Sepanjang Jalan Cinta

Cerpen Irwan Kelana

Terbit di Republika, 18 November 2012




Bahan Referensi Cerpen - SEORANG lelaki tak bisa lari dari takdirnya sendiri. Ia tak bisa menolak manakala takdir cinta menghampirinya.

Delapan  tahun lalu, saat Tuhan  memanggil Rindu kembali ke haribaan-Nya, Bayu merasa amat terpukul. Mengapa Dia  mencerabut wanita yang sangat dikasihinya–seorang istri yang sangat lembut dan penyayang–dari kehidupannya? Mengapa secepat itu wanita yang merupakan cinta pertamanya sejak SMA  meninggalkannya dengan menitipkan dua orang putra yang baru duduk di bangku kelas I SMP dan kelas V SD?

Suatu malam, seusai menunaikan tugas suami-istri yang sangat indah, istrinya berbisik di telinganya.

“Mas percaya kepada Allah?”

Bayu tertawa kecil. “Ya iyalah.”

“Betul-betul percaya kepada Allah?” tanya istrinya lagi.

Bayu tersenyum, tapi instingnya mengatakan, ada sesuatu. “Betul, sayang, saya percaya kepada Allah, dan benar-benar percaya kepada-Nya. Ada apa sih?”

Rindu  tidak langsung menjawab. Wanita yang mulai berjilbab sejak masuk SMP Al-Azhar  itu  mengukir segurat senyum indah.

“Kalau Mas betul-betul percaya kepada Allah, ketahuilah bahwa Rin  didiagnosis dokter terkena leukemia. Secara hitung-hitungan dokter, umur Rin  tinggal empat bulan.”

“Apa?” Bayu terhenyak. Ia seakan tak percaya apa yang baru saja didengarnya dari mulut  istrinya.

Namun sang istri lagi-lagi tersenyum. Ia tidak sedikit pun memperlihatkan rona kekhawatiran.

“Mas jangan cemas. Masih ingat ‘kan ceramah Ustadz Yusuf  di televisi bulan lalu: kematian tidak ada hubungannya dengan  penyakit. Kematian datang ketika Allah SWT memanggil hamba tersebut untuk kembali kepada-Nya. Berapa banyak orang yang sakit parah, bahkan sangat parah, dan menurut  dokter umurnya hanya tinggal hitungan minggu atau bulan, namun ternyata bisa sembuh? Sebaliknya, tidak sedikit orang yang segar bugar tiba-tiba meninggal, misalnya karena tabrakan atau pesawat yang ditumpanginya tercebur ke laut?”

“Tapi, Cantik….” Bayu selalu senang memanggil istrinya dengan panggilan kesayangan “Cantik”.

Sang istri meletakkan jari telunjuk di bibir suaminya. “Mas, dalam keadaan bagaimanapun, tiada yang lebih baik bagi kita selain bersyukur kepada-Nya. Bersyukur atas segala karunia dan ketentuan-Nya.” Suaranya mengalun begitu lembut, menembus langit malam.

Sejak itu hari-hari Bayu selalu diliputi kesedihan dan kekhawatiran. Batinnya tidak tenang. Namun sang istri–yang sama-sama aktivis Rohis saat kuliah di IPB Bogor, selalu menghiburnya.

“Mas takut ya, kalau Rin meninggal?”

“Tentu saja. Lelaki mana yang tidak khawatir ditinggalkan istri secantik bidadari seperti kamu?
“Ah, Mas ini suka melebih-lebihkan.”

“Saya serius. Dulu saat remaja saya sering bertanya-tanya tentang hadis Nabi yang mengatakan bahwa wanita yang salehah itu lebih berharga dari dunia dan seisinya. Apakah betul demikian? Namun setelah menikah denganmu, saya mengakui bahwa apa yang Rasul katakan memang benar adanya.”

Rindu menggenggam tangan suaminya, lalu menciumnya.

“Tak usah khawatir, sayang. Kalaupun Allah memanggil Rin lebih dulu, Allah pasti telah menyiapkan pengganti yang lebih baik. Lebih segala-galanya dibanding Rin yang selama ini mungkin masih sering membuat Mas kesal dan kecewa.”

“Kamu ini ngomong apa sih?”

“Kita ini  makhluk Allah, tidak bisa lari dari takdir Allah. Dan Rin tidak akan lari dari takdir Allah. Kapanpun Allah memanggil Rin untuk pulang, Rin sudah siap. Mas pun tidak mungkin lari dari takdir Allah. Kalau Allah telah menyiapkan wanita lain yang akan menemani hari-hari Mas, tidak usah ditolak.”

Lagi-lagi Rindu tersenyum. Membuat Bayu jadi keki sendiri.

“Hati kamu terbuat dari apa sih? Kok tidak ada takutnya sama sekali?”

Kali ini Rindu tertawa kecil. Matanya berbinar-binar. Ia memeluk suaminya. “Yang membuat Rin tenang dan ikhlas menyambut setiap takdir Allah, karena Rin  percaya kepada-Nya, dan di sisi Rin ada seorang suami yang luar biasa: Mas.”

Enam bulan kemudian, Rindu meninggal dunia dengan senyum menghias bibirnya.

***

Kepergian Rindu membawa separuh hidupnya. Hanya dua anaknya itu–yang padanya Bayu menemukan guratan dan jejak-jejak istrinya tercinta–membuatnya mampu bertahan menjalani kehidupan.

Hingga suatu hari, dua tahun kemudian, ada seorang karyawati baru di kantornya. Ia terhenyak melihat gadis itu seakan mewarisi segala kelembutan dan keanggunan almarhumah istrinya. Bahkan ia memiliki nama yang sama: Rindu.

Kehadiran gadis itu mengguncang hatinya. Ya, Tuhan, apa maksud-Mu dengan semua ini? Rencana apa yang telah Engkau siapkan untukku? Aku mencintai almarhumah istriku dan selalu mencintainya. Apakah Engkau telah menyiapkan sebuah takdir lain bagiku?

Namun begitu ingat usianya yang sudah kepala empat, dia pun segera tersadar. Ia bangkit  dari perasaan sentimentilnya kepada logika. Tidak pantas aku yang sudah berusia 40-an, seorang duda beranak dua, mengharapkan cinta dari seorang gadis muda berusia 20-an, yang cantik dan salehah dan dengan mudah  bisa mendapatkan suami yang sebaya dengannya dan saleh pula. Apalagi aku pun belum bisa memisahkan, apakah aku mencintainya karena kesalehannya atau karena kemiripannya dengan almarhumah istriku.

Ia selalu berusaha bersikap sewajar mungkin kepada Rindu. Namun ternyata ia tak bisa membohongi perasaannya. Ia benar-benar jatuh cinta kepada Rindu. Betapa menyiksa manakala kita setiap hari bertemu dengan seseorang yang kita cintai, namun kita harus mengatakan kepada hati kita bahwa kita tidak boleh mencintainya.

Ketika ia tak tahan lagi memendam perasaan cinta itu, maka ia memutuskan menerima tawaran untuk menjadi direktur sebuah perusahaan tambang di Kalimantan. Ia ingin menjauh dari Rindu. Menjauh sejauh-jauhnya. Agar matanya tak pernah lagi melihat kelebatan sosok yang anggun itu.

Siapa sangka, ternyata gadis berdarah Bandung-Cirebon itu pun menyimpan perasaan yang sama terhadap Bayu? Hal itu diketahuinya setelah setahun dia bekerja di Banjarmasin. Maka dia memutuskan datang ke Jakarta untuk  menemui Rindu. Namun pesawat yang ditumpanginya gagal mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Hanya keajaiban Tuhan yang membuatnya selamat dari kecelakaan maut tersebut. Menjelang Shubuh, Rindu dengan sorot mata rindu dan penuh kekhawatiran menjenguknya di rumah sakit tempat ia dan sejumlah korban lainnya dirawat.

***

Hanya tiga hari setelah pulang dari RS, Bayu memutuskan untuk melamar Rindu ke rumah orang tuanya di Bandung. Dia diantar oleh anak-anaknya yang tengah libur kuliah seusai ujian semester. Andre semester tujuh fakultas kehutanan UGM Yogyakarta. Indra semester tiga fakultas ilmu budaya UI Depok.

Hyundai H-1 warna putih susu yang mereka tumpangi melaju tenang di jalur tol Cikampek. Sepanjang kiri-kanan jalan, pemandangan didominasi oleh kawasan industri, pabrik dan sawah.

Mereka  mampir di rest area km 57. Shalat Dhuha di Masjid At-Taubah.  Kemudian menikmati kopi di salah satu kedai yang ada.

Mereka melanjutkan perjalanan, dan mengambil jalur tol Cipularang menuju Bandung. Sepanjang rute Dawuan, Sadang hingga Purwakarta di KM-86 hingga KM-97, pemandangan di kiri kanan jalan didominasi oleh aneka pohonan, terutama akasia, sengon dan lamtorogung. Di sekitar Sadang, lebih jauh ke belakang, masih tampak pohon-pohon jati. Mulai KM-98 sampai KM-110 berganti dengan pemandangan kebun teh yang sangat indah.

Sepanjang perjalanan, hati Bayu campur aduk antara bahagia dan terharu, menjemput takdir cinta yang telah Allah persiapkan untuknya.

“Kok melamun, Yah?” tanya Andre yang menyetir mobil.

“Ayah teringat mama. Sejujurnya, Ayah tidak ingin menduakan cintanya.”

“Jangan khawatir, Yah. Ayah ‘kan tidak menduakan cinta mama. Aku yakin, mama di sana pun pasti ikhlas kok,” Indra menimpali.

Menjelang keluar tol Pasteur, di kiri jalan banyak billboard factory outlet dan hotel, siap menyambut para turis yang datang ke Bandung.

Mereka  keluar di KM-123 pintu tol Pasteur. Kemudian mobil melintasi Jalan Pasteur (sering juga disebut Jalan Junjunan), naik ke atas melewati Jembatan Paspati, turun di depan lapangan Gazebu. Sekitar setengah kilometer kemudian, mobil masuk ke kompleks perumahan Sukaluyu, salah satu kompleks perumahan kelas menengah atas di Kota Bandung.

Rindu dan Tyas mengintip dari balik jendela.

Tyas berbisik, “Itu orangnya? Ganteng juga. Teteh pintar memilih.”

“Husss, kamu,” Rindu mencubit lengan adiknya.

“Guratan ketampanan masih tampak di wajahnya. Dan perutnya pun rata, tidak buncit seperti kebanyakan lelaki kalau sudah berusia 40 tahun ke atas.”

“Dia rajin olahraga jogging dan bulu tangkis. Dia juga rajin puasa Senin-Kamis. Bahkan sejak SMA dia sudah puasa Senin-Kamis.”

“Kok Teh Rindu banyak tahu tentang Pak Bayu? Jangan-jangan Teteh naksir dia udah lama ya?” Tyas terus menggoda kakaknya.

“Kamu ngomong apaan sih? Awas ya!” Rindu berniat mencubit adiknya, namun sang adik keburu lari.
Suasana lamaran awalnya rada kikuk, terutama saat orang tua Rindu memanggil Bayu dengan panggilan “pak” atau “mas”. Tapi akhirnya suasana cair.

Apalagi ketika Andre berkata, “Pak Haji Surya dan Bu Hajjah Haryati, kami mohon semoga Bapak dan Ibu mengizinkan ayah kami melamar dan menikahi Teh Rindu. Seperti ayah, kami juga yakin Teh Rindu akan menjadi istri yang salehah bagi ayah, dan ibu yang baik bagi kami.”

Rindu meneteskan air mata mendengar ucapan Andre. Kedua orang tuanya pun sangat terharu.

Bu Haryati bertanya kepada suaminya, “Bagaimana, Pak?”

Haji Surya meneguk teh sejenak, kemudian berbicara, “Apa lagi yang bisa dilakukan orang tua ketika seorang lelaki yang baik datang melamar anaknya? Bukankah Rasulullah menegaskan, jika datang seorang lelaki yang saleh hendak melamar anak perempuanmu untuk dijadikan  istrinya, hendaklah engkau menerimanya. Sebab, kalau tidak, akan terjadi fitnah. Namun, sebagai orang tua, kami  menyerahkan keputusan hal ini kepada anak kami, Rindu, sebab dialah yang akan menjalani bahtera rumah tangga tersebut.”

Rindu tepekur menatap karpet warna ungu.

“Bagaimana, Rin?” Tanya Haji Surya.

“Iya, bagaimana, Rin? Papa dan Mama sih terserah kamu. Kamu sudah dewasa dan tahu mana yang terbaik untukmu.”

Bayu dan anak-anaknya menunggu dengan harap-harap cemas.

Rindu mendongakkan wajahnya, tepat ketika  Bayu melirik ke arahnya. Ada kilatan indah melesat dari matanya dan tepat menghunjam di jantung Bayu. Betapa indah. Bayu berharap dia dapat selamanya menikmati sorot mata bening itu.

“Mama dan Papa. Rin sudah istikharah dan minta kepada Allah SWT dalam Tahajud dan doa-doa Rin seusai shalat fardhu. Rin yakin Mas Bayu insya Allah merupakan jodoh yang telah Allah SWT siapkan untuk Rin.”

“Kalau begitu, berarti kamu menerima Pak eh Mas Bayu?” Tanya papanya meminta kepastian.

Rindu mengangguk. “Ya, Pa, Insya Allah, ini keputusan yang dibimbing Allah SWT.”

“Alhamdulillah,” kata Haji Surya dan istrinya bersamaan.

Bayu dan anak-anaknya pun menggumamkan kalimat yang sama. Lega hati mereka, terutama  Bayu.

Bayu menatap  Rindu  lekat-lekat. Belum pernah dia berada sedekat ini dengan gadis bermata indah itu. Baru dia sadari ternyata gadis itu jauh lebih cantik. Sama sekali tidak kelihatan kalau usianya sudah 28 tahun. Subhanallah, dia kelihatan empat tahun lebih muda dari usianya. Wajahnya begitu segar, dan kerudung putih yang dikenakannya membuat aura kesucian memancar begitu indah. Selama ini Bayu tahu ada lesung di pipi kiri Rindu. Namun baru sekarang dia menyadari ternyata lesung pipi itu begitu jelas dan membuatnya makin memesona.

“Terima kasih ya Allah. Aku kehabisan kata-kata untuk mensyukuri nikmat-Mu ini,” bisik Bayu perlahan.
Rindu merunduk. Hatinya begitu sarat perasaan bahagia. “Terima kasih, Mas,” ujarnya perlahan. Wajahnya merona merah jambu.

Acara pernikahan diputuskan bulan depan. Hari Jumat. “Kita mencari keberkahan menikah di hari Jumat. Rasulullah menganjurkan demikian,” kata Haji Surya.

***

Pulang dari Bandung, Bayu dan anak-anaknya mampir di rest area Terusan Pasteur. Menikmati hangatnya somay Situ Indah. Lalu membeli oleh-oleh khas Bandung di Toko Jaya Rasa: keripik tempe, keripik oncom, sale pisang basah, sale pisang kering, dan rengginang.

Mereka melanjutkan perjalanan pulang ke Depok. Kali ini Indra yang menyetir. Andre duduk di samping sopir, sedangkan Bayu duduk di barisan  tengah.

Hujan turun sangat deras. Di kilometer 96, tiba-tiba ada mobil yang mengerem mendadak. Indra tak bisa menguasai mobil tersebut, sehingga terguling ke samping. (*)


Jakarta, Juni 2012
Irwan Kelana, seorang jurnalis yang juga cerpenis dan novelis. Sejumlah novel dan buku antologi cerpennya sudah diterbitkan, antara lain Kelopak Mawar Terakhir, Kemboja Terkulai di Pangkuan, dan Meniti Jarak Hati. Saat ini ia bekerja di harian Republika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar