarikan Minak Trio Diso.
“Sudah lama aku menaruh hati padamu, Dinda, namun pertikaian antara
kita selalu menggagalkan niatku memperisterimu….” kata suamiku suatu
malam.
“Aku pun sudah tahu lama bahwa kakanda adalah lelaki tampan rupawan.
Tetapi akan hina jika perempuan lebih dulu menyatakan cinta….” balasku.
Malam terus menjelma runcing. Begitu hening…. (*)
Lampung, 29 Agustu 2012
--------
Keterangan:
[1] Nama daerah di Kecamatan Abung Tinggi, Kotabumi, Lampung Utara.
[2] Way dalam bahasa Lampung berarti sungai. Sungai Abung berada di
Kecamatan Abung Tinggi, tak jauh dari Simpang Asam Kecamatan
Bukitkemuning, Lampung Utara.
[3] Senjata orang Lampung, sejenis pisau namun lebih besar.
[4] Tidak dijelaskan apa nama daerah yang dituju Minak Trio Diso saat
membawa lari Rindang Sedayu ini, namun diperkirakan Kotabumi. Adat
membawa lari gadis ini masih berlaku hingga sekarang bagi masyarakat
Lampung Abung (Pepadun).
[5] Menurut catatan, orang Lampung Abung bermula dari Canguk dengan
nenek moyangnya Minak Trio Diso-Rindang Sedayu kini menjadi orang
Lampung asli di Kotabumi, Lampung Utara.
[6] Makam yang diyakini masyarakat sebagai makam Minak Trio Diso dan
Rindang Sedayu masih bisa disaksikan di Canguk, Kecamatan Abung Tinggi,
Kabupaten Lampung Utara. Dari Kotabumi ke daerah ini memerlukan waktu
dua jam lebih.
[7] Masyarakat, khususnya orang Simpang Asam, mengenal canguk dengan
sebutan Puyang Canguk. Dan untuk referensi bagi cerpen ini saya peroleh
dari Sam’an Ce, warga Canguk bersuku Semendo, yang pernah merenovasi
kedua makam tersebut. Dia banyak mendapat cerita dari juru kunci Makam
Minak Trio Diso, juri kunci ini kini sudah meninggal dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar