Cerpen Yudhi Herwibowo (Koran Tempo, 29 April 2012)
SUDAHKAH engkau melihat jejaknya? Tubuhnya yang
besar dan lebih tinggi dari orang-orang pada umumnya, telah membuat
jejaknya lebih tertanda di tanah. Angin tak akan mudah menghapusnya, dan
debu tak akan mudah menutupnya.
Dialah Matu Lesso.
Orang-orang di sepanjang pantai selatan Flores ini lebih kerap
memanggilnya Si Pemanggil Hujan, walau ia sendiri lebih suka menyebut
dirinya Si Penebar Pasir.
Puluhan tahun lalu semasa ia kecil, ia pernah menemukan seorang
laki-laki tua yang hampir mati di desanya yang kering-kerontang. Tubuh
tua itu lunglai dan terasa membara, uap panas nampaknya telah
menghabiskan sisa-sisa air di tubuhnya. Dan Matu Lesso kemudian
memberikan air minum terakhirnya pada laki-laki tua itu.
Dan laki-laki tua itu selamat. Maka sebagai ucapan terima kasih, ia
kemudian menyerahkannya tas kulit kecil yang diselempangkannya di
pundaknya. Tas yang hanya segenggaman tangan itu hanya berisi pasir.
“Hanya ini yang kupunya,” ujar laki-laki tua itu lirih, “namun ini akan membayar semua tegukan air yang kau berikan padaku.”
Dan laki-laki tua itu kemudian pergi dan menghilang bersama senja.
Matu Lesso sama sekali tak mengerti untuk apa kantung pasir itu. Maka
sampai belasan tahun kemudian, ia hanya menyimpan kantung itu di salah
satu sudut rumah bebak-nya. Seperti tak terjadi apaapa.
Bagi Matu Lesso kejadian seperti itu telah kerap terjadi. Ia kerap
menolong orang laki-laki tua itu. Di desanya yang tak bernama, tak jauh
dari Larantuka, kekeringan telah menyatu dalam gerak hidupnya. Hujan
sepertinya menepi dari garis edar tanah desanya. Hingga pohon paling
tahan air pun enggan tumbuh. Inilah yang membuat tahun-tahun terakhir
ini, satu persatu penduduk desa pindah ke desa-desa lainnya yang sedikit
lebih bersahabat. Namun karena ayahnya, Papae Lesso, merupakan tua golo,
atau orang yang dituakan, di sini, Matu Lesso tak bisa pindah begitu
saja. Terlebih lagi, kini ayahnya pun sakit-sakitan. Ia hanya tinggal
menunggu air terakhir dari tubuhnya menguap!
Namun beberapa kali, Matu Lesso sempat memohon pada Papae Lesso untuk
pindah. Ia bahkan meyakinkan bila sanggup membopong tubuh ayahnya yang
renta sampai ke desa sebelah. Tapi ayahnya menolak.
“Ini tanah leluhur kita, kita tak bisa meninggalkannya begitu saja.
Aku akan lebih memilih mati di sini daripada harus meninggalkannya.”
Dan Matu Lesso hanya bisa menurut.
Di saat seperti itulah, saat ia seperti tak lagi bisa berpikir
apa-apa, matanya tanpa sengaja melihat kantung pasir pemberian laki-laki
tua itu dulu. Entah kenapa ia seperti baru melihatnya sekarang, mungkin
karena di rumahnya kini, memang tak banyak lagi barang yang tersisa.
Awalnya ia berpikir untuk menjual kantung pasir itu demi seteguk-dua
teguk air. Namun siapa yang akan membeli kantung pasir seperti itu? Maka
dengan penuh kekecewaan, ia meraup pasir di dalam kantung itu, dan
menaburkannya ke langit dengan penuh kekecewaan.
Sampai beberapa saat tak ada apa pun yang terjadi. Bulir-bulir pasir
itu berjatuhan di tanah satu-satu. Namun sejeda kemudian, secara samar
ia mulai merasakan satu tetes air di wajahnya.
Dengan tak percaya, Matu Lesso menengadah. Dan satu lagi tetesan
kemudian dirasakannya. Lalu, satu lagi, satu lagi berikutnya…. Dan tak
berapa lama, hujan tiba-tiba sudah mengguyur tubuhnya. Membasahi tanah
yang meranggas selama ini.
Papae Lesso bertanya tak percaya, dan Matu Lesso hanya bisa
menggeleng kepalanya tak yakin, “Beta hanya melemparkan pasir-pasir di
kantung pemberian laki-laki tua dulu itu, Papae.”
Dan Papae Lesso tertegun.
“Ini pastilah pemberian yang kuasa,” sambutnya sambil menatap kantung
itu lekat-lekat. “Kalau memang pasir ini bisa memanggil hujan, kau
harus membaginya pada orang-orang yang membutuhkannya.”
Dan setelah berkali-kali ia mencoba, tebaran pasir itu memang selalu
mendatangkan hujan. Maka hanya selang beberapa hari kemudian, saat
beberapa penduduk mulai kembali ke desa ini, Matu Lesso memutuskan untuk
melakukan perjalanan sesuai keinginan Papae Lesso.
Ia berjalan menuju arah matahari tenggelam. Hanya dengan sebuah
tongkat dan tas kain berisi dua potong pakaian, dan kantung pasir yang
diselempangkan di pundaknya. Di setiap desa yang dilaluinya, ia akan
menaburkan pasir dari dalam kantung, dan hujan kemudian selalu
menyusulnya beberapa saat kemudian.
Terus seperti itu sepanjang jalan.
Jejak-jejak yang ditinggalkan di belakangnya, mulai terasa basah.
Matu Lesso tahu kalau beberapa rumput liar perlahan mulai tumbuh di
sana. Ini membuatnya semakin bersemangat untuk terus berjalan ke depan,
seakan-akan ia telah menebarkan kehidupan.
Matu Lesso tak pernah menghitung telah berapa hari terlewati. Telah berapa bulan terlalui.
Sampai bertahun-tahun ia menjalani kehidupan seperti itu.
Ia hanya terus menebarkan pasir-pasir itu, tanpa pernah tahu kenapa
pasir di dalam kantungnya tak pernah benar-benar habis. Sepertinya,
setiap ia mengambilnya segenggam dan hujan kemudian membasahi tubuhnya,
tetesan air yang meresap di kantung itu kembali menjadi pasir.
.
LALU semua orang di Flores dan Timor mengenalnya. Kau pun pasti pernah mendengar tentang kisahnya dari para tua golo-mu. Atau bahkan mungkin mengundangnya untuk datang ke desamu, sekadar mendatangkan hujan.
Dan Matu Lesso akan selalu datang dengan tubuh besarnya, tanpa banyak
berkata-kata. Selama puluhan tahun, ia tak henti melakukan itu. Ia
pergi dari ujung ke ujung, bahkan sampai menyebrangi Pulau Timor, Rinca
dan beberapa lainnya.
Sampai suatu hari, Matu Lesso mendengar kabar dari salah satu
penduduk yang baru melalui desanya, bila Papae Lesso telah lama
berpulang.
Ini tentu saja memurukkan dirinya. Selama sekian tahun
pengembaraannya, ia selalu merindukan pulang untuk menjumpai Papae
Lesso. Ia selalu ingin mengetahui bagaimana keadaan kesehatan Papae
Lesso? Apakah sakit yang selama ini dideritanya telah sembuh? Ataukah
sakitnya semakin parah?
Tapi semua pertanyaan itu hanya bisa menggaung di hatinya. Ia
sepertinya tak lagi bisa benar-benar pulang. Orang-orang dari segala
penjuru terus memohon padanya untuk menghadirkan hujan di desa-desa
mereka. Inilah kadang membuat Matu Lesso berharap agar pasir di
kantungnya benar-benar habis, sehingga ia punya alasan kuat untuk dapat
pulang.
Dan di saat seperti itulah, ia baru menyadari bila ia telah begitu
lelah. Warna kulitnya telah begitu legam. Bajunya telah compang-camping.
Dan kakinya telah mengapal sedemikian tebalnya.
Namun entah mengapa kini sepertinya setapak tak lagi bisa dilihat di
depannya. Untuk kali pertama sepanjang hidupnya, Matu Lesso seperti
kehilangan arah.
.
DAN Matu Lesso berpikir untuk menepi. Umurnya telah
40 tahun lebih. Kali ini ia benar-benar ingin pulang ke rumah, dan
berdoa di depan nisan Papae Lesso.
Maka ia pun memutuskan tak lagi menjadi penabur pasir ataupun
pemanggil hujan. Ia ingat, dulu Papae Lesso yang memintanya melakukan
ini semua, dan kini setelah Papae Lesso pergi, ia seperti tak lagi
berjanji pada siapa pun untuk melakukannya.
Sepanjang jalan menuju desanya, ia hanya berjanji akan melakukan tiga
kali tabur pasir untuk memanggil hujan. Setelah itu, ia akan mengikat
erat-erat kantung pasir itu, dan memasukkannya dalam tasnya, tak lagi
ingin menjamahnya.
Kemudian, setelah melakukan tiga kali janjinya, ia pun pulang. Ia
berkata pada orang-orang di desa, bila pasir di kantungnya telah habis.
Dan kini ia ingin melanjutkan hidupnya sebagai orang biasa.
Ia kemudian menyimpan kantung pasirnya di sebuah kotak yang
digemboknya rapat-rapat, dan gembok itu kemudian dibuangnya di sebuah
celah tanah yang dalamnya tak terlihat mata.
Matu Lesso kemudian menikah dengan salah seorang perempuan dari desanya.
Setahun kemudian ia pun memiliki seorang anak.
Sampai sepanjang ini, ia benar-benar telah menjadi orang biasa.
Beberapa orang dari desa-desa yang jauh masih mencoba meminta tolong
padanya, namun ia selalu menggeleng.
Anaknya kemudian tumbuh di atas tanah yang semakin meranggas. Satu persatu pohon yang dulu mulai tumbuh, kembali mati.
Sampai ketika anak berumur tak lebih dari lima tahun, tak ada lagi sisa air di tanah ini. Semua kembali menjadi seperti dulu.
Dan sang anak pun akhirnya mati karena kekurangan air. Tubuhnya
mengeriput dan kulitnya seakan menyatu dengan tulang-tulangnya yang
kecil!
Matu Lesso menangis, namun air matanya pun tak sampai bisa menyentuh tanah sebab menguap hilang terlebih dahulu.
Kejadian seperti puluhan tahun lalu, kembali terulang. Satu persatu
penduduk kembali pindah mencari desa-desa yang le bih bersahabat.
Istrinya pun memintanya pindah, namun ia menolaknya. Ia masih ingat
kata-kata penolakan Papae Lesso saat ia memintanya pergi. Dan itu
kembali ia ucapkan.
Istrinya tak lagi berkata-kata. Namun beberapa hari kemudian tubuhnya
layu, tergeletak dalam dipannya dan mulut kering menganga. Ia
benar-benar nyaris mati. Bahkan akar rumput yang dicoba diperas pun tak
menghasilkan setetes air.
Matu Lesso tak memiliki pilihan lain. Dengan tenaganya yang tersisa,
ia akhirnya kembali membuka peti kayu, tempat dulu ia menyimpan kantung
pasirnya, dengan kampaknya.
Dengan tangan gemetar, ia mulai meraup dan menebarkan bulir-bulir pasir dari dalam kantung itu.
Tapi sampai lama, tak ada hujan yang turun. Bahkan sampai ia
menebarkan seluruh pasir yang tersisa, tetap tak ada setitik pun air
yang jatuh.
Istrinya tak lagi bisa bertahan. Ia mati saat itu juga.
Dan Matu Lesso hanya bisa terpuruk. Jatuh di atas tanah yang seperti
membara. Air telah nyaris hilang dari tubuhnya. Matanya berkunang-kunang
tak lagi menyadari apa yang terjadi di sekitarnya. Di saat seperti
itulah, ia seperti melihat seorang tua menghampirinya dan mengambil
kantung pasir yang baru saja dilemparkannya.
Ia tak sadarkan diri.
Namun saat ia kembali tersadar, di genggamannya telah ada kantung
pasir seperti sedia kala, dengan bulir-bulir pasir yang memenuhinya.
Dengan gerakan tak percaya Matu Lesso meraup pasir itu kembali, dan
menebarkannya dengan sisa tenaganya. Hanya berselang beberapa hirupan
napas saja, ia merasakan tetesan air mulai menjatuhi tubuhnya.
Matu Lesso menangis. Bersamaan dengan hujan yang datang, ia tahu apa yang harus dia lakukan.
Ia tahu takdir yang ada pada dirinya!
.
ITULAH kisah tentang laki-laki penebar pasir,
pemanggil hujan. Aku yakin, satu atau dua di antara kalian pernah
mendengarnya, atau bahkan menemuinya di tengah perjalanannya di
sepanjang pantai selatan Flores.
Tubuhnya masih nampak besar dan jejaknya masih begitu tertanam di
tanah meninggalkan kehidupan yang nampak menggeliat di belakangnya. (*)
.
.
Yudhi Herwibowo tinggal di Mojosongo, Solo. Ia telah menerbitkan sejumlah buku, antara lain novel-novel bertema sejarah seperti Untung Surapati (2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar