Cerpen Dwicipta
Terbit di Kompas, 11 Maret 2012
BRC - AKU berangkat ke kotamu pagi ini dengan kereta
paling awal, diantar hawa dingin dan kabut bulan Maret yang menusuk
tulang. Mungkin kau tak mengira bertahun-tahun setelah kita tak lagi
menghabiskan waktu bersama aku selalu melakukan perbuatan tolol ini:
mencarimu di kota yang tak lagi kau tinggali.
Ataukah kau sudah menduganya, dan membayangkan dari kejauhan seluruh
ketololan yang kulakukan ini, mentertawai masa lalumu bersama seorang
lelaki yang tak pernah bisa lepas dari kenangan?
Menjelang berangkat aku bangun sebelum cahaya kemerahan merekah di
timur. Kubuka jendela kamar agar angin pagi menyegarkan ruangan kamar
dan menahan mataku dari serangan kantuk. Kegelapan yang perlahan
menghilang di luar rumah sungguh menggetarkan. Aku seolah terkurung dua
makhluk mengerikan, di depan dan di belakang. Telinga dan benakku masih
memperdengarkan gemuruh teriakan-teriakan demonstrasi, rentetan tembakan
dari senapan tentara, dan tubuh teman-temanku yang roboh oleh peluru
karet atau peluru sungguhan. Mungkin aku masih mengalami halusinasi
berkepanjangan akibat peristiwa tiga belas tahun lalu itu.
Untuk menutupi rasa pedih kehilanganmu dan teror masa lalu itu,
kunyanyikan lagu masa kanak-kanakku, “Di Timur Matahari”. Di sekolah
dasar, aku sangat menyukai lagu itu. Lima belas tahun kemudian aku dan
teman-temanku kembali menyanyikannya setiap kali kami berdemonstrasi di
bawah ancaman moncong senjata. Ingatkah engkau kalau di masa-masa awal
demonstrasi itu kita bertemu, saat orang-orang berseragam itu menghalau
demonstran dan kau yang sedang dalam perjalanan pulang dari kampus
hampir saja dipukul oleh mereka? Lengan kananku memar akibat menangkis
pemukul mereka. Sedangkan kau, yang terus gemetar tanpa bisa
mengeluarkan sepatah kata pun, membiarkan tubuhmu terseret tangan kiriku
yang mencari jalan di tengah kekacauan itu. Tak kusangka kalau ternyata
dirimulah orang yang gantian menyelamatkan aku ketika kaki tangan
penguasa tua itu hendak menghabisiku lewat daftar mahasiswa yang harus
diamankan begitu demonstrasi tak bisa lagi dikendalikan oleh ancaman
senapan.
Kau akan bangkit dari ilusimu, Sayangku. Semuanya telah selesai. Tak
ada lagi orang yang akan menculikmu. Aku ingin kembali mendengarmu
bercerita tentang film-film yang kau tonton atau melihatmu berlatih
menulis skenario film. Paling tidak kita bisa menyusuri pantai di sore
hari sampai lewat senja. Bukankah di pantai itu kau sering berkata bahwa
esok, begitu matahari terbit, kau akan berjalan ke timur menyambut
matahari baru?
***
Gerbong kereta ini memang membawaku ke arah timur, namun bukan
menyongsong matahari. Ia menyongsong kotamu—ataukah menyongsong masa
laluku? Di kereta aku benar-benar merasa menjadi orang lain. Sebagian di
antara mereka adalah para pekerja kantor dan mahasiswa; hanya satu-dua
yang berpakaian lusuh. Sementara aku, dengan celana jeans dan berkaos,
memeluk tas ransel, tenggelam dalam pemandangan sawah di sebelah kiriku,
deretan rumah-rumah penduduk yang berlarian ke belakang, gunung yang
tak pernah bergeser dari tempatnya, dan kabut misterius yang
menyelimutinya.
Di tengah deretan penumpang anonim ini, sering kubayangkan dirimu
terselip di sebuah bangku di sudut dekat sambungan gerbong, menatap
kabut pagi yang masih mengambang dan bayangan gunung berwarna biru
kelabu. Kau menatapku terkejut, sementara aku segera menyongsongmu
dengan pertanyaan-pertanyaan konyol: Kenapa kau sendirian saja di situ?
Kemana saja kau selama ini? Apakah kau juga akan pulang kembali ke
kotamu? Kenapa kau tak memanggil dan memintaku duduk di sampingmu?
Bukankah setiap kita melakukan perjalanan dengan kereta kau selalu
memintaku bercerita tentang rapat-rapat rahasia, para pengkhianat yang
menukar perjuangan teman-temanku dengan keselamatan nyawa mereka,
orang-orang yang selalu membuntuti kemana aku pergi, dan kenapa kita
bisa saling jatuh cinta sebegitu dahsyatnya di tengah ketidakmenentuan
itu?
Semua ketololan ini hanya bisa dilakukan oleh seorang lelaki
pengkhayal yang tak lagi mempercayai hari esok. Bagaimana tidak, dalam
satu tahun hampir setiap bulan aku melakukan perjalanan bolak-balik
selama dua setengah jam, hanya untuk mencari sesuatu yang tak bisa
kutemukan sampai kapan pun.
***
Apakah aku harus berbohong pada diriku sendiri bahwa aku tak bisa
melupakanmu, bahwa bayanganmu selalu mengikuti setiap adegan dalam film
yang kutonton, bahwa tatapan matamu yang teduh bermain di antara halaman
buku yang sedang kubaca? Bertahun-tahun setelah kau pergi, setelah
demonstrasi mahasiswa yang heroik itu telah berlalu, setelah kusaksikan
tumbangnya harapan-harapanku pada negeri ini, aku berpikir bagaimana
akan kutulis skenario film tentang perjalanan kereta sepanjang dua
setengah jam ini, kegelisahanku di dalam gerbong kereta dan para
penumpang yang masih diterkam hawa kantuk luar biasa sekalipun tubuh
mereka telah bersih dan wangi.
Sungguh, aku membayangkannya sebagai sebuah film dengan bagian awal
seorang laki-laki yang berlarian tergesa ke loket stasiun karena kereta
hampir berangkat. Kakinya hampir terpeleset ketika memasuki gerbong yang
mulai bergerak perlahan. Perjalanan demi perjalanan tanpa suara. Hanya
gerakan mata, langkah kaki, dan lanskap-lanskap yang berbicara dengan
bahasa mereka sendiri. Begitu turun dari kereta dan menjejakkan kaki di
stasiun kotamu, mata lelaki itu akan bergerak memutari seluruh stasiun,
menatap ratusan orang yang bergegas ke pintu keluar, para petugas kereta
api yang sibuk, para calon penumpang yang sedang menunggu
pemberangkatan dan para pengemis yang mulai berkeliaran di antara para
penumpang.
***
Kau tentu belum lupa undak-undakan yang biasanya dilewati para
penumpang begitu turun dari kereta itu bukan? Di situlah terakhir kali
kita duduk berdua dengan tubuh berhimpitan pada suatu sore, satu tahun
setelah aku keluar dari klinik rehabilitasi jiwa, ketika suara-suara
mengancam dalam benakku mulai mereda. Rasa-rasanya saat itu kita sedang
memainkan adegan film menyedihkan senja itu. Seorang perempuan dengan
mata bening dan pipi cembung, mulut kecil dan bibir tipis, tengah berada
di simpang jalan perpisahan dengan seorang lelaki bodoh yang telah
kehilangan banyak harapan pada kehidupan yang diarunginya. Aku membelai
rambutmu yang panjang, menghapus airmatamu dengan penuh kelembutan,
sampai-sampai tak sadar bahwa kita telah menjadi tontonan orang-orang di
dalam stasiun.
“Setelah ini mungkin kita tak bisa lagi bertemu. Ayahku tak pernah
bisa memaafkanmu atas apa yang telah kau lakukan bersama teman-temanmu.
Ia menganggap dirimu dan teman-temanmu adalah perusuh dan generasi tak
tahu diri,” katamu sembari memandang lekat ke dalam kedua biji mataku.
“Kau tak mau mengambil pilihan lain?”
“Aku tak bisa meninggalkan ayahku. Kalau aku memilihmu, dia akan
mengambil pilihan yang mungkin membuatku menyesal seumur hidup,” ujarmu
dengan tenggorokan turun-naik.
Kini, bertahun-tahun setelah peristiwa itu lewat, aku tak bisa
membedakan apakah kita sedang berpura-pura memerankan sebuah adegan
menyedihkan dalam film ataukah tengah mengalami sesuatu yang benar-benar
nyata, sebuah mimpi buruk yang tengah bersiap menerkam kedamaian
hidupku. Warna langit sore begitu lembut, dan angin tajam yang menyisir
kulitku saat itu seperti mengiris kenyataan pahit dan menghidangkannya
padaku. Apakah hidup harus sepahit dan sesunyi ini? Masih kuingat jelas
pesan ayahmu lewat telepon genggamku yang ia kirimkan tanpa
sepengetahuanmu. ‘Aku tak sudi memiliki menantu pemberontak dan berjiwa
rusak sepertimu. Jauhi anakku, tak layak keluarga kami memiliki menantu
yang mengidap sakit jiwa sepertimu!’
Dan kau, diujung percakapan di undak-undakan lantai stasiun itu,
memelukku untuk terakhir kalinya, sebelum kereta berangkat ke kotaku.
“Aku juga berlaku bodoh karena mencintaimu,” katamu.
***
Kini, begitu kakiku telah menyentuh stasiun kereta di kotamu, semua
peristiwa yang mengikat kita berdua di masa lalu seperti hadir kembali
dengan warna yang baru. Keluar dari stasiun kereta, aku menatap wajah
kotamu yang sangat sibuk, ragu apakah harus berjalan kaki atau naik bis
kota. ‘Kau selalu tak bisa menikmati waktu setiap naik bis kota. Lebih
baik jalan kaki daripada melihatmu selalu resah di dalam bis,’ katamu
setiap kali kita turun dari kereta dan akan naik bis.
Ingatan akan ucapanmu itu membuatku berjalan kaki menyusuri trotoar
jalanan. Langkah kakiku terhenti di benteng tua yang selalu kita
singgahi setiap kali mengantarmu pulang ke rumah. Di salah satu ruangan
benteng itu, di bagian yang paling gelap, aku pernah berteriak seperti
orang gila menyebutkan namamu. Kau tertawa dalam kegelapan dan aku
menikmati sensasi tawamu. Mataku benar-benar tak bisa melihatmu ketika
tiba-tiba dari balik kegelapan kau memelukku erat-erat dan membisikkan
kata-kata yang menentramkan hatiku.
Untuk inikah aku melakukan perjalanan tolol yang tak pernah kau
ketahui? Lihatlah taman kota yang penuh pohon beringin itu,
undak-undakan yang ada di tengahnya, rumput hijau yang menutupi
tanahnya, dan sinar matahari yang menyirami rerumputan dan seluruh
pepohonan rindangnya. Ada sebuah bangku kecil dari kayu di tengah taman
kota itu, tempat kita duduk dan menghabiskan sore hari ketika anak-anak
kecil banyak berkeliaran di sini. Pernah kau bertanya padaku apakah aku
akan suka punya banyak anak, dan aku menggelengkan kepala keras-keras.
“Aku tak mau diributi oleh teriakan dan tangisan mereka. Aku hanya
ingin satu anak perempuan yang manis, berambut ikal dan berpipi cembung
sepertimu!”
“Kau bodoh. Punya anak banyak sangat menyenangkan. Aku akan
melahirkan banyak anak nanti, biar kau tak sempat menonton film atau
membaca buku!” katamu sambil tertawa.
Taman kota ini, seperti halnya benteng tua, bioskop besar di pusat
kota yang selalu kumaki karena kegelapannya menakutkanku, gedung kampus
dengan bangunan tinggi yang tersebar seperti raksasa-raksasa bisu pada
malam hari, dan sebuah kedai kopi yang tutup sampai larut malam di
pinggiran kotamu, masih menyimpan aroma kayu putih dan bedak bayi yang
sering kau pakai. Bahkan ketika kusentuh bangku kayu kecil di taman ini,
perasaan melayang yang sama dengan menghisap aroma kayu putih di
lehermu itu masih jelas dalam benakku. Aku selalu kehilangan diriku di
saat seperti itu, melebur dalam sesuatu yang tak kupahami, sesuatu yang
luas dan tak bisa kukendalikan. Hanya suara lirihmu, serupa rintihan
lembut di ujung senja ketika aku masih kanak-kanak dan ibuku menyuruhku
pulang ke rumah, yang menghadirkan diriku kembali ke dunia dan mendapati
kau tengah menatapku dengan tatapan asing.
“Kau masih seperti anak kecil, bodoh!” katamu dengan senyum berbinar.
Sampai di depan bekas rumahmu, getaran perih itu tak pernah berkurang
sedikitpun. Setelah bertahun-tahun kau tak di situ, tak ada yang
berubah dari rumah itu. Sebuah rumah tua, dengan pintu kayu berukir,
jendela-jendela panjang dan agak tinggi dengan jeruji kayu di baliknya,
beranda dengan hiasan lampu tua, dan pagar kayu yang mengelilinginya.
Sebuah taman kecil, penuh anggrek yang tertempel di pohon mangga serta
kembang sepatu merah masih terpelihara dengan baik.
Kemurungan ganjil mengalir tak terbendung dalam diriku, melahirkan
rasa sesal tak berkesudahan. Apakah manusia bisa terlepas dari kenangan?
Apakah orang yang terjerumus dalam kenangan tak akan mampu memiliki
impian tentang masa depan yang terbebas dari masa lalunya? Lalu untuk
apa aku harus menjalani hari-hari seperti ini? Sepanjang perjalanan
pulang kembali, aku selalu memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu. (*)
.
.
Yogyakarta, akhir Januari 2008 – akhir September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar