Cerpen Sunaryono Basuki Ks
Terbit di Jawa Pos, 2 Desember 2012
BRC - TIBA-TIBA golok berdarah itu sudah berada di tanganku. Aku
tidak tahu dari mana datangnya, namun orang-orang menunjuk ke arahku dan
mulai bergerak setelah terdengar teriakan:
“Itu jambretnya! Tangkap!”
Gelombang orang-orang merangsek ke arahku. Tanpa kuinginkan, tangan
kananku yang memegang golok terangkat ke atas. Darah makin melumuri
tanganku, sesaat rombongan orang yang tadinya merangsek maju terhenti,
namun seseorang berteriak:
“Jangan takut! Ayo maju bersama. Ambil tongkat besi, ambil!”
Mereka mulai mencari-cari di tong sampah, di got, di halaman toko,
apa saja yang bisa mereka pakai sebagai senjata. Tapi lelaki yang tadi
berteriak malah sudah memegang pedang panjang. Dari mana dia
mendapatkannya? Aku tak sempat berpikir panjang sebab mereka mulai
merangsek maju dan mulai mencapai tubuhku, dan memukuliku dengan
tongkat, dengan apa saja yang bisa dipakai memukul, dan tangan kiriku
meraba kepalaku yang bersimbah darah, dan kemudian aku tidak tahu apa
aku pingsan atau mati. Kulihat tubuhku terjatuh di tanah, mereka tetap
memukuliku bertubi-tubi, walau aku tidak melawan. Kemudian, kukira aku
berbisik:
“Apa salahku? Aku tidak berbuat apa-apa.”
Jangankan bisik, andaikata aku mampu berteriak pun pasti mereka tidak
mampu dan tidak mau mendengarku. Yang penting mungkin bagi mereka
melampiaskan rasa kesal mereka pada tubuhku, pada diriku yang memegang
golok berdarah.
Tapi, bukankah aku tidak tahu dari mana golok berdarah itu berada di
tanganku? Tiba-tiba dan begitu saja. Pasti mereka jengkel, hampir setiap
hari terjadi penodongan, penusukan, pemerkosaan, dan semuanya
menjadikan masyarakat resah kehilangan rasa aman. Polisi tidak mampu
mengatasi hal ini, selalu kecolongan aksi-aksi para penjahat itu.
Tetapi, aku bukan penjahat. Hanya saja, aku memang tidak punya pekerjaan
tetap. Kalau ada kesempatan, aku memulung sampah-sampah kardus yang
dapat kujual pada pengepul. Namun aku tak pernah punya niat atau
keberanian buat membunuh orang dengan golok berdarah yang tiba-tiba
berada di tanganku.
Sekarang entah tubuhku terbaring di jalan atau mengambang di
awang-awang. Aku tidak yakin. Apakah aku berada di rumah sakit, tetapi
siapa yang peduli membawa tubuhku ke rumah sakit? Atau aku berada di
kamar je nazah dan mati sebagai Mr X sebab aku memang tidak punya KTP.
***
Aku lihat seorang lelaki yang baru melakukan penusukan dengan cepat
mengalihkan golok berdarah itu ke tangan seorang lelaki berpakaian kumuh
yang sedang mengorek-korek tong sampah mencari sisa-sisa yang masih dia
bisa kais. Peristiwa itu berlangsung cepat, aku hampir tak mampu
mengawasinya andaikata aku tidak berada di depan jendela lantai dua
bangunan itu. Dengan jelas aku lihat lelaki yang menusuk seorang
perempuan tua dengan golok, entah apa yang dikehendakinya. Ya, baru
jelas, dia menjambret kalung perempuan yang berteriak itu yang segera
dibungkam dengan sabetan golok yang membuatnya berlumuran darah. Kulihat
perempuan itu rebah ke tanah, namun lelaki yang mengais tong sampah itu
tiba-tiba memegang golok berdarah di tangannya, dan menjadi sasaran
amuk massa.
Aku ingin meneriakkan dari atas sini bahwa dia tidak bersalah, dan
bahwa lelaki yang berteriak rampok itulah pelaku sesungguhnya. Namun,
andaikata aku berteriak pun akan sia-sia dan takkan mampu menahan
gelombang amarah massa. Apalagi kalau pelaku sesungguhnya marah dan
menuduhku sebagai komplotan pembunuh. Oh, tidak. Aku tidak mau
membahayakan diriku sendiri dengan menerima ancaman golok sewaktu-waktu.
Siapa yang bisa memastikan bahwa pelaku penjambretan itu hanya seorang
diri saja? Aku yakin mereka tidak pernah beroperasi sendirian. Pasti,
paling tidak bertiga atau berempat. Kalau kelihatannya pelaku hanya
seorang, maka yang lain berjaga-jaga, dan sewaktu-waktu bisa
menghunjamkan golok atau pisaunya ke perut orang yang membayakan nasib
mereka sebagai kelompok. Bahkan polisi pun bisa menjadi korban
penusukan. Mungkin itu sebabnya petugas polisi tidak sembarangan
bertindak. Dia selalu awas dan mengawasi situasi, siapa tahu di antara
kerumunan massa ada yang membawa sajam, dan kemudian menerkamnya dari
belakang.
Aku terpaku bagai patung kayu di depan jendela, tak bisa menggerakkan
lidahku untuk meneriakkan ketidakbenaran dan ketidakadilan itu. Aku
hanya bisa menyaksikan ketidakbenaran dan ketidakadilan dari jendela
rumah bertingkat dua itu tanpa berbuat apa, bagaikan saksi situasi yang
menimpa negeriku. Berbagai peristiwa hanya bisa disaksikan tanpa bisa
terlibat untuk meluruskannya. Yah, sekarang ini siapa yang mampu
meluruskan jalannya sejarah, atau apakah memang sejarah punya jalan yang
harus diluruskan? Aku benar-benar tidak tahu dan tidak mampu.
***
Aku berada di keramaian kota yang sudah biasa kujalani, dan aku juga
sudah biasa waspada, memperhatikan orang-orang di sekelilingku yang
gelagatnya mencurigakan. Sebagaimana biasa aku pergi ke pasar untuk
membeli keperluan sehari-hari buat keluargaku. Aku bukanlah orang kaya.
Suamiku hanyalah seorang PNS kecil dari departemen yang mustahil
melakukan korupsi, apalagi sampai menggelapkan pajak. Namun aku
bersyukur telah diberi kehidupan walaupun secara sederhana. Karena suami
dan anak-anakku belajar dan diajari hidup jujur, maka sering pula aku
beranggapan bahwa semua orang seperti kami, yang hidup dengan bersyukur
dan berjalan pada jalur yang benar. Namun, hari ini mungkin hari sialku,
atau mungkin sudah merupa kan buah dari perbuatanku, atau perbuatan
orang tua ku, atau perbuatan leluhurku yang harus kupetik. Orang Bali
percaya pada hukum karma pala, hukum buah perbuat an. Dan,
walaupun aku bukan orang Bali, aku juga percaya pada hukum ini. Bukanlah
esensi agama mengajari manusia untuk berbuat baik? Benih yang ditebar
tidak akan tumbuh sebagai tanaman yang berbeda. Menebar benih padi akan
menuai padi. Biji salak akan menumbuhkan tanaman salak yang kulitnya
bersisik namun buahnya masam manis.
Entah dari mana, tiba-tiba sebuah tangan terjulur dan menjambret
kalungku. Kudengar bisik keras: “Jangan berteriak!” Namun mulutku
terbuka, dan sebelum sepatah kata keluar, sebilah golok menyambar
leherku. Darah muncrat, namun aku masih mengenali lelaki yang
menyambarkan golok itu. Lalu, orang-orang memburu seorang lelaki yang
tangannya memegang golok berdarah dan menghajarnya. Aku ingin
meneriakkan bahwa bukan dia yang menjambret kalungku, namun aku tak
berdaya, dan kemudian aku mungkin jatuh pingsan. Kasihan lelaki malang
itu, yang mungkin juga sedang menanggung buah perbuatannya. Aku tak
berdaya.
***
Aku sedang berpatroli dengan sepeda motor HD sebagai petugas polisi
lalu lintas. Kulihat orang bergerombol menghajar seseorang, dan aku
segera menelepon petugas lain untuk datang membantu. Walaupun aku bukan
polisi antihuru-hara, sebagai polisi pelindung rakyat aku turun dari
sepeda motorku dan meniup peluit untuk menarik perhatian massa yang
mengamuk. Namun, nampaknya mereka tak peduli. Kulihat seorang lelaki
sudah terkapar di atas jalan aspal. Tangannya memegang golok berdarah.
Jalanan macet. Kemudian juga, seorang perempuan tergeletak di jalanan.
Mungkin dialah korban dari golok berdarah itu.
Aku segera mengatur lalu lintas agar tidak macet.
Ambulans yang kupanggil segera datang, bunyi sirenenya meraung-raung
dan dua orang korban itu segera diangkat pergi, dikawal petugas polisi
yang datang. Entah bagaimana nasib mereka. Mudah-mudahan mereka
baik-baik saja dan persoalannya dapat diurus secara hukum. Beberapa
orang sudah ditanyai sebagai saksi oleh rekan-rekan polisi yang datang.
Setelah melapor melalui telepon, aku memacu motorku menuju rumah sakit, memburu ambulans yang meraung lebih dahulu. (*)
Singaraja, 17 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar