Simpang

 

Cerpen Yetti A. Ka & Benny Arnas 

Terbit di Jawa Pos, 22 April 2012



BRC - AKU tak mungkin keliru kalau sekarang hari Sabtu dan bukan tanggal merah. Aku tak mungkin keliru kalau ini adalah simpang itu, simpang kita. Ah, apa yang terjadi padamu hingga tak kunjung menyambangiku? Apa yang terjadi pada hari ini hingga begitu sepi?


Setelah lama berdiri, setelah lama mencari, aku memutuskan duduk di bangku halte yang dingin. Tapi, buru-buru aku berdiri lagi. Aku merasa telah menduduki kertas permen bergambar stroberi. Kertas permen itu mengingatkanku pada Ping, anakku satu-satunya yang sekarang tinggal bersama mamanya. Aku baru saja mengunjungi Ping, belum setengah hari berlalu, dan kini aku sudah kangen lagi pada bibir, mata, hidung, dan rambut panjangnya. Aku ingat mata Ping amat sedih saat aku pamit pulang. Ia memegang kuat-kuat pergelangan tanganku, dan berkata, “Papa jangan pergi.”


Kami kesulitan menjelaskan pada Ping kalau orangtuanya memilih berpisah sebulan yang lalu dan malah sudah tidak saling mencintai jauh sebelum itu (tentu kesulitan ini tak ada apa-apanya bila dibandingkan kesulitan menjelaskan alasanku yang ngotot menamainya ‘Ping’). Ia terlalu kecil untuk memahami urusan orang dewasa. Kami menunggu waktu yang tepat untuk memberitahu Ping. Tentu, saat Ping sedikit lebih besar.


Aku  bilang padanya, “Besok pagi, Papa akan ke sini dan menemani Ping sarapan. Mau jalan-jalan untuk membeli balon Spongebob juga boleh. Bukankah besok hari Minggu?”


“Tidak mau,” ujar Ping ngambek.


Ping baru melepaskan tanganku ketika aku berjanji saat berkunjung besok akan membawakannya permen. Mama Ping protes, sebab selama ini kami melarang Ping makan permen. “Tidak apa,” kataku, “Asal Ping rajin gosok gigi.”


Maka aku memungut kertas permen yang tadi kududuki, melipat rapi, dan menyimpannya di kantong baju. Sebelum mengunjungi Ping besok pagi aku ingin membelikan permen persis sama dengan ini. Aku menyukai gambar stroberinya, dan semoga Ping juga suka.


Aku kembali duduk, memerhatikan sekeliling. Berharap menemukan mata seseorang memandangiku diam-diam, matamu. Namun, jalan raya seakan hanya milik mesin-mesin berjalan. Tidak ada pejalan kaki yang melintas. Kendaraan melaju kencang. Bus atau metromini berlari cepat seolah tidak sedang mencari penumpang atau seolah tidak ada penumpang yang akan diturunkan. Ada apa ini? Aku makin gelisah. Aku mulai tidak kerasan duduk lebih lama lagi di halte ini. Dan saat itulah—ketika aku merasa ingin sesegera mungkin pergi sebab kau yang kutunggu tidak akan datang—aku melihat ia berdiri di seberang jalan. Dengan cepat aku melupakan keinginanku untuk buru-buru pergi.


Perempuan itu berambut hitam. Aku memang terlalu sering menyukai perempuan berambut hitam pada pandangan pertama. Ia membiarkan rambutnya tergerai, sedikit berantakan, membuatku makin terpikat. Sesekali ia menyisir rambut itu dengan jari-jari tangan. Ia terlihat sedang menunggu sesuatu (bisa jadi bus dengan arah yang berbeda denganku) atau seseorang.


Hujan masih turun satu-satu. Perempuan itu seakan sengaja bermain dengan hujan. Sendirian. Di pinggir jalan. Tidak berharap ditemani siapa-siapa, sampai langit menurunkan hujan lebih deras lagi sehingga ia terpaksa berteduh. Barangkali pula sampai bus atau seseorang datang, membawa ia dari sana.


Karena itu, aku tetap duduk di halte, menatap dan memikirkannya. Aku merasa tidak mungkin meninggalkan ia sendirian. Tidak mungkin membiarkan ia ketakutan jika hujan turun deras disertai petir. Bahkan aku was-was tiap kali kendaraan lewat dan ia hilang beberapa detik dari pandangan. Mendadak aku merasa ia bagian dari kehidupanku. Seseorang yang ingin sekali kulindungi.


Aku pun mulai bertanya-tanya; siapa nama perempuan itu, di manakah ia tinggal, benarkah ia tengah menunggu sesuatu atau seseorang, apa ia memang menyukai hujan hingga tidak hendak berteduh, bagaimana kalau dia pilek.


Entah kenapa, seolah tahu aku sedang memikirkan ia, mata perempuan itu, yang entah bagaimana amat mirip dengan matamu, melihat ke halte di mana aku sedang duduk memandanginya. Ia langsung terdiam. Lebih tepat, menjadi patung. Aku makin penasaran. Apa yang dipikirkan perempuan itu? Apa mungkin ia ketakutan, mengira aku seorang penjahat? Aku berdiri, hendak menghampiri ia, menjelaskan kalau aku tidak seburuk itu.


Tapi sebuah sedan berwarna metalik segera berhenti di depan perempuan itu. Seorang lelaki turun, membukakan pintu kiri mobil, dan memegang bahu perempuan yang masih melihat ke halte seperti patung. Tidak berapa lama mobil itu sudah membawanya pergi tepat ketika hujan turun dengan deras. Aku tetap berdiri, membiarkan percikan hujan dari atap halte membasahi wajahku. Bukan, ia tentu bukan kau! Ah, kenangan memang pandai menilap pandangan. Kau? Di mana kau? Apakah kau mengendus statusku yang kini sendirian?


Di sini. Di simpang ini. Di halte ini. Kukira aku sedang terluka


Kemudian ponselku berbunyi. Mama Ping yang menelepon, mengabarkan kalau anak kami mendadak demam. Beberapa saat aku hanyut dalam lengang yang panjang. Kulihat  kendaraan-kendaraan melintas, makin tergesa, nyaris sebagai bayangan saja. Tidak ada bus atau metromini yang berhenti. Tidak ada. Aku mengambil kertas permen bergambar stroberi dari kantong baju dan berlari meninggalkan halte dengan hati yang membiru, pekat.


Sangat pekat.


***


APAKAH kau masih saja mencintaiku? Atau… dengan alasan bahwa kau adalah pelupa berat, sudah sejak lama kauusir aku dari kenangan? Hari Sabtu kutunggu kau di tempat kita dahulu biasa menuntaskan rindu!


Kuremas suratmu itu hingga remuk. Perasaan bahagia dan geram bersigesek dalam dada. Oh, bagaimana mungkin kau masih mengingatku? Bahkan, kau masih hapal penyakit lupaku! Bagaimana mungkin kau masih melajang? Bagaimana mungkin kau masih mencintaiku? Atau… aku yang harus bertanya pada hati kecilku: Mengapa tiba-tiba aku menjadi seperti ini?


Mengapa kedatangan surat itu bagai melemparku ke masa lalu, menjeratku di sebuah pohon di lembah bunga? Dan di sana, mengapa aku tiba-tiba menjadi daun di ranting yang meranggas; daun yang begitu getas, kering, lalu terlepas dari rekatan sebelum luruh mencium altar kemarau?


Sungguh, aku takut mengartikan surat yang diberikan pembantuku pada suatu sore itu. Surat itu seperti baterai dari langit yang dipasang di dalam tubuh. Ia memasok energi berlebih hingga meluap, hingga menghidupkan gairah yang tumpul dalam ratusan purnama, lalu kini menjelma mentari yang menyala-nyala. Oh, aku tiba-tiba tak sabar menunggu hari itu. Menunggu hari Sabtu!


Aku membaca surat itu setiap hari.


Dan di pagi ini, aku tiba-tiba menemukan semacam peta di sana. Ternyata itu adalah peta kampung halamanku, kampung halaman kita. Aku kenal sekali jalan panjang yang meliuk-liuk di sana, jalan yang bermuara di sebuah kelokan, satu-satunya simpang di kampung kita. Di sana, kita dahulu kerap bertemu setelah beberapa waktu mengendapkan rindu.


O o, kertas surat itu tiba-tiba menggeliat; memanjang, melebar, meluas … hingga aku tak kuasa memegangnya. Gila! Ia menjelma sebuah daerah dalam rumah. Dalam keterkejutan yang bercampur ketakjuban, aku iseng melangkah.


Berhasil!


Tiba-tiba pikiranku dipenuhi oleh bayanganmu. Ternyata, selain keberadaan orangtua, sanak famili, dan kawan lama, kampung halaman menjadi berarti karena ada cerita picis yang harus diputar kembali. Dan cerita itu bersemayam di simpang sebuah kampung.


Aku tiba-tiba merasa sangat bergairah. Aku berjalan dengan langkah yang dikayuh lebih cepat dari biasa—dengan degup jantung yang tergesa-gesa, seolah tak peduli berapa panjang jalanan yang mesti ditempuh, seolah tak peduli berapa butir keringat yang tumbuh dari padang pori-pori….


Sampai pula akhirnya.


Ternyata kampung kita, kampung kita sudah sangat maju. Ya, lihat! Di simpang, sudah berdiri sebuah halte. Bus sudah merambah kampung kita (atau kini sudah jadi kota?) dalam jumlah yang tidak sedikit. Belum lagi, rumah-rumah beton, ruko-ruko, dan gedung-gedung lebih dari tiga lantai, berdiri di sana-sini. Tapi … aku mengendus kejanggalan di sini!


Ya, di sini sangat lengang untuk ukuran sebuah daerah yang maju. Memang masih ada orang-orang yang lalu-lalang, tapi semua ruko dan gedung tutup. Hanya beberapa rumah penduduk dan kedai kecil yang masih buka. Ah, aku tak peduli! Di mana kau? Kutunggu hingga bayang matahari menembak mata kaki, namun kau masih saja bersembunyi. Apakah kau sedang mempermainkanku?


Sebuah tangan menyentuh pundakku. Aku menoleh. O o, suamiku! Aku refleks meneguk liur yang terasa sepat di kerongkongan. Aku merasa sulit bernapas. Tapi suamiku malah tersenyum.


Wajah Mama sangat pucat, katanya.

Aku menyeringai.

Aku mengikuti Mama dari tadi lho, lanjutnya.

Tiba-tiba aku merasa sangat terpojok.

Mengapa harus ke pasar hari ini sih, Ma?


Pasar? Mataku menyapu sekeliling. Ya, Tuhan… ini adalah pasar kecil yang tak jauh dari rumah, tempat aku dan suamiku kerap mengajak Ping, putra semata wayang kami, membeli alat tulis di akhir caturwulan. Tapi mengapa pasar ini sangat lengang? Ah, apa pun itu, yang jelas aku benar-benar merasa bersalah. Aku ingin langsung memeluk suamiku. Aku ingin mengakui sekaligus menyesali kebodohanku, lalu mohon maaf kepadanya atas kealpaanku. Hampir saja tangisku pecah apabila ia tak buru-buru berkata:

Pasti penyakit lupa Mama kambuh lagi, ya! Kita ’kan selalu mengajak Ping ke rumah neneknya setiap hari Minggu. Hayooo…!


Ups! Hari Minggu?


Aku menepuk dahi beberapa kali. Tiba-tiba aku bisa bernapas dengan leluasa. Kubinar-binarkan mataku. Kukembangkan senyum. Ah, semoga ia tak menangkap rasa bersalah yang mengerubungiku. Ah, bagaimana aku dapat mengabaikan keberadaan lelaki hebat yang sudah memberiku satu anak lelaki luar biasa? Ah, sudahlah! (Tiba-tiba aku sangat geram pada surat itu—seharusnya kau berpikir, siapa yang sudi menempuh perjalanan puluhan kilometer hanya untuk masuk perangkap atas nama romantisisme?!)


Aku yakin, kemarin kau menunggu kedatanganku di kampung nun jauh di situ. Kau pasti puas memuntahkan sumpah serapah di halte simpang itu, simpang yang baru saja kulempar ke dalam kotak sampah yang bertuliskan ”Tak Dapat Didaur-ulang”. Aku tersenyum dalam hati, mengejek kebodohan yang menguasaiku beberapa hari belakangan ini. Tiba-tiba aku tidak ingin sembuh dari penyakit lupa ini. Aku tak ingin!


Aku menggamit tangan suamiku, mengajaknya meninggalkan halte dengan hati yang merah, pekat.

Sangat pekat. (*)
-----------------------------

 .

.

Lubuklinggau- Batusangkar, 2011-2012
Yetti A. Ka, buku yang telah terbit Satu Hari Bukan di Hari Minggu (2011), Musim yang Menggugurkan Daun (2010), dan Numi (2004). Benny Arnas lahir di Lubuklinggau, 8 Mei 1983. Buku kumpulan cerpennya adalah  Jatuh dari Cinta (2011), Bulan Celurit Api (2010), dan Meminang Fatimah (2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar