Bunga Busuk

Cerpen Triyanto Triwikromo (Jawa Pos, 1 Juli 2012)


AKHIRNYA kau tahu riwayat busuk hidupmu dari Maria. Sesaat sebelum meninggal, istri Mayor Prakosa itu membisikkan kata-kata yang tidak pernah kauduga.

“Aku tak sanggup menyimpan rahasia lagi, Rosa,” kata Maria, setelah  mendesiskan kata-kata yang sejak dulu terkubur di hati.

Tentu saja kau kaget dan seperti ada ratusan semut merah menyusup ke telingamu. Kau tak bisa menerima buncahan perasaan perempuan sepuh yang sangat kauhormati itu. Dan rahasia itu sungguh mencengangkan karena kau tiba-tiba harus menjadi bunga busuk yang tanggal dari pohon hayat yang makin rapuh.

“Aku bisa saja berdusta dan menyimpan kebohongan ini. Hanya, sekarang tidak ada gunanya lagi kusembunyikan lebih lama lagi. Karena itu segeralah ke Plarungan. Semua teka-teki hidupmu akan terjawab di desa itu.”

Kau hendak menyangkal ungkapan perasaan yang lebih menyerupai desis ular itu karena yakin Maria adalah perempuan indah yang melahirkanmu. Akan tetapi nyatanya dengan dingin dia mengatakan kau hanyalah anak yang dipungut dari sebuah desa yang dikepung oleh hutan dan selalu ditutupi oleh kabut tebal. Kau tidak pernah lahir dari rahimnya.

“Ibumu seorang gerwani. Ayahmu…,” Maria tampak tak sanggup meneruskan penjelasan yang masih menggantung itu.

Dan segalanya memang masih menjadi misteri. Maria tak pernah mengatakan siapa ayahmu karena malaikat lebih cepat mencabut nyawanya. Karena itu kau tiba-tiba harus mencari akar hidupmu di sebuah tempat yang asing dan jauh. Dan Maria hanya memberi dua kata kunci: Plarungan dan gerwani.

***

KAU kelimpungan saat itu. Tentang gerwani, kau hanya mengenal samar-samar ungkapan yang menjadi hantu bangsa ini. Dari percakapan para serdadu di rumah Mayor Prakosa, kau hanya tahu mereka hanyalah gerombolan perempuan busuk yang menyilet-nyilet tubuh enam jenderal dan satu perwira. Kau bahkan mendengar dari para perempuan sepuh sebaya Maria, mereka mencungkil mata orang-orang yang tak berdaya sambil membawakan Tarian Harum Bunga dan menyayikan lagu “Genjer-genjer”.

Belakangan, kau tahu, pada 1963 lagu itu sudah sering disiarkan oleh Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia. Setiap mendengar lagu yang dinyanyikan oleh Bing Slamet di piringan hitam itu kau sangat bergairah untuk mendengarkan dan ada dorongan menirukan:

Genjer-genjer
esuk-esuk pating keleler
dijejer-jejer
diunting digawa neng pasar [*]

Akan tetapi kau bukanlah manusia bodoh yang begitu saja percaya kepada bisikan perempuan tua yang hendak sekarat. Sebagai perempuan yang memuja otak, kau kemudian keluar masuk perpustakaan dan membolak-balik buku-buku sejarah yang tampak tak pernah dibaca itu. Kau juga tidak henti-henti mencari berbagai kemungkinan jawaban persoalan yang kini membelitmu lewat situs-situs sejarah.

Kau memang mendapatkan buku Penghancuran Gerakan Perempuan atau Pembantaian PKI di Jawa dan Bali, tetapi sama sekali tidak kautemui apa pun yang berkait dengan kehidupan ibumu. Kau pun menganggap: sejarah memang tidak pernah memihak orang-orang kalah. Kau juga yakin sejarah tidak akan menulis kisah perempuan yang ditindas oleh serdadu, di mana pun itu.

Kau dapatkan juga data dan foto-foto, serta film-film dokumenter betapa setelah Oktober 1965, di sungai-sungai mengapung-apung mayat para perempuan yang dibayonet atau dijerat lehernya. Sungai jadi anyir dan amis. Sungai jadi tempat pembuangan tubuh-tubuh membusuk penuh lintah. Beberapa kuburan massal untuk gerwani juga sudah digali, tetapi kau tetap tidak menemukan jejak ibumu. Kau tidak menemukan tanda-tanda di tubuh-tubuh itu. Ya, ada tanda-tanda khusus di leher dan paha kanan ibumu sebagaimana diceritakan Maria kepadamu. Kau pun menduga segala jejak tampaknya sengaja dihapus. Beberapa tubuh memang mirip tubuh ibumu, tetapi kaki kanannya telah hilang. Kau menemukan potongan kaki itu di sebuah foto, tetapi sama sekali tidak bertahi lalat.

Karena itu, berhari-hari setelah Maria meninggal, kau lebih memilih menulis novel tentang percintaan perempuan Jawa dan perempuan peranakan Tionghoa di sebuah kafe yang memungkinkan kau menenggak bir hingga kembung dan merokok terus-menerus sampai aroma tubuhmu serupa bau asbak. Kau berusaha melupakan pencarian terhadap akar hidupmu, tetapi kian kau hilangkan dari ingatan, Maria seperti bangkit dari tidur panjang, menjebol kuburan, dan melabrakmu. Dan selalu sesudah membuncahkan amarah tak keruan, dia selalu bilang, “Hidupmu tak akan punya makna apa pun jika tak sekali saja kau temui ibu kandungmu.”

Akan tetapi memang tidak mudah hidup sebagai pencari tanggung yang tidak memiliki peta, rambu-rambu, atau petunjuk yang pasti. Pada saat-saat semacam itu, kau ingin meniru tokoh imajiner Octavio Paz untuk menjadi binatang saja. Kau ingin menjadi satwa yang tidak perlu malam-malam mencari ibu yang rabun, tak perlu berdoa pada Tuhan, atau sekadar memikirkan pada Minggu siang siapa yang akan kauantar ke rumah sakit dan pada Minggu pagi siapa yang akan kau ziarahi ke kuburan. Kau juga menyangka menjadi satwa purba lebih enak karena tidak perlu menutup mata dari kilau lampu atau bias sinar tak keruan mobil-mobil yang melaju dari kegelapan.

Dan untuk menjadi binatang yang merdeka, kau punya kekasih yang sangat memahami keinginan-keinginan liarmu. Kau punya Ehuang yang setiap habis bercinta, bisa mencakar atau mencambuk punggungmu, lalu memeluk, serta memitingmu semalaman.

Kalau sudah begitu kau akan gelagapan. Kau akan berusaha mendekap apa pun dan berteriak, “Ibu! Ibu!”
“Ssst…. Ibumu di sini, Cintaku. Ibumu di sini,” bisik kekasihmu itu dengan lembut.

Seperti biasa pelan-pelan kau seperti terbebas dari mimpi buruk. Seperti biasa kemudian kau justru akan ganas menjilati lidah Ehuang, mengulum bibir lembut, membelai rambut harum, dan menyusupkan lebih dalam tubuhmu ke rengkuhan perkasa tangan perempuan kencana itu.

Kalau sudah begitu selalu Ehuang memintamu menggigit puting dengan keras hingga daging kenyal itu berdarah, hingga kau merasakan rasa sensasi anyir yang membuatmu mabuk, membuatmu ingin melakukan gigitan purba itu berulang-ulang.

“Ibu! Ibu!” kau mendesis lagi.

Tetapi senantiasa tak ada jawaban. Senantiasa Ehuang memintamu menancapkan kuku di punggung lebih dalam… lebih dalam… hingga kalian tertidur… hingga tengah malam kau sadar betapa Ehuang bukan ibu yang kaucari….

“Ibumu ada di keheningan telingaku…,” bisik sesosok tubuh kecil menyerupaimu dalam mimpimu.

Sebagaimana Bima hendak menemui Dewa Ruci, kau pun berjingkat-jingkat memasuki labirin telinganya yang sangat luas dan membingungkan.

“Apa yang kaulihat sekarang?”
“Aku melihat pasar yang tidak terlalu riuh. Aku melihat sebuah desa berkabut di kaki sebuah gunung.”
“Itulah tempat kau dilahirkan….”
“Apalagi yang kaulihat?”
“Aku melihat bangunan penuh orang yang mengerang kesakitan. Tangan dan kaki mereka seperti hendak copot dari tubuh….”

“Itulah masa lalu tempat yang pernah memenjara kehidupan ibumu.”

Lalu kau melihat di bawah pohon beringin seorang perempuan telanjang dengan tubuh penuh tato naga melambaikan tangan kepadamu, tetapi dia kian menjauh darimu. Kau melihat tahi lalat di paha kanan. Kau pun berteriak, “Ibu! Ibu!”

Tak ada jawaban. Tetapi Ehuang tahu setiap kau mengigau semacam itu, dia akan kian mendekapmu.

“Aku akan meninggalkanmu untuk sementara waktu, Cintaku. Aku akan mencari ibuku,” tiba-tiba kau mendesiskan kata-kata yang sudah lama ingin kau katakan kepada perempuan indahmu itu.

Tak ada jawaban. Ehuang tidak mendengarkan bisikan itu.

***

KAU meninggalkan apartemen Ehuang saat dia masih tertidur pulas. Sebelumnya kau melihat bekas cakaranmu di punggungnya yang mulus dan sambil mengecup punggung itu, kau membisikkan pesan cinta.

Kau bergegas ke pusat kota dan membenamkan dirimu ke perpustakaan. Kau acak-acak lagi semua buku tentang gerwani dan komunisme. Kau membaca apa pun yang berkait dengan pembuangan mayat-mayat gerwani di sungai-sungai. Kau pandang setiap foto yang menggambarkan penggalian kuburan massal.

“Ibu tahu Plarungan?” kau bertanya kepada penjaga perpustakaan yang menurut anggapanmu tahu segala apa pun yang tersurat dan tersirat di dalam buku.

Perempuan itu menggeleng.

“Tetapi mungkin aku tahu apa makna Plarungan.”
“Ia semacam surga atau hutan gaib?”

Perempuan itu menggeleng lagi.

“Ia semacam tempat pembuangan atau neraka mengerikan?”

Perempuan itu mengangguk. Kau pun bertanya makna anggukannya itu.

“Plarungan itu berasal dari kata larung, artinya menghanyutkan. Jika sebuah tempat diberi nama Plarungan, bukan tidak mungkin kawasan itu pernah digunakan untuk menghanyutkan sesuatu….”

“Menghanyutkan mayat?”
“Bisa saja.”
“Menghanyutkan gerwani?”
“Kenapa tidak?”

Lalu bersama penjaga perpustakaan itu, kau pun mengira-ngira di mana letak daerah itu. Menilik dari asal-usul kata Plarungan, kalian menduga kawasan itu berada di Jawa Tengah. Mungkin tidak jauh dari Semarang. Mungkin tidak jauh dari Pekalongan. Mungkin hanya beberapa kilometer dari Kendal atau Batang. Tetapi tetap saja pencarian siang itu menghadapi jalan buntu. Kau tetap tidak menemukan kota itu di peta.

Untunglah pada saat hampir putus asa, kau menemukan buku Kisah Lima Tapol Perempuan yang ditulis oleh pengarang tak terkenal, Genjer Wangi. Ini jelas nama samaran. Nama yang sangat subversif. Kau tidak peduli pada nama itu. Kau terpaku pada halaman 225:

...Di kamp mengerikan itu dia hamil. Karena istri sang komandan kasihan pada perempuan tapol cantik ini, begitu lahir bayi itu pun diadopsi. Nama bayi gerwani itu Sekar Arum, bunga yang wangi.
Kau terpekik. Kau langsung mengira kaulah bayi gerwani itu. Hanya, kau tetap saja tidak menemukan nama Plarungan di kawasan mana pun. Ketika memutuskan menghentikan pencarian, kau mendapatkan nama sebuah kawasan yang mirip dan kau berpikir jangan-jangan kini nama tempat itu sudah berubah. Kau pun mulai membaca deskripsi daerah itu:

…Desa ini berada di kaki Gunung Melati yang diapit oleh Gunung Hantu dan Gunung Senja di jajaran Pegunungan Kabut….

Kau mulai merasakan menemukan akarmu. Tetapi kau juga merasa bakal sulit mencapai kawasan itu. Kau keder begitu sampai di halaman 3 buku yang sampulnya sudah hilang itu:

Desa ini bisa ditempuh selama sekitar tiga jam perjalanan dengan mobil dari arah Stasiun Tawang. Banyak tanjakan curam dan tajam, melingkar-lingkar seperti labirin yang akan menyesatkan. Jika tidak berhati-hati, para pejalan kaki akan bertemu dan dimangsa macan tutul. Jurang dan ngarai juga mengancam. Jalanan sepi dan penduduk setempat menyebut seluruh kawasan itu sebagai Kuburan Celeng....

Tetapi akhirnya muncul satu simpulan: ada atau tidak ada Desa Plarungan, kau akan tetap mencarinya. Kau memutuskan naik kereta api ke Semarang malam itu. Kau pun merasa melakukan pencarian paling suci pada akarmu.

Di peron Stasiun Senen sambil memeluk Ehuang, kau bilang, “Aku akan menemukan desa itu, Cintaku, aku akan menemukan ibuku.”

Ehuang tak percaya kau bisa meninggalkan dia malam itu. Perih di puting yang hampir tanggal masih terasa. Juga pelukan, cakaran cinta di punggung, dan gigitan di leher tak bisa dilupakan begitu saja.

Kau mengecup kening Ehuang dan berkata kau tidak akan lama meninggalkannya. Dengan kiasan asal-asalan kaubilang pada Ehuang, “Aku tak ingin menjadi bunga busuk, Cintaku, aku harus mencari pohonku, aku harus mencari tangkai indah yang menyegarkanku….”

Ehuang terus menatapmu. Dia ingin memelukmu sekali lagi dan tak hendak melepaskan hingga fajar, hingga pagi. Mungkin dia tahu perjalanan panjangmu hanya akan menjadi penjelajahan sia-sia. Hanya akan menjadi kisah pencarian cinta yang tidak akan menemukan apa-apa.

“Kau akan segera pulang kepadaku, Cintaku, kau akan segera pulang padaku….” (*)


Catatan:
Genjer-genjer
pada pagi buta berhamparan
dijejer-jejerkan
diikat-ikat dibawa ke pasar [*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar