Sampah, Gang Tujuh dan Terbang

Cerpen Mardi Luhung

Terbit di Koran Tempo, 21 Oktober 2012




BRC - KAMPUNGKU, kampung pesisir ini dulunya adalah pantai. Pantai yang diuruk sampah. Sampah besar. Sampah kecil. Sampah keras. Juga sampah keriting. Dan sebagai pantai yang diuruk sampah, kampungku pun pernah menjadi rawa. Tempat kadal dan ular berseliweran. Serta nyamuk bertelur. Dan kata orang, di rawa itu, dulu banyak orang yang bertapa. Ada yang bertapa dengan cara duduk di pinggirannya. Berendam setengah badan. Juga memancing tanpa kail tanpa umpan. Hanya lonjoran bambu yang diikat tali. Dan talinya dicelupkan ke rawa.

Tentu saja, untuk orang yang bertapa dengan cara memancing tanpa kail tanpa umpan itu tak akan pernah mendapatkan apa-apa. Hanya kerling mata yang tak pernah pejam. Dan pikiran yang melayang-layang tanpa batas yang akan mendatanginya. Karenanya, kata orang juga, jika orang yang bertapa dengan memancing itu tak kuat, akan menjadi goyah. Semua yang dirasakan dan dipandangnya jadi terbalik. Pohon terbalik, rumah terbalik, kelok terbalik, tiang listrik terbalik. Bahkan cara berjalan pun jadi terbalik. Dan itu akan membuatnya, ketika berjalan pulang pun jadi terbalik. Yaitu mundur.

Nah, cerita tentang orang yang berjalan dengan cara mundur ini begitu sering aku dengar. Malahan, sampai kini cerita itu tak pernah bosan diceritakan di kampungku. Dan dijadikan memedi bagai anak-anak yang tak mau tidur. Padahal, hari sudah larut malam. Dan angin pantai begitu dingin menusuk. “Ayo, cepat tidur, jika tidak digondol si mundur!” Ya, begitulah hardik si ibu pada si anak. Lalu, si anak pun cepat-cepat menyungsepkan kepalanya ke balik bantal. Matanya yang tak ngantuk pun dipejam-pejamkan. Sambil tangannya tak lupa merangkul erat tubuh si ibu. Hmm, menggemaskan!

Oya, menurut orang-orang lagi, memang si mundur itu aneh. Sebab, ketika dia mundur, tak pernah menoleh sedikit pun. Rasanya, punggung dan kepala bagian belakangnya punya sinyal untuk mengira-ngira. Kapan dia mesti berbelok. Maju. Berkelit. Juga melompati batu atau lubangan jalan. Dan ketika berjalan mundur ini, dia juga kerap melambaikan tangannya. Jadinya, orang-orang yang berpapasan dengannya pun jadi takut. Merinding. Dan lari menjauh. Tapi, kira-kira siapa yang pernah bertemu dengan si mundur? Akh, ternyata, sampai kini, aku tak pernah bertemu dengan orang yang pernah berpapasan dengan dia, si mundur itu. Kebanyakan cuma berkata: “Ini menurut si anu, si itu atau si fulan….” Dan ketika dirunut lebih jauh, lagi-lagi itu cuma isapan jempol.

Tapi, meski cuma isapan jempol, cerita tentang si mundur itu sepertinya telah menjadi keyakinan di kampungku. Dan sebagai keyakinan, maka itu pun memengaruhi apa yang akan dan sedang dilakukan orang-orang yang ada. Misalnya, ketika ada yang akan pergi merantau, maka biasanya orang itu akan keluar lewat pintu belakang. Atau ketika akan membuat kenduri, maka yang dimasak pun bukan nasinya dulu, melainkan lauk-pauknya. Dan cara-cara yang terbalik semacam inilah, yang sedikit banyak juga mewarnai pertumbuhan kampungku. Pertumbuhan yang begitu pesat. Dan begitu tak terduga. Juga begitu membuat siapa saja yang turut menyaksikan menjadi geleng-geleng. Bayangkan, kampung yang semula cuma punya lima gang, kini berjumlah hampir dua puluh lima gang. Dan itu belum ditambah dengan cabang-cabang gang yang belum ternamai.

Tapi, meski gang-gangnya telah bertambah, di kampungku hanya gang tujuhlah yang dianggap paling buncit. Dan dianggap yang paling punya kelebihan. Dan ini kenapa? Aku tak tahu. Sebab sampai kini aku belum menemukan jawabannya. Yang jelas, setiap ada kemanten akan dikelilingkan, mesti memasuki gang tujuh dulu. Baru bergerak ke gang yang lainnya. Dan hal ini, sudah menjadi kepercayaan. Juga menjadi keyakinan, jika apa-apa yang akan terjadi di kampung pesisir mesti dari yang paling belakang. Alias mundur. Seperti cerita si mundur tadi. Dan anehnya, gang tujuh itulah yang dalam mimpiku dulu pernah aku datangi bersama Wak Zam dan buaya putih (Oya, oleh penduduk, Wak Zam adalah orang yang dituakan. Sebab, dianggap punya kelinuwihan. Sedangkan, buaya putih adalah makhluk jejadian yang dianggap sebagai si penjaga kampung). Dan tentang mimpiku itu, aku tanyakan pada Wak Zam di suatu sore. “Wak Zam, kenapa mesti gang tujuh?” Tapi Wak Zam tak menjawab.

Aku ulangi lagi pertanyaanku. Wak Zam tetap tak menjawab. Bahkan, ketika aku katakan tentang mimpiku yang bersamanya dengan buaya putih di gang tujuh dulu, lagi-lagi Wak Zam tetap tak menjawab. Dan aku hanya bisa menunggu. Menunggu. Dan menunggu. Dan lima belas menit ke depan, Wak Zam berdiri dari duduknya. Kopinya telah habis. Koran yang dibacanya pun dilipat. Untung saja saat itu warung sepi. Jadi, aku tak begitu jengah dengan ketakmenjawaban Wak Zam. Aku mendengus. Lalu, sambil menggerutu aku meninggalkan warung. Tapi sebelum berbelok, aku sempatkan menengok ke Wak Zam. Astaga, dari kejauhan aku melihat Wak Zam melenggang dengan sesuatu. Sesuatu yang melata. Berekor. Dan berwarna putih. Itu, itu adalah buaya putih! Aku tertegun.

Lalu lamat-lamat aku mendengar nyanyian yang merintih. Nyanyian apa dan siapakah itu? Dari manakah? Aku celingak-celinguk. Satu-dua orang berseliweran. Aku yakin, nyanyian yang merintih itu bukan berasal dari orang-orang ini. Dan ketika mendongak, ahai, aku melihat genting-genting rumah yang ada penuh dengan makhluk bersayap. Ada yang berdiri. Ada yang jongkok. Ada yang bertiduran. Bahkan ada yang mengambang sambil mengepak-ngepakkan sayapnya. Dan semua makhluk itu menyanyi. Menyanyi dengan nyanyian yang merintih tadi. Dan sepertinya, itu ditujukan ke arah seseorang. Ke siapa? Ya, jika boleh aku jawab, ternyata nyanyian yang merintih dari makhluk bersayap itu ditujukan ke arah diriku. Jadinya, aku terpukau. Aku terpukau. Antara sadar dan tidak, aku merasa tubuhku mengambang. Melayang. Terus menaik ke angkasa.

Dari angkasa, aku melihat ke bawah. Aku melihat kampungku, kampung pesisir, seperti sebuah peta yang terbuka. Peta berwarna coklat. Di sebelahnya pantai yang biru terbentang. Di antara kebiruannya itu, aku juga melihat Parto, Lek Dul, Man San dan beberapa lainnya saling bercengkerama. Sambil membetulkan jaring dan perahu. Alangkah bahagianya mereka. Dan alangkah sederhananya apa yang ada di mata, pikiran dan nyali mereka. Memang, mereka adalah nelayan-nelayan sederhana. Nelayan-nelayan yang selalu menganggap bahwa laut adalah ibu. Sedangkan, perahu dan jaring adalah ayah. Pasangan hidup yang akan terus-menerus membimbing mereka tanpa pernah bosan dan capai. Dan malam itu, sebelum aku berangkat tidur, aku masih merasa, betapa asinnya tubuhku. Tubuh yang sore tadi beterbangan di angkasa. Di atas laut yang biru. (*)


(Gresik, 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar