Cerpen Aris Kurniawan (Suara Merdeka, 25 November 2012)
KAMI tengah menggelar upacara membangkitkan roh orang mati.
Pada malam Jumat Kliwon itu kami keluar dari rumah kami membawa kembang
dan wewangian, berjalan dengan langkah lesu lantaran perut kosong,
menyusuri jalan desa yang kering dan pecah-pecah. Cahaya bulan kebiruan
dan dengung serangga memandu langkah kaki kami yang tak bersandal. Kami
memang begitu miskinnya sampai sandal pun kami tak punya.
Di rumah duka yang menyerupai gua di pinggang bukit tenggara desa itu
kami berkumpul, melepas baju dan celana kami lantas duduk melingkari
jenazah Sakinah, kepala desa sekaligus dukun yang pada masa mudanya juga
menjadi sinden kondang. Jenazah Sakinah terbujur mengenakan busana
panggung lengkap.
Meski telah mati hampir seratus tahun lalu, jenazah Sakinah masih
utuh. Sepasang matanya terkatup damai dengan bibir menyunggingkan senyum
penuh keramahan sekaligus mengundang berahi. Sekujurnya masih tetap
memancarkan kecantikan yang tidak dimiliki perempuan mana pun di desa
kami.
Dipimpin tetua desa, kami merapalkan doa-doa memohon kepada penguasa
alam roh untuk memanggil roh Sakinah dari alam keabadian. Kami, 15 warga
desa terpilih, berjam-jam duduk merapalkan doa-doa penuh khusyuk.
Nyamuk-nyamuk dengan ganas menggigiti tubuh kami yang hanya mengenakan
cawat. Aroma kemenyan yang memenuhi udara serta suara menggeremeng dari
mulut kami yang merapalkan doa menciptakan suasana mencekam.
Tetua memberi isyarat supaya kami berhenti merapalkan doa. Suasana
hening beberapa lama sebelum kemudian sang tetua bersuara lantang dan
bergetar. “Wahai penguasa alam roh, bangkitkanlah roh Sakinah, putri
kami, kami membutuhkan pertolongannya untuk mengatasi bencana yang
tengah melanda desa kami,” seru tetua dengan nada meratap.
Dinding-dinding rumah dan perbukitan serta batang-batang pohon
memantulkan suara parau tetua. Baru kali ini kami mendengar tetua
meratap penuh kepiluan.
Desa kami memang tengah dilanda bencana besar yang sangat
menyengsarakan kehidupan kami. Kemarau panjang membuat tanah dan
sawah-sawah kering kerontang tak bisa ditanami padi dan tanaman palawija
apa pun. Sementara pohon-pohon mangga dan pohon buah-buahan lainnya
diserbu hama yang menggugurkan semua daun-daunnya, hingga hanya tersisa
dahan-dahannya yang rapuh. Tak ada lagi yang dapat kami makan selain
singkong yang terus menyusut. Kami tak tahu mesti ke mana mengadukan
beban derita kami.
Ketika kami datang kepada kepala desa kami, ia menyambut kami dengan
tatapan hampa campur geram dan ingin mengusir kami seakan kami adalah
makhluk menjijikkan yang merusak napsu makannya. Ia mencurigai
kedatangan kami. Menganggap kami sedang berupaya untuk mempermalukan
dirinya sebagai langkah pertama untuk merontokkan jabatannya sebagai
kepala desa.
“Apa yang kalian inginkan dari saya?” begitulah kepala desa kami
balik bertanya dengan suara menghardik. Para tukang pukul kemudian
merubung kami. Mata mereka jelas sekali meminta kami lekas angkat kaki
jika tidak ingin dipukul dengan kepalan tangan mereka yang kekar dengan
jari-jari mengenakan batu cincin.
“Kami lapar, Pak Kades. Tak ada yang bisa kami masak di rumah?” kata salah seorang dari kami yang berani.
“Jadi, saya harus memberi kalian beras?” bentak Pak Kades seraya
menggebrak meja. Begitu kerasnya ia menggebrak meja sampai cangkir kopi
terguling tumpah.
Manakala kawan yang pemberani itu hendak menyahut, terdengar suara
buk-buk. Sebuah bogem mentah yang dilancarkan tukang pukul langsung
menjungkalkan kawan kami yang pemberani itu. Kami tahu sebenarnya dia
bukanlah pemberani. Hanya perasaan putus asa yang membuatnya nekat.
Dengan hati terkoyak kami pulang sambil memapah kawan pemberani yang
tak mampu berdiri tegak lantaran pukulan yang tepat mengenai ulu
hatinya. Mulutnya mengeluarkan erangan memedihkan. Perut kami yang
keroncongan membuat langkah-langkah kami terasa berat dan terseok seakan
menyeret beban puluhan kuintal. Ketika kami membuka baju kawan
pemberani itu untuk memeriksa keadaanya, dadanya terlihat memar membiru.
Kepalan tangan tukang pukul yang mengenakan cincin bermata batu itu
membekas jelas di dada kawan kami yang kerempeng. Beberapa tulang iganya
patah.
Malamnya kawan kami itu benar-benar jatuh sakit, terkapar, tak mampu
bahkan sekadar duduk. Suhu tubuhnya naik, napasnya tersengal. Esoknya ia
mati. Kami menguburkannya hari itu juga di permakaman desa tanpa
upacara. Sebagian kami menghibur istri dan anak-anaknya yang terus
menangis tanpa air mata karena memang air mata kami telah kering
terhisap derita yang timbun menimbun. Saban hari selalu saja ada warga
kami yang mati, baik karena dipukul para tukang pukul maupun akibat
derita lapar.
Hanya kepada tetua desalah kami dapat mengadukan derita kami. Namun,
untuk datang kepada tetua kami pun kami harus sembunyi-sembunyi. Siang
dan malam tukang-tukang pukul Pak Kades berkeliaran di seantero desa
untuk memantau kegiatan kami. Mereka akan segera membubarkan kami jika
melihat kami berkumpul. Hanya di rumah tetua desa mereka tak berani
membubarkan kami. Maka mereka akan segera mencegat kami ketika melihat
kami hendak masuk dan keluar dari rumah tetua desa.
Tetua desa hanya dapat meminta kami untuk bersabar dan terus berdoa melihat ulah para begundal itu.
“Kami tak pernah berhenti berdoa, ya tetua, tapi keadaan terus
memburuk. Sebentar lagi jumlah kami habis lantaran mati kelaparan.
Sampai kapan kami berdoa? Sampai kami semua mati?”
Begitulah, setelah mendengar pengaduan derita kami yang
terus-menerus, tetua desa kami akhirnya mengajak kami mempersiapkan
upacara membangkitkan roh Sakinah. Tetua desa memilih 15 orang di antara
kami untuk ikut upacara yang dilakukan pada malam bulan purnama. 15
orang di antara kami diminta melakukan persiapan guna memenuhi syarat
lancarnya upacara.
***
KONON, menurut orang-orang tua kami, dulu Sakinah adalah
pendiri desa kami yang terletak di lereng perbukitan ini. Dialah yang
membuka hutan, membangun permukiman, dan membuat sawah untuk bercocok
tanam. Perempuan itu pula orang pertama yang menjadi kepala desa kami.
Kepala desa yang sangat bijaksana dan melindungi warganya dengan penuh
kasih sayang. Dia akan memberikan padi miliknya kepada warga yang
kehabisan pangan. Bahkan dia yang mencarikan jodoh bagi warganya yang
cukup umur untuk menikah.
Bahkan membantu membiayai pernikahan mereka. Menengahi setiap ada
pertengkaran yang terjadi di antara kami. Turun langsung bersama seluruh
warga untuk membangun desa. Kami pun hidup dalam ketenteraman dan
kebahagiaan meski tanah desa kami tidak terlalu subur. Itulah sebabnya
Sakinah sangat dicintai seluruh warganya.
“Kami sangat menaruh hormat kepada Sakinah meski sepanjang hidupnya
ia tidak pernah menikah dengan laki-laki,” begitulah cerita orang-orang
tua kami. Sakinah hidup ditemani pembantu-pembantunya yang semuanya
perempuan dan cantik-cantik. Kami tak pernah bertanya kepada orang-orang
tua kami mengapa Sakinah tidak menikah padahal ia memiliki paras yang
cantik serta pembawaan yang lembut.
Dalam setiap hajatan pernikahan warganya, Sakinah selalu hadir
sebagai saksi sekaligus sinden yang menyemarakkan hajatan pernikahan
warganya tanpa bayaran sama sekali. Suaranya merdu membuai hati siapa
pun yang mendengarnya. Sayang sekali, umur Sakinah tidak terlalu
panjang. Ia meninggal pada usia 50 tahun dengan penyebab yang misterius
hingga sekarang. Orang-orang tua kami menduga Sakinah disantet kepala
desa tetangga yang merasa sakit hati lantaran pinangannya ditolak
Sakinah. Saat meninggal tubuh dan wajah Sakinah terlihat lebih muda.
“Seperti gadis belasan tahun,” tutur orang-orang tua kami.
Sebagai penghormatan, para tetua desa kami tak menguburkan jasad
Sakinah. Mereka mengawetkan jasad Sakinah di dalam peti yang kami simpan
di tempat yang kami jaga baik-baik. Kami percaya roh Sakinah akan
selalu menjaga dan mengawasi kami.
Apabila kami menghadapi bencana seperti diserbu hama yang memakan
panen kami kepadanyalah kami mengadu dan memohon pertolongan. Begitu
sayangnya Sakinah pada kami hingga setelah mati pun ia tetap memelihara
kami.
Kini, kami kembali diadang bencana. Dari segala bencana yang pernah
mendatangi kami, inilah bencana terberat yang kami alami. Karena bukan
hanya kekeringan dan serbuan hama, tapi juga kezaliman kepala desa kami.
Kepala desa kami memang bukan berasal dari warga desa dari sendiri,
melainkan dari desa tetangga yang leluhurnya dulu ditolak pinangannya
oleh Sakinah.
***
MALAM makin meninggi. Sang tetua terus mendesis melafalkan doa
di depan jasad Sakinah yang tetap terlelap damai. Aku menggigil menahan
serbuan dingin dan mulai gelisah. Kulit kami bentol-bentol kena gigitan
nyamuk yang berpesta pora menyesap darah yang kami sendiri ragu apakah
masih ada di balik kulit kami. Aku yang paling muda di antara 15 orang
itu mulai tak kuat menahan gatal dan kantuk. Ketika aku mulai kehilangan
kekhusyukan lantaran sengatan nyamuk yang makin sengit serta dingin
yang menggigit, kulihat jasad Sakinah bergerak-gerak. Sang tetua terus
mendesiskan doa.
Jantungku berdebar-debar kencang menyaksikan pemandangan ini.
Saat tetua desa menyelesaikan doa, tangannya bergerak menyentuh
genggaman tangan Sakinah yang sedekap, tiba-tiba terdengar suara
lemparan batu sebesar kepalan tangan dari luar. Buk-buk… batu-batu
berdesingan menghantam tetua desa dan jasa Sakinah. Sebutir batu yang
tepat mengenai tengkuk tetua membuat lelaki uzur itu tersungkur ambruk
memeluk jasad Sakinah…. (*)
Gondangdia, November 2012
Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24 Agustus 1976.
Menulis cerpen, reportase, esai untuk sejumlah penerbitan. Bukunya yang
telah terbit Lagu Cinta untuk Tuhan (Kumpulan cerpen, Logung Pustaka, 2005,) Lari dari Persembunyian (Kumpulan Puisi, Komunitas Kampung Djiwa, 2007). Ayah tiga anak ini sehari-hari bekerja sebagai wartawan freelance untuk sejumlah media Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar