Cerpen Eka Kurniawan
Terbit di Koran Tempo, 18 November 2012
Bahan Referensi Cerpen - MAYA tak pernah menceritakan kepada Sayuri bahwa ia
ditinggalkan kekasihnya tepat di malam sebelum mereka menikah. Itu tak
hanya membuatnya patah hati, tapi juga membuat keluarganya merasa malu.
Terutama ketika keesokan harinya, tamu-tamu berdatangan (mereka tak
sempat mencegah hal ini), dan harus menjelaskan bahwa pernikahan itu
dibatalkan.
Lebih menyakitkan, kekasihnya pergi meninggalkannya untuk seorang
perempuan yang sangat ia kenal. Sahabatnya sendiri. Ia baru menyadari
belakangan hari, selama ia mempersiapkan pernikahan, kekasih dan
sahabatnya telah jatuh cinta satu sama lain. Cinta mereka tumbuh dan
terus berkembang, hingga di malam pernikahannya, mereka memutuskan pergi
hanya meninggalkan sepucuk surat pengakuan.
Maya sempat mengiris pergelangan tangannya dengan pisau dapur, tapi
seorang adiknya berhasil membawanya ke dokter dan mereka menyelamatkan
hidupnya. Setelah itu ia harus berada dalam pengawasan tanpa henti.
Adiknya, kakaknya, sepupunya, ayahnya, ibunya, semua bergantian
menjaganya di tepi tempat tidur. Mereka juga harus memastikannya untuk
tidak terlambat meminum obat.
Ia juga harus mengambil cuti dari pekerjaannya, sebagai penjaga perpustakaan di universitas.
Di waktu-waktu itulah, mimpi tersebut mulai datang. Mimpi bahwa suatu
hari ia akan memperoleh kekasih. Tak hanya kekasih yang tampan dan
mencintainya, tapi mimpi itu juga menjanjikan kehidupan yang bahagia
untuk mereka berdua.
Awalnya ia mengabaikan mimpi tersebut. Menganggapnya sekadar reaksi
obat semata. Tapi malam berikutnya mimpi itu datang kembali. Persis
seperti mimpi sebelumnya. Dan malam ketiga, mimpi itu berulang. Seperti
rekaman video yang diputar kembali. Maya ingin menceritakan mimpinya
kepada seseorang. Mungkin kepada adiknya, atau ibunya. Tapi melihat raut
wajah mereka yang senantiasa cemas melihat ke arahnya, Maya
mengurungkan niatnya. Ia yakin apa yang akan mereka pikirkan jika ia
menceritakan mimpi tersebut: “Ah, akhirnya gadis ini memperoleh mimpi
yang baik. Ia akan sembuh. Ia akan melupakan lelaki brengsek itu dan
membangun kembali harapan bertemu lelaki lain.”
Ia tak menyukai hiburan basa-basi semacam itu. Maya lebih suka tak mendengar hiburan macam apa pun.
Satu minggu berlalu. Dua minggu berlalu. Satu bulan. Keadaannya
tampak membaik. Dokter menyarankannya untuk mengurangi dosis
obat-obatan, dan orang-orang tak lagi selalu menjaganya siang dan malam
tanpa henti. Tentu saja kadang ia mengingat insiden itu, dan ia akan
menangis. Kadang menjerit-jerit histeris, membuat seisi rumah menjadi
gaduh oleh kepanikan. Kemudian ia akan meminum obat lagi, dan tidur
lelap seolah tak ada sesuatu yang terjadi.
Meskipun tidak selalu datang setiap malam, mimpi itu terus muncul. Selalu sama, bahkan makin hari makin jelas.
Ia mulai merasa, mimpi itu memang sejenis pesan. Entah dari mana. Ia
yakin tak akan ada yang memercayainya jika ia menceritakan mimpi itu. Ia
harus menjalaninya sendiri. Ia tak mungkin berkata kepada ibunya, “Aku
perlu liburan. Aku akan ke Pangandaran, sendiri.” Keluarga tak akan
mengizinkannya. Ia harus pergi diam-diam, kabur dari rumah.
***
Mimpi itu memberitahunya bahwa ia akan memperoleh seorang kekasih.
Dalam mimpinya, si kekasih tinggal di kota kecil bernama Pangandaran.
Setiap sore, lelaki yang akan menjadi kekasihnya sering berlari di
sepanjang pantai ditemani seekor anjing kampung. Ia bisa melihat dadanya
yang telanjang, gelap dan basah oleh keringat, berkilauan memantulkan
cahaya matahari. Setiap kali ia terbangun dari mimpi itu, ia selalu
tersenyum. Jelas ia sudah jatuh cinta pada lelaki itu.
Ia tak tahu siapa namanya, tapi pesan mimpi itu jelas, ia harus menemui lelaki itu, dan lelaki itu cinta masa depannya.
Setelah mempelajari sejenak bagaimana caranya pergi ke Pangandaran
(ia pernah mendengar nama kota itu, tapi tak terlalu yakin di mana
tempatnya), Maya memantapkan hati untuk menemui lelaki di dalam mimpinya
tersebut. Di satu sore, ketika keluarganya lengah, ia keluar rumah
melalui jendela. Menghentikan taksi di depan kompleks perumahan dan
memintanya dibawa ke Kampung Rambutan. Ada bis malam yang akan
membawanya langsung ke kota itu. Di sana ada banyak penginapan, ia bisa
mengurus soal itu sesampainya di sana.
Sepanjang jalan, sebenarnya ia mulai berpikir, gagasan mengikuti apa
yang ada di dalam mimpinya merupakan kesintingan. Pernikahan yang batal
itu benar-benar membuatku sinting, pikirnya. Ia kembali menangis.
“Jangan menangis, Nak. Pangandaran tempat orang mencari cinta dan kebahagiaan,” kata si kondektur tua, mencoba menghiburnya.
Maya tak membalasnya. Membayar ongkos bis dan menghapus airmatanya
dengan tisue. Semoga yang dikatakan kondektur itu benar, gumamnya. Ia
memang sedang menuju kota itu untuk mencari cinta dan kebahagiaan.
Mimpi itu mungkin bukan pertanda apa pun. Mungkin lelaki yang berlari
di pantai berteman anjing itu hanya khayalannya belaka, sekali waktu ia
mungkin pernah melihat adegan semacam itu di televisi atau bioskop. Dan
meskipun ia belum pernah pergi ke kota itu, ia yakin seorang temannya
pernah mengatakan nama kota tersebut di satu hari selepas satu liburan
panjang, hingga nama itu menyelinap ke dalam mimpinya. Mimpi itu bisa
jadi sekadar omong-kosong, dan kota itu tak menawarkan harapan apa pun.
Tak ada cinta, tak ada kebahagiaan.
Bagaimana pun, ia hanya bisa membuktikan keragu-raguannya jika ia
tiba di kota itu. Ia memejamkan mata dan tertidur di bawah dengung
pendingin. Mimpi itu datang kembali. Kali ini di dalam mimpinya, ia
melihat dirinya berjalan bergandengan tangan dengan lelaki itu di
pantai. Anjing mereka mengikuti di belakang. Mimpinya seterang
pemandangan di siang hari.
***
Kota itu kecil saja, dengan dua pantai yang saling berhadapan. Pantai
Barat dan Pantai Timur. Maya memutuskan untuk menginap di satu
penginapan Pantai Timur yang lebih sepi. Dalam mimpinya, si lelaki
berlari di pasir Pantai Barat. Tak masalah. Kedua pantai hanya
dipisahkan oleh jarak sekitar seratus meter.
Di sore hari pertama, ia pergi ke pantai dan menunggu. Memperhatikan
setiap orang yang berlari-lari. Ada bocah-bocah yang bermain bola. Ada
remaja yang berenang. Ada bule yang berlari. Tapi ia tak melihat lelaki
di dalam mimpinya. Ia menunggu hingga matahari tergelincir ke balik
laut. Lelaki itu tak juga muncul.
“Mungkin hari ini ia tidak berlari,” pikirnya.
Hari kedua ia pergi ke pantai lebih siang, berbekal makanan kecil dan
air mineral. Hingga malam datang, lelaki itu tak juga muncul. Di hari
ketiga, ia tak juga melihatnya.
Maya merasa kunjungannya ke kota itu sia-sia belaka. Mimpi itu
hanyalah mimpi biasa. Ia kembali ke penginapannya, mengunci dirinya di
dalam kamar dan kembali teringat malam pernikahannya. Ia menangis
sendirian. Ia menggigit bibir, menahan diri agar tidak menangis. Tapi
airmata deras mengucur. Ia mulai membayangkan orang-orang di rumah panik
mencarinya. Mereka barangkali sudah melaporkan ketiadaan dirinya ke
polisi.
Sepanjang malam ia tak tidur. Ketika ia merasa lapar, ia memutuskan
untuk ke luar kamar. Ada satu toko serbaada tak jauh dari penginapan. Ia
pergi ke sana membeli makanan ringan dan beberapa botol minuman. Tak
tertahankan, ia kembali menangis di depan kasir. Ia merasa malu, tapi ia
tak bisa menahan diri. Untunglah penjaga kasir berbuat baik kepadanya.
Ia dipeluknya dan diajaknya bicara. Bahkan perempuan itu menghiburnya
dengan berbagai cerita, yang membuatnya sedikit tersenyum.
Ia memutuskan untuk berhenti mencari lelaki di dalam mimpinya. Ada
sebuah hutan lindung tak jauh dari penginapan. Ia berpikir, ia bisa
menghilang selamanya ke sana. Tanpa terlihat penjaga hutan, hanya
berbekal belanjaan dari toko serbaada, ia menyelinap pagar pembatas
hutan. Selama dua hari ia menjelajah hutan itu, berharap mati di sana.
Tapi jelas kematian susah diperoleh di dalam hutan. Ketika ia menyadari
hal itu, Maya keluar dari hutan. Saat itu lewat tengah malam, dan hanya
cahaya bulan menjadi penunjuknya. Ia memutuskan untuk melakukan gagasan
yang sempat muncul di malam sebelum menyelinap ke hutan: pergi ke ujung
beton pemecah ombak dan menceburkan dirinya ke laut.
Ia harus buru-buru, sebab pagi sebentar lagi datang.
***
Si gadis patah hati masih hidup. Mereka membebaskannya dari jaring
ikan, dan seorang penjaga pantai memberinya napas buatan. Mereka
menjadikannya tontonan, saling berdesakan. Gadis itu tampak linglung,
tatapannya kosong. Hingga seorang perempuan tua menyeruak di antara
orang-orang dan menyentuh tangannya.
“Ia bukan tontonan, aku akan mengurusnya.”
Perempuan tua itu bernama Sayuri. Semua orang di pantai mengenalnya.
Ada yang bilang ia telah tinggal di Pantai Timur Pangandaran jauh
sebelum kebanyakan orang yang berkeliaran di sana dilahirkan. Mereka
menghormatinya sebab ia panatua yang dipercaya untuk memberikan sesajen
kepada penjaga laut, yang sanggup membujuk ratu penjaga jika sedang
marah. Mereka membiarkannya memapah gadis itu meninggalkan kerumunan, ke
arah rumah kecilnya. Seseorang membawakan pakaian gadis itu dari
penginapan, dan Sayuri mengganti pakaian basah si gadis.
Selama dua hari setelah itu, Maya masih tinggal di rumah Sayuri dan
si perempuan tua mengurusnya dengan baik. Sekali waktu Sayuri berkata
kepadanya, “Ratu Kidul tak menghendaki kamu mati. Kamu harus hidup
sampai tua.”
Maya tak mengatakan apa pun.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Sayuri.
Sebenarnya Maya tak ingin menceritakan apa pun. Ia terlampau sedih
dan putus asa. Ia tak tahu untuk apa lagi hidup di dunia. Tapi perempuan
itu sangat baik kepadanya, dan menceritakan sesuatu yang tak pernah
diceritakan kepada orang lain, barangkali merupakan hal baik terakhir
yang bisa ia lakukan. Hari itu, akhirnya Maya menceritakan kenapa ia
datang ke Pangandaran. Bahwa ia datang ke kota itu karena satu mimpi.
Sayuri tiba-tiba tertawa, memperlihatkan gigi ompongnya dan bergumam, “Kalian memang tolol.”
“Kalian?”
“Ya, kalian.”
Sayuri kemudian bercerita. Ia punya seorang cucu lelaki, bernama
Rana. Rana punya kekasih dan hendak menikah, tapi menjelang pernikahan,
si gadis pergi dengan lelaki lain. Rana sangat putus asa, dan pernah
hendak menceburkan diri ke laut. Lalu suatu hari ia datang menemui
Sayuri, dan bilang dirinya memperoleh mimpi. Dalam mimpinya, ada seorang
gadis di Jakarta yang akan menjadi kekasihnya dan memberinya
kebahagiaan. Seorang gadis yang setiap hari duduk di meja di antara
rak-rak buku.
“Kalian orang-orang tolol yang percaya pada mimpi. Ia pergi ke Jakarta seminggu yang lalu.”
Saat itu pintu terbuka dan seekor anjing kampung masuk. Maya, untuk
pertama kali, tersenyum lebar. Airmatanya mengucur, bukan karena sedih,
tapi karena bahagia. Ia yakin, ia tak mau pergi dari rumah itu. Ia telah
menemukan lelaki itu. Ia telah melihat anjing mereka. (*)
2012
-------
Catatan:
Judul dan cerita ini berutang kepada kisah “The Ruined Man Who Became Rich Again Through a Dream”, bagian dari The Arabian Nights, terjemahan Sir Richard F. Burton. Jorge Luis Borges mendaur-ulangnya menjadi “The Story of the Two Dreamers” dalam A Universal History of Iniquity. Paulo Coelho mengembangkannya menjadi novel The Alchemist.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar