Si Janggut Mengutuk Setan dan Herucakra

Cerpen A.S. Laksana

Terbit di Koran Tempo, 25 November 2012



Bahan Referensi Cerpen - BERTAHUN-TAHUN lalu, dengan rasa sedih yang tak tersingkirkan dari paras mukanya, ia membawa boneka kucing ke rumah sakit jiwa. Itu boneka untuk Sasi Kirana. Mereka pernah tinggal bersama di satu kamar kontrakan di pinggiran Magelang dan bekerja di toko yang sama milik paman Sasi. 

Empat tahun mereka tinggal sekamar, tanpa kegaduhan, tanpa suara, hanya bertukar isyarat—keduanya bisu-tuli—dan Sasi demam pada hari Selasa pagi dan mati pada Jumat sore dan hidup lagi beberapa jam kemudian. Sejak peristiwa itu, perangai Sasi berubah: ia menjadi suka mencuri barang-barang di toko pamannya dan kencing sembarangan. Ayah dan ibu Sasi, setelah menerima laporan yang terdengar genting dari si paman, membawa gadis itu pulang dan mengirimkannya ke rumah sakit jiwa beberapa hari kemudian.

Trinil sedang mencuci pakaian di kamar mandi ketika mereka datang dan ia menutup pintu kamar mandi saat mereka berkemas dan terus berada di sana sampai mereka meninggalkan kamar. Ia benci pada keputusan keluarga Sasi, tetapi ia tak punya suara untuk mempertahankan agar gadis itu tetap bersamanya. Karena itu ia memilih tidak melihat sama sekali kepergian mereka. Ia benci juga kepada si paman yang telah menelepon ayah Sasi.

Pada hari gajian, ia memberitahukan kepada pemilik toko itu bahwa ia tidak bisa bekerja tanpa Sasi dan ia memutuskan berhenti dari pekerjaannya. Si paman memperlihatkan raut muka terkejut yang berlebihan, namun tidak berusaha menahannya. Minggu berikutnya Trinil pindah ke Jogja, mengontrak kamar di tempat kos para pekerja pabrik bohlam, dan mendapatkan pekerjaan sebulan kemudian di toko barang kerajinan dekat terminal.

Demi mengusir rasa sedihnya, hampir tiap petang seusai kerja ia mengunjungi warung kopi tak jauh dari kamar kontrakannya. Di tempat ini, dua tahun kemudian, ia bertemu dengan seorang lelaki yang memelihara janggut dan kerut di dahi dan mengatakan bahwa setan-setan kapitalis harus dikembalikan ke tempat asalnya di neraka. Lelaki itu masuk ke warung beberapa menit sebelum pukul delapan, berdiri sesaat di pintu, dan melangkah ke kursi kosong di seberang meja Trinil. Pemilik warung mendatanginya tak lama setelah ia duduk dan menanyakan apakah ia ingin mencoba kopi arang andalannya. Si Janggut memesan bir.

Ada beberapa kursi kosong di meja-meja lain sebetulnya, tetapi lelaki itu memilih duduk semeja dengan Trinil. Nanti akan kaulihat bahwa ia memang bukan orang yang suka duduk sendiri di pojok ruangan; ia menyukai pembicaraan. Lebih tepat, ia suka berpidato. Sudah tiga bulan ia mendalami slogan-slogan perlawanan dan membaca pelbagai tulisan yang mengutuk setan kapitalis dan ia rajin menyampaikan gagasannya tentang para setan setiap kali ada kesempatan baginya untuk menyampaikan hal itu kepada orang lain.

Malam itu ia menyampaikannya kepada Trinil, perempuan yang baru pertama kali ia temui, di warung yang baru pertama kali ia masuki, bahwa kita tidak bisa membiarkan setan-setan kapitalis itu terus berkeliaran di muka bumi. Dunia ini, katanya, hanya cocok untuk para malaikat sosialis yang tidak menumpuk kekayaan bagi diri sendiri dan memiliki kesediaan untuk hidup sama rata sama rasa dengan sesamanya.

Trinil menyesap kopi dan mengisap rokoknya dan menghadapi lelaki itu dengan ketenangan yang tidak berubah. Si Janggut merasa menemukan danau. Setelah pembukaan yang membakar semangatnya sendiri tentang setan dan malaikat, ia berhenti sejenak untuk melolos sebatang rokok dan menyelipkannya di bibir. Tangannya mencari-cari korek api yang tidak ia temukan baik di saku baju maupun celananya. Trinil menyalakan korek apinya dan mendekatkannya ke ujung rokok lelaki tersebut.

“Terima kasih,” kata si Janggut. Lalu ia melanjutkan lagi pembicaraannya, dengan beberapa jeda untuk mengisap rokok atau meminum birnya dengan tegukan-tegukan besar.

Itu malam yang menggairahkan setelah dua kejadian yang mengecewakannya seharian. Siang hari tadi, di pabrik bohlam tempatnya bekerja, si Janggut mulai bicara di depan para buruh dan mereka meninggalkannya. Salah seorang mengingatkannya bahwa pabrik tempat mereka bekerja sudah menggaji buruh sesuai upah minimum yang ditetapkan dan si Janggut tak perlu mengadu domba.

“Kau baru sepekan di tempat ini, jangan cari perkara,” kata orang itu.

Pulang kerja, dalam perasaan tercampakkan, si Janggut membaca selebaran yang ditempel di tembok pabrik, seperti reklame film zaman dulu, “Herucakra”. Di bawahnya: “Ratu Adil pasti datang!”

Kepalanya menggelegak. Gagasan kuno semacam itu tidak boleh dibiarkan meracuni orang banyak. Lalu ia menulis pesan di bawah selebaran itu: “Ratu sudah datang. Ia menunggumu di warung Jatmiko dekat terminal. Temuilah nanti malam.” Pesan yang sama ia ulangi di bawah selebaran-selebaran serupa yang ia jumpai di tembok-tembok lain.

Ia sendiri belum pernah masuk ke warung Jatmiko—belum dua pekan ia tinggal di tempat ini—tetapi sudah beberapa kali ia lewat di depannya dan melihat warung itu ramai pada petang hari. Maka ia tulis nama warung itu sebagai tempat menunggu. Jika si penempel selebaran betul-betul datang, ia akan memberi pelajaran kepadanya bahwa kita tidak boleh bermalas-malasan menunggu Ratu Adil atau Pangeran Mlaar atau pahlawan khayalan dengan nama apa pun yang tak akan pernah datang. Dan kalau orang itu sulit disadarkan, ia akan mengatakan bahwa kaum pemalas yang hanya mengharapkan datangnya ratu khayalan adalah sama belaka dengan cacing kremi merindukan bulan.

Begitulah, malam itu si Janggut masuk ke warung Jatmiko untuk menanti kedatangan penyembah Ratu Adil, namun ia segera lupa pada niat semula ketika di hadapannya duduk seorang perempuan yang dengan tenang menyimak seluruh pembicaraannya. Apa saja yang terlintas di dalam kepalanya ia tumpahkan. Trinil sesekali memperhatikan gerak bibir lelaki itu, sesekali memandang asap rokoknya, sesekali menatap lantai.

“Sungguh menyenangkan ketika kita bertemu orang yang mau memahami perjuangan kita,” kata si Janggut. 

Ia suka menggunakan kita. “Bahkan para buruh pun sulit kita ajak bangkit untuk mengembalikan para setan ke neraka. Mereka sudah merasa tenteram ketika upah minimum dipenuhi.”

Pukul setengah sepuluh lebih sedikit, ketika agen pengiriman setan itu pergi ke kamar kecil, Trinil membayar kopi dan jajanan yang ia makan dan meninggalkan warung, meninggalkan lelaki yang menyampaikan apa saja yang tak mungkin tertangkap oleh pendengarannya. Si Janggut merasa terpukul saat ia kembali dari kamar kecil dan mendapati bahwa Trinil sudah tidak ada lagi di tempatnya. Ia merasa dicampakkan sekali lagi, kali ini oleh seseorang yang ia pikir mau menyimak pembicaraannya dan sudah ia anggap kawan seperjuangan. Dalam gerak yang tak terduga, ia tiba-tiba menggebrak meja dan meraungkan kekecewaannya. Dikatakannya bahwa semua orang sudah menjadi antek gendruwo dan tak ada yang mau peduli untuk memperbaiki kehidupan di muka bumi.

Ia terus menyemburkan ucapan-ucapan yang sengit dan memesan sebotol bir lagi dan dengan cepat menenggaknya habis. Selanjutnya, ia memperlihatkan perangai yang semakin membuat khawatir pemilik warung. Si Janggut kini membentur-benturkan jidatnya ke permukaan meja. Beberapa orang di warung itu meringkusnya. Pemilik warung menemui Trinil yang baru saja sampai di kamar kontrakan dan memintanya, dengan isyarat tangan, untuk kembali ke warung agar si Janggut berhenti mengamuk.

Si Janggut masih meronta ketika Trinil datang, namun lekas mereda begitu si gadis sudah duduk lagi di hadapannya. Lalu ia kembali bicara setelah diam beberapa saat untuk mengatur napas. Semangatnya untuk mengembalikan setan-setan pulih seketika. Beberapa waktu kemudian ia ke kamar kecil lagi. “Kuharap kau tetap di sini,” katanya sebelum meninggalkan tempat duduk.

Trinil menggunakan kesempatan itu untuk meminta si pemilik warung menyampaikan kepada si Janggut, nanti pada pukul sebelas, bahwa Trinil harus pulang. Pesan tersebut disampaikan tepat waktu dan kali ini si Janggut bisa paham.

“Aku akan mengantarmu pulang,” katanya.

Ia masih ingin bicara dan ia menggunakan waktu di jalan untuk menuntaskan pembicaraan. Namun lelaki itu tetap merasa masih banyak yang ia perlu sampaikan ketika Trinil sudah tiba di kamar kontrakannya. Di depan kamar, sebelum gadis itu menutup pintu, si Janggut mengatakan bahwa sebetulnya ia datang ke warung untuk menunggu seseorang tetapi tampaknya orang itu tak datang.

“Aku akan menunggunya lagi besok,” katanya.

Keesokannya ia datang lagi ke warung, menunggu penempel selebaran, dan bicara lagi dengan Trinil sampai pukul sebelas. Seterusnya seperti itu. Jika Trinil tidak datang, si Janggut tak akan berlama-lama di warung dan memilih pulang dengan mengambil jalan agak memutar melewati tempat kontrakan gadis itu. Dan ia selalu ingin mampir. Ia ingin menanyakan kenapa Trinil tak datang ke warung. Apakah gadis itu bosan mendengarnya? Ia mau saja berhenti membicarakan setan-setan sekiranya gadis itu menghendakinya demikian. Ia juga tidak akan menyinggung-nyinggung si penyembah Ratu Adil jika Trinil tak menyukai pembicaraan itu.

Dan si Janggut memang sudah beberapa waktu tidak memikirkan si penempel selebaran ketika ia melihat, di hari Sabtu sore, seseorang yang mengenakan jubah putih dan penutup kepala seperti Pangeran Diponegoro. Hari itu ia mengunjungi pasar malam di lapangan kecil dekat kantor kelurahan. Pangeran Diponegoro ada di sana, sedang menjelaskan sesuatu kepada orang-orang yang mengerumuninya. Ia lalu mendekati kerumunan dan mendengar orang itu sedang menyampaikan tanda-tanda kedatangan Ratu Adil. Sambil menjelaskan, ia membagi-bagikan fotokopian selebaran—ternyata surat berantai yang setiap orang, demi keselamatan hidup masing-masing, harus menggandakan 20 lembar dan membagikannya kepada orang-orang lain.

Si Janggut langsung meludahi surat berantai itu begitu ia menerimanya, dan kemudian menginjak-injaknya. Semua ia lakukan di depan si Herucakra. Dan, belum habis keterkejutan orang itu, ia mengencingi surat tersebut.

“Kalau kau tidak terima, kautahu di mana aku menunggumu,” katanya. Setelah itu ia meninggalkan Pangeran Diponegoro yang memandangi kepergiannya seperti melihat setan.

Malam berikutnya, ia menceritakan tindakannya kepada Trinil. Itu pertemuan terakhirnya dengan si gadis.

Keesokan harinya gadis itu membawa boneka kucing ke rumah sakit jiwa di Magelang. Di dalam bis yang membawanya ke tempat tujuan, tiba-tiba muncul pikiran baru di benak Trinil untuk mengeluarkan Sasi diam-diam dari rumah sakit dan membawanya ke kamar kontrakannya. Tidak peduli seperti apa keadaan Sasi, ia lebih suka gadis itu bersamanya. Setidaknya pada hari itu. Trinil menandai tanggal 26 April di kalender kamarnya dengan lingkaran spidol merah dan hari itu ia membawa boneka kucing sebagai hadiah ulang tahun. Tetapi sekarang ia memikirkan rencana yang berbeda. Ia ingin gadis itu meniup lilin di kamar kontrakannya.

Dan itu rencana yang tidak bisa dijalankan. Kawannya sudah mati tiga minggu sebelum kedatangannya. Dokter yang ia temui di rumah sakit jiwa mengatakan bahwa Sasi meninggal oleh malaria. Trinil menerima kabar itu dengan paras sedih yang tidak berubah dan ia meninggalkan rumah sakit tanpa menanyakan di mana Sasi dikuburkan. Dibawanya pulang boneka kucing yang terlambat diserahkan. Ketika melintasi jembatan, ia membuang boneka itu ke sungai di bawah sana. Dan ia sendiri tak pernah pulang lagi ke kamar kontrakannya.

Pemilik kamar kontrakan, yang menemukan lingkaran spidol merah di kalender kamar Trinil, mengatakan dengan yakin bahwa gadis itu memang sudah merencanakan mati pada tanggal 26 April.

“Ia sudah memilih sendiri hari kematiannya,” katanya.

Orang-orang di warung kopi juga tidak pernah melihatnya lagi—kecuali si Janggut. Suatu hari lelaki itu mengatakan kepada pemilik warung bahwa ia kadang masih melihat Trinil duduk di bangku pojok. Pemilik warung tak suka mendengarnya.

“Kau mau membuatku bangkrut dengan mengatakan warungku berhantu?” tanyanya sengit.

Si Janggut menjawab bahwa ia tidak bermaksud demikian. Lalu ia memperbaiki ucapannya dengan mengatakan bahwa ia merasa melihat Trinil duduk di pojokan, di bangku tempat ia biasa duduk. Pemilik warung tetap menunjukkan air muka tidak suka, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Sementara si Janggut terus mengikuti perasaannya. Ia sejak itu selalu memilih duduk di pojokan, memesan bir untuk dirinya sendiri dan secangkir kopi untuk gadis yang ia rasa masih duduk di hadapannya.

Di depan gadis yang tak kelihatan itu, ia akan mengawali pembicaraan dengan menyulut rokok, lalu menenggak bir, lalu mulai mengeluarkan suara ketika uap alkohol pelan-pelan naik ke kepala. Ia akan bicara, sampai pukul sebelas, tentang setan-setan kapitalis dan bagaimana cara membangun kekuatan untuk mengembalikan mereka ke api neraka. Juga tentang Herucakra. Itu pembicaraan ketika mereka baru pertama kali bertemu. Dan kini si Janggut selalu membicarakan itu, seolah-olah setiap malam mereka baru pertama kali bertemu.  (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar