Cerpen Clara Ng
Terbit di Koran Tempo, 2 Desember 2012
BRC - SEMINGGU sebelum Pia menikah, Mama mengumpulkan sembilan anak perempuannya untuk makan malam ciaciu di restoran Fajar Baru. Pernikahan selalu membuat keluarga yang tercerai-berai kembali berkumpul.
“Tapi, Tuasok tahu kan,” kata Lanny dengan nada sabar kepada Wawa,
kakak iparnya yang pertama, “ini bukan makan malam biasa saja. Mama
sudah memesan set menu ciaciu untuk sepuluh orang.”
“Nggak apa-apa, Lan. Nanti si Yola saja yang datang mewakili saya.”
Yola adalah anak pertama Wawa. Gadis dengan tubuh yang mekar di usia
tujuh belas tahun dan deretan jerawat di pipi tambunnya. Lanny menutup
telepon dengan perasaan tidak enak. Dia selalu curiga Wawa sengaja tidak
datang buat menghindari Mama.
Mama masuk ke dalam mobil, tertatih-tatih dipandu Nancy, adiknya yang
nomor enam. Setelah bercerai, Nancy pulang kembali dan menempati kamar
tidur di lantai atas. Tak lama Pia menyusul, membuka pintu dan duduk di
sebelah Lanny. Lanny melajukan mobil setelah semuanya lengkap.
“Lebih baik begini, Tuasok nggak usah datang,” kata Nancy begitu
mendengar berita dari Lanny tentang Wawa. “Dia harusnya tinggal di rumah
saja, menjaga Ko Alex supaya Ko Alex nggak main mata sama
sekretarisnya.”
“Hus! Saci selalu berpikir jelek melulu.” Pia mendelik dari kursi
depan. Dia benci dengan kakaknya yang satu ini. Setelah Nancy bercerai
karena suaminya berselingkuh, Nancy selalu punya opini buruk tentang
lelaki. Dia pukul rata semuanya. Semua lelaki berselingkuh!
Nancy menggumamkan beberapa kata yang tidak jelas.
“Tuaci,” panggil Pia, mengalihkan perhatian. Dia terjepit di antara
dua kakak perempuannya. Yang satu janda, yang satu lagi perawan tua.
“Sudah lihat menu katering buat kawinan besok?”
Lanny mengangguk singkat, lalu mendongak ke kaca spion, memandang Mama dari pantulannya. “Pesawat Evi dari Surabaya delay selama
dua jam, Ma, kayaknya tidak mungkin Evi mengejar makan malam ini. Tapi
supaya genap sepuluh, tadi saya mengajak Akim datang. Nanti kita jemput
dia dulu. Oya, Pia, tolong ambilkan tisu dong.”
PIA memandang wajah-wajah yang mengelilinginya,
setengah melamun. Di hadapannya, seorang pelayan meletakkan satu piring
besar berisi aneka salad dingin, makanan pertama sebagai penanda
dimulainya makan malam ciaciu mereka. Sepuluh perempuan dari tiga
generasi duduk bersama. Taplak meja dan sumpit berwarna merah menyala,
seperti baju yang dikenakan Riana.
Dari semuanya, dia paling suka mengobrol dengan Riana. Perempuan ini
sebenarnya lebih muda daripada usianya, tapi dia diwajibkan memanggilnya
dengan panggilan ‘kakak’ yaitu Sasok, yang artinya kakak ipar
nomor tiga. Kakak lelakinya, Ben, menikah lagi setelah istri pertamanya
meninggal karena kecelakaan. Ben menikahi Riana ketika gadis itu masih
berusia dua puluh empat.
Restoran ini tidak terlalu penuh. Sebagian meja terisi, sebagian lagi
kosong. Para pelayan berdiri tegak dengan tatapan mata yang siaga,
bersiap mengulurkan bantuan jika dibutuhkan. Duduk di sebelahnya, Dewi
sedang sibuk dengan hapenya.
Dia tertegun memikirkan dirinya yang akan menikah minggu depan.
Sebagai anak bungsu dari sembilan bersaudara, dia tidak pernah mengira
akhirnya gilirannya menikah tiba. Satu per satu kakaknya menikah
(kecuali Lanny kakak nomor dua), seakan-akan dia terus menerus menjadi
yang paling kecil dan tertinggal dalam segala-galanya. Ketika dia masuk
SMP, dia menjadi pengiring pengantin Dewi. Ketika dia SMA, Siane pacaran
dengan lelaki bule, yang tidak disetujui Mama, tapi tetap saja
dilanggar. Ketika dia kuliah, para perempuan semakin banyak di keluarga
ini, beranak-pinak.
Beberapa tahun lalu, sewaktu Mama masih sehat dan kuat, dia sering
melihat para perempuan duduk mengelilingi meja makan di dapur. Lanny,
Dewi, Nancy, Siane. Setelah kakak-kakak lelakinya menikah, para ipar
perempuan bergabung. Wawa (dia paling jarang), Katie, almarhum Mala yang
digantikan Riana, dan Evi. Belakangan, Mama semakin letih dan tua. Dia
malas memasak untuk sepuluh perut, maka perkumpulan para perempuan
berubah tempat. Tidak lagi di dapur, tapi di restoran Cina.
Dia tidak ingat sejak kapan dia terbiasa melihat pemandangan para
perempuan berkumpul untuk makan malam dan bercerita. Mungkin ketika dia
masih TK, saat Wawa sering dibawa Alex untuk diperkenalkan kepada
seluruh keluarga. Atau mungkin ketika Papa lebih sering berada di
tokonya daripada di rumah. Dia melihat kekuatan perempuan di dalam rumah
semakin mendesak para lelaki keluar.
Semakin para perempuan berkumpul, semakin banyak obrolan yang
terjadi. Seringkali tidak semua perempuan hadir, tapi tidak apa-apa.
Mama selalu menyiapkan makanan berlimpah untuk sepuluh perut perempuan
yang senang berceloteh riuh. Di antara sumpit yang silang menyilang, di
antara ludah dan picingan mata, lengkingan cempreng “hah?” atau pekikan
kata-kata tak jelas, kunyahan gigi dan bibir berminyak, jeritan tawa,
dia menemukan rumah yang hangat. Tempat di mana dia bisa mendengar
pelbagai kasus kehidupan tanpa basa basi.
Papa masih bersama Mama di rumah, satu-satunya lelaki yang semakin
diam dari hari ke hari. Nancy bilang Papa punya pacar baru; janda cantik
yang punya toko emas, tapi Lanny tidak percaya. Dua kakaknya paling
sering berselisih pendapat soal ini. Lanny berlebihan memercayai
kesetiaan lelaki, sementara Nancy berlebihan memercayai kesetiaan
perempuan. Dia sendiri mencari kebenaran.
Nancy pernah membuntuti Papa seharian, mencoba menemukan bukti kalau
Papa punya perempuan lain. “Gila, pekerjaan nggak ada gunanya!” dengus
Siane. “Lebih baik Saci nggak usah pacaran sama Ko Ah Beng. Cowok
brengsek dia. Matanya jelalatan melulu kalau lihat cewek. Apalagi sama
si Jici Dewi tuh. Ya kan, Jici?”
Dewi, yang paling pendiam dari semuanya, nggak suka sama Ah Beng.
Menurutnya Ah Beng naksir dia, tapi karena dia nggak balas naksir Ah
Beng, maka Ah Beng melarikan perasaannya kepada Nancy. Walaupun sudah
dinasehati berkali-kali oleh kakak-kakak, kakak ipar, dan adik-adiknya,
Nancy tetap menikahi Ah Beng. Dua tahun setelah menikah, Nancy menemukan
Ah Beng berselingkuh dengan perempuan dari Pontianak, lalu
berturut-turut perempuan-perempuan lain, tak terhitung jumlahnya. Nancy
berusaha sabar. Dia sedang hamil empat bulan saat Ah Beng ketahuan tidur
sama anak SMA berusia tujuh belas tahun. Langsung saja dia minta
diceraikan dan pulang ke rumah Mama.
Di balik tembok-tembok dapur ini, para perempuan berbicara dengan
suara tinggi; tidak ada bedanya kalau berkumpul di restoran. Apalagi
waktu Dewi tidak kunjung hamil setelah tujuh tahun menikah,
gonjang-ganjinglah celotehan tentang itu.
“Jici keseringan kerja jadi capek. Apalagi bosnya suka grepe-grepe. Dikit-dikit peluk. Dikit-dikit cipika cipiki. Apa-apaan.”
“Tapi bosnya baik sama Jici. Sentuhan itu kan bukan grepe-grepe. Biasa aja dong.”
“Cowok kegatelan sih ada di mana-mana.”
“Jici harus resign. Biar bisa punya momongan.”
Dia menjadi saksi bahwa para perempuan mengobrol adalah resep
cespleng untuk berbagai masalah. Setelah diomongin terus menerus, Dewi
akhirnya resign dari perusahaan itu. Sebulan kemudian dia hamil.
Mulanya Nancy mempertanyakan siapa bapaknya si bayi, tapi semua marah
dengan komentar Nancy sehingga Nancy tidak lagi berani berkata satu
kalimat pun. Bayi Dewi lahir Ceasar karena sungsang, perempuan. Wajahnya
memang mirip si bos, tapi tidak ada yang mengungkit-ungkit. Bayi itu
menjadi anak satu-satunya pasangan Dewi dan suaminya.
MAKANAN nomor empat dihidangkan, udang goreng dengan
saos mayo dan madu. Dia suka sekali dengan udang. Calon suaminya sering
mengajaknya makan udang galah goreng yang gurih di daerah Ancol. Makanan
itu tampak mengilat-ngilat dimandikan cahaya lampu. Dengan sigap,
seorang pelayan membersihkan dan mengangkat piring-piring kotor bekas
makanan nomor tiga, sayur brokoli tumis bumbu Oyster dengan tahu sutra
Jepang.
“Nanti kalau sudah kawin, Pia, jaga lakimu supaya dia nggak main serong,” kata Nancy sok menasehati.
Dia merengut.
“Idih, pengalaman pribadi Saci jangan dibawa-bawa dong. Tiap lelaki kan beda-beda.”
Mungkin tiap lelaki memang beda-beda, tapi yang paling benar adalah
insting para perempuan.
“Pokoknya, Pia, kalau lakimu kelihatan nggak
peduli lagi, mending cari tau sebabnya. Biasanya sih karena WIL.”
“Kamu nggak boleh berhenti bekerja, Pia. Kalau lakimu bajingan, tendang aja keluar rumah.”
“Cerai itu hukumnya halal, Pia. Nggak usah takut bercerai.”
“Ingat Pia, semua lelaki berselingkuh.”
Makanan nomor lima keluar, dilanjutkan dengan nomor enam.
Berturut-turut nomor tujuh, delapan. Makanan nomor sembilan adalah nasi
goreng seafood ala Hongkong. Dia biasanya sudah sangat kenyang ketika makan malam ciaciu mendekati nomor delapan. Yola, yang termuda, masih sanggup menyendok nasi goreng.
“Yola, jaga tuh pinggang. Jangan melar sebelum waktunya.” Katie terkikik, mengomentari Yola. “Biar pacarmu tetap setia.”
“Ah, Jicim….” Yola tersipu, tapi tetap saja menikmati nasi goreng di mangkuknya.
Dia tahu, Mama tidak banyak berbicara, bahkan lama setelah makanan
terakhir nomor sepuluh keluar, puding tahu dengan buah longan dan fortune cookie,
Mama tetap diam. Raut wajahnya terlihat letih. Dia adalah anak Mama
terakhir yang akan menikah. Mama sudah melakukan ini selama delapan
kali – Ben menikah dua kali dan Lanny tidak pernah menikah.
Malam sudah larut. Ketika pulang ke rumah, dia menemukan Papa sedang
duduk di kursi goyang memandang kosong ke jendela. Tidak ada suara
apa-apa kecuali sayup-sayup bunyi televisi dari kamar tidur pembantu.
Mama tidak berkata apa-apa kepada Papa, demikian juga Papa. Dia terbirit
ke kakus, lalu muntah sejadi-jadinya. Rumah terasa sangat sunyi.
Sangat, sangat sunyi.
SEGALANYA berjalan lancar setelah pernikahan. Di hari
Sabtu yang sepi ketika suaminya bertugas di Kupang, dia sedang mencuci
baju. Seekor cicak merayap di tembok, mengejar-ngejar nyamuk. Dia
menemukan bon hotel di kantung celana suaminya. Dibacanya nama hotel
itu. Dia pernah melewatinya dulu, bersama suaminya. Suaminya berkata
sambil bercanda, “Itu hotel esek-esek buat cowok-cowok yang lagi
ngebet.”
Tiba-tiba tangannya gemetar. Dia meninggalkan tumpukan baju-baju di
mesin cuci, lalu pergi ke pekarangan rumah. Dia melamun, memandangi
tangannya yang terletak di pangkuan. Seorang lelaki datang dari
belakang. “Ada apa?” tanyanya pelan, “kamu sedang apa di sini sendirian,
Sayang?” Dia menunjukkan bon hotel kepada lelaki itu. Lelaki itu
tertawa.
Mesin cuci mendengung-dengung, membanting baju-baju. Terdengar suara
air mengucur dari dalam mesin. Lelaki itu merangkulnya, rapat. Mereka
tak berkata apa-apa seperti Papa tak berkata apa-apa kepada Mama dan
Mama tak berkata apa-apa kepada Papa. Rasa ngilu yang menusuk mekar
dengan liar. Dia membayangkan rumah yang riuh diisi orang-orang di
kepala masing-masing. Suaminya dan hotel esek-esek. Dia dan lelaki yang
berada di depannya.
Dia memandang pekarangan yang kosong, tiba-tiba merasa ingin
tersenyum. Kenang-kenangan dan gelak tawa para perempuan kembali lagi,
menjebaknya di mana-mana. Dia tersenyum semakin cantik, memikirkan makan
malam ciaciu terakhir sebelum pernikahannya dan rasa mual yang
pelan-pelan merayap naik ke tenggorokan. Ada hal kecil yang lupa dia
pikirkan, sesuatu yang disesalinya tentang perkataan kakak-kakaknya,
namun semuanya sudah terlambat. Lelaki itu mengusap-usap punggungnya
ketika dia membungkuk, muntah berkali-kali. Di belakang, yang terdengar
hanya kucuran air dari dalam mesin cuci. (*)
-------
Catatan:
Ciaciu : pesta makan-makan sepuluh menu (biasanya untuk sepuluh orang) ala Cina yang disajikan satu per satu
Tuasok : panggilan untuk istri kakak lelaki pertama
Tuaci : panggilan untuk kakak perempuan, nomor satu
Sici : panggilan untuk kakak perempuan, nomor empat
Saci : panggilan untuk kakak perempuan, nomor tiga
Akim : panggilan untuk tante, istri dari adik Mama.
Jici : panggilan untuk kakak perempuan, nomor dua
Jicim : panggilan untuk tante, istri dari adik Papa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar